Ayahku, sekarang sudah berpulang
ke tempat yang dituju semua manusia. Rangkaian peristiwa yang mengiringi
kepergiannya berjalan begitu cepat, sehingga kami sekeluarga terkadang masih
merasa heran, seperti sedang mengalami mimpi buruk dan berharap akan ada
orang-orang yang terjaga yang segera membangunkan.
Ayahku, semasa hidupnya adalah orang yang polos dan sederhana. Beliau selalu berkata-kata dengan lugas. Memaksudkan apa yang dia ucapkan dan mengucapkan apa yang dia maksudkan. Selalu mengajarkan kejujuran dan kerendahan hati. Seorang yang terkadang tak terlalu banyak bicara, tetapi sering mengajak kami bercanda-tawa.
Ayahku, semasa hidupnya adalah orang yang polos dan sederhana. Beliau selalu berkata-kata dengan lugas. Memaksudkan apa yang dia ucapkan dan mengucapkan apa yang dia maksudkan. Selalu mengajarkan kejujuran dan kerendahan hati. Seorang yang terkadang tak terlalu banyak bicara, tetapi sering mengajak kami bercanda-tawa.
Ayahku, semasa hidupnya
seorang yang selalu memiliki teman di mana saja, kemana kami pergi selalu ada
satu dua orang yang akan bertegur sapa dengannya, selalu ada satu dua orang
yang akan diajaknya berbicara. Selalu ada orang-orang yang memandang suka
padanya dan bercanda-tawa.
Ayahku disamping pekerjaannya yang baru setahun menjalani pensiun, telah didaulat menjadi seorang ketua RT seumur hidup oleh para tetangga, tentu saja bukan karena beliau sangat cocok untuk jabatan itu, tapi sejak beliau terpilih tak direlakan untuk melepas jabatannya dan tak ada yang mau bersusah-susah menggantikannya. Seperti para pemilihnya memilih cuci tangan. Sehingga panggilan Ibu RT masih melekat pada ibu sampai jauh hari setelah kepergiannya.
Ayahku, terlihat seperti sudah ingin memiliki cucu, selalu mengajak bermain anak-anak yang datang ke rumah. Sesekali menyindir abangku kenapa tak segera menikah, juga menanyakan padaku apakah tak ingin segera punya anak. Aku yang tak terlalu menanggapi dan belum sanggup menyanggupi perkatannya dulu.
Ayahku, senang mendengarkan lagu-lagu berirama nostalgia, lagu-lagu berbahasa jawa atau Qur’an Syeikh Gomidi di waktu senggangnya. Sesekali mendendangkan lagu-lagu itu dengan cara yang sangat kurindukan, sesekali mengikuti melantunkan bacaan-bacaan Qur’an. Sekali waktu dia akan menanyakan padaku ini itu ini itu tentang permasalah agama yang sedang dikajinya, yang kujawab dengan itu ini itu ini sepengatahuanku. Sesekali dia akan menanyakan apa-apa yang ku kerjakan, yang tak selalu ku jawab dengan cara yang benar.
Ayahku, dalam pada itu selalu dalam kondisi sehat. Badannya yang berisi, yang selalu mengisi waktu senggang dengan berkebun. Beliau yang mulai menceritakan mimpinya untuk kembali ke desa tanah kelahirannya yang katanya sangat subur dan hijau, untuk menjadi seorang petani. Sampai kami menyadari, ternyata dalam fisik yang terlihat sehat itu terdapat sebuah penyakit yang berbahaya, yang sudah menggerogoti lima tahun lamanya.
Ayahku, ketika keluar dari ruang dokter bersama ibu, terlihat tertekan karena diagnose tumor ganas itu. Namun dalam perjalanan pulang beliau hanya mengajak kami bersenda gurau dan tertawa-tawa, sehingga tak terasa pedih lagi hati kami akibat berita itu. Sehingga bisa kami tersenyum meski sebelumnya mata memerah. Sehingga kami belajar bagaimana tegar terhadap suatu masalah.
Ayahku, akhirnya berjuang dengan mencari berbagai pengobatan, tapi tak sabar menunggu hasilnya karena tekanan perasaan sakit itu. Kejadian-kejadian rumit yang sebegitu rupa sehingga pada akhirnya membuat kami menyerahkan semuanya pada ilmu kedokteran modern yang pada kenyataannya selalu mengutamakan opsi operasi dibanding yang lainnya.
Ayahku, akhirnya dirawat di rumah sakit pusat negeri ini. Sampai suatu waktu datang sebuah surat persetujuan operasi yang terpaksa ayah dan aku tanda tangani untuk menerima semua resiko yang bisa terjadi. Hingga akhirnya beliau terbaring lemah tak bisa berbicara lagi setelah operasi yang kelihatannya berhasil itu. Hingga begitu banyak dan macam obat yang harus diterimanya. Sampai ginjalnya gagal berfungsi, sehingga racun menyebar diseluruh tubuhnya. Air matanya menetes dan hanya menggeleng setiap kali ibu usap. Sehingga kami yakin ada dosanya yang diluruhkan karena perjuangan atau kesabarannya menahan perasaan sakit itu, selama dua bulan di rumah sakit itu.
Ayahku, seolah-olah hanya memikirkan kami pada masa terakhirnya, setelah beberapa hari dinyatakan kritis itu. Sehingga ketika ibuku mengatakan merelakannya, beliau baru bersedia pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Untuk menghilangkan sama sekali rasa sakitnya, dalam keadaan tenang. Selama masa itu ibu menjaga dan memaninya tanpa pernah merasa lelah, tanpa pernah satu kalipun mengeluh, juga tak pernah menunjukkan rasa putus asa akan sebuah kesembuhan.
Ayahku, mungkin tak tau isi pikiranku, bahwa aku merasa tak mungkin bisa menjadi seorang dokter yang layak untuk merawatnya. Yang sangat menghargai arti sebuah nyawa. Yang bisa menganggap seorang pasien seperti keluarganya sendiri. Yang bersedia meluangkan waktu untuk berbicara seperti seorang teman. Yang tidak membedakan seorang pasien berdasarkan uang yang dimiliki. Yang bersedia memberikan senyum yang tulus bukan karena pekerjaan. Yang bisa memilih kata-kata agar tidak menjadi bualan karena berusaha menentramkan dan tidak pula menyakiti karena menyampaikan kebenaran. Yang tidak memberi solusi dengan memberikan obat bagi setiap gejala secara parsial. Yang memahami ada faktor psikis dalam setiap tindakan fisik. Yang tidak menganggap memahami probabilitas, dan menyampaikannya dengan layak, sebagai kemewahan.
Ayahku, mungkin tak mengetahui perasaan anak-anaknya. Perasaan yang campur aduk karena kehilangan. Yang sedang belajar menerima setiap musibah meski kelihatannya selalu bertambah. Yang berusaha memandang semua dari sudut paling baik yang mungkin dilakukan. Yang terkadang merasa menyesal karena belum bisa mempersembahkan apapun yang terbaik seperti yang beliau inginkan.
Ayahku disamping pekerjaannya yang baru setahun menjalani pensiun, telah didaulat menjadi seorang ketua RT seumur hidup oleh para tetangga, tentu saja bukan karena beliau sangat cocok untuk jabatan itu, tapi sejak beliau terpilih tak direlakan untuk melepas jabatannya dan tak ada yang mau bersusah-susah menggantikannya. Seperti para pemilihnya memilih cuci tangan. Sehingga panggilan Ibu RT masih melekat pada ibu sampai jauh hari setelah kepergiannya.
Ayahku, terlihat seperti sudah ingin memiliki cucu, selalu mengajak bermain anak-anak yang datang ke rumah. Sesekali menyindir abangku kenapa tak segera menikah, juga menanyakan padaku apakah tak ingin segera punya anak. Aku yang tak terlalu menanggapi dan belum sanggup menyanggupi perkatannya dulu.
Ayahku, senang mendengarkan lagu-lagu berirama nostalgia, lagu-lagu berbahasa jawa atau Qur’an Syeikh Gomidi di waktu senggangnya. Sesekali mendendangkan lagu-lagu itu dengan cara yang sangat kurindukan, sesekali mengikuti melantunkan bacaan-bacaan Qur’an. Sekali waktu dia akan menanyakan padaku ini itu ini itu tentang permasalah agama yang sedang dikajinya, yang kujawab dengan itu ini itu ini sepengatahuanku. Sesekali dia akan menanyakan apa-apa yang ku kerjakan, yang tak selalu ku jawab dengan cara yang benar.
Ayahku, dalam pada itu selalu dalam kondisi sehat. Badannya yang berisi, yang selalu mengisi waktu senggang dengan berkebun. Beliau yang mulai menceritakan mimpinya untuk kembali ke desa tanah kelahirannya yang katanya sangat subur dan hijau, untuk menjadi seorang petani. Sampai kami menyadari, ternyata dalam fisik yang terlihat sehat itu terdapat sebuah penyakit yang berbahaya, yang sudah menggerogoti lima tahun lamanya.
Ayahku, ketika keluar dari ruang dokter bersama ibu, terlihat tertekan karena diagnose tumor ganas itu. Namun dalam perjalanan pulang beliau hanya mengajak kami bersenda gurau dan tertawa-tawa, sehingga tak terasa pedih lagi hati kami akibat berita itu. Sehingga bisa kami tersenyum meski sebelumnya mata memerah. Sehingga kami belajar bagaimana tegar terhadap suatu masalah.
Ayahku, akhirnya berjuang dengan mencari berbagai pengobatan, tapi tak sabar menunggu hasilnya karena tekanan perasaan sakit itu. Kejadian-kejadian rumit yang sebegitu rupa sehingga pada akhirnya membuat kami menyerahkan semuanya pada ilmu kedokteran modern yang pada kenyataannya selalu mengutamakan opsi operasi dibanding yang lainnya.
Ayahku, akhirnya dirawat di rumah sakit pusat negeri ini. Sampai suatu waktu datang sebuah surat persetujuan operasi yang terpaksa ayah dan aku tanda tangani untuk menerima semua resiko yang bisa terjadi. Hingga akhirnya beliau terbaring lemah tak bisa berbicara lagi setelah operasi yang kelihatannya berhasil itu. Hingga begitu banyak dan macam obat yang harus diterimanya. Sampai ginjalnya gagal berfungsi, sehingga racun menyebar diseluruh tubuhnya. Air matanya menetes dan hanya menggeleng setiap kali ibu usap. Sehingga kami yakin ada dosanya yang diluruhkan karena perjuangan atau kesabarannya menahan perasaan sakit itu, selama dua bulan di rumah sakit itu.
Ayahku, seolah-olah hanya memikirkan kami pada masa terakhirnya, setelah beberapa hari dinyatakan kritis itu. Sehingga ketika ibuku mengatakan merelakannya, beliau baru bersedia pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Untuk menghilangkan sama sekali rasa sakitnya, dalam keadaan tenang. Selama masa itu ibu menjaga dan memaninya tanpa pernah merasa lelah, tanpa pernah satu kalipun mengeluh, juga tak pernah menunjukkan rasa putus asa akan sebuah kesembuhan.
Ayahku, mungkin tak tau isi pikiranku, bahwa aku merasa tak mungkin bisa menjadi seorang dokter yang layak untuk merawatnya. Yang sangat menghargai arti sebuah nyawa. Yang bisa menganggap seorang pasien seperti keluarganya sendiri. Yang bersedia meluangkan waktu untuk berbicara seperti seorang teman. Yang tidak membedakan seorang pasien berdasarkan uang yang dimiliki. Yang bersedia memberikan senyum yang tulus bukan karena pekerjaan. Yang bisa memilih kata-kata agar tidak menjadi bualan karena berusaha menentramkan dan tidak pula menyakiti karena menyampaikan kebenaran. Yang tidak memberi solusi dengan memberikan obat bagi setiap gejala secara parsial. Yang memahami ada faktor psikis dalam setiap tindakan fisik. Yang tidak menganggap memahami probabilitas, dan menyampaikannya dengan layak, sebagai kemewahan.
Ayahku, mungkin tak mengetahui perasaan anak-anaknya. Perasaan yang campur aduk karena kehilangan. Yang sedang belajar menerima setiap musibah meski kelihatannya selalu bertambah. Yang berusaha memandang semua dari sudut paling baik yang mungkin dilakukan. Yang terkadang merasa menyesal karena belum bisa mempersembahkan apapun yang terbaik seperti yang beliau inginkan.
Ayahku, mungkin tak bisa
melihat. Masa-masa ketika aku memeluk dan menenangkan kakak perempuannya yang
meratapi kepergiannya. Masa-masa ketika aku menenangkan ibuku yang menangisi
kepergiannya. Masa-masa ketika kami terduduk lesu dan tak berdaya mengubah satu
dua tindakan di masa lalu. Masa-masa ketika mereka melamun sejenak ketika
membicarakannya.
Ayahku, tentu tak bisa
melihat rumahnya yang ramai didatangi oleh para tetangga selama seminggu penuh setelah
kejadian itu. Tamu-tamu yang datang sampai memenuhi halaman pada hari ke-empat
puluh sejak kepergiannya. Orang-orang yang membacakan ayat suci Al Quran dan
mendoakan kebaikan baginya. Pak Lurah kenalannya yang selalu datang di setiap
kesempatan. Teman-teman dekatnya yang turut menyesal merasa kehilangan. Anaknya
yang berkelimpahan air mata saat mengingat dan mendoakannya.
Ayahku, pasti mengetahui betapa sempurna dan mulianya agama kami. Bahwa ketika buku hidupnya telah ditutup masih akan ada amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang bisa menambah catatan kebaikannya. Bahwa suatu saat akan ada masanya ketika dia dan keluarganya bisa dipertemukan kembali.
Ayahku, pasti mengetahui betapa sempurna dan mulianya agama kami. Bahwa ketika buku hidupnya telah ditutup masih akan ada amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang bisa menambah catatan kebaikannya. Bahwa suatu saat akan ada masanya ketika dia dan keluarganya bisa dipertemukan kembali.
Ayahku, mungkin bisa
merasakan kehadiran anak-anaknya di sekitar pusaranya. Yang terkadang berbicara
sendiri seolah-olah beliau ada dan mendengar, yang dalam bicaranta sering mendadak terbata dengan mata berkaca-kaca, yang hanya bisa menyampaikan
rindu dengan taburan bunga-bunga yang basah, yang hanya memperlihatkan bakti
dengan membersihkan rumput-rumput liar, yang hanya menyampaikan salam dengan
doa dan harapan.
Ayahku, boleh jadi bukanlah ayah terbaik di dunia. Tapi tentu saja beliau tetap ayah terbaik untukku, yang telah melimpahkan kasih sayang, perhatian, pengetahuan, harapan dan segala yang dia punya kepada anak-anaknya. Yang menatap anak-anaknya dengan perasaan senang dan bangga, meski tak selalu mengatakannya...
Ayahku, boleh jadi bukanlah ayah terbaik di dunia. Tapi tentu saja beliau tetap ayah terbaik untukku, yang telah melimpahkan kasih sayang, perhatian, pengetahuan, harapan dan segala yang dia punya kepada anak-anaknya. Yang menatap anak-anaknya dengan perasaan senang dan bangga, meski tak selalu mengatakannya...
Terharu. Jadi inget ayahku juga
ReplyDeleteTerimakasih sudah membaca.. :)
ReplyDeleteObedient bye, sentimental chum :)
ReplyDeleteSama seperti cerita di atas, bapak saya meninggal karena kanker setahun lalu. Bedanya saya tak pernah lagi bisa menulis tentang beliau, karena mata keburu banjir sebelum jemari mengetik :"(
ReplyDeletebapak saya bukanlah lelaki sempurna, tapi ia adalah ayah yang sempurna buat saya.
membaca artikel ini membuat saya menangis, *curcol* tapi trims sangat sudah berbagi cerita.
sedih, terimakasih sudah membaca, semoga beliau mendapat kebaikan yang berlimpah di sana..
ReplyDeleteAMIN....AMIIINNN...AMIIIINNN YA ROBBAL ALAMIIINNN...
ReplyDeleteOrang yang baik selalu akan mendapatkan tempat yang baik di sisi-NYA.. :)
Bang Tama juga pasti bisa menjadi orang yang baik, bahkan bisa lebih baik dari ayahnya... :)
duuhhh... subuh-subuh udah banjir air mata nih...