Sunday, September 09, 2012

eksperimen

Pada dasarnya gw adalah seorang yang anti kehidupan monoton, baik itu aktivitas fisik aktivitas pikiran harus selalu berhadapan dengan hal-hal baru, sehingga dalam setiap hal yang gw lakukan seringkali gw melakukan sedikit improvisasi. Salah satu contohnya adalah jika ketika berangkat kuliah gw lewat depan kampus, biasanya ketika pulang kuliah akan lewat belakang, menjalani rute yang berbeda untuk satu tujuan yang sama adalah bentuk minimal untuk proses anti kehidupan monoton itu. 

Pada dasarnya gw juga suka bereksperimen, seringkali eksperimen itu melibatkan makhluk-makhluk lain di sekitar kita. Seperti eksperimen apakah kucing jantan yang kumisnya dipotong akan kehilangan kegantengan, maka gw potong kumis kucing jantan gw, kemudian gw amati perilaku kucing betina terhadap kucing jantan yang tanpa kumis ini. Kadang-kadang eksperimen gw melibatkan manusia, kadang dengan mengeluarkan pernyataan tertentu yang profokatif, kadang dengan menunjukkan perilaku tertentu. Seringnya, eksperimen itu adalah demi kepentingan eksperimen itu sendiri. 

Beberapa waktu lalu, gw sukses membuat sebuah eksperimen kecil lain. Pada pagi itu, gw dengan seorang teman satu flat beda lantai dengan inisial Meru akan melakukan perjalanan dari Leeds ke London, tiket sudah dipesan dari jauh hari untuk kereta jam 10. Sewajarnya orang yang janjian, maka gw mengirimkan bbm berisi pertanyaan awal untuk bertemu. 

Tama (09:09): “Udah sampe mana mer?” (Maksudnya “sudah sampe mana persiapan buat berangkat?” karena akan berangkat bareng menuju ke stasiun kereta, namun gw sedikit bereksperimen dengan menghilangkan kata “persiapan buat berangkat”). Ransel dan segala macam barang sudah siap, sambil menunggu jawaban gw bersantai-santai, browsing segala macem. Ketika datang balasan bbm yang mengejutkan.   
Meru (09:24): “Masih Jalan”
Meru (09:24): “Jam 10 teng kan”
Meru (09:24): “Jam 10 teng keretanya”
Maka gw terkaget-kaget membaca jawaban itu, sementara gw masih nungguin di lantai atas, kenapa dia yang di lantai bawah berangkat duluan ninggalin gw? Maka gw balas, namun bbm di kala itu terjangkit pending sehingga agak terlambat sampai.
Tama (09:30): “Masih jalan kemana? Lah gw masih di rumah nungguin.”
Meru (09:32): “Lahh”
Meru (09:32): “Kirain dah jalan duluan”
Meru (09:32): “Jiah”
Meru (09:32): “Ni udah di city center”
Meru (09:32): “Bzzzz”
Meru (09:32): “Naek taksi aja bg dari Parkinson”
Meru (09:32): “Miskom”

Alamak, alamat ketinggalan kereta nih. Akhirnya gw kelabakan lari keluar kamar, turun tangga, berlari-lari ke halte bus, sudah tidak mungkin sempat menunggu bus, maka gw berlari lagi di pinggir jalan mencari taksi, harus naik taksi untuk ke stasiun yang jaraknya setengah jam jalan kaki. Beruntung saat sedang jalan, sebuah taksi melintas, sehingga langsung gw stop dan meluncur dengan lancar ke stasiun. Akhirnya harus membayar seharga lima pounds buat ongkos taksi. 

Merasa bersalah karena sudah meninggalkan gw yang beresiko batalnya perjalanan ke London, Meru menawarkan mengganti uang taksi lima pound itu, namun gw tolak dengan untuk menandaskan bahwa itu adalah harga eksperimen yang harus gw bayar. Meski gw sama sekali tak pernah menyangka bahwa akibat pertanyaan gw yang sederhana dan mengadung ambiguitas tinggi itu seorang Meru akan terjangkit panik, mengira gw berangkat duluan dan sudah menunggu di stasiun, sehingga bergegas berangkat menuju stasiun seorang diri.. Itu adalah harga sebuah eksperimen, dan eksperimen seringkali berharga mahal. 

Maka gw membuat catatan dalam hati, untuk tidak sering melakukan eksperimen lagi. Cukuplah sudah, karena ada biaya yang harus ditanggung untuk eksperimen tak bermanfaat itu, seperti eksperimen-eksperimen lain yang kadang-kadang gw lakukan. 

No comments:

Post a Comment