Saturday, September 29, 2012

Edd Corp dan Sebuah Pernikahan


Sebuah Edd Corp beberapa waktu lalu mengirimkan sms berisi undangan pernikahannya. Tak cukup dengan sms, dipersembahkan pula undangan event di facebook. Merasa kurang, di kirimkan pula kepada awak sebuah email buat di sebarkan ke teman seangkatan. Belum puas dengan semua itu, di telpon nya lah awak pada suatu siang yang melengang.

Mendapat berita itu, yang tanpa tedeng aling-aling, sesuai karakteristik intrinsik sejumput Edd Corp, dunia awak yang tadinya berputar ramah pada porosnya mendadak berguncang. Betapa tidak, sebongkah Edd, yang dulu dijuluki makhluk jalang dengan inisial Edd, yang selama hidupnya penuh dengan pengembaran, yang idealisme nya anti kemapanan.. telah memutuskan untuk bergabung dengan kehidupan statis dengan cara memadukan rumah dengan tangga, menikah. Lalu dia sampaikan berita itu kepada awak dengan semerta-merta, terlalu semena-mena karena tak bisa dia wartakan dengan kehalusan budi pekerti dan sopan santun kata demi kata supaya tak terlalu kaget awak dibuatnya.

Tentu ada alasan kenapa awak merasa bagaikan mendengar petir di siang bolong, bolehlah awak jelaskan dengan memberikan sekilas deskripsi kehidupannya. Edd ini, pada hakikatnya hadir sebagai salah secuil adik tingkat tipikal kurang ajar yang dengan mukanya yang dibuat sesongong mungkin sering mendebat awak dengan dialektika minim intelegensia, itu sudah awak lupakan. Yang masih cukup terang bagi awak, bahwa percintaan sesama manusia adalah hal terakhir yang bisa melingkupi kehidupannya. Selama ini dia lebih cinta dengan alam, dia menjelajah dari gunung satu ke gunung lain, dia merambah hutan dan padang ilalang. Dahulu kala dia jatuh cinta kepada ikan_cupang. Ketika ikan cupangnya pergi, dia mengganti dengan setangkai Edelweis dari atas gunung. Ketika Edelweisnya hilang, dia jatuh cinta pada kaktus. Ketika kaktusnya meranggas, kemungkinan besar dia akan jatuh cinta pada batu kali, atau apapun itu, asal ada satu dua benda dari alam raya yang menjadi objek pengejawantahan cintanya. Sederhana saja kehidupan sekuntum Edd selama ini, di waktu dulu awak mengenalnya. Sesederhana semua perilakunya yang terangkai dalam kata-kata yang lugas, tawanya yang lepas, leluconnya yang khas, jiwanya yang bebas.

Lama kami tak bertemu. Lama tak kami nikmati sejuknya Bandung tempo dulu sambil duduk di jalan ganesha selepas menyantap lontong sayur yang lalu dilanjutkan menyeruput susu murni, sembari mengomentari anak-anak Teknik Industri yang jelita berlari pagi. Lama tak kami resapi segelas susu jahe angkringan yang sehangat pembicaraan tentang pengemudi mio putih yang merangkum keelokan budi dan keayuan wanita jawa, yang diiringi nada musisi jalanan yang beraksi di pojok-pojok kota Jogja. Lama pula tak kami tempuh perjalanan Bandung-Jogja menggunakan kendaraan perang tua diiringi sesosok polisi jujur imajiner Briptu Dadan.

Tentu ada mata rantai yang hilang dari transformasi sebuah, sebongkah, sejumput, secuil, sekuntum, sesuatu Edd yang biasanya menganut aliran kehampaan, menjunjung tinggi idealisme anti kemapanan sampai menjadi seorang Edd yang mengundang awak hadir ke pernikahannya. Dalam kebingungan awak akan realitas yang jungkir-balik ini, maka awak tanyakan kepada si Edd. “Bagaimana bisa kau tiba-tiba memutuskan menikah wahai Edd?”
Edd dengan lugas dan dialek melayu yang tak hilang menjawab “Karena awak suka, dia pun suka. Awak tak mau kehilangan dia, dia pun ingin selalu bersama awak. Maka kami putuskan untuk menikah, karena tak ada lagi ikatan yang lebih kuat selain dari ikatan persaudaraan atau suami-istri. Maka awak datangi rumahnya, rupanya Bapaknya pun restu, dikasihnya awak kalender.” 
Demikian pernyataan Edd menjelaskan alasan untuk menikah. Tak perlu kajian psikoanalisa Freud atau Jung, tak perlu jabaran the art of lovingnya Eric Fromm, tak perlu puisinya Gibran, tak ada dialektikanya Hegel. Segala kompleksitas dan probabilitas seolah terangkum menjadi sebuah silogisme sederhana. Sederhana saja semua itu, sebagaimana sesosok Edd yang awak kenal.

Dengan kesederhanannya ini pula, seperti agak sulit bagi Edd untuk menebak rasa hati awak. Bahwa tetiba mendapat undangan pernikahan darinya, terjadi dilema pada diri seorang pria tampan dan single seperti awak ini, perihal akan datang ke pernikahannya dengan siapa atau akan mengajak nikah siapa? Dilema ini bisa jadi hadir disebabkan oleh terlalu banyaknya kemungkinan atau mungkin karena ketiadaan pilihan.

Terlepas dari dilematika ini, terlepas juga dari kelakuan si Edd yang “selonong boi”, tanpa permisi, basa-basi dan tanpa persembahan pelangkah berani mendahului awak menikah. Tentulah awak masih harus menunjukkan penghargaan dengan menghadiri acara ini untuk mengucapkan selamat atas pernikahan yang akan berlangsung ini. Tak akan ketinggalan doa dan harapan yang awak panjatkan.

Agar penikahan ini diberkahi Allah SWT.   

Agar keluarga besar yang menyelenggarakannya berbahagia.

Agar keluarga yang akan didirikan ini menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Keluarga penentram hati, penuh cinta dan kasih sayang.  

Agar kelak keluarga ini dapat memberlangsungkan keturunan yang sholeh dan sholehah yang menjadi penerus amal kebajikan serta pelanjut langkah-langkah nan perwira dalam memajukan negara kita Indonesia.

Semoga keselamatan dan keberkahan senantiasa bersama kita Edd bro yo.

aamiin..

Sunday, September 09, 2012

eksperimen

Pada dasarnya gw adalah seorang yang anti kehidupan monoton, baik itu aktivitas fisik aktivitas pikiran harus selalu berhadapan dengan hal-hal baru, sehingga dalam setiap hal yang gw lakukan seringkali gw melakukan sedikit improvisasi. Salah satu contohnya adalah jika ketika berangkat kuliah gw lewat depan kampus, biasanya ketika pulang kuliah akan lewat belakang, menjalani rute yang berbeda untuk satu tujuan yang sama adalah bentuk minimal untuk proses anti kehidupan monoton itu. 

Pada dasarnya gw juga suka bereksperimen, seringkali eksperimen itu melibatkan makhluk-makhluk lain di sekitar kita. Seperti eksperimen apakah kucing jantan yang kumisnya dipotong akan kehilangan kegantengan, maka gw potong kumis kucing jantan gw, kemudian gw amati perilaku kucing betina terhadap kucing jantan yang tanpa kumis ini. Kadang-kadang eksperimen gw melibatkan manusia, kadang dengan mengeluarkan pernyataan tertentu yang profokatif, kadang dengan menunjukkan perilaku tertentu. Seringnya, eksperimen itu adalah demi kepentingan eksperimen itu sendiri. 

Beberapa waktu lalu, gw sukses membuat sebuah eksperimen kecil lain. Pada pagi itu, gw dengan seorang teman satu flat beda lantai dengan inisial Meru akan melakukan perjalanan dari Leeds ke London, tiket sudah dipesan dari jauh hari untuk kereta jam 10. Sewajarnya orang yang janjian, maka gw mengirimkan bbm berisi pertanyaan awal untuk bertemu. 

Tama (09:09): “Udah sampe mana mer?” (Maksudnya “sudah sampe mana persiapan buat berangkat?” karena akan berangkat bareng menuju ke stasiun kereta, namun gw sedikit bereksperimen dengan menghilangkan kata “persiapan buat berangkat”). Ransel dan segala macam barang sudah siap, sambil menunggu jawaban gw bersantai-santai, browsing segala macem. Ketika datang balasan bbm yang mengejutkan.   
Meru (09:24): “Masih Jalan”
Meru (09:24): “Jam 10 teng kan”
Meru (09:24): “Jam 10 teng keretanya”
Maka gw terkaget-kaget membaca jawaban itu, sementara gw masih nungguin di lantai atas, kenapa dia yang di lantai bawah berangkat duluan ninggalin gw? Maka gw balas, namun bbm di kala itu terjangkit pending sehingga agak terlambat sampai.
Tama (09:30): “Masih jalan kemana? Lah gw masih di rumah nungguin.”
Meru (09:32): “Lahh”
Meru (09:32): “Kirain dah jalan duluan”
Meru (09:32): “Jiah”
Meru (09:32): “Ni udah di city center”
Meru (09:32): “Bzzzz”
Meru (09:32): “Naek taksi aja bg dari Parkinson”
Meru (09:32): “Miskom”

Alamak, alamat ketinggalan kereta nih. Akhirnya gw kelabakan lari keluar kamar, turun tangga, berlari-lari ke halte bus, sudah tidak mungkin sempat menunggu bus, maka gw berlari lagi di pinggir jalan mencari taksi, harus naik taksi untuk ke stasiun yang jaraknya setengah jam jalan kaki. Beruntung saat sedang jalan, sebuah taksi melintas, sehingga langsung gw stop dan meluncur dengan lancar ke stasiun. Akhirnya harus membayar seharga lima pounds buat ongkos taksi. 

Merasa bersalah karena sudah meninggalkan gw yang beresiko batalnya perjalanan ke London, Meru menawarkan mengganti uang taksi lima pound itu, namun gw tolak dengan untuk menandaskan bahwa itu adalah harga eksperimen yang harus gw bayar. Meski gw sama sekali tak pernah menyangka bahwa akibat pertanyaan gw yang sederhana dan mengadung ambiguitas tinggi itu seorang Meru akan terjangkit panik, mengira gw berangkat duluan dan sudah menunggu di stasiun, sehingga bergegas berangkat menuju stasiun seorang diri.. Itu adalah harga sebuah eksperimen, dan eksperimen seringkali berharga mahal. 

Maka gw membuat catatan dalam hati, untuk tidak sering melakukan eksperimen lagi. Cukuplah sudah, karena ada biaya yang harus ditanggung untuk eksperimen tak bermanfaat itu, seperti eksperimen-eksperimen lain yang kadang-kadang gw lakukan.