Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan (atau mungkin seperti dikejutkan) oleh berita akan keluarnya SK rektorat untuk menDO sekian banyak mahasiswa. Lalu serentak, seolah menyuarakan rasa terkejutnya, berbagai himpunan bereaksi dengan menggelar aksi solidaritas terhadap rekan-rekan yang terkena kasus DO tersebut.
Aksi diawali dengan pewacanaan dari beberapa aktivis kemahasiswaan, dari KM dan dari himpunan-himpunan, lalu diakhiri dengan perumusan pergerakan kedepannya dalam memperjuangkan rekan-rekan yang nafasnya hanya tinggal beberapa hari lagi dalam mengenyam pendidikan di ITB.
Mari kita tinjau kasus ini dari berbagai sisi.
Pertama-tama, rektorat sebagai pihak yang memegang peran dalam menjalankan program pendidikan di institusinya ini, telah menetapkan berbagai peraturan yang (sepertinya) bertujuan memperbaiki system pendidikan di ITB, dengan mengarahkan agar mahasiswa menjalankan perannya sebagai mahasiswa, untuk mengenyam pendidikan, dengan baik di kampus ini. Aturan-aturan mengenai syarat kelulusan, dari tahap TPB, Sarjana muda, atau sarjana sudah menjadi pengetahuan umum bagi para mahasiswa, baik yang baru hadir, maupun yang telah lama berkecimpung dalam dunia mahasiswa. Atau mungkin masih ada yang belum tau aturan ini? Kalau demikian halnya, bisa dijadikan sebagai kasus khusus, mahasiswa yang apatis.
Lalu, bisakah kita menyalahkan rektorat dengan aturan yang dibuatnya ini? Kalau hidup terbatas pada paradigma sekedar cari-mencari kesalahan, tentu kita pun bisa menyalahkan aturan-aturan ini. Dengan alasan, bahwa rektorat tidak memberi kebebasan pada mahasiswanya untuk bisa terlibat aktif dalam kegiatan kemahasiswaan diluar pendidikan, dan hanya mengarahkan mahasiswanya untuk mengejar akademis, sehingga akan melahirkan lulusan-lulusan dengan pengetahuan bidang keilmuan mendalam, tetapi dengan keterbatasan kemampuan berorganisasi dan komunikasi, minim soft skills.
Akan tetapi, lebih jauh dari sekedar saling menyalahkan, dengan paradigma bahwa hidup adalah sekian banyak tantangan yang menuntut kita untuk menjawabnya, kemudian membuat kita bahagia saat mengetahui bahwa kita berhasil melewati berbagai tantangan dan rintangan tersebut, tentunya hal ini bisa dianggap sebagai tantangan bagi kita.
Lalu bagaimana keadaanya saat ini? Ternyata masih ada yang belum bisa memandang aturan tersebut sebagai tantangan, untuk menunjukkan kompetensinya sebagai seorang mahasiswa yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Bukankah kita tak perlu lagi mempertanyakan kecerdasan mahasiswa ITB? Atau bisa jadi, beberapa orang belum menghayati peran perguruan tinggi ini sebagai jembatan yang akan mengantarkannya menyonsong dunia kerja nanti. Kemudian, begitu hampir memperoleh pemahaman, semua seolah terlambat, segera terpasung oleh aturan yang tak terbantahkan.
Lalu, bagaimana kita menyingkapi kasus berakhirnya masa belajar sekian banyak teman kita ini? Dalam harian kompas dimuat berita, sebanyak 190 orang mahasiswa ITB di DO. Pak Adang, menyatakan alasan, bahwa mereka belum bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di kampus ITB. Jika demikian halnya, bagaimana tindakan rektorat dalam mengusahakan agar mahasiswanya menghayati peran dan fungsi kehidupan di kampus ITB? Walaupun telah diselenggarakan pengarahan kepada mahasiswa baru mengenai strategi sukses di kampus, ternyata hasilnya masih belum maksimal. Atau mungkin semua progam itu tetap dianggap sukses, dengan sample error mendekati 10%? Entahlah. Yang jelas, kapasitas ITB sebagai perguruan tinggi terbaik perlu dipertanyakan, mengingat ketidakbecusannya dalam mendidik mahasiswa untuk bisa mengikuti proses pendidikan dengan baik.
Bahkan ternyata sistem yang ada di ITB pun tidak cukup baik untuk bisa dijadikan panutan dalam pelaksanaan berbagai kebijakan yang dirumuskan didalamnya.
Peran dosen wali sebagai wali bagi para mahasiswa dalam kehidupan kampus masih perlu dipertanyakan, dengan sekian banyak dosen wali, yang menuntut mahasiswanya untuk dengan dewasa dan aktifnya menjalani setiap tahap perkuliahan, ternyata tidak bisa berjalan optimal. Bahkan terkadang mahasiswa merasakan adanya gap yang besar antara dirinya dengan dosen wali, dengan keekslusifan yang melingkari keberadaan dosen tersebut. Berapa banyak mahasiswa dan dosen yang bertemu muka lebih dari satu kali dalam setiap semester untuk mendiskusikan berbagai hal yang terjadi di dalam kampus, dan melaporkan keberlangsungan studinya?
System yang mengatur prosedur pengambilan SP kasus pun ternyata masih berjalan parsial. Untuk kasus TPB misalnya, berbagai mahasiswa yang menjalani SP kasus untuk mata kuliah Fisika, Kimia dan Kalkulus ternyata mendapat perlakuan yang berbeda dengan perbedaan mata kuliah. Dalam kasus kimia, pihak mahasiswa dibimbing dengan pengajaran dari dosen-dosen yang berkaitan, setelah itu baru menjalani evaluasi untuk menilai perkembangan mahasiswa. Tetapi, hal ini tidak didapati pada mata kuliah fisika dan kalkulus. Mahasiswa tidak diberikan bimbingan lebih lanjut, melainkan langsung dihadapkan pada ujian untuk evaluasi. Lantas, bagaimana cara mahasiswa untuk menutupi kekurangannya dalam mata kuliah tersebut, tanpa dipandu oleh dosen yang berkompeten di bidangnya?
Tanpa perlu diuraikan seluruhnya, ternyata dalam sistem sebuah institusi yang sebesar ITB pun, bisa kita dapati banyak kekurangan.
Lantas bagaimana tindakan himpunan-himpunan dalam memperjuangkan anggotanya yang mengalami permasalahan dalam akademis? Beberapa himpunan telah meyingkapinya dengan aktif, mendata teman-teman yang bermasalah, memberikan penyadaran, mensosialisasikan aturan-aturan dan tahapan-tahapan yang berlaku dalam kasus akademis, membantu dengan memberikan tutorial, dan membantu memperjuangkan dengan lobi-lobi ke berbagai pihak yang terkait. Jika semua ini belum dijalankan, tidak layak bagi sebuah himpunan untuk memprotes rektorat atas kasus yang dialami rekan-rekannya.
Terlebih dari itu, bagian terpenting adalah, kita semua sepatutnya kembali mengevaluasi diri menyangkut keberadaan kita di kampus ini. Sudahkah keberadaan kita dalam sistem pendidikan di kampus berjalan dengan semestinya?
Sebagai mahasiswa misalnya, seorang agung saptadinata, HMS2001 pernah memberikan kuliah singkat. Bahwa mahasiswa itu dibagi menjadi empat macam:
1. Sandera, yakni mahasiswa yang merasakan keberadaannya di ruang kuliah adalah sebuah keterpaksaan, tanpa ada keinginan dari dalam dirinya untuk belajar.
2. Teroris, yaitu mahasiswa yang keberadaannya di ruang kuliah adalah sebagai pengganggu bagi mahasiswa lain yang hendak belajar.
3. Turis, adalah mahasiswa yang ke ruang kuliah demi mendapatkan kesenangan dan hiburan semata, dengan bermain dan bercanda.
4. Pembelajar (learner), merupakan mahasiswa yang telah menyadari perannya dan ingin mendapatkan manfaat sebanyak-banyaknya dari dosen dan istitusi dengan menggunakan masa perkuliahan yang ada dengan sebaik-baiknya.
Meskipun teori ini belum dapat dipastikan kebenarannya dalam lingkup kampus ITB, tetapi bisa dijadikan sebagai pembelajaran untuk kita, agar mulai melihat kembali keberadaan kita di kampus ini sebagai sebuah kesempatan yang seharusnya bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk bidang keilmuan yang kita dalami dan keorganisasian yang kita geluti.
Dalam hal ini, sebagai seorang mahasiswa dewasa, tentunya kita bisa memanajemen diri untuk memanfaatkan kesempatan dalam bidang keilmuan dan organisasi dengan baik. Sehingga bisa mengambil manfaat dari keduanya dengan optimal. Lantas, bagaimana caranya membagi waktu untuk keduanya sehingga bisa berjalan dengan sinergis? seorang Anwar, HMS’99 pernah mengemukakan kiat-kita yang dimilikinya: “Saat berada dalam kegiatan organisasi, lupakan perkuliahan. Saat berada dalam ruang kuliah, jangan bawa-bawa organisasi.” Yang bisa diterjemahkan dengan memusatkan perhatian pada bidang yang sedang kita jalani, berkonsentrasi. Sehingga kehadiran organisasi tidak mengganggu perkuliahan, dan beban perkuliahan tidak menghalangi untuk berorganisasi. Meskipun terlihat begitu ideal, tetapi agak sulit untuk menerapkannya, tapi sebaiknya kita semua bergerak pada arah ini, untuk sebuah perbaikan.
Pada akhirnya, kita bisa mempertanyakan tanggapan kita terhadap kasus DO yang terjadi. Akankah kita akan merespon dengan proaktif, atau reaktif??
No comments:
Post a Comment