Sunday, March 22, 2015

kunjungan ke masa dulu


Adek, letakkan dulu itu, masih terlalu pagi untuk memegang gagang sapu, mari kita berjalan-jalan di minggu pagi ini, udara di luar masih sejuk segar, embun pun masih memberai di rerumputan dan dedaunan, tak layak kita biarkan berlalu saja. Mari kita berjalan-jalan pagi, menengok peradaban, melihat dan menelusuri perkampungan di dekat rumah abang.

Adek, daerah ini dulu masih hijau dan jarang penduduknya, sekarang hijaunya semakin berkurang, merah, putih, abu, kuning, coklat penggantinya berupa rumah-rumah yang semakin tak kepalang berkembang. Itu salak anjing yang terdengar mengancam dari salah satunya, jangan adek takut, jangan adek berlari, karena nanti abang jadi takut, dan jadi berlari juga. Biarkan saja anjing itu yang berlari mengejar kita, biarkan menggigit jika dia mau, nanti kita balas dengan yang serupa..

Adek, jalan-jalan ini yang biasa abang lalui sewaktu kecil, saat selesai sholat subuh dan belajar kitab suci dari Pak Haji. Melalui jalan-jalan ini biasanya kami bercanda tawa sampai dijemput matahari.  

Di dekat tanjakan itu. Itulah rumah abang dulu, yang abang tempati sejak lahir sampai masa remaja. Tumbuh berkembang abang di situ, seperti tumbuh berkembangnya pohon-pohon yang ramai menaungi halaman. Rumah itu adek, pekarangannya ada entah berapa luasnya, mungkin lima hektar ukurannya orang dewasa. Tetapi bagi kami selayaknya dari satu dunia itulah luasnya, luas tak berperi, di luar pekarangan itu adalah dunia yang selalu asing bagi kami.

Di depan sini, dekat dengan pintu gerbang diantara pagar, adalah pohon mangga yang sering lebat buahnya, tetapi agak asam rasanya. Ada bermacam pohon selain itu adek, pohon petai cina di dekat pagar itu, ada juga pohon jengkol yang besar rindang serta berbuah banyak diwaktu musimnya, di dekatnya ada lagi pohon mangga, ada juga dua batang pohon rambutan rapia yang bulunya sedikit tetapi gulanya teramat banyak, di sebelahnya ada pohon jambu air yang sangat manis, tempat biasa abang bergelantungan mencari ulat daun. Sekali dua juga menerapkan praktek mencangkok pohon, bisa tumbuh akar diantara batang pohon itu, ajaib. Di sebelahnya lagi ada pohon nangka belanda, yang berbuah sepanjang tahun, yang tak pernah abang makan daunnya walaupun katanya obat segala rupa. Dan terhampar di halaman belakang itu adek, itu pohon pisang yang beraneka rupa jenisnya, padahal sama-sama pisang, tetapi ada yang besar, kecil, petak.

Di pohon itu sewaktu-waktu abang mengikatkan sapi-sapi dan membiarkannya merumput sendiri. Pernah abang tunggui sapi itu sambil bermain layangan, atau sambil meniup suling bambo yang dibuat sendiri, tetapi dianya tak peduli, hanya ketika abang coba tunggangi, dia jadi lari. Memang dia jinak-jinak sapi, sehingganya pada suatu malam yang tak sampai pagi habis mereka dibawa oleh pencuri.

Tapi tidak apa-apa adek, selain sapi itu masih ada kambing-kambing yang gembira, mereka selalu mengembik setiap kali makanan terlambat datang. Mengikuti jejak para nabi yang sering berawal dari penggembala, abanglah terpaksa masuk ke belukar dan hutan di belakang  sana, guna mencari makanan berupa ramban, daun pule muda, daun nangka, daun ubi dan entah daun apalagi. Susah selera kambing ini adek, tak mau diberi daun pohon jengkol yang banyak berjatuhan di halaman.

Sambil mencari makan kambing di belukar dan hutan, abang tak akan lupa memanjat pohon cempunek yang buahnya harum mengundang selera. Itu adalah versi mungil daripada cempedak, sedangkan cempedak adalah versi mungil dari nangka. Terbayang kan adek bentuknya? Sampai ke ujung-ujung pohonnya biasa abang berpesta mengalahkan codot dan sebangsanya. Tak ada yang punya pohon itu adek, pastilah sengaja diciptakan Tuhan untuk penggembala yang kelaparan di hutan.

Hutan di belakang rumah itu dibelah oleh sungai kecil yang biasanya jernih dan berarus cukup deras, tempat biasa abang istirahat di sana, sambil menghitung jumlah cingkuk atau beruk yang bergelantungan di pohon besar, beruk itu yang lebih besar dan berwarna hitam adek. Sering juga bersama teman-teman bermain di sungai itu, mandi, menyelam, mengejar ikan, jika tidak dapat ikan itu, maka kami mengumpannya dengan cacing. Cacing dimakan ikan, ikannya kami makan, tidak langsung kami makan adek, tetapi kami bakar dulu dengan api dan kayu seadanya, ditaburi garam. Jangan tanya rasanya, karena tidak enak yang memuaskan. Memuaskan karena peradaban manusia jaman dulu yang berburu dan meramu sudah bisa kami lakukan  sendiri, sejak kecil itu.

Di hutan itu adek, ada pohon besar yang usianya sudah ratusan tahun, tak perlu dilihat kambiumnya untuk mengecek umur pohon, lihat saja besar dan tingginya yang menjulang, namanya pohon Kemang. Jangan didekati, karena itu ada penunggunya, entah itu semut, burung atau apa. Di bawah-bawahnya pun ada beberapa kuburan yang kalau kita ke sana akan terkenang sampai jadi mimpi-mimpi seram waktu malam.

Lebih baik cepat pulang dari hutan adek, keluar dari sana menuju rumah abang harus menanjak lewat jalan setapak, di kiri kanannya ada ladang dengan aneka tanaman, tanaman apa saja pernah tumbuh di sana kecuali mungkin padi. Ada kacang panjang, kacang pendek, kacang sedang, kedelai, ada timun, pare, terong, semangka, ada ubi kayu, ubi rambat, bengkoang, dan ubi-ubian lainnya.

Dalam setahun entah berapa kali panennya aneka tanaman itu, berlebihan untuk dimakan sendiri  atau dibagikan ke tetangga, sehingga bisa dibawa ibu ke pasar. Semua Bapak yang menanam sepulang kerja dari kantornya, dengan bantuan abang tentunya, meski cuma sedikit. Pernah abang membantu membawakan cangkul, dan mengayunkannya sekali dua untuk membersihkan pematang dari rerumputan, tetapi langsung abang pamit dengan alasan hendak pergi madrasah. Memegang cangkul itu adek, adalah kerjaan orang dewasa, abang waktu itu hanya harus memegang pena, dan memastikan di rapor tintanya hitam semua dan juga bahwa saat terima rapor nama dipanggil ke depan, Bapak sudah cukup akan senang.

Ladang itu dulu kalau pagi sering penuh dengan jejak-jejak babi hutan, entah apa yang mereka cari. Sehingga kami tugaskan Bleki untuk menjaganya. Bleki itu anjing adek, warnanya putih, tetapi dia bilang dia mau dipanggil bleki, menggonggong setiap namanya dipanggil dan mengibaskan ekornya sambil menjulurkan kepala berharap dielus kepalanya. Setiap dia menjilat kaki atau tangan kami, setiap itu juga dia kena marah, karena bekasnya harus dicuci tujuh kali pakai pasir. Itu sebelum Bleki kami temukan tak sadarkan diri, setelah diracun oleh tersangka komplotan maling sapi.

Pada masa jayanya, setiap hari Bleki kami biarkan berkeliling halaman dan berpetualang menjelajahi dunianya sendiri, menggoda kambing, sapi, kucing, tupai, burung puyuh, tikus tanah, ular, atau kalau beruntung, sewaktu-waktu akan bertemu kucing hutan, kami menyebutnya macan akar, satu keluarga kecil yang  bermukim di semak dan gerakannya lincah tak kepalang.  

Itu adek, rumahnya itu sekarang sudah tak ada lagi, sekarang berganti jadi sebuah sekolahan, halamannya tak lagi penuh tanaman, pohon-pohonnya sudah jarang terlihat berbuah, pohon jengkol tempat dulu abang pernah terjatuh sampai pingsan juga sudah tumpas, sampai akarnya pun tak tersisa lagi. Tapi semua itu masih ada adek, untungnya semua masih tersisa dalam ingatan.  

Abang ceritakan kepada adek, sebelum semakin menghilang, berganti dengan ingatan abang tentang senyum adek yang menawan, yang membuat abang luluh dan bahagia tak kepalang. Apa namanya perasaan ini adek? Perasaan abang pada adek tersayang, yang belum abang rasakan dari waktu kecil abang tinggal di rumah itu.

Sudah adek, mari kita cari jalan pulang. Masih ada hari untuk dikejar, diantaranya ada membangun rumah kita sendiri, dengan pekarangan yang lebar, rerumputan dan aneka pepohonan berbuah banyak yang anak-anak akan suka memanjatnya meski dilarang ibunya. Dan di situ adek, akan ada gagang sapu yang mungkin adek ingin pegang..