Friday, March 04, 2005

perjalanan musikalitas dan radikalitas

(Bandung, 2003)
Jalanan Dago ramai dipenuhi manusia-manusia yang akan menikmati malam minggunya, baik untuk pacaran, atau hangout bersama man tereman. Pilihan jalanan Dago sebagai tempat untuk mencari hiburan pada malam ini merupakan keputusan yang tepat, karena di sepanjang jalanan sedang digelar konser anti pembajakan, hampir semua artis lokal Bandung akan menyajikan aksi panggungnya di sini. Termasuk Pas Band, Band yang saat ini menjadi panutanku dalam musik.

Aku, Barli dan teman pun berjalan menghampiri panggung demi panggung yang tersaji disana, ratusan orang di depan setiap panggung cukup menyulitkan untuk melihat penampilan band yang sedang beraksi. Tersiar kabar bahwa Pas band akan manggung di stand radio Oz.
"Bar, ke stand oz aja yok, Pas band nya disana" Ajakku pada Barly
"Tapi /Rif maennya di ninetyniners gimana nih?" Barly dan temannya lebih menyukai /Rif daripada Pas band.
"Ya udah, kita pisah aja dulu, ntar ktemu lagi di depan Super Indo aja."
"Ok"

Akupun berjalan sendirian menghampiri panggung dimana Pas band akan beraksi. Bagian depan panggung telah penuh sesak dengan orang-orang yang mengidolakan Pas band. Teman seidealisme. Penampilannya aneh-aneh, penampilan hitam-hitam underground yang gondrong dan full tatto cecak, punk yang berambut duri, gothic yang matanya disemir pake arang, pengamen jalanan, serta anak-anak SMU yang hasil ulangannya membuat mereka menjadi anti kemapanan, dsb. Aku seperti menemukan sebuah komunitas baru disana.

Terkadang aura seperti ini membangkitkan hasrat petualang yang bercokol dalam dadaku, dari tubuh yang biasanya terbelenggu oleh kehidupan perkuliahan yang membuat bosan. Aku menikmati semua ini.
Pas band pun sudah berada di panggung, siap membawakan lagu-lagunya.
"Apa kabar Bandung???" Yuki, vokalis Pas band memulai aksinya. Gayanya asik euy.
"Barudak Bandung memang ga akan ada matinya!!! Kita senang sekali bisa manggung lagi di Bandung. Tetap jaga ketertiban ya!!"

Pas band pun memulai konsernya dengan sebuah lagu wajib. 'Ketika'. Massa mulai memanas, terprofokasi untuk menggoyangkan badannya mengikuti irama musik. Beberapa penggemar setia berteriak-teriak mengikuti lirik lagu. Badanku langsung mengikuti irama tanpa perlu mendapat perintah dari otak, mulutkupun mengikuti lirik tanpa perlu mengingatnya. Tentu saja ini bukan berarti badanku terlalu lentur, sehingga jika ada lagu dangdut langsung bergoyang-goyang. Hanya irama Pas Band yang membuatku begini, dan biasanya aku militan untuk apa-apa yang ku sukai, mendekati fanatik.

Bocah, Kucing dan Kembali. Beberapa lagu dari album lama berlalu. Uap keringat segera memenuhi udara, massa semakin sesak menikmati pertunjukkan dengan gayanya masing-masing. Tubuhku megikuti arus hingga membawanya tepat berada di depan panggung, Yuki sedang berceloteh tentang 'Dogma'.

"Kita selalu terpaku pada dogmatis-dogmatis yang usang dan janggal,
Tanpa pernah dapat penjelasan kenapa jadi sebuah peraturan,
Kita selalu jawab iya,
Kita tercetak jadi penjilat,
Biarkanlah mimipimu pergi,
Singkirkanlah kuberlari,
Bawa semua ungkapan dari mimpiku ini berlari,
Bawa semua kepusingan lelah dan frustasi,
Bu! Bukan itu! Yang aku
I! Inginkan! Bukan! Bukan! Bukan!"

Lihatlah lirik yang sangat anti feodalisme itu, yang berbau-baru pergerakan itu. Massa semakin memanas dan semakin bergoyang tak beraturan. Orang-orang berseragam polisi penjaga keamanan di depan panggung semakin waspada, sembari berusaha menahan massa agar tidak naik ke panggung kecil itu. Di belakang terjadi perkelahian, karena moshing yang semakin tak beraturan. Pas band sejenak menghentikan aksinya.
"Tolong barudak Bandung, mari kita jaga ketertiban bersama-sama." Kata Yuki
"Kampungan! Kampungan! Kampungan!" Teriak massa yang marah karena pertunjukannya terhenti. Kerusuhan segera berhenti karena tekanan massa.

Pas band pun melanjutkan pertunjukkannya dengan membawakan lagu 'Deskripsi'
"Kami sudah lelah dan bosan memikirkan hari esok lusa
Dan masa depan kami
Kucoba telusuri, Kuharus mengerti,
Kucoba mendeskripsi, Kulelah telusuri
Kujengah mendeskripsi, Kumual telusuri..
Telusuri.. sendiri.."

Kemudian dilanjutkan dengan lagu 'Anak kali sekarang', Yuki kembali mengoceh dan berteriak-teriak.

"Waktu terus berputar
Bergulir tanpa pernah bisa kita hindari,
Hidup terus berlari mencari kepastian hidup yang tak pasti,
Namun anak-anak disana mandi,
Dikali anyir yang bikin orang kabur berlari....

Lepas dari kepusingan bau busuk,
Lepas dari kepusingan bawa penyakit,
Lepas dari kepusingan bikin mati,
Yang penting bisa tertawa dan benyanyi...

Lepas dari persoalan cari duit,
Lepas dari saling sikut rezeki,
Lepas dari busuknya budaya
Dan yang penting bisa tertawa hari ini
Oo inikah hari ini.."

Lihatlah lirik yang sangat-sangat berjiwa sosial itu, dengan irama yang melampiaskan amarah. Massa kembali memanas dan terjadi mossing brutal, dorong-mendorong, dan tubuhku terdorong kedepan, mendesak kepada seorang polisi di depan panggung. Kemudian....
"BLETAKKK!!!" aku terdorong ke belakang.
"ANJING!!!" Refleks terucap.

Satu detik yang takkan terlupakan dalam hidupku, satu detik yang memendam kesumatku, satu detik yang membuat kepalaku pusing, dan wajahku membentuk ekspresi kemarahan sekalligus sejuta tanda tanya. Kenapa?? Kenapa?? Kenapa?? Kenapa kau memukul kepalaku dengan tongkat itu? Tongkat keras yang seharusnya kau gunakan untuk memukuli koruptor saat tertangkap. Satu detik itu mengukir wajah seorang polisi dengan tulisan "DICARI!" dalam benakku.

Rasa tidak puas dan tidak berdosa itu membuatku menghampirinya diantara kerumunan massa yang masih menikmati musik dan bertanya.
"Pak, memangnya apa salah saya pak? Saya cuma didorong dari belakang, masa harus dipukul pake tongkat?? Tugas Bapak kan harusnya mengamankan acara, bukannya memukuli orang??"

Tentu saja aku tidak bersalah karena hanya terbawa suasana dan tidak akan berbuat makar. Tentu saja aku dalam keadaan sangat sadar, tidak ada bau alkohol dari mulutku, itu jika bau jengkol tidak dimasukkan kedalam perhitungan kehilangan kesadaran. Namun pertanyaan itu dijawab dengan bahasa tubuh yang menunjukkan akan memberikan beribu pukulan lanjutan. Mata melotot, tangan diatas kepala, mengangkat tongkat.
"Oke oke, piss pak, piss!!"
Dengan bahasa tubuh yang menunjukkan perdamaian ala kader golkar jaman menteri penerangan. Dengan putus asa aku mencoba mundur dari kerumunan depan panggung, meski dongkol, tapi itu bisa memperpanjang umur.

Pas band melanjutkan pertunjukkannya dengan lagu 'Kesepian kita' setelah Tere muncul di panggung."Berikutnya kita akan membawakan lagu kesepian kita, para penonton sekalian, jangan lupa ya, jangan pernah membeli kaset bajakan..." Ucapan Yuki diselingi iklan anti pembajakan.

"Ingatkah kawan kita pernah berpeluh cacian,
Digerayangi dan digeliati kesepian,
Walaupun sejenak lepas dari beban,
Tuk lewati ruang gelap yang teramat dalam...

Hidup ini hanya kepingan
Yang terasing di lautan,
Memaksa kita memendam kepedihan..."

Iramanya menurunkan tempo sejenak membuat massa terlena, menikmati ketenangan yang diberikan, sedikit bergoyang-goyang mengikuti irama dengan perasaan yang terlepas dari sekian banyak beban. Namun beban pukulan tongkat polisi di kepalaku itu masih belum bisa dipendam. Tidak cukup putus asa, akupun beranjak kembali kedapan panggung, sebelah kanan, dimana polisi keamanan lain sedang berjaga-jaga. Kuhampiri salah seorang diantaranya.
"Pak, tolong dong, diomongin sama teman Bapak yang di sebelah kiri sana, pas jaga konser jangan maen pukul sembarangan dong... Kita ga salah apa-apa kok dipukul..."

Polisi tersebut, beserta beberapa polisi lain, malah menunjukkan perilaku hendak memadamkan pemberontakan, tongkat diatas kepala. Menghindari benjolan berkelanjutan, aku pun berlari, menyusup dibalik keramaian massa.

Kenapa sih, kalian tidak bisa mengatasi permasalahan dengan berdiskusi? Kenapa sih kalian tidak bisa mengakui kesalahan dengan permintaan maaf? Kenapa sih orang-orang yang melawan keputusan kalian selalu akan lebih menderita daripada yang menuruti? Pertanyaan itu menjadi jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Sudahlah, memang demikan adanya, pikirku. Ketika mendengar Pas band membawakan lagu 'Perjalanan' akupun langsung membaur kembali dengan massa, kembali meloncat-loncat dan bernyanyi...

"Saat bernyanyi di perjalanan
Yang sempit dan buram,
Ingin menggapai langit perawan
Yang asam membumkam,
Menggapai sekat ruang yang berruang,
Meruak setiap lubang kesempatan..
Dan tak ada yang peduli dan mengerti..”

***

4 comments:

  1. parah abis....
    ni blog judulnya perjalanan semua...
    aarrghh....syus dululah....

    ReplyDelete
  2. huehehehuehueuheuhe perjalanan semua nya :) nama nya juga perjalanan

    ReplyDelete
  3. huehehehuehueuheuhe perjalanan semua nya :) nama nya juga perjalanan

    ReplyDelete
  4. ha ha.. memang perjalanan selalu menarik untuk dipaparkan...

    ReplyDelete