Friday, December 20, 2013

pulang

Dialog imajiner yang sedang terjadi di benak. 

Adek: "abang, adek pulang, adek pulang ke hati abang."
Abang: "adek, sudah lama abang menunggu adek pulang, di depan pintu, di tengah halaman, abang tunggu adek pulang.."

Sunday, December 15, 2013

pak tani


Kereta bergerak menuju jakarta pagi ini. Suaranya riuh membelah udara yang tadinya sunyi lengang. Dari balik jendela, gambar bergerak ibarat film yang diputar, mulai mengisi bingkai jendela yang tertutup kaca.

Di ujung sana ada gunung yang menjulang angkuh diaraki awan yang bergulung, ditingkahi kelabu latar horizon. Di depannya hamparan menghijau sawah, sebagian sawah terlihat kosong, sebagian lagi sedang di tanami, ada petani yang membajak, ada yang menanam, ada yang kerja sendirian, ada yang kerja berkelompok. Ada pekerjaan yang memang lebih baik dikerjakan bergotong-royong diantara mereka.

Petani itu mungkin pekerjaannya rutin setiap hari, pagi pergi ke sawah, menjelang siang pulang. Petani itu mungkin penghasilannya hanya tergantung dari hasil sawahnya, apabila sawahnya luas berhektar mungkin penghasilannya besar, apabila sawahnya sepetak kecil, apalagi jika hanya sebagai petani penggarap, mungkin penghasilannya sulit untuk memenuhi asupan gizi sehari-hari.

Juga petani itu rejekinya sangat tergantung pada hujan, apabila hujan turun terlalu lebat bisa jadi tanaman padinya malah rusak, jika hujan tidak turun sepanjang tahun sawahnya bahkan tidak bisa ditanami. Seperti sawah-sawah dan perkebunan di gunung kidul yang datarannya tinggi, yang hanya mengandalkan hujan, sering terlihat tanahnya pecah-pecah tetumbuhannya menguning hilang kesuburan. Sawah yang didataran rendah masih memungkinkan untuk mendapat air irigasi dari waduk-waduk buatan.

Disanalah peran pemerintah yang harus menyediakan waduk dan saluran irigasi itu yang berfungsi menjaga debit air yang optimal untuk mengairi sawah. Tapi tak terbatas itu, pemerintah juga harus menyediakan sarana yang memudahkan petani bekerja, mungkin itu pupuk, mungkin itu peralatan, mungkin itu pembibitan rekayasa genetika yang unggul, mungkin itu sarana perasarana transportasi yang memadai untuk mengangkut hasil bumi, mungkin itu sistem penjualan yang tidak merugikan.

Setelah panen, mungkin petani masih harus dirisaukan oleh penjualan hasil taninya, terkadang harganya tinggi, terkadang harganya rendah sehingga terkadang hasil sawah lebih baik dijadikan sebagai bahan pakan ternak. Hasil panen biasanya lebih mungkin untuk berkurang daripada bertambah, karena tanah yang diolah tidak berubah, hanya berkurang kadar kesuburannya.

Bahkan jumlah lahan pertanian semakin lama ini semakin sedikit, selain profesi ini yang semakin tidak menarik. Petani mungkin tidak bisa menjadi kaya raya dengan hasil pertaniannya yang rutin itu, sehingga tidak semua anak petani ingin meneruskan usaha keluarganya. Ada yang lebih memilih belajar, atau pergi ke kota besar untuk mengadu nasib di sana. Ada yang belajarnya ilmu pertanian dan lebih memilih bekerja di kota sebagai pegawai bank. Gemerlap kehidupan kota yang sering ditayangkan di televisi tentu menggoda hasrat anak petani untuk ikut menyambangi, menjajaki atau justru menerjunkan diri.

Sesekali anak itu akan pulang, mengkritik bapak ibunya yang hanya berani bertani dan hidup seserhana sepanjang umur. Sambil mungkin akan membanggakan kehidupan kota besar yang dijalaninya, dimana segala sasuatu mudah diperoleh, segala barang dipoles cantik, segala jasa diukur dengan nominal. Bapak ibu tani hanya mendengarkan, tidak tau harus berkomentar apa, baginya lahan sawahnya yang menghijau saat tumbuh subur, yang menguning saat hendak dipanen itu yang cukup untuk menerbitkan rasa bahagia, yang membuat mereka semakin berterimakasih pada Tuhan.

Lahan sawah itu yang menjadi gambar hijau dengan gunung yang berdiri angkuh di belakangnya yang mengindahkan pandangan orang-orang yang duduk di kereta, pada pagi atau petang hari mungkin matahari akan ada dibalik gunung itu, seperti lukisan pemandangan yang paling sering digambar anak sekolah dasar.

Terlihat lagi dari balik jendela, sekelompok petani yang bekerja. Mereka mungkin tidak sadar sedang dilihat, termasuk bapak petani yang sedang mandi di air yang coklat di tepi sawahnya itu, yang dalam keadaan bugil. Mungkin dia merasa bebas, tak terkungkung jendela kaca seperti orang di kereta ini yang melihatnya.

Di kali lain, gambar di kaca jendela kereta mulai beralih saat kereta mulai memasuki kota. Sawah berlatar gunung berubah menjadi pemukiman yang memadat. Sepinggiran rel mulai terlihat rumah-rumah kecil bertumpuk tidak beraturan yang berdiri seadanya. Orang dan aktiflvitasnya pun semakin kompleks, ada yang terlihat berjualan, memungut sampah, mencuci pakaian, merenung, banyak ragam dan macamnya.

Semakin memasuki pusat kota Jakarta, semakin beralih lagi gambarnya. Kali ini diantara rumah kecil rapat berdiri gedung-gedung tinggi menjulang seolah berusaha mengalahkan gunung. Mungkin julang menjulangnya saling bersaing satu sama lain, mungkin di dalamnya berdiam raja-raja kecil yang menguasai ekonomi, yang menguasai kehidupan orang banyak, tentu raja-raja kecil itu saling bersaing juga satu sama lain. Dalam saing bersaing itu, tentu senyum yang ramah menjelma jadi barang mewah.

Lelah mata menatap gambar-gambar itu. Lebih baik mata yang terpejam, lebih baik telinga yang terbuka, mendengar sayup-sayup sebuah lagu berjudul Pak Tani, yang dibuat oleh salah seorang rekan aktivis di kampus. Dulu di kampus, lagu ini jadi penyemangat untuk tetap menjaga idealisme ketika selesai belajar, ketika keluar dari jendela kaca, memasuki dunia dan warna-warninya.

Pak Tani


Jika kulihat pak tani dan sawahnya
Teringat ku jelas akan pesan pertiwi
Lelah ku menuntut ilmu jauh di sini
Bersama janjiku pada bangsa..


Hai sobat-sobatku kaum yang terdidik
Pernahkah kau bermimpi akan damai negeri
Kala kau ditempa untuk tunas bangsamu
Ingatlah akan damai negrimu..


Hilang resah hatimu tegakkan dadamu
Derap satu langkah merdeka
Pupuk smangat tulus ikhlas kepal tanganmu
Abdikan diri tuk Indonesia


Abdikan diri tuk Indonesia

Abdikan diri tuk Indonesia
Abdikan diri tuk Indonesia

video lagu: Hokkop - Pak Tani (Youtube)

Monday, December 02, 2013

bila dan hanya bila

Saat bertemunya pertama kali, apakah kau bisa merasakan desir halus mengalun sampai pada hatimu?
Bila dia berbicara, apakah kau merasa akan melakukan apa saja untuk mendengarnya satu dua detik lebih lama?
Bila melihat binar matanya, apakah kau akan menunda kedipan matamu agar bisa melihatnya satu dua kejap lebih lama?
Bila melihat senyumannya, apakah kau merasa bunga sedang mekar diamana-mana, mengisi duniamu dengan warna merah jambu?
Bila melihat tawanya, apakah kau merasakan  aneka hormon endorpin, dopamine, dan oksitosin melimpah ruah, membuatmu merasa candu?

Bila merayunya, pernahkah kau merasakan cubitan-cubitan kecilnya pada perutmu?
Bila membuatnya malu, pernahkah kau merasakan gigitan kecilnya pada lenganmu?
Bila menatapnya yang tersipu-sipu, pernahkah kau ingin abadikan rona pipinya yang kemerahan, lalu menggodanya dengan panggilan yaa humairo?

Bila menjadi imam dalam sholatnya, tidakkah kau merasa ingin membaca surat-surat terpanjang dengan sujud yang terlama?
Bila tanganmu diciumnya setelah itu, tidakkah kau merasa ingin menjadi imam selamanya?
Bila mendengarnya mengaji, tidakkah kau merasa begitu damai di sanubari? 

Dalam sakit tak berdayamu, bilakah sosoknya yang seperti penjelmaan bidadari datang membawakanmu bakmoy?

Bila dia datang dengan masalah, bukankah kau selalu herhasil mendengarkannya dan memberikan penyelesaian?
Bila membicarakan masalahmu padanya, bukankah kau selalu merasa menjadi ringan?
Bila memarahinya, bukankah kau tak pernah mengucapkan kata-kata yang kasar?
Bila merasa emosi padanya, bukankah kau tidak akan pernah untuk selamanya melayangkan tangan?  

Bila melihatnya menangis, bersediakah kau memeluk dan merengkuhnya memberikan kata-kata yang menenangkan?

Bila menggenggam tangannya, benarkah kau merasa ingin punya kekuatan untuk menghentikan waktu?
Bila memeluknya, benarkah kau merasa bahwa tak ingin melepaskannya lagi, tak ingin berpisah lagi untuk selamanya?  
Bila mendapati kecup ciumnya, benarkah kau merasa bahwa dirimu melayang tak berpijak pada realitas bumi manusia?

Bila gelap malam datang, mungkinkah kau merasa bahwa dia rembulan?
Bila bulan menghilang, mungkinkah kau merasa bahwa dia bintang yang berpijar?
Bila pagi menjelang, mungkinkah kau merasa bahwa dia mentari ketika naik sepenggalahan?
Bila harimu muram, mungkinkah kau merasa bahwa dialah pelita yang Tuhan ciptakan untuk terbit dan bersinar pada hari-harimu?

Beradanya di hidupmu, sudahkah kau merasa lengkap, merasa tak akan kekurangan damai, tenteram dan sayang? sudahkah kau merasa ingin hidup bersamanya selama sisa umur?

Bila melihat dia berbalik, akankah kau menarik tangannya, memohonnya untuk tetap tinggal?
Bila melihat punggungnya menjauh, akankah kau mengejarnya, memintanya untuk datang lagi?
Bila dia pergi, akankah kau merasa apa yang kau lakukan menjadi kekurangan esensi?
Bila merasa tidak akan bertemu lagi dengannya, akankah bulir bening dari matamu melinang tak tertahankan?

Bila mengingat dan membicarakannya, pernahkah kau merasa tak pernah kekurangan puja puji?
Bila kau sepi sendiri, pernahkah tiba-tiba kau mendengar suaranya yang manja memanggil “Abaang”?
Bila melihat langit biru, pernahkah kau merasa bahwa bahwa wajahnya hadir di ufuk manapun kau arahkan pandang? 
Bila tertidur malam hari, pernahkah dirinya datang mengisi mimpi-mimpimu yang tak bisa kau terjemahkan apa artinya?

Bila membayangkannya bersama pria lain, sanggupkah kau merasakan dadamu membuncah, wajahmu memerah dan kepalamu berkunang? Sanggupkah kau merasakan tubuhmu kaku lidahmu kelu saat rindu dan cemburu jadi satu?
Bila pria lain itu mungkin lebih baik darimu, sanggupkah kau terjebak pada ambivalensi antara ingin meraihnya atau mengikhlaskannya?

Bila semua itu pernah kau rasakan, maka akan kutitipkan dia padamu..
Mungkin, kau lah yang berhak membahagiakannya..
Hanya, tolong sampaikan padanya, maafkan aku bila tak bisa berhenti mencintainya..


****
dan bait-bait diatas pun menjadi sebuah musik di sini