Tuesday, March 29, 2005

Perjalanan Sebuah Rasa

Purnama bercahaya lagi, meski awan gelap menggumpal diangkasa dan mencoba menutupinya, ternyata hanya berbalas kesia-siaan. Tak mampu menghalangi cahaya purnama yang memancarkan aura cinta. Ya, cinta. Purnama selalu mengingatkanku pada cinta.

Entah telah berapa purnama yang telah aku lewati tanpa cinta. Tanpa perasaan mencintai dan dicintai yang dulu membuat kehidupanku begitu lebih berarti. Memang, arti hidup tidak bisa dijawab hanya dengan sebuah kata ‘cinta’, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa kata itu telah membawa hidup kepada lebih banyak makna.

Oh, aku rindu. Rindu pada masa-masa itu, masa-masa bercinta. Masa-masa memiliki orang yang disayangi dengan sepenuh hati dan memberikan rasa sayangnya kepadaku dengan sepenuh jiwa. Masa-masa mengucapkan kata itu tanpa harus mengingkari apa yang melahirkannya. Mewujudkannya dalam segala bentuk ekspresi dan tak perlu mempertanyakan esensi. Semua menjadi logis dengan pembenaran sebuah kata. Bahkan dalam diam pun seribu kata bisa terucap. Melalui tatapan mata semua bisa terungkap. Keheningan dalam berdua akan mengalirkan nuansa yang menebarkan segenap pesona yang akan membuat setiap orang terlena. Ketika tak lagi bisa bertatap, semua menguap menjadi kata-kata, kemudian menari indah dengan perantara tinta pada sebuah kertas, tarian indah yang melukiskan semua perasaan, yang lalu menjadi sebuah maha karya dengan gelar surat cinta. Semua, terjadi karena cinta.

Hingga hari ini, datang kembali. Sebuah hari dimana aku begitu menginginkannya untuk kembali hadir dan merasuki hati. Racuni hati ini, dan hilangkan semua penawarnya karena aku tak butuh kesembuhan. Ketuk pintu ini, akan kubuka pintu, kututup kembali, dan akan kubuang kuncinya. Biarkan aku terlarut dalam selaksa pesona. Berikan aku perasaan itu, perasaan yang menenangkan dalam setiap gelisah dan geliat.

Kemudian seorang sahabat memandang gelisah ini dan memberikan dukungannya. “Don’t ever u give up for “love” ‘cause you have fuckn friend..”, katanya. Seorang sahabat sejati yang telah memberi semangat pada secuil hati untuk tetap bercahaya dan menyinari.

Akhirnya malam ini datang kembali, sebuah malam dimana bulan memancarkan cahayanya dengan bulat sempurna. Membangkitkan hasrat untuk mengulangi masa-masa melengkapi dan dilengkapi. Menggali memori yang pernah terpendam sangat dalam. Sebuah malam dengan purnama menghiasinya. Dan malam ini, aku hanya berteman sebuah lagu sendu. Flanella, yang tak henti-hentinya bercerita tentang cinta, menyuarakan syair “Bulan cinta kan bersinar lagi, menerangi hati yang…”. Aku kembali terluka dalam harapan.

Ada apa dengan hari ini? Kenapa harus ada hari seperti ini dalam sebuah siklus hidup? Tak mampu terus berpikir dan menjawab semua rasa, aku hanya bisa berharap semoga hari ini segera berlalu. Segera kusambut mimpi, mencari cinta di dalam sana. Dan berharap esok semua akan baik-baik saja…

Saturday, March 26, 2005

Perjalanan Kuliah ternyata bisa menidurkan

Mata kuliah aspek hukum dan manajemen kontrak (askum) adalah mata kuliah yang menyenangkan. Dimana hal-hal yang kita pelajari adalah sesuatu hal yang realistis, untuk dikaji, dianalisis dan dipergunakan dalam bidang pekerjaan sipil. Mata kuliah yang tidak abstrak dan perlu kemampuan lebih dalam memahami perilaku strusktur seperti anstruk metode elemen hingga. Jadi, mata kuliah seperti ini tidak akan membuat mata mengantuk, ketika perannya sangat diperlukan untuk memperhatikan mimik dosen ketika menerangkan materi.

Hingga pagi itu...
Sebuah kamis pagi dimana kuliah askum dilaksanakan seperti biasanya. Pak Biemo dosen kita menerangkan dengan bersemangat. Berapi-api, tidak seperti mahasiswanya yang satu ini, sedang tidak berapi-api, menanggapi dengan mata berat, menjawab pertanyaan dengan menguap, dan memberi tanggapan dengan tertidur...

Terbangun, menyadari badannya masih di kelas...
Tertidur lagi...
Terbangun kembali, menyadari dosen masih bercerita dengan semangat.
Menguap lebar.
"Kamu dari tadi saya perhatikan sudah tiga kali menguap! Kalau ngantuk segera cuci muka ya!"
"Oh" Tersadar, sambil tersenyum malu-malu(in).

Kuliah dimulai lagi.
Kantuk datang lagi, menguap lagi, tertidur lagi, terbangun lagi, masih dikelas dan menyadari dosen masih bercerita dengan semangat. Membahas mengenai claim and dispute.

Samar-samar terdengar.
"Dalam hal ini, saya sebagai dosen sebenarnya bisa mengajukan claim, tuntutan terhadap mahasiswa yang tidur dikelas!"
JGERR!!!
Otak segera mengolahnya dan menterjemahkannya dalam perintah: "Segera bangun!"
"Maaf pak.."

Kuliah kembali berlanjut, kantuk kembali datang, dan tidur kembali mengiringinya. Hingga suatu ketika terdengar kata-kata yang sempat ditangkap otak disela-sela mimpi.

"Dalam sebuah sengketa, penyelesaian bisa dilakukan dengan jalan mediasi, pihak ketiga yang menghubungkan kedua pihak yang bersengketa. Setiap masalah memang sebaiknya segera diselesaikan dengan cara yang benar, termasuk tidur dikelas, bisa diselesaikan dengan cuci muka, misalnya..."

Urat saraf segera menterjemahkannya sebagai sebuah sebuah sindiran, yang harus segera ditindak lanjuti.
"Permisi pak, mo cuci muka dulu..."
Seisi kelas tertawa.
"Oh, silakan!"

Sekedar pembelaan diri, mengantuk di kelas yang dicintai ini, bukan terjadi karena kebiasaan, melainkan karena sebuah alasan spesifik, yaitu: belum tidur semalaman. Belum tidur semalaman juga bukan tanpa alasan, tetapi karena semalam ada LPJ Departemen sampe jam 4 pagi di himpunan. Sebagai kadep, harus terjaga dan menjawab setiap pertanyaan dengan benar plus hati yang deg-degan takut bakal ditolak. Selesai jam empat pagi, langsung sholat subuh (ternyata sebelum waktunya), lalu pulang. Sampe rumah, langsung bikin tugas, abis bikin tugas langsung kuliah lagi. Dan terjadilah adegan memalukan di dalam kelas ini. Maafkan saya bapak dosen..

Tuesday, March 22, 2005

Perjalanan Sepasang Sepatu Converse

Setiap perjalanan Yows selalu bergantung kepada sepasang kaki. Sepasang kaki yang setiap langkahnya telah menapaki hutan rimba, menjajaki kota, membobol desa, mengukur setiap sudut nusantara, serta menjelajahi dunia. Sepasang kaki Yows menjalin persahabatan dengan sepasang sepatu converse 70's yang setia menemaninya dalam suka dan duka.Sepasang sepatu converse yang dengan bangga Yows persembahkan sebagai hasil dari butiran keringat dan cucuran darah (akibat keiris cutter) pada saat magang di Miniatrix pro (Sebuah perusahaan yang bergerang pada bisnis miniatur).

Sepasang sepatu converse 70's (berinisial Converso) berwarna biru gelap itu telah menemani Yows selama tiga bulan. Baru menginjak masa remaja bagi sebuah siklus hidup sepasang sepatu pada jamannya. Dalam usia tiga bulan tersebut telah banyak pengalaman direguknya. Bandung, Wonogiri, Solo, Semarang, Jogja, separuh pulau jawa telah dijelajahinya. Ruang-ruang kelas teknik sipil, kursi maupun meja telah didaki. Berbagai tempat ibadah, tempat hiburan, maupun tempat maksiat telah dilihatnya secara sengaja maupun secara terpaksa.

Sebuah sandal jepit trendy (jepito) dan converso selalu setia menemani keberadaan Yow di kampus. Setiap momen yang membutuhkan keformalan selau menghadirkan converso. Saat memasuki TU Departemen dengan menggunakan jepito, pasti akan terlihat tatapan seorang kepala jurusan yang sinis kepada jempol kaki yang sedang bernafas, disusul teriakan "KELUAR!!!". saat-saat seperti inilah sesosok converso diperlukan. Sewaktu converso beristirahat jepito menggantikan tugasnya.

Jepito dan Converso menganggap himpunan (HMS ITB) sebagai rumahnya. Tempat mereka menghabiskan waktu bercengkerama dengan berbagai sendal dan sepatu dari golongan lain, tuan yang lain. HIngga suatu ketika, Jepito menghilang. Diculik. Culik menculik sendal jepit memang kebiasaan buruk yang sedang marak di HMS. Karakteristik tidak bisa melihat sendal menganggur sedang meraja. Tapi tak pernah Yow duga akan menimpa jepitonya juga. Sungguh kejam.

Kehilangan sesosok jepito tak membuat Yow terus menerus bermuram durja dan meratapi, karena masih ada converso yang setia menemaninya. Sebulan berlalu sejak Jepito diculik tanpa permintaan tebusan. Hingga hari itu...

Sebuah pagi dimana Yow terbangun dari mimpi indah di himpunan. Sebuah pagi dimana jam kuliah pagi telah menanti Yow berikut bau badan yang menyertainya karena belum mandi. Yow melihat ketempat penyimpanan Converso, dan tercekat. TIDAK ADA!!! Kemana gerangan Converso pergi?? Yow pun mengikuti kuliah tanpa bermodalkan Converso, dengan resiko didepak keluar oleh dosen killer. Siangnya Yow kembali mengecek, dan tersadar. BELUM ADA!!! Sore harinya Yow masih berharap, dan mengecek kehadiran Converso kembali ke tempatnya, dan terduduk lesu. TETAP TIDAK ADA. MAlam harinya, Yow tetap berpikiran optimis Converso akan pulang ketempatnya, dan terjerit. "ANYIIING SEPATU AING BENER-BENER LENYAP!!!"

Hari demi hari berlalu, tetapi Converso tak kunjung hadir kembali. Kaki demi kaki makhluk se HMS telah Yow teliti tapi Converso tak kunjung terlihat. HIngga hari ini, Converso masih hilang dalam penculikan yang tak berperikesepatuan. MUngkinkah Converso kabur karena perlakuan buruk dari tuannya, seperti TKI yang melarikan diri dari malaysia? Tidak mungkin, karena Converso begitu dirawat serta disayangi dengan baik. Kemungkinan paling mungkin yang bisa disimpulkan adalah penculikan dari ari sebuah kaki yang tidak bertanggung jawab. Kehingan Converso terasa sangat menyakitkan, apalagi peristiwanya terjadi hanya sebulan setelah kehilangan dari Jepito. Luka yang hampir terobati itu kini bertambah dalam.

Untuk mengembalikan kehadiran Converso ke hari-harinya, Yow dan Agung Rock telah menuliskan pengumuman di HMS "BArang siapa menemukan sebuah sepatu converse biru beserta sandal jepit hitam, harap segera menghubungi Yow atau Agung, kalau tidak, akan segera dikutuk menjadi bakwan dan jadi korban sodomi... ttd. Yow n Rock tha Destroy"

Beberapa hari setelah pengumuman itu dibuat, bukannya sepatu yang hilang yang kita dapat, melainkan berbagai pengumuman-pengumuman lainnya yang ikut memenuhi papan, turut berbagi kesedihan. "Telah hilang sepatu hitam." "Sudah hilang sendal kuning." "Telah diculik indomie telor mang godeg." "Telah berpulang celana levis ijo" dsb..

Demikianlah, Converso tak kunjung hadir kembali. Menyisakan kenangan dan duka mendalam dalam hati Yows.

Note: 
Tolong, kalian, inisial apapun, siapa saja, yang telah memiliki andil dalam penculikan Converso... Kembalikanlah Converso kepada Yow, karena kehadirannya sangat dibutuhkan menjelang ujian Tengah semester ini. Tolonglah...

Saturday, March 12, 2005

Perjalanan Pada Sebuah Sabtu Pagi

Sebuah Sabtu pagi,
Pagi ini seperti juga pagi-pagi sebelumnya, terbangun dari istirahat malam di kampus, himpunan tercinta. Matahari masih terbit dari arah... timur ya kayanya. Ga tau, soalnya ga liat pas terbitnya. Sebelum terbit udah bangun, trus sholat, abis itu tidur lagi, jadi ga tau matahari terbitnya dari mana.
Bangun lagi saat ada seorang manusia jalang dengan inisial Edd, memberi ajakan sarapan bareng. Dengan mata masih sayu, segera disanggupin.
"Oke, hayo kita makan."
Langsung ke toilket buat sebuah perenungan rutin, sambil cuci muka, basuh kiri kanan atas bawah. Begitu balik ke himpunan, eh makhluk jalang dengan inisial Edd tadi malah tidur. Betapa kurang ajarnya ya...Tidurnya nelungkup, seolah-olah ga perlu udara buat membantu metabolisme tubuh.

Ya sudah, nungguin dia bangun dulu. Pas ada seorang wanita kakak tingkat yang dikecengin (dikagumi) sama makhluk jalang dengan inisial Edd tadi, baru dia bisa bangun. Refleks, tidak perlu diperintah saraf. Kemudian dia dengan sok Hi tech-nya memamerkan skill bagaimana cara mendownload lagu. Berusaha TP, meski kayanya hanya berguna sebatas angin sepoy-sepoy yang meniup pohon. Segera berlalu.
Oke, kita berangkat makan.
"Makan apa kita Edd?"
"Terserah abang ajalah"
"Oke, kita makan lontong sayur padang"
"Minum apa kita Edd?"
"Terserah abang ajalah"
"OKe, kita minum susu murni. Makan lontong sayur nya di Balubur, trus minum susunya di Ganesha."

Makhluk jalang dengan inisial Edd segera menyadari bahwa dirinya telah tertipu, dan harus menjalani konsekuensi berjalan ke sebuah arah dengan jarak mendekati satu jam kecepatan semut berjalan untuk makan lontong sayur, dan berbalik ke arah lain dengan jarak satu jam mobil mogok berjalan untuk minum susu murni. Tempat makan dan minum yang begitu berjauhan, sangat tidak logis untuk dijalani. Itu semua konsekuensi dari perkataan "Terserah abang ajalah..."

Beriktunya, setiap adegan berlalu hingga layar memfokuskan angle of viewnya kepada dua orang manusia, yang satu tampan, sedangkan yang satu lagi makhluk jalang dengan inisial Edd. Sedang duduk di depan gerbang ITB sambil minum susu murni dan Yoghurt, sembari berusaha menghitung jumlah cewe yang lewat dan memberi penilaian yang subjektif. (Sebuah kegiatan yang sangat tidak produktif, untuk putra-putri terbaik bangsa, yang dibiayai oleh negara untuk menuntut ilmu)

Makhluk jalang dengan inisial Edd memberikan penilaian,
"Boleh juga yang ini, 7,5 lah!"
"Yang ini mah 7 aja Edd!"
"Oh"
"Kalo kaya O...tiit baru nilainya bisa 9, coba dia lewat sini ya..."
Sembari menunggu sosok-sosok berjalan yang bisa diberikan penilaian, obrolan diisi dengan percakapan dengan tingkat intelegensi rendah. Soal wanita-wanita cantik yang tersebar di kampus. (Sebuah kegiatan yang sangat tidak produktif, untuk putra-putri terbaik bangsa, yang dibiayai oleh negara untuk menuntut ilmu)

Detik dan menit terus berlalu. Hingga akhirnya muncul segerombolan orang berlari, dalam rangka kaderisasi dari himpunan XXX. Hingga seraut wajah itu muncul dan ikut berlari. Seraut wajah yang selalu, hanya muncul dalam realita sekian detik dan memberi bayangan di dalam hati ini selama sekian hari. Wajah yang mendapat nilai 9 itu membuat setiap detik yang ada terasa berharga, sangat sangat berharga. Andai waktu bisa dihentikan, mungkin lebih baik waktu berhenti di detik ini. Makhluk jalang dengan inisial Edd segera berkomentar.
"Lima belas detik yang sangat berharga bagi kita, Tapi tidak berharga bagi dirinya karena kita hanya dianggap debu..."

Sial! Menjatuhkan nilai diri saat sedang di hadapan orang yang memang sangat bernilai. Dalam hati, membenarkan perkataan dangkal dari makhluk jalang dengan inisial Edd tadi. Dalam hati juga, menumbuhkan tekad untuk terus menaikkan potensi dan nilai diri hingga memiliki derajat setaraf dengan wanita tadi, untuk bisa, minimal berkenalan dan menjabat tangannya. Berteman, kemudian ber.... sambung.

Yaah, sebuah sabtu pagi yang indah. Melepaskan diri dari beban perkuliahan selama beberapa hari yang lewat dan memperiapkan diri menghadapi beberapa hari yang akan lewat. Sebuah sabtu yang indah, karena akhirnya bisa melihat lagi wajahnya. Beberapa detik itu cukup untuk menyirami bunga-bunga di taman hati selama seminggu. Sebuah sabtu pagi yang indah tapi agak suram karena harus dilalui bersama dengan seorang makhluk jalang dengan inisial Edd...

Semoga pagi-pagi berikut akan tetap indah, bagi setiap orang yang mengharapkan keindahan mengisi hari-harinya.

Friday, March 11, 2005

Perjalanan Cinta Penuh Konflik: Bag1

Cinta, selalu ada dalam kehidupan manusia. Cinta bisa membuat hari menjadi indah, cinta terkadang juga membuat sebuah hari menjadi tak menentu, aneh dan membawa derita dengan beban rasanya.
Bandung, 2004
Entah cinta atau bukan yang Yow rasakan, ketika berkenalan dengan seorang wanita disebuah taman. Taman Ganesha.
Yow duduk di taman, sambil makan batagor, lagi mikirin pengurusan KP yang tak kunjung usai. Disebelah ada seorang wanita manis lg duduk sendirian, sambil nulis. Iseng, yow bertanya.
”Lg ngapain Mbak?”
“Lg nulis”
“Wah asik ya, nulis di taman yang banyak pohon rindang gini, bisa dapet banyak inspirasi nih. Emang nulis apaan?”
“Mm, nulis tentang kehidupan, banyak yang ga aku ngerti, bikin aku bertanya-tanya.”
“Berat nih, kehidupan. Kehidupan itu ga akan bisa selesai dibahas dengan pemikiran sekian menit kaya gini lagi. Terlalu luas. Kita harus banyak belajar dulu, sebelum bisa mendefinisikannya dengan baik. Paling sekarang kita Cuma bisa melihat hidup dari sebuah sudut pandang yang masih dangkal dan selalu masih butuh penyempurnaan.” (damn!! Kenapa gw jadi ngomong berat-berat gini di depan cewe?)
Brol diobrol obrol akhirnya si cewe curhat dan yow memberikan beberapa masukan yang sok sok bijak sekali.
Brol diobrol obrol, akhirnya terjadi perkenalan.
“Yow sipil 2001”
“Iren (bukan nama sebenarnya) Biologi 2001”
Brol diobrol obrol lagi akhirnya terjadi tukar meukar alamat email dan friendster…
Sekian hari berlalu, Yow berangkat ke Surabaya untuk menjalani masa-masa kerja praktek (akhirnya), dan tetap menjalin komunikasi dengan Iren,
Diketahui: Bahwa Iren telah memiliki pacar dan sedang bermasalah dengannya,
Ditanya: Apakah yang akan terjadi berikutnya?
Sebulan kemudian, saat Yow sedang menikmati masa-masa kuliah kembali setalah masa-masa berat di Kerja Praktek, tiba-tiba terdengar nada sms masuk.
Read: “Yow, gi ngapain? Mo makan siang bareng ga?”
Send: “Oke, abis sholat jumat aja ya, ktmu di taman aja”
Read: “Oke, ditunggu ya”
Yow sholat jum’at dalam keadaan riang gembira. Jarang-jarang nih, ada cewe, anak biologi lagi, ngajakin makan siang bareng. Beberapa teman segeng yang sholat jumat bareng, ngajakin makan bareng.
“Wah sori, gw lagi ada urusan nih. Kalian duluan aja.” Dengan sok diplomatisnya Yow mengelak, ekspresi wajah menunjukkan tidak ingin ditanya lebih jauh. Misteri bagi teman-temannya.
Bertemu dengan Iren di taman. Kemudian berjalan bariringan, menuju kantin timur laut. Di pinggir taman, mata Yow menangkap sesosok bayangan, yang seperti memperhatikan mereka. Pandangannya aneh.
Yow dan Iren berjalan melewati lapangan basket, sambil bercerita.
“Iren, kabar cowonya gimana?”
“Udah putus ko.”
“Oh” (dalam, penuh makna)
Berjalan menuju departemen informatika, ketika di depan himpunan mahasiswa If, tiba-tiba sebuah tepukan di bahu mengagetkan Yow. Disusul suara berdesibel tinggi.
“Hoy, lo siapa??”
Yow berbalik, menatap seorang pria sebaya yang keliatan begitu emosi. Sesosok bayangan samar yang dilihatnya tadi. Iren ikut berbalik, mendapati mantan pacarnya ada disana. Refleks Yow menjulurkan tangan.
“Gw, Yow, kenalan dong. Lo siapa?”
“Gw cowonya Iren, ngapain lo ama cewe gw?” Dijawab dengan ketus.
Beberapa orang berlalu lalang seperti tidak terjadi apa-apa, tapi suasana ramai disana membuat Yow merasa seperti seorang penjahat yang telah merusak sebuah rumah tangga bahagia dan segera akan mendapat kutukan, menjadi bakwan. Respon saraf menginstruksikan agar tetap tenang, dan bersikap cool seperti biasa.
“Oh, kita berdua mo makan siang, Mo ikut? Tapi, bukannya kalian udah putus?”
“Apa urusan lo, gw ga suka ngeliat lo jalan ama dia” Nyolot
Iren keliatan bingung. Ekspresi bersalah seolah-olah telah memicu perang dunia ketiga.
“Loh, bukannya kalian sudah putus?” Kebingungan, yang bisa bikin seorang wiro sableng menggaruk-garuk kepalanya, seekor kucing menggaruk-garuk karpet dan seekor monyet menggaruk-garuk pantatnya.
“Gw ama dia baru putus dua minggu, Lo ngajak ribut ya?” Dengan tangan dikepal dan siap diaktifkan. Beberapa orang yang tadinya tidak peduli, menyiratkan ekspresi menyimak setiap episode menjelang sebuah pertempuran.
“Sudah, sudah, Iwan, jangan berantem.” Iren menenangkan mantan pacarnya.
“Gw ga ngajakin ribut ko. Gw malah ngajakin lo makan bareng tadi. Gini aja, klo emang lo mau, kita selesaiin ditempat laen, yang sepi, jangan disini, disini rame!” Yow mulai terpancing jiwa kelelakiannya. Harga diri. Yang akan berkurang drastis saat diketahui khalayak ramai, bertarung demi merebut mantan pacar orang, yang masih merasa dimiliki oleh orang ybs. Disebuah keramaian.
“Lo nantangin gw ya?” Siap beraksi.
“Sudah! Sudah! Iwan sudah!!!” Iren melerai ditengah-tengah. Tangis segera akan meledak.
“Awas lo ya! Klo masih jalan ama dia!” Makhluk dengan inisial Iwan itu mengancam seraya membalikkan badan, berjalan menjauh, tapi belum pergi, masih menunggu situasi yang akan berlanjut. Iren berjalan menyusulnya, sepertinya menjelaskan apa yang terjadi. Kemudian berjalan kembali kepada Yow.
“Sori ya Yow, aduh gimana nih, Iren jadi ga enak..”
“Iren, sebenarnya ada apa sih? Klo kalian punya masalah, sebaiknya selesaikan dulu berdua, jangan malah ngelibatin orang lain diantaranya.”
“Aduh, sori ya Yow... gimana nih, makan siangnya lain kali aja ya...”
Wah, terancam nih jadwal makan siang gw.
“ya udah deh, kmu selesain aja dulu masalah ama dia. Kapan-kapan aja kita makan siang bareng.”
“Iya, sori banget ya Yow…Aku duluan aja ya” Iren pergi ke arah pulang. Dalam dilema. Yang seorang wanita biasa, akan segera melepaskan bebannya dengan tangis.
Yow pergi ke arah lain, dalam dilema. Berpapasan dengan mantan pacarnya Iren, beradu pandang dengan seorang emosian, yang menatap dengan tatapan “awas lo!” Yang kemudian pergi juga kearah lain , dalam dilema juga. Tiga orang berjalan ke arah yang berbeda, dalam dilema.
Untuk mencari sebuah kebenaran, atau mencari siapa yang salah, sepertinya terlalu sulit. Semua benar secara relatif. Seorang wanita yang mencari pelarian setelah putus dengan pacarnya, seorang pria yang mencari eksistensi dengan mempertahankan cintanya, seorang pria lain yang mencari jawaban kenapa harus terlibat dalam sebuah persoalan seperti ini. Ada banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik. Intinya sih, jangan pernah makan siang bareng dengan seorang wanita yang tidak diketahui dengan pasti statusnya, kalau tidak mau menerima tepukan dari belakang dan sebuh pertanyaan “Lo siapa?” (dangkal ya kesimpulannya). Meskipun dangkal, tapi peristiwa seperti itu bisa membuat dongkol selama seharian. Benar-benar dongkol, sembari berusaha mencari jawaban, “kenapa, kenapa, kenapa?”

Tuesday, March 08, 2005

Perjalanan tiba di persimpangan (memilih)

Pernah ga sih, kita dihadapkan pada situasi dimana kita harus menentukan pilihan? Gw rasa semua orang pernah mengalaminya. Ketika kita sudah menentukan pilihan, memastikan jalur mana yang akan ditempuh, artinya kita harus sudah siap dengan semua konsekuensi yang akan dibawanya. Kita harus terus berjuang untuk itu dengan segala daya dan upaya.

Memilih, bisa jadi sangat tidak logis ketika sudah menyangkut hati. Ketika hati telah menentukan pilihannya, otak yang kapasitas memorinya begitu luar biasa pun tak sanggup berbuat banyak. Hanya bisa memberi perintah kepada indera untuk berperilaku aneh, yang sama sekali ga logis untuk dilakukan.

Hati memang tak pernah salah menilai, tapi nyatanya hati bisa salah memilih. Itulah yang gw alami ketika hati ini hampir menjatuhkan pilihannya, hampir memudarkan warnanya menjadi merah jambu. Sebelum menentukan pilihan pun, dia telah terluka oleh beragam goresan-goresan pedih, yang bila dikonversikan kebentuk makanan akan cukup untuk menafkahi sebuah keluarga.

Kenapa ya? Hati seringkali menolak perintah yang diberikan oleh otak? Berbagai pemikiran logis yang sudah diolah oleh susunan saraf berdasarkan fakta-fakta dan analisa, kemudian dikeluarkan dalam bentuk surat perintah, begitu sampai di hati akan dijawab dengan tegas "Maaf, saya tidak bisa mengikuti kehendakmu, saat ini saya ada diluar kendalimu". Hal ini masih menjadi sebuah pertanyaan besar. Dan selalu menunggu untuk mendapatkan jawabannya. Tapi, apakah setiap pertanyaan besar mesti dijawab dengan waktu? Waktu, waktu, waktu, Untuk saat ini mungkin ga ada pilihan jawaban yang lebih baik untuk itu. Biarlah waktu yang akan menjawabnya.

Friday, March 04, 2005

perjalanan musikalitas dan radikalitas

(Bandung, 2003)
Jalanan Dago ramai dipenuhi manusia-manusia yang akan menikmati malam minggunya, baik untuk pacaran, atau hangout bersama man tereman. Pilihan jalanan Dago sebagai tempat untuk mencari hiburan pada malam ini merupakan keputusan yang tepat, karena di sepanjang jalanan sedang digelar konser anti pembajakan, hampir semua artis lokal Bandung akan menyajikan aksi panggungnya di sini. Termasuk Pas Band, Band yang saat ini menjadi panutanku dalam musik.

Aku, Barli dan teman pun berjalan menghampiri panggung demi panggung yang tersaji disana, ratusan orang di depan setiap panggung cukup menyulitkan untuk melihat penampilan band yang sedang beraksi. Tersiar kabar bahwa Pas band akan manggung di stand radio Oz.
"Bar, ke stand oz aja yok, Pas band nya disana" Ajakku pada Barly
"Tapi /Rif maennya di ninetyniners gimana nih?" Barly dan temannya lebih menyukai /Rif daripada Pas band.
"Ya udah, kita pisah aja dulu, ntar ktemu lagi di depan Super Indo aja."
"Ok"

Akupun berjalan sendirian menghampiri panggung dimana Pas band akan beraksi. Bagian depan panggung telah penuh sesak dengan orang-orang yang mengidolakan Pas band. Teman seidealisme. Penampilannya aneh-aneh, penampilan hitam-hitam underground yang gondrong dan full tatto cecak, punk yang berambut duri, gothic yang matanya disemir pake arang, pengamen jalanan, serta anak-anak SMU yang hasil ulangannya membuat mereka menjadi anti kemapanan, dsb. Aku seperti menemukan sebuah komunitas baru disana.

Terkadang aura seperti ini membangkitkan hasrat petualang yang bercokol dalam dadaku, dari tubuh yang biasanya terbelenggu oleh kehidupan perkuliahan yang membuat bosan. Aku menikmati semua ini.
Pas band pun sudah berada di panggung, siap membawakan lagu-lagunya.
"Apa kabar Bandung???" Yuki, vokalis Pas band memulai aksinya. Gayanya asik euy.
"Barudak Bandung memang ga akan ada matinya!!! Kita senang sekali bisa manggung lagi di Bandung. Tetap jaga ketertiban ya!!"

Pas band pun memulai konsernya dengan sebuah lagu wajib. 'Ketika'. Massa mulai memanas, terprofokasi untuk menggoyangkan badannya mengikuti irama musik. Beberapa penggemar setia berteriak-teriak mengikuti lirik lagu. Badanku langsung mengikuti irama tanpa perlu mendapat perintah dari otak, mulutkupun mengikuti lirik tanpa perlu mengingatnya. Tentu saja ini bukan berarti badanku terlalu lentur, sehingga jika ada lagu dangdut langsung bergoyang-goyang. Hanya irama Pas Band yang membuatku begini, dan biasanya aku militan untuk apa-apa yang ku sukai, mendekati fanatik.

Bocah, Kucing dan Kembali. Beberapa lagu dari album lama berlalu. Uap keringat segera memenuhi udara, massa semakin sesak menikmati pertunjukkan dengan gayanya masing-masing. Tubuhku megikuti arus hingga membawanya tepat berada di depan panggung, Yuki sedang berceloteh tentang 'Dogma'.

"Kita selalu terpaku pada dogmatis-dogmatis yang usang dan janggal,
Tanpa pernah dapat penjelasan kenapa jadi sebuah peraturan,
Kita selalu jawab iya,
Kita tercetak jadi penjilat,
Biarkanlah mimipimu pergi,
Singkirkanlah kuberlari,
Bawa semua ungkapan dari mimpiku ini berlari,
Bawa semua kepusingan lelah dan frustasi,
Bu! Bukan itu! Yang aku
I! Inginkan! Bukan! Bukan! Bukan!"

Lihatlah lirik yang sangat anti feodalisme itu, yang berbau-baru pergerakan itu. Massa semakin memanas dan semakin bergoyang tak beraturan. Orang-orang berseragam polisi penjaga keamanan di depan panggung semakin waspada, sembari berusaha menahan massa agar tidak naik ke panggung kecil itu. Di belakang terjadi perkelahian, karena moshing yang semakin tak beraturan. Pas band sejenak menghentikan aksinya.
"Tolong barudak Bandung, mari kita jaga ketertiban bersama-sama." Kata Yuki
"Kampungan! Kampungan! Kampungan!" Teriak massa yang marah karena pertunjukannya terhenti. Kerusuhan segera berhenti karena tekanan massa.

Pas band pun melanjutkan pertunjukkannya dengan membawakan lagu 'Deskripsi'
"Kami sudah lelah dan bosan memikirkan hari esok lusa
Dan masa depan kami
Kucoba telusuri, Kuharus mengerti,
Kucoba mendeskripsi, Kulelah telusuri
Kujengah mendeskripsi, Kumual telusuri..
Telusuri.. sendiri.."

Kemudian dilanjutkan dengan lagu 'Anak kali sekarang', Yuki kembali mengoceh dan berteriak-teriak.

"Waktu terus berputar
Bergulir tanpa pernah bisa kita hindari,
Hidup terus berlari mencari kepastian hidup yang tak pasti,
Namun anak-anak disana mandi,
Dikali anyir yang bikin orang kabur berlari....

Lepas dari kepusingan bau busuk,
Lepas dari kepusingan bawa penyakit,
Lepas dari kepusingan bikin mati,
Yang penting bisa tertawa dan benyanyi...

Lepas dari persoalan cari duit,
Lepas dari saling sikut rezeki,
Lepas dari busuknya budaya
Dan yang penting bisa tertawa hari ini
Oo inikah hari ini.."

Lihatlah lirik yang sangat-sangat berjiwa sosial itu, dengan irama yang melampiaskan amarah. Massa kembali memanas dan terjadi mossing brutal, dorong-mendorong, dan tubuhku terdorong kedepan, mendesak kepada seorang polisi di depan panggung. Kemudian....
"BLETAKKK!!!" aku terdorong ke belakang.
"ANJING!!!" Refleks terucap.

Satu detik yang takkan terlupakan dalam hidupku, satu detik yang memendam kesumatku, satu detik yang membuat kepalaku pusing, dan wajahku membentuk ekspresi kemarahan sekalligus sejuta tanda tanya. Kenapa?? Kenapa?? Kenapa?? Kenapa kau memukul kepalaku dengan tongkat itu? Tongkat keras yang seharusnya kau gunakan untuk memukuli koruptor saat tertangkap. Satu detik itu mengukir wajah seorang polisi dengan tulisan "DICARI!" dalam benakku.

Rasa tidak puas dan tidak berdosa itu membuatku menghampirinya diantara kerumunan massa yang masih menikmati musik dan bertanya.
"Pak, memangnya apa salah saya pak? Saya cuma didorong dari belakang, masa harus dipukul pake tongkat?? Tugas Bapak kan harusnya mengamankan acara, bukannya memukuli orang??"

Tentu saja aku tidak bersalah karena hanya terbawa suasana dan tidak akan berbuat makar. Tentu saja aku dalam keadaan sangat sadar, tidak ada bau alkohol dari mulutku, itu jika bau jengkol tidak dimasukkan kedalam perhitungan kehilangan kesadaran. Namun pertanyaan itu dijawab dengan bahasa tubuh yang menunjukkan akan memberikan beribu pukulan lanjutan. Mata melotot, tangan diatas kepala, mengangkat tongkat.
"Oke oke, piss pak, piss!!"
Dengan bahasa tubuh yang menunjukkan perdamaian ala kader golkar jaman menteri penerangan. Dengan putus asa aku mencoba mundur dari kerumunan depan panggung, meski dongkol, tapi itu bisa memperpanjang umur.

Pas band melanjutkan pertunjukkannya dengan lagu 'Kesepian kita' setelah Tere muncul di panggung."Berikutnya kita akan membawakan lagu kesepian kita, para penonton sekalian, jangan lupa ya, jangan pernah membeli kaset bajakan..." Ucapan Yuki diselingi iklan anti pembajakan.

"Ingatkah kawan kita pernah berpeluh cacian,
Digerayangi dan digeliati kesepian,
Walaupun sejenak lepas dari beban,
Tuk lewati ruang gelap yang teramat dalam...

Hidup ini hanya kepingan
Yang terasing di lautan,
Memaksa kita memendam kepedihan..."

Iramanya menurunkan tempo sejenak membuat massa terlena, menikmati ketenangan yang diberikan, sedikit bergoyang-goyang mengikuti irama dengan perasaan yang terlepas dari sekian banyak beban. Namun beban pukulan tongkat polisi di kepalaku itu masih belum bisa dipendam. Tidak cukup putus asa, akupun beranjak kembali kedapan panggung, sebelah kanan, dimana polisi keamanan lain sedang berjaga-jaga. Kuhampiri salah seorang diantaranya.
"Pak, tolong dong, diomongin sama teman Bapak yang di sebelah kiri sana, pas jaga konser jangan maen pukul sembarangan dong... Kita ga salah apa-apa kok dipukul..."

Polisi tersebut, beserta beberapa polisi lain, malah menunjukkan perilaku hendak memadamkan pemberontakan, tongkat diatas kepala. Menghindari benjolan berkelanjutan, aku pun berlari, menyusup dibalik keramaian massa.

Kenapa sih, kalian tidak bisa mengatasi permasalahan dengan berdiskusi? Kenapa sih kalian tidak bisa mengakui kesalahan dengan permintaan maaf? Kenapa sih orang-orang yang melawan keputusan kalian selalu akan lebih menderita daripada yang menuruti? Pertanyaan itu menjadi jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Sudahlah, memang demikan adanya, pikirku. Ketika mendengar Pas band membawakan lagu 'Perjalanan' akupun langsung membaur kembali dengan massa, kembali meloncat-loncat dan bernyanyi...

"Saat bernyanyi di perjalanan
Yang sempit dan buram,
Ingin menggapai langit perawan
Yang asam membumkam,
Menggapai sekat ruang yang berruang,
Meruak setiap lubang kesempatan..
Dan tak ada yang peduli dan mengerti..”

***