Sunday, June 19, 2011

cerita lalu

“Dia belum pernah secantik hari ini..”
Itulah yang selalu dikatakan oleh Ipul setiap kali seorang wanita berinisial Sari menghilang dari pandangannya. Lalu Ipul mulai bercerita, tentang perkenalannya dengan wanita itu.  

Alkisah pada suatu hari yang tak terlihat cerah, datanglah seorang anak muda yang tidak bisa dikatakan gagah, bahkan disebut orang pun baru beberapa lama ini dia dapatkan.  Sebutlah namanya Ipul, demikianlah, seorang Ipul pada waktu itu sedang akan menghadap dosen untuk penyelesaian proyek akhir, pada saat mengantri di depan ruangan yang menuju ke dosen yang tidak tersebut namanya di atas, Ipul menjumpai seorang wanita yang katanya, menurut penglihatannya, penuturannya, atau bahkan menurut detak jantungnya yang saat itu menggebu, sebagai wanita cantik jelita. 

Ipul memberanikan diri untuk memulai percakapan yang akan berujung kepada perkenalan. Untuk satu hal ini: mengajak kenalan cewek cantik tak dikenal, bukanlah sebuah kebiasaan baginya, bahkan bukan pula sesuatu yang pernah dilakukan. Terlebih lagi lelaki asli sunda ini pernah mengalami pengalaman dimasa lalunya, yang segera terperangkap ke dalam memori dan meresap ke sanubari dalam wujud sebuah trauma. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif, baiknya kita kembali ke masa yang lebih jauh lagi dari masa itu. Masa-masa itu, yang diceritakan Ipul dengan wajah menahan kepedihan. 

Waktu itu Ipul punya pacar, di Bandung. Waktu itu dia sedang bermain ke rumah pacarnya, yang tak perlu juga disebut inisialnya karena hanya akan membangkitkan luka lama di hati Ipul berhubung pacarnya itu sekarang sudah menjadi mantan pacar dari pacar barunya, dalam artian sudah menikah dengan pria lain yang tentu saja lebih ganteng dari hanya sekedar Ipul. Waktu itu, teman-teman pacarnya itu sedang pula berkunjung ke sana. Saat itulah Ipul sedang dijumpai mereka sedang duduk dengan malu-malu, diam dan penuh sopan santun. 

Saat itulah seorang wanita yang paling cantik di kelompoknya itu memulai dialog dengan Ipul.
“Eh, kamu pacarnya ini ya, ga usah sok pendiem gitu deh, mending kalo cakep!”
Entah apa yang dilakukan Ipul setelah mendengar perkataan itu, mungkin saja pergi ke sudut untuk memilin jari telunjuk sambil tertunduk dan terseguk. Entahlah, yang jelas Ipul tidak ikhlas menerima pengalaman tragis itu dan segera menjadi salah satu trauma terbesar dalam hidupnya. Trauma dengan cewe cantik. 

Kembali ke masa sebelum masa kini, dimana Ipul merubah kebiasannya mungkin sedikit banyak disebabkan oleh karena terlalu lama menanggung kepedihan menjadi seorang jomblo, dia mengajak bercakap-cakap seorang wanita inisial Sari di depan sebuah ruangan di jurusan teknik universitas terbaik se Indonesia.
“Eh, kamu mau asistensi juga ya?” Tanya Ipul memulai percakapan
“Ngga, lagi mau wawancara.” Jawab wanita itu, yang ternyata sedang mendaftar kuliah magister, yang menurut Ipul penuh kelembutan dan kebaikan hati.
“Oya, namanya siapa?” Tanya Ipul lagi yang cukup tidak relevan namun segera sampai ke tujuan.
“Sari.” Jawabnya, percakapan terus berlanjut. 

Setelah itu, entah ruh halus manalagi yang merasuki pikiran Ipul, dia penasaran untuk mengatahui nomor telepon wanita itu, namun untuk menanyakan secara langsung dia tidak berani, maka diputarlah akalnya yang tidak seberapa dan lagipula tidak sering dimanfaatkan dengan baik itu. Tentunya Ipul sudah mempertimbangkan untuk memakai kostum ayam seperti Agus di novel Jomblo lebih daripada menggunakan kostum nanas yang mobilitasnya lebih rendah itu. Akhirnya Ipul memutuskan menggunakan kostum mukanya sendiri, entah kostum apa itu, dia datang ke Mbak pengurus jurusan, yang inisialnya masih dalam pemikiran, untuk menanyakan no telepon wanita yang sedang mendaftar itu.
“Mba, ada yang dari kota xxx ngga ya yang ngedaftar, yang tadi wawancara?”
“Ada, emangnya kenapa?”
“Iya, ini bukunya ketinggalan, ada nomer teleponnya ga mba, mo saya balikin.”
“Oh ya? Harusnya sih ada, sebentar saya cari dulu.”
Harusnya sih, sebagai seorang pengurus, mba yang inisialnya masih dalam penelusuran ini, harusnya lebih kritis terhadap niat baik mahasiswa setipe Ipul ini. Pasti ada udang di balik batu, pake mau balikin buku. Mungkin mba itu perlu menginterogasi dengan pertanyaan seperti:

“Oh ya? buku apa yang ketinggalan?”
“Oh ya? Mana bukunya?”
“Oh ya? Tinggalkan saja bukunya disini, nanti saya yang mengembalikan.”
Yang mana tentu saja buku itu adalah barang imajiner, tidak pernah eksis. Akhirnya Ipul sukses mendapat no telepon wanita tokoh utama cerita ini. Singkat cerita, mereka mulai bertukas sms.
“Eh, kamu asalnya darimana?” Tanya wanita itu suatu ketika.
“Dari sunda.” Balas sms Ipul.
“Oh ya? pacarku juga orang sunda.” Jawabnya, dengan sesuatu cara yang menurut Ipul, sebuah penolakan yang sangat elegan, sangat berkelas.
“Oh ya? Darimananya?” Ipul melanjutkan percakapan basa-basi, meski patah hati.
Hingga sampai pada waktu diantara masa itu dengan masa sekarang, setelah dipertemukan di dalam kelas, setiap kali si cantik jelita itu menghilang dari pandangannya, Ipul akan selalu mengatakan kepada penulis.

“Wah, dia tak pernah secantik hari ini.”
Penulis dalam rentang waktu itu hanya sanggup mengiyakan, untuk menghibur hati Ipul. Dalam pandangan penulis, pernyataan itu artinya si wanita cantik jelita dalam pandangan Ipul ini bertambah cantik dari hari kehari dan perlu untuk diteliti berapa intensitas peningkatan kadar kecantikannya perhari, dan hingga sejauh mana peningkatan ini terus terjadi? Dimana titik baliknya?
Untuk menjawab pertanyaan yang sangat ilmiah ini, penulis mulai memperhatikan, apa iya wanita ini secantik jelita yang Ipul maksudkan. Apa iya penuh kelembutan hati yang diceritakan. Apa iya seanggun menawan seperti yang kelihatan. Penulis mengamati secara seksama, wajahnya, senyumnya, tutur katanya, tingkah lakunya, hingga sampailah pada masa kini.

Entah kenapa, sosok wanita itu seperti mulai merasuk ke alam bawah sadar penulis, hingga menjelma beberapa kali dalam mimpi. Tentu saja, ini bukanlah suatu hal yang baik. Sepertinya.. memang.. dia belum pernah secantik hari ini..

Sunday, June 12, 2011

No One Here Gets Out Alive (Biografi Jim Morrison)

Judul Buku: No One Here Gets Out Alive (Biografi Jim Morrison)
Penulis: Jerry Hopkins dan Danny Sugerman

Mungkin nama The Doors tidak terlalu banyak dikenal di tanah air, tertutupi oleh nama Kangen Band, Unju, atau Dygta. Di seantero bumi pun The Doors mungkin masih kalah popular dibandingkan musisi seangkatannya The Beatles, Rollingstones, Led Zeppelin, dsb. Meski demikian, The Doors dan Jim Morrison adalah legenda rock n roll terbaik yang pernah ada. Inilah buku yang telah lama ditunggu oleh para penikmat musik The Doors di tanah air, terutama para penggemar Jim Morrison. Buku setebal 498 halaman yang menggambarkan kehidupan Jim Morrison yang ditulis berdasarkan investigasi yang mendalam. Buku ini sudah diterbitkan sejak tahun 1980 di Amerika dan baru diterbitkan edisi terjemahannya di Indonesia sejak April 2010.

James Douglas Morrison, yang dikenal panggilan Jim, dilahirkan pada tanggal 8 Desember 1943 di Florida USA. Jim memiliki ayah seorang perwira angkatan laut yang sering bepergian, kehidupan masa kecilnya dilalui dengan sering berpindah-pindah. Jim memiliki kecerdasan tinggi, IQ nya 149 dan nilainya di sekolah melebihi rata-rata dengan usaha minimal. Buku-bukunya yang dibaca sewaktu SMA mengungkapkan banyak tentang minat pemikirannya, dia melahap Frederich Nietsche, filsuf puitis jerman yang pandangannya tentang estetika, moral, dan dualitas Apollonian-Dionysian selalu muncul dalam pembicaraan, puisi dan lagunya. Dia jatuh cita pada Alexander Agung, membaca Arthur Rimbaud, William Blake, dan berbagai penulis lain. Jim bisa memahami secara intuitif apa-apa yang diberikan oleh karya-karya yang sulit dipahami ini.

Jim lalu melanjutkan kuliah di Florida State University, lalu pindah ke UCLA California dan menamatkan diplomanya pada jurusan cinematografi. Lalu pada Tahun 1965 dia membentuk band bersama Ray Manzarek, dinamakan The doors, nama yang diambil dari judul buku Aldous Huxley yang dimulai dengan kutipan dari penyair William Blake, "If the doors of perception were cleansed everything would appear to man as it is, infinite."

Pada 1967 The Doors, merilis album perdana yang mempopulerkan Light My Fire hingga ke seluruh amerika dan tak lama kemudian menduduki puncak tangga lagu. The Doors memulai konsernya dengan tampil di Club kecil dan meraih popularitas dengan cepat. Beberapa lagu mereka yang panjang, seperti When the Music is Over, lagu yang berlangsung selama sebelas menit, ditampilkan di panggung dengan menggabungkan unsur teatrikal dan musical. Teriakan Jim yang tiba-tiba, serta puisi-puisinya yang mengisi jeda, Ray yang menyelipkan not-not organ yang menusuk, dengan Robbie Krieger yang melengkingkan jeritan gitar dengan irama blues dilengkapi dengan Jhon Densmore yang mengisi hentakan drum dengan metronomic. Semua menyatu dalam pertunjukan yang membuat penonton hanya bisa duduk terpaku, terdiam dan terpesona.

Mereka segera dikenal luas dengan jadwal konser di seantero Amerika ditambah tour ke Eropa. Jim yang kecanduan alcohol dan obat-obatan terlarang selalu memprofokasi para penontonnya, untuk membuktikan teorinya tentang psikologi massa, bahwa massa memiliki neorosis seksual sebagaimana individu, dan gangguan ini bisa didiagnosa dan disembuhkan dengan cepat dan efektif. Sekumpulan manusia sebagai satu kesatuan untuk dikendalikan.

Orang-orang memahami yang bisa mereka dapat dari konser The Doors adalah kerusuhan dan transenden. Selalu terjadi kerusuhan, penonton menyerbu ke panggung yang dijaga oleh polisi hingga terjadi bentrokan. Jim menganggap perilakunya yang memacu hal tersebut sebagai memberikan kesempatan bagi para remaja untuk bersikap kritis terhadap pihak otoritas.

Pada awalnya Jim dan Ray menciptakan The Doors sebagai sebuah karya yang cerdas, perpaduan antara teater, puisi serta musik yang eksploratif dan dimainkan dengan sungguh-sungguh. Konsep ini dimatanya semakin tenggelam di tengah audiens yang sebagian besar hanya tertarik pada sisi sensasionalitasnya. Jim makin menyadari bahwa lirik dan musiknya tidak diperhatikan, ia juga semakin lelah dengan tingginya ekspektasi penonton, dan frustasinya semakin meledak di dalam maupun diluar panggung. Hal ini lalu dimanifestasikan dengan menghina penggemarnya, untuk menolak citra dirinya sebagai sosok gila yang menuntun pada kesesatan.

Jika bukan seorang penggemar musik The Doors, buku ini termasuk buku sulit, disamping terjemahannya yang tidak begitu baik, juga karena sulit untuk mengungkapkan kepribadian Jim yang penuh kompleksitas, disatu sisi dia adalah seorang penyair yang jenius dan disisi lain pengaruh alkohol membuatnya menjadi seorang liar yang tidak megenal aturan, yang tertarik hanya pada chaos and disorder, bahkan terkadang dalam penampilannya dia merasa dirasuki oleh seorang Shaman, dukun suku Indian.  Terlepas dari semua kontroversi dan kelakuan buruk Jim Morrison, musik yang dihasilkan The Doors adalah karya yang kaya akan eksplorasi, special dan tak lekang oleh zaman.

Boleh dikatakan buku ini sejenis atau sangat mirip dengan Heavier than Heaven, biografi Kurt Cobain vokalis dan pencipta sebagian besar lagu-lagu Nirvana. Sebuah perasaan yang kita dapat ketika mendekati bagian akhir dari kedua buku ini adalah perasaan mencekam, penasaran tentang bagaimana mereka mengakhiri hidupnya. Seperti halnya Kurt Cobain, umur Jim berhenti pada usia 27 tahun, dan menjadi legenda. Berbagai spekulasi merebak tentang kematian Jim di Paris pada 3 Juli 1971, disebabkan oleh gagal jantung, overdosis heroin, kebanyakan obat tidur, bahkan ada yang menganggap bahwa Jim memalsukan kematiannya.

Setelah Jim tiada, musiknya masih terus didengarkan, jumlah penggemar setiap tahun terus bertambah di seluruh penjuru dunia. The Doors masih memproduksi beberapa album lagi dan pada Tahun 1991 kisah tentang The Doors diangkat menjadi film oleh Oliver Stone, dengan Jim Morrison diperankan oleh Val Kilmer dan pacarnya Pamela diperankan oleh Meg Ryan. Pada Tahun 2009 sebuah film dokumenter tentang The Doors yang berjudul When You’re Strange dibuat, Jhonny Depp sebagai narrator ysng menceritakan dan membacakan puisi Jim Morrison. Bisa disimpulkan bahwa kehidupan Jim sesuai dengan ekspektasinya yang terangkum dalam kumpulan puisi an American Prayer dengan judulnya The Movie.

The movie will begin in five moments
The mindless voice announced
All those unseated will await the next show.
We filed slowly, languidly into the hall
The auditorium was vast and silent
 As we seated and were darkened, the voice continued.
The program for this evening is not new
You've seen this entertainment through and through
You've seen your birth your life and death
you might recall all of the rest
Did you have a good world when you died?
Enough to base a movie on?