Wednesday, July 27, 2011

menyukai

Kutemukan dia pada suatu senja yang muram, sedang berceloteh tentang apa yang ditautkan seseorang pada perasaannya. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, sepertinya dia hanya ingin berbicara untuk berbicara daripada berbicara untuk didengar. 

“Aku menyukai segala sesuatu yang dalam komposisi yang tepat untuk menyentuh indra dan perasaan. Tapi aku lebih menyukai keindahan yang hakiki, yang berasal dari ruhani dan jasmani yang sinergi.” Begitu dia memulai, lalu melanjutkan. 

“Aku  menyukai melayangkan pandang pada dirinya, seorang wanita yang kecantikannya memancar dari dalam hati.” 

“Aku menyukai perilakunya yang selalu santun, yang anggun dalam membawa dan menjaga diri hingga menjadi seperti seorang putri.” 

“Aku menyukai mendapat senyumnya yang menawan, yang terkadang berubah menjadi tawa riang yang tulus, yang terkadang polos dan kekanakan.” 

“Aku menyukai tatapan matanya, yang jernih, hangat dan bersahabat, yang membawa makna lebih daripada seribu puisi di udara” 

“Aku menyukai mendapati rona merah pada pipinya saat sedang tersipu.” 

“Aku menyukai mendengar suaranya, yang senantiasa penuh kelembutan dan kebaikan, yang sesekali memperdengarkan tawa yang menyenangkan.” 

“Aku menyukai musik yang sering didengarnya dengan serta merta meski aku baru pertama mendengarnya.” 

“Aku menyukai bagaimana dia memulai hari, melakukan sesuatu untuk menjemput cita-cita, dan menutupnya pada malam hari.” 

“Aku menyukai tidur dan kehadirannya dalam mimpi-mimpiku yang begitu intens dan nyata. Satu-satunya tempat dimana tangannya bisa kugenggam dan kutahan dari melangkah pergi.” 

“Aku menyukai jika bisa berada dalam ruang dan waktu yang berbeda yang mempertemukanku dengan dirinya lebih cepat dari yang kini terjadi. Seperti aku menyukai untuk menghabiskan lebih banyak kejapan mata dengan berada dekat dirinya.” 

“Aku menyukai perasaan ganjil ini, pereasaan entah bagaimana bisa menyukai apa saja yang berhubungan dengannya.” 

Terlalu banyak yang dia bicarakan seperti bermonolog, hingga akhirnya aku menjadi tidak sabaran mendengarkan kelanjutannya yang seperti tak berkesudahan itu, hingga kusela perkataannya. 

“Lalu apa masalahmu? Apa yang salah dengan menyukai itu semua?” 

Dia menjawab.

“Aku tak menyukai satu saja dari semua. Tak menyukai akhir yang sudah bisa ditebak dari setiap perasaanku. Aku tak menyukai airmata yang akan menetes bersamaan dengan senyum yang akan kupaksakan saat mendapat sebuah surat undangan darinya, pada saat itu aku harus berbalik, melangkah pergi atau mengerjap seperti yang seharusnya.” 

“Oh ya, kalau begitu kau punya masalah besar.” Sahutku.

“Tapi, aku masih akan menyukai melihat dirinya berbahagia, dengan apapun yang dia pilih atau dipilihkan Tuhan untuknya.”

“Kelihatannya, itu anugerah sekaligus musibah yang kau dapatkan kawan, tetaplah bersabar.”

Dia diam saja, duduk dengan pandangan menerawang menembus apa yang kelihatan demi melihat apa yang tak terlihat. Kutepuk-tepuk bahu teman ini sekedar untuk menguatkan dirinya atau meringankan bebannya. Lalu kutinggalkan dia seorang diri. Karena ku rasa tak ada yang bisa ku perbuat untuk menolongnya. Tak ada obat baginya, kecuali tentunya, orang yang dia bicarakan yang datang sendiri membawakan penawar bagi perasaannya. Bisa menemukan perasaan yang tulus pada seseorang adalah sebuah kebaikan yang patut dirayakan, namun harus melepaskannya pada saat yang bersamaan adalah suatu hal yang menyedihkan. Sungguh anugerah sekaligus musibah yang engkau dapatkan, kawan...  

Tuesday, July 05, 2011

pendidikan dan beasiswa

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang  diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Tidak untuk diperdebatkan, betapa signifikan hubungan antara pendidikan bagi upaya Negara ini untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka seharusnya semua orang yang ingin sekolah bisa sekolah. Begitu yang selalu kupikirkan. Dengan biaya pendidikan yang semakin mahal, tentunya ini menjadi semakin sulit untuk orang-orang yang kehidupan ekonominya pas-pasan. Namun selalu ada peluang, untuk pelajar yang kurang mampu secara finansial, biasanya ada beasiswa pendidikan.  
Kali ini aku tidak sedang ingin mengkritik penyelenggara Negara, melainkan ingin mengungkapkan rasa terimakasih, dan riwayat kenapa aku harus mengucapkan terimakasih. Riwayat pendidikanku selama sepuluh tahun terakhir ini, tidak lepas dari peran beasiswa. Sebenarnya aku bukan dari keluarga yang sangat miskin, bukan pula keluarga yang berlimpah hartanya, hanya dari keluarga biasa saja. Namun, kurasa aku cukup beruntung untuk mendapatkan semua beasiswa ini.

PART 1
Pertama kali aku mendengar beasiswa atau biaya pendidikan gratis, adalah saat kelas tiga SMP,  SMP N 16 Jambi. Waktu itu, aku cukup sering juara umum, sehingga suatu ketika dipanggil menghadap kepala sekolah. Kupikir ada apa ini? Apa puisi tentang cabe beserta gambar-gambar kecil yang ku pajang di mading sekolah telah mengganggu ketertiban kehidupan bersekolah.
Pak Sarsito, kepala sekolah waktu itu, dengan irama suaranya yang khas, ternyata mengatakan bahwa nilaiku cukup bagus, menyuruhku untuk mempertahankannya, sehingga beliau akan memberikan rekomendasi dan ada kemungkinan aku mendapat beasiswa nanti di SMU. Itulah pertama kalinya aku mendengar berita gembira seputar beasiwa. Kusimpan informasi ini sendiri bersama perasaan harap dan cemasnya yang segera terlupakan dengan kesibukan bermain. 
Tapi tak pernah kudengar kelanjutan berita itu, hingga kami ujian nasional, dan dengan tak terduga nilaiku menjadi yang terbaik di SMP. Meskipun bukan termasuk salah satu SMP terbaik di Jambi, sekitar sepuluh orang dengan nilai terbaik berhak mengikuti seleksi penerimaan siswa SMU Titian Teras jambi, Sekolah yang dikenal juga dengan nama SMU Unggul. 
Aku mengikuti berbagai tes bersama sekitar seribu limaratus orang se-Provinsi, mulai dari kemampuan jasmani, akademik, serta psikotes. Aku ingat sangat menyukai soal-soal psikotes bagian memutar-mutar wujud bangun ruang dan bidang datar. Disana juga ada tes menggambar, satu bidang yang aku cukup punya keahlian. Akhirnya dari SMP, aku bersama seorang teman berhasil mengikuti seleksi penentuan akhir, yang diakhiri dengan wawancara dengan pihak yayasan. Pada saat itu, kami dijejerkan dalam ruangan didepan beberapa panelis, Pak Kaolan menanyakan nilai NEM ku dan nilai matematika, dan tak banyak bertanya lagi. Akhirnya aku lulus meski teman se SMP ku tidak, entah karena alasan apa yang tak pernah kita ketahui sampai saat ini.
Demikianlah awal dimana aku mendapat beasiswa untuk pertama kali. Sekolah di SMU Titian Teras dalam periode itu artinya adalah bersekolah gratis mulai dari biaya pendidikan, uang makan, uang buku dan semua fasilitas lainnya. Karena kondisi keuangan yayasan, kami harus membayar sekitar 600 ribu untuk uang seragam, tapi itu jumlah kecil untuk sebuah sekolah dengan system pendidikan terbaik, gratis selama tiga tahun. Tentunya there’s no such thing like gratis, sebenarnya ada pihak-pihak yang membayar untuk itu, dalam hal ini adalah Yayasan Pendidikan Jambi.

Bolehlah dikutip tujuan Yayasan ini mendirikan SMU TT adalah untuk: (1) Menyiapkan kader pembangunan bangsa yang berkualitas tinggi, mempunyai jiwa nasionalisme dan patriotism yang tinggi. (2) Membina secara khusus potensi-potensi sumber daya manusia di Propinsi Jambi yang mempunyai bakat, minat, dan kecakapan yang tergolong unggul atau di atas rata-rata. (3) Turut berperan serta dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. Serta salah satu tujuan khususnya yang perlu dikutip: Menyelanggarakan suatu pola pembinaan generasi muda yang terpadu melalui pembinaan di SMA dan perguruan tinggi, untuk menghasilkan potensi-potensi SDM yang nantinya diharapkan dapat ikut mengembangkan daerah Jambi.
Tentunya untuk mendapatkan sesuatu yang berharga ada sesuatu yang harus dikorbankan. Dalam sekolah yang mengutamakan pembinaan berbagai bidang ini, disiplin yang diterapkan adalah semi militer. Adalah waktu untuk bermalas-malasan yang harus dikorbankan. Subuh sudah memulai aktivitas fisik, pagi sampai malam harus belajar. Harus pula bisa beradaptasi untuk mengatasi tekanan dari lingkungan sekitar. Kebanyakan teman yang kukenal adalah orang-orang cerdas, sehingga belajar sampai botak pun sulit rasanya bagiku untuk menjadi rangking satu. Namun, syukurlah semua bisa dilewati dengan baik.

PART 2
Menjelang ujian akhir, ada pengumuman mengenai tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Syarat yang ditentukan adalah nilai Matematika dan Bahasa inggris minimal tujuh. Kebetulan aku termasuk salah satunya, meski dari segi ranking tidak sebaik teman2 yang mengikuti seleksi. Entah kenapa, pada akhirnya aku dan seorang teman yang bernama nasrudin mendapatkan kesempatan itu. Dibiayai sejak mengikuti tes seleksi, jika kami lulus UMPTN maka SPP selama kuliah akan ditanggung oleh yayasan pemberi beasiswa, yaitu yayasan Supersemar dan Damandiri.
Sempat terjadi dilemma apakah aku akan mengambil Arsitektur atau Teknik Sipil di ITB, mengingat hobiku menggambar serta pelajaran geometri dan ruang aku memilih Arsitektur, namun menimbang luasnya bidang pekerjaan aku akan memilih Sipil. Entah kenapa, setelah sholat semakin kuat dorongan untuk memilih sipil. Setelah mengikuti test di Jambi, akhirnya aku lulus diterima di ITB.  Dan memulai perjalanan ke tanah Jawa.  

Beasiswa yang diberikan yayasan Damandiri adalah SPP dan biaya hidup. Meski pemberian beasiswa selalu terlambat satu semester, namun tidak jadi masalah. Yang jadi masalah adalah aku tidak memanfaatkan peluang dengan baik. Setelah mendapat nilai memuaskan pada tahun pertama, serta timbul sedikit perasaan arogan, pada tahun kedua dan ketiga nilai menurun. Sehingga dengan sangat konyolnya, menjelang tahun keempat aku menghadap dosen wali, dan mengatakan bahwa “Sepertinya saya tidak cocok di jurusan sipil.” Dan menanyakan kemungkinan untuk pindah ke arsitek. Untung dosen yang baik ini, tidak serta merta melepas, dia bilang. “Kamu coba lagi satu semester, sayang, tinggal sedikit lagi..”
Syukurlah pada akhirnya semua bisa diselesaikan dengan baik. Lulus kuliah dengan IP lumayan dan segera mendapat pekerjaan.

PART 3
Sesuatu dan lain hal yang terlalu panjang untuk diceritakan membuatku kehilangan minat untuk bekerja. Singkat cerita, kuputuskan untuk menuju ke Yogya, demi dekat dengan akar budaya Alm. Ayah, serta demi merangkai mimpi-mimpi baru setelah mimpi yang sebelumnya hilang, bolehlah untuk disedarhanakan sebagai putus dengan sang pacar. Waktu itu tujuanku masih tidak jelas, antara ingin mencoba mengambil kuliah S2 yang sebelumnya tak pernah terlintas dalam pikiran, ingin mencari pekerjaan baru, atau ingin mencari cinta. Yang jelas satu dan semua saling terangkai, saat aku mendaftar ke teknik transportasi UGM. Sebenarnya aku sudah melirik dan mengambil brosur S2 Arsitek juga dan entah kenapa untuk kedua kalinya kupilih sipil.
Saat itu, aku menyerahkan berkas nilai TOEFL dan TPA ke bagian pendaftaran. Mba administrasi menanyakan nilaiku, belakangan kusadari nilai TPA ku memang paling tinggi dari yang mendaftar, lalu seorang dosen yang dikenal dengan panggilan Ibu Mamah  menawarkan memberiku beasiswa dengan syarat mengikuti tes terlebih dahulu. Aku yang tadinya berniat mendaftar dan membayar sendiri biaya kuliah dari sisa tabungan tentu bersuka ria dengan tawaran itu. 

Lalu kuikuti tes psikotes, wawancara serta akademik yang diselenggarakan. Selang beberapa bulan kemudian ternyata aku diumumkan sebagai salah satu yang mendapat Beasiswa Unggulan dari Kementrian Diknas, Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri. Dan disinilah aku, saat ini sedang berusaha belajar dengan lebih baik.  Aku mendapat beasiswa SPP penuh, beserta living cost dan uang buku.

PART 3b
Belum selesai pendidikan ini kulalui, ternyata datang lagi kesempatan untuk melanjutkan studi dual degree ke salah satu Universitas di Eropa, dengan beasiswa penuh selama setahun. Peluang itu sudah sangat dekat, sudah terasa dalam genggaman, ketika tiba-tiba ada sebuah kebijakan baru dari kedutaan yang menghambat, dan tidak ada yang tau apa yang akan terjadi berikutnya. Tentu aku berdoa mendapatkannya, karena ini kesempatan yang cukup langka. Tetapi di sisi lain, perlu juga untuk dipertimbangkan, benar-benar sejumlah besar uang yang akan diinvestasikan kepada kami ini. Dengan prinsip jual beli, akankah Negara ini merasa untng atau rugi atas uang yang akan terhambur pada kami ini? Bagaimana untuk membalasnya?

Kupikir aku cukup beruntung, mungkin banyak orang lain yang tidak seberuntung ini dalam mendapatkan pendidikan. Tentulah aku harus senantiasa bersyukur.  Hingga saat ini, aku merasa belum ada satu pemberi beasiswapun yang aku bayar. Sewaktu bekerja di Jambi, aku tak mendapat tempat yang tepat untuk bisa membantu membangun Jambi seperti tujuan Yayasan kami yang mulia itu, sempat terpikir menjadi dosen, tetapi mundur teratur oleh pertimbangan karir dan finansial.
Aku belum mendapat akses ke Damandiri untuk setidaknya melapor atau mengucapkan terimakasih atas beasiswa selama lima tahun di kuliah sarjana dulu. Apalagi untuk membantu melanjutkan keberlangsungan beasiswa untuk tahun-tahun berikutnya.
Sekarang sudah harus mendapat beasiswa lagi, yang syukurlah  punya cara untuk membalas dengan mengikuti ikatan dinas di salah satu Departemen. Terkadang aku berpikir, akan seberapa jauh kontribusiku bagi masyarakat sekitar atau Negara ini nantinya. Ataukah aku hanya akan segera bergabung dengan para apatis oportunis yang bakal mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari setiap kesempatan demi kepentingan pribadi.  
Setidaknya ada sebuah prinsip yang kujadikan sandaran, Jika tidak bisa membantu memperbaiki kehidupan pada umumnya atau Negara ini pada khususnya, setidaknya aku harus tidak jadi bagian yang merusaknya.