Friday, April 19, 2013

Euro Trip, Paris: Kota para artis 3

Dalam kehidupan manusia nan fana ini, ada yang namanya alam ide dan ada dunia nyata. Sewaktu-waktu ide itu begitu mendesak untuk diwujudkan ke dunia nyata, namun dengan segala kekurangannya terkadang manusia memilih untuk menyerah, membiarkan ide tetap di alam ide.

Metro di Paris
Saat itulah, di dalam metro yang menuju hotel aku berbuat realistis, tidak ingin membuat perkara yang berpotensi membahayakan diri yang seorang diri di negeri antah barantah ini. Aku perlahan beringsut dari tiang di pertengahan gerbong menuju sebuah pojokan dan menyender melanjutkan perjalanan pulang ke hotel. Si lelaki yang kukira adalah pencopet tidak akan mendapatiku dalam jangkauan pandangannya. Aku hanya memperhatikan dari jauh, melihat ke sekeliling beberapa orang yang asyik membaca, melihat peringatan di dinding yang mengingatkan “Pickpockets operate in this area” atau "attention aux pickpockets".
Peringatan mari mencopet
Adakah sebuah kemungkinan, bahwa ketika membaca tulisan itu, beberapa orang justru akan reaktif untuk mulai meraba kantong tempat dompetnya berada memastikan bahwa dompetnya masih ada di situ, dan oleh karena itu memudahkan pencopet juga untuk mengenali dimana dompet sasarannya berada.


Kurang lebih suasana di dalam metro
Keluar di stasiun dekat hotel dengan selamat, jalanan ramai dengan orang-orang yang mencari hiburan yang sedang menuju bar, kulihat ada antrian untuk sebuah pertunjukan teater. Perut mulai terasa lapar. Pilihan untuk makan yang tersedia adalah McD, kebab yang berlogo halal, atau restoran prasmanan cina dengan menu seafood yang banyak tersebar di pelbagai kota.  

Kebab halal yang pekerjanya berbahasa Indonesia
Ketika mampir ke semacam kebab, Le Plaisir Indien, yang membuatku terkejut adalah petugasnya tiba-tiba menyapa.
“Apa kabar? mau makan apa?”
Melihat petugasnya yang berhidung mancung, berkulit legam ala India. Agak lama kurenungkan, apa mungkin India dan Indonesia bahasanya sama..
“Kari kambing dengan nasi, itu 7 euro kan?” kataku.
“Yes brother, Indonesia ya.” 
Lalu diambilkannya nasi guri, setumpuk kari kambing serta sayuran jagung wortel dan buncis dengan porsi yang sangat besar, mungkin baginya aku terlihat sangat kurus atau begitu kelaparannya sehingga harus diberikan porsi sedemikian besar.
“Mau tambahan chili?” Tanyanya kemudian. Kupikir itu semacam saus sambal yang dimaksud, ternyata yang ditambahkannya adalah beberapa cabe rawit besar utuh. Mungkin anggapannya orang Indonesia suka begitu saja makan cabe rawit.. Sut diusut, ternyata Bapak satu ini dulu pernah tinggal lama di Malaysia, dan sesekali mengunjungi Indonesia. Senang hatiku, di tempat yang jauh ini ada yang berbuat ramah mengajak ngobrol dengan bahasa Indonesia, biarpun masih terbata-bata. 


Di hotel, setelah mandi, aku duduk di lobi yang cukup nyaman untuk bermain internet. Saat itulah tiga orang pemuda yang wajahnya kelihatan seperti orang Indonesia check in di hotel. Ku perhatikan dengan seksama, selesai check in, kutegur dengan tanpa ragu bak preman tanah abang menemukan sasaran untuk dipalak.
“Woi! Indonesia ya?” tanyaku. Tepat sekali dugaanku bahwa mereka memang benar orang Indonesia.
 

Kami berkenalan. Ternyata mereka bertiga adalah mahasiswa S1 dari Australia yang baru datang dari Barcelona dan akan menginap semalam di Paris. Malangnya, salah satu dari mereka baru saja kehilangan tas kecil beserta isinya dompet dan paspor di Barcelona, mungkin kecopetan. Peristiwa pencopetan itu bisa berdampak sangat buruk bagi seorang mahasiswa, ada banyak kasus mahasiswa yang kuliah di UK, lalu kehilangan Paspor saat sedang berpergian ke Eropa, lalu ditolak saat hendak kembali ke UK. Alhasil harus di deportasi kembali ke negaranya. 

Kembali ke Paris, malam ini ada pertunjukan kembang api di dekat menara Eifel, tiga turis baru ini akan ke sana, karena letih habis berjalan seharian aku memutuskan untuk tidur saja. 

Salah satu objek wisata yang sepertinya harus dikunjungi di paris adalah istana versailles dan tamannya yang terkenal sangat indah itu, tetapi letaknya termasuk di luar kota, sehingga aku ragu apakah bisa menyempatkan diri ke sana dengan jadwal kereta ke Barcelona jam 1 siang. Maka setengah hari ini, mungkin hanya sempat mengunjungi objek yang dekat seperti katedral Notre Dame yang terkenal itu.

Bersama tiga pemuda Indonesia traveler dari Australia ini akhirnya kami berjalan menelusuri sungai Seine menuju katedral. Pedagang kaki lima menjajakan berbagai cendramata dan oleh-oleh. Kapal-kapal wisata berlalu lalang menelusuri aliran sungai, melewati bagian bawah jembatan.

Tur menelusuri sungai Seine
Tak ketinggalan, kami pun harus berfoto di atas jembatan. Entah kenapa jembatan sering sekali menjadi objek untuk berfoto di belahan bumi mana saja.
Bersama pelajar dari Ausie
Saat katedral Notredame itu kelihatan dari kejauhan kukatakan pada mereka:
“Itu katedral, tempat si orang bungkuk buruk rupa yang menolong si wanita cantik.” Ceritaku, mengutip kisah the hunchback of notredamme.
“Oh iya kah, kok gw ga tau?” sahutnya.
“Iya, itu dari cerita terkenal karangan victor hugo. Itu loh, yang ngarang cerita legendaris les miserables”
“Kok gw ga tau juga..” 
Aku hanya garuk-garuk tembok, kesulitan menjelaskan persoalan sastra kepada para mahasiswa Australia.
Di depan katedral Notredamme
Hari minggu begini, antrian begitu panjang untuk memasuki katedral. Tapi untungnya gratis, sehingga meskipun panjang, tetap saja kami rela mengantri. Bagian luar katedral dipenuhi oleh patung-patung, beberapa terlihat aneh. Di bagian atas sekali, berjejer patung-patung orang suci, mungkin itu patung 25 nabi dan rasul.

(mungkin) rasul rasul di facade katedral

Di bawahnya, terdapat pintu gerbang yang agak sedikit nyentrik. Yaitu pintu the last judgement day, pengadilan terakhir. kelihatannya yang di kiri yang amalannya cukup, sehingga wajahnya mendongak dan sumringah sedangkan yang di kanan yang amalannya sedikit, sehingga wajahnya tertunduk lesu. Kenapa jadi kebalik kanan jahat kiri baik ya?
Pintu pengadilan terakhir
Di dalamnya, ada lilin dimana pengunjung bisa menghidupkan lilinnya sambil berdoa. Seorang wanita cantik menghidupkan lilin yang dilanjutkan dengan berdoa, sambil dia berdoa, sambil kami mengamati wajahnya yang syahdu.


seorang wanita menyalakan lilin
Lalu pengunjung bisa berkeliling, melewati aneka lukisan bertema rohani yang terpajang di kiri kanan lorong. Beberapa lukisan memperlihatkan nuansa kesedihan dan horror, penyaliban yang dianggap sebagai Yesus yang berdarah-darah, banyak juga lukisan bunda maria, dsb. Sementara di tengah tengah berlangung kegiatan, entah misa atau kebaktian atau apa gitu. Dengan turis-turis berjalan melewatinya.

Melewati orang-orang yang sedang ibadah minggu
Mungkin menghabiskan sekitar satu jam lebih untuk antri mengelilingi katedral. Karena jam menunjukkan pukul 11, maka aku harus segera pulang, kembali ke hotel dan ke stasiun Gare du Lyon untuk mengejar kereta.
 

Satu hal yang kusesali adalah tidak sempat melakukan kunjungan ke univeristas Sorbonne yang terkenal itu, yang oleh Andrea Hirata dianggap sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Padahal jaraknya hanya beberapa blok saja dari stasiun metro St Michel yang dekat Notredame ini. Sungguh menyesal aku terlupa untuk berkunjung ke sana sekedar berpose di altar ilmu pengetahuan..
 

Sambil membawa bekal nasi seafood dari toko cina, aku mengejar kereta menuju Barcelona. Sayang sekali bahwa tiket kereta malam sudah habis, sehingga harus berangkat siang, sehingga tak bisa mencicipi kereta yang memiliki kompartemen berisi tempat tidur.


Menu makan siang hemat dari toko cina
Di dalam kereta, kekecewaanku karena mendapati warga paris yang tak begitu bersahabat sirna begitu duduk sebangku dengan seorang wanita cantik nan baik hati ini. Dia kelihatan lincah memimpin rombongan anak-anak SMP yang sedang akan berlibur ke Barcelona. Bersamanya ada seorang pria bertubuh kekar, bertampang sangar yang tadinya kupikir pacarnya atau suaminya. Begitu gadis ini duduk di sebelahku, menjadi terbuka kemungkinan untuk bertanya.
 

Biasanya basa-basi dimulai dengan pura-pura bertanya sesuatu yang tidak esensial. Semakin kompleks sesuatu pertanyaan itu, semakin panjang kemungkinan percakapan yang akan terjadi. Maka aku pun akan berpura-pura bertanya dengan pertanyaan sulit seperti: “Excuse me, I’d like to know whether you are aware of where to find a male cat with three colours here in Paris?” mengingat minimnya kemungkinan untuk menemukan kucing jantan belang tiga itu dari perhitungan genetis, tentu diskusi yang akan terjadi diantara kami akan alot dan berbau ilmiah. Namun pertanyaan itu tak keluar dari mulutku, berganti pertanyaan sederhana ini. 
“Can you speak English?”
“Yes, I speak english a bit.”
“Ooh.. glad to meet someone who speak English here in Paris”


Lalu jadilah kami berkenalan, brol diobrol-obrol, dia bercerita tentang dirinya dengan bahasa inggris yang lancar. Namanya Morgan, dia berasal dari sebuah kota kecil di luar Paris, dia menyelesaikan gelar sarjananya di bidang ekonomi di universitas di kotanya. Katanya biaya kuliah di Sorbonne sangat mahal, sehingga dia tidak sangguh kuliah di sana. Lalu setelah selesai kuliah dia mulai bekerja sebagai pekerja sosial, semacam NGO yang beroperasi di daerah-daerah di Afrika. Sekarang dia sedang bekerja di sebuah agen wisata di Paris yang menyediakan paket liburan berkemah di sekitaran Eropa. Dia sedang membawa rombongan anak-anak SMP liburan ke Barcelona. Dengan berat hati, akhirnya dia juga menceritakan tentang pacarnya yang sedang bekerja di Spanyol.

Saat kubilang bahwa dia sangat mirip Julie Delphy, dia bilang bahwa tidak tau siapa itu Jule Delphy. Padahal sepertinya artis satu ini, yang bermain di Before Sunset yang settingnya di Paris itu cukup terkenal. Mungkin aku yang tak benar melafalkan namanya, karena pengucapan bahasa perancis memang rada-rada.. rada ga jelas. Tapi emang mbak satu ini cukup mirip dengan si Julie Delpy, dari sisi penampakan mandirinya, kegiatannya yang bersifat sosial, dsb. 

Remaja-remaja putri yang dibawanya melirik ke arah kami saat kami melanjutkan ngobrol ngalor ngidul, beberapa diantara mereka tertawa-tawa, salah satunya yang matanya bersinar berwarna kehijauan. Kubilang pada si Morgan, bahwa mata gadis kecil itu cantik..
Gadis bermata biru campur hijau
She has a beautiful eyes, I’d like to capture the beauty.. and you, you have a beautiful smile” kataku, menerapkan gombalan ala bujang lope melayu. Gadis ABG berambut pirang itu bersama teman-temannya tertawa-tawa sambil sesekali melirik kami, matanya memang hijau kebiruan.
 

Seperti perpaduan langit di luar sana, dengan hamparan hijau perbukitan dan padang rumput di sepanjang jalan menuju Barcelona..