Tuesday, August 30, 2005

Kepergian Mereka (kasus DO ITB)

Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan (atau mungkin seperti dikejutkan) oleh berita akan keluarnya SK rektorat untuk menDO sekian banyak mahasiswa. Lalu serentak, seolah menyuarakan rasa terkejutnya, berbagai himpunan bereaksi dengan menggelar aksi solidaritas terhadap rekan-rekan yang terkena kasus DO tersebut.

Aksi diawali dengan pewacanaan dari beberapa aktivis kemahasiswaan, dari KM dan dari himpunan-himpunan, lalu diakhiri dengan perumusan pergerakan kedepannya dalam memperjuangkan rekan-rekan yang nafasnya hanya tinggal beberapa hari lagi dalam mengenyam pendidikan di ITB.
Mari kita tinjau kasus ini dari berbagai sisi.

Pertama-tama, rektorat sebagai pihak yang memegang peran dalam menjalankan program pendidikan di institusinya ini, telah menetapkan berbagai peraturan yang (sepertinya) bertujuan memperbaiki system pendidikan di ITB, dengan mengarahkan agar mahasiswa menjalankan perannya sebagai mahasiswa, untuk mengenyam pendidikan, dengan baik di kampus ini. Aturan-aturan mengenai syarat kelulusan, dari tahap TPB, Sarjana muda, atau sarjana sudah menjadi pengetahuan umum bagi para mahasiswa, baik yang baru hadir, maupun yang telah lama berkecimpung dalam dunia mahasiswa. Atau mungkin masih ada yang belum tau aturan ini? Kalau demikian halnya, bisa dijadikan sebagai kasus khusus, mahasiswa yang apatis.

Lalu, bisakah kita menyalahkan rektorat dengan aturan yang dibuatnya ini? Kalau hidup terbatas pada paradigma sekedar cari-mencari kesalahan, tentu kita pun bisa menyalahkan aturan-aturan ini. Dengan alasan, bahwa rektorat tidak memberi kebebasan pada mahasiswanya untuk bisa terlibat aktif dalam kegiatan kemahasiswaan diluar pendidikan, dan hanya mengarahkan mahasiswanya untuk mengejar akademis, sehingga akan melahirkan lulusan-lulusan dengan pengetahuan bidang keilmuan mendalam, tetapi dengan keterbatasan kemampuan berorganisasi dan komunikasi, minim soft skills.

Akan tetapi, lebih jauh dari sekedar saling menyalahkan, dengan paradigma bahwa hidup adalah sekian banyak tantangan yang menuntut kita untuk menjawabnya, kemudian membuat kita bahagia saat mengetahui bahwa kita berhasil melewati berbagai tantangan dan rintangan tersebut, tentunya hal ini bisa dianggap sebagai tantangan bagi kita.

Lalu bagaimana keadaanya saat ini? Ternyata masih ada yang belum bisa memandang aturan tersebut sebagai tantangan, untuk menunjukkan kompetensinya sebagai seorang mahasiswa yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Bukankah kita tak perlu lagi mempertanyakan kecerdasan mahasiswa ITB? Atau bisa jadi, beberapa orang belum menghayati peran perguruan tinggi ini sebagai jembatan yang akan mengantarkannya menyonsong dunia kerja nanti. Kemudian, begitu hampir memperoleh pemahaman, semua seolah terlambat, segera terpasung oleh aturan yang tak terbantahkan.

Lalu, bagaimana kita menyingkapi kasus berakhirnya masa belajar sekian banyak teman kita ini? Dalam harian kompas dimuat berita, sebanyak 190 orang mahasiswa ITB di DO. Pak Adang, menyatakan alasan, bahwa mereka belum bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di kampus ITB. Jika demikian halnya, bagaimana tindakan rektorat dalam mengusahakan agar mahasiswanya menghayati peran dan fungsi kehidupan di kampus ITB? Walaupun telah diselenggarakan pengarahan kepada mahasiswa baru mengenai strategi sukses di kampus, ternyata hasilnya masih belum maksimal. Atau mungkin semua progam itu tetap dianggap sukses, dengan sample error mendekati 10%? Entahlah. Yang jelas, kapasitas ITB sebagai perguruan tinggi terbaik perlu dipertanyakan, mengingat ketidakbecusannya dalam mendidik mahasiswa untuk bisa mengikuti proses pendidikan dengan baik.

Bahkan ternyata sistem yang ada di ITB pun tidak cukup baik untuk bisa dijadikan panutan dalam pelaksanaan berbagai kebijakan yang dirumuskan didalamnya.

Peran dosen wali sebagai wali bagi para mahasiswa dalam kehidupan kampus masih perlu dipertanyakan, dengan sekian banyak dosen wali, yang menuntut mahasiswanya untuk dengan dewasa dan aktifnya menjalani setiap tahap perkuliahan, ternyata tidak bisa berjalan optimal. Bahkan terkadang mahasiswa merasakan adanya gap yang besar antara dirinya dengan dosen wali, dengan keekslusifan yang melingkari keberadaan dosen tersebut. Berapa banyak mahasiswa dan dosen yang bertemu muka lebih dari satu kali dalam setiap semester untuk mendiskusikan berbagai hal yang terjadi di dalam kampus, dan melaporkan keberlangsungan studinya?

System yang mengatur prosedur pengambilan SP kasus pun ternyata masih berjalan parsial. Untuk kasus TPB misalnya, berbagai mahasiswa yang menjalani SP kasus untuk mata kuliah Fisika, Kimia dan Kalkulus ternyata mendapat perlakuan yang berbeda dengan perbedaan mata kuliah. Dalam kasus kimia, pihak mahasiswa dibimbing dengan pengajaran dari dosen-dosen yang berkaitan, setelah itu baru menjalani evaluasi untuk menilai perkembangan mahasiswa. Tetapi, hal ini tidak didapati pada mata kuliah fisika dan kalkulus. Mahasiswa tidak diberikan bimbingan lebih lanjut, melainkan langsung dihadapkan pada ujian untuk evaluasi. Lantas, bagaimana cara mahasiswa untuk menutupi kekurangannya dalam mata kuliah tersebut, tanpa dipandu oleh dosen yang berkompeten di bidangnya?
Tanpa perlu diuraikan seluruhnya, ternyata dalam sistem sebuah institusi yang sebesar ITB pun, bisa kita dapati banyak kekurangan.

Lantas bagaimana tindakan himpunan-himpunan dalam memperjuangkan anggotanya yang mengalami permasalahan dalam akademis? Beberapa himpunan telah meyingkapinya dengan aktif, mendata teman-teman yang bermasalah, memberikan penyadaran, mensosialisasikan aturan-aturan dan tahapan-tahapan yang berlaku dalam kasus akademis, membantu dengan memberikan tutorial, dan membantu memperjuangkan dengan lobi-lobi ke berbagai pihak yang terkait. Jika semua ini belum dijalankan, tidak layak bagi sebuah himpunan untuk memprotes rektorat atas kasus yang dialami rekan-rekannya.

Terlebih dari itu, bagian terpenting adalah, kita semua sepatutnya kembali mengevaluasi diri menyangkut keberadaan kita di kampus ini. Sudahkah keberadaan kita dalam sistem pendidikan di kampus berjalan dengan semestinya?

Sebagai mahasiswa misalnya, seorang agung saptadinata, HMS2001 pernah memberikan kuliah singkat. Bahwa mahasiswa itu dibagi menjadi empat macam:
1. Sandera, yakni mahasiswa yang merasakan keberadaannya di ruang kuliah adalah sebuah keterpaksaan, tanpa ada keinginan dari dalam dirinya untuk belajar.
2. Teroris, yaitu mahasiswa yang keberadaannya di ruang kuliah adalah sebagai pengganggu bagi mahasiswa lain yang hendak belajar.
3. Turis, adalah mahasiswa yang ke ruang kuliah demi mendapatkan kesenangan dan hiburan semata, dengan bermain dan bercanda.
4. Pembelajar (learner), merupakan mahasiswa yang telah menyadari perannya dan ingin mendapatkan manfaat sebanyak-banyaknya dari dosen dan istitusi dengan menggunakan masa perkuliahan yang ada dengan sebaik-baiknya.
Meskipun teori ini belum dapat dipastikan kebenarannya dalam lingkup kampus ITB, tetapi bisa dijadikan sebagai pembelajaran untuk kita, agar mulai melihat kembali keberadaan kita di kampus ini sebagai sebuah kesempatan yang seharusnya bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk bidang keilmuan yang kita dalami dan keorganisasian yang kita geluti.

Dalam hal ini, sebagai seorang mahasiswa dewasa, tentunya kita bisa memanajemen diri untuk memanfaatkan kesempatan dalam bidang keilmuan dan organisasi dengan baik. Sehingga bisa mengambil manfaat dari keduanya dengan optimal. Lantas, bagaimana caranya membagi waktu untuk keduanya sehingga bisa berjalan dengan sinergis? seorang Anwar, HMS’99 pernah mengemukakan kiat-kita yang dimilikinya: “Saat berada dalam kegiatan organisasi, lupakan perkuliahan. Saat berada dalam ruang kuliah, jangan bawa-bawa organisasi.” Yang bisa diterjemahkan dengan memusatkan perhatian pada bidang yang sedang kita jalani, berkonsentrasi. Sehingga kehadiran organisasi tidak mengganggu perkuliahan, dan beban perkuliahan tidak menghalangi untuk berorganisasi. Meskipun terlihat begitu ideal, tetapi agak sulit untuk menerapkannya, tapi sebaiknya kita semua bergerak pada arah ini, untuk sebuah perbaikan.

Pada akhirnya, kita bisa mempertanyakan tanggapan kita terhadap kasus DO yang terjadi. Akankah kita akan merespon dengan proaktif, atau reaktif??

Spiritual kembali

Beberapa hari, minggu dan bulan belakangan ini, aku kembali dihadapkan pada perenungan. Seperti sebuah ungkapan, untuk dapat memanfaatkan hidup dengan sebaik-baiknya, kita harus melakukan perenungan yang sedalam-dalamnya tentang kehidupan. Dan, kali ini aku termenung, merenungkan tentang apa arti sebuah agama bagiku dalam kehidupan ini.

Ya, apa artinya semua rutinitas dan keseharianku dengan agama yang kupeluk. Agama islam. Bukan, bukan karena keraguan akan kebenaran ajarannya. Melainkan merenungkan kembali bagaimana agama itu menjadi pakaian bagiku, dan bagi kebanyakan orang, begitu banyak orang yang beragama sama, agama islam. Apakah Cuma berakhir sebatas pakaian bagi kami?

Suatu hari, saat bercengkerama dengan alam di puncak tangkuban perahu aku diingatkan oleh seorang pedagang sekaligus pemandu, dalam pembicaraan kita mengenai kehidupan beragama.

“Di dunia ini sekarang kita selalu lebih mementingkan kehidupan dunia dengan materinya daripada kehidupan beragama.“ Loh kok dia bisa berpikiran seperti itu, pikirku.
“Bukannya semestinya kita harus menyeimbangkan antara kehidupan beragama dengan kehidupan dunia pak.” Kataku.
“Kalau bicara soal keseimbangan, kita tidak akan sanggup. Coba lihat, berapa banyak waktu kita untuk mencari materi dan dunia, bandingkan dengan waktu untuk beribadah dan mengejar kehidupan akhirat! Tidak akan bisa seimbang!, Kalau mau seimbang, saat adzan datangi masjid dan langsung sholat berjamaah! Tinggalkan kesibukan lain!!” Jleb!!! Langsung menusuk ke sasaran. Meski pembelaan dalam hati menyatakan bahwa bukankah kita semua ada pada usaha yang mengarah pada hal itu, keseimbangan. Tapi belum ada bukti konkret yang menguatkannya.

Tak bisa dipungkiri, bahwa pandangannya benar. Meski banyak pandangan yang berbeda denganku yang merasa punya kehidupan terpelajar dibandingkan dengan dia yang punya keseharian di pegunungan. Tapi banyak pelajaran bisa didapat dari pemikirannya.

Tentang agama islam sebagai sesuatu yang diperoleh dari keturunan. Kalau diibaratkan sebagai sepatu, sebuah sepatu yang diperoleh dengan susah payah, oleh seseorang, kemudian diwariskan pada keturunannya. Akankah keturunannya menghargainya sebagaimana leluhurnya menghargainya?? Kita akan bisa lebih menghargai sesutau kalau kita berjuang untuk mendapatkannya. Dan konsep agama sebagai hasil perolehan keturunan bisa saja menghilangkan penghargaan terhadapnya.

Lantas apa yang bisa kita lakukan? Salah satu caranya adalah dengan berusaha memperjuangkan keislaman yang kita punya menuju pada taraf yang lebih maju. Tidak terbatas pada pakaian luar dan identitas pada KTP. Itulah perjuangan yang layak bagi penerus agama ini.

Aku dan lingkunganku, islam dan lingkungannya. Berapa banyak orang yang mengakui keesaan Allah SWT, Kenabian Muhammad SAW, dan kebenaran ajaran yang dibawanya, namun tak membekas pada perilaku sehari-hari.
Sholat yang hanya lima kali seharipun terkadang dilalaikan, belum lagi mencapai taraf apakah sholat ini sempurna, khusuk atau tidak. Belum lagi berbagai larangan agama yang ketika berada dalam sebuah komunitas, tak lagi menjadi sebuah larangan. Ketika terjadi usaha kearah perbaikan, selalu ada benturan-benturan dengan budaya berbeda yang hampir mengakar. Bisakan budaya islam ditegakkan di Negara ini?? Kalau jawabannya bisa,bagaimana??

Bagaimana caranya agar setiap orang islam memahami keberadaan agamanya tidak hanya sebatas penutup luar, melainkan merasuk sampai ke hati sanubari. Sehingga setiap ajaran moral yang ada pada agama tidak hanya berakhir sebatas wacana. Sehingga bisa terbukti bahwa agama ini merupakan ajaran moral yang paling universal.

Bagaimana di Negara ini korupsi bisa menjadi budaya, kriminalitas menjadi bagian dari keseharian, dan dunia menjadi tujuan. Mungkin kelihatan klasik, seperti pada ceramah agama maupun pengajian. Tetapi tetap saja, pelaku kejahatan, pencurian, bahkan pemerkosaan yang dilakukan oleh orang dengan pakaian islam, bahkan atribut haji yang disandangnya membuat miris hati ini. Apa masalahnya, tidakkah semua orang memahami ajaran agamanya? Atau kebanyakan cuma berada pada kulit terluar dan tidak bisa mencapai bagian terdalam bagi sebuah pemahaman religius? Kalau demikian halnya, adakah usaha setiap orang untuk memperdalam pengetahuannya mengenai agama??

Thursday, August 25, 2005

Penguasa Negeri

Aku berharap segera bisa menemukan potret diri dengan semua pencapaian. Mungkin ketenangan, kearifan, bijaksana, kedewasaan, intelektual, pemikiran, atau sebagai pejuang moral yang membawa segenap pencerahan.

Akan tetapi, masih jauh sosok itu diujung jalan. Sementara di setiap langkah yang ada terdapat aral yang merintangi, yang bahkan bersumber dari dalam diri. Bisakah berbicara tentang kejujuran, jika masih berdusta dengan hati nurani? Atau bolehkah bicara tentang keadilan, jika masih selalu dikuasai ambisi? Mungkinkah dibenarkan berbicara tentang agama, semantara belum memahami kedalaman ajaranya berikut segenap pengamalannya?

ya, tubuhku dengan jiwa sebagai penguasanya.

Bahkan meski selalu melengkapkan setiap ruang dengan aksesoris kebaikan, masih tetap tersisa lukisan buruk. Yang meski kemudian ditutupi, tetap akan membekas, lalu kembali beranak pinak.

Terkadang aku merasa lelah, tidak berkesudahan semua perjuangan ini. Berjuang melawan setiap musuh kebenaran, dan lalu dikalahkan oleh lawan yang berasal dari dalam diri sendiri.

Lalu, bagaimana caranya agar aku selalu bisa menang?

Meski mempersenjatai diri dengan idealisme yang semakin terasah, tetapi tetap selalu terjadi pertempuran antara hati nurani dan akal manusia yang terkontaminasi bisikan setan. Kemudian, siapakah yang akan menjadi penguasa dari segenap tubuh dan jiwa? Semoga kearifan yang bermahkotakan budi pekerti lah yang akan bertahta....

Thursday, August 11, 2005

Pasca Soundrenalin



Sebenarnya agak2 miris juga, saya melaporkan hasil pasca soundrenalin ini...

setelah sekian banyak band cadas berlalu, tanpa ada yang bisa kita nikmati. Saya dan Uun, yang dalam hal ini, mengenakan seragam ekspresi jiwa cadas dan anti kemapanan, dibuai dengan lagu2 maliq de essensial...

wajah yang garang menuntut untuk menjaga image, dan menjaga idealisme musik cadas, dari kontaminasi musik Rnb, pop, dsb yang sedang marak. Tapi apa daya, tubuh menahan bergoyang, tapi jempol kaki tetap tak tertahankan menikmati setiap nada, dan menari seiring additional vocal bercelana biru yang meliuk dengan indah...

Lalu ada Pas Band
Feel the rhytm, feel the music, feeel the soul. Itulah yang terjadi. Menghayati musik kedalam bentuk ekspresi teriakan dan koreografi. Mengalir bersama alunan nada, bersatu dengan peluh sejuta umat, dan mencapai kepuasaan dari pelepasan beban.

Lalu ada Peterpan...
Makhluk dengan inisial raja tanah/punk belajar/haseup ini, tanpa memperdulikan aliran cadas yang biasa dianutnya, sebagai penggemar puppen, malah bergoyang2 kekiri, kekanan, kedepan, kebelakang mengikuti suara ariel. Hingga seorang wanita (bersama cowonya) yang juga asik bergoyang, berhenti, dan menatap iba kepadanya....
"Orang ini ga salah nih?? jadi penggemar peter pan???"

Apa boleh buat???
Saya tak bisa berbuat banyak untuk menghindari opini publik terhadap kejanggalan adegan ini... Ternyata wajah benar-benar tak bisa dijadikan patokan untuk menilai isi hati...

Thursday, August 04, 2005

Perubahan Nama

Ternyata nama Yows:Sebuah perjalanan, cukup mewakili semua tulisan yang ada pada blog ini, tapi ternyata dirasa agak membatasi penulisan, sehingga terkadang ada judul yang terasa begitu dipaksakan, meski tidak pada esensi sebenarnya...
Dengan ini Yows mempersembahkan sebuah nama baru:
Yows, The Legendary Of...

YEAAAAH!!!!

Menuju sebuah jati diri, seorang Yows pada masa sekarang bukanlah Yows, pada masa lalu bukanlah Yows, pada masa depan mungkin akan menjadi Yows yang sesungguhnya, karena kita semua dalam perjalanan melalui waktu yang terus berdetak dengan putaran konstan. Dan semua titik itu berkumpul bersama menuju pada sebentuk ideal yang dituju dalam pengembaraan, kalau tidak bisa dikatakan sempurna. Ideal adalah kata yang cukup mewakili.

Untuk memanfaatkan hidup dengan sebaik-baiknya, kita harus melakukan perenungan2 sedalam-dalamnya. Dan itulah yang menjadi inti dari persembahan blog ini,perenungan2 dalam mencari makna dan manfaat dari kehidupan. Apa arti semua hal yang terjadi, dan apa manfaatnya bagi dunia, kalau tidak bisa bicara dunia, mungkin bisa diperkecil dengan lingkungan keluarga, masyrakat, propinsi atau indonesia, sebesar-besar bagi kemakmuran masyarakat...(kok kaya undang-ungang gini ya...)
Yah, demikianlah persembahan kita di hari yang cerah ini.
Jumpa lagi dilain kesempatan.....