Saturday, October 19, 2013

mimpi yang tak sempurna

Pernahkah kau mengalami bermimpi yang terasa nyata?

Jika pernah, tentu kau mengerti bagaimana rasanya, jika belum, mungkin kau akan dengarkan ceritaku tentang bagaimana rasanya bermimpi yang seperti itu. 

Semua dimulai dengan kedatangannya yang seperti mimpi pada suatu hari yang biasa, dia datang membawa bermacam godaan yang menarik hati. Itu adalah wajah cantiknya yang merangkum kejelitaan, kekanakan, keceriaan, keunyuan, juga idungnya yang seperti keturunan Uzbekistan, sorot matanya yang berbinar kekanakan, senyum diantara bibir tipisnya yang menawan, alisnya yang melengkung berbaris rapi, rambutnya dan sebagainya itu.  

Dalam mimpi itu dia mempersembahkan suaranya yang mengandung kebawelan yang manis, dia mempersembahkan tawanya yang tercantik, sambil menceritakan segala sesuatu yang remeh, yang jarang ada dalam dunia nyataku. Selain dengan pesona dan gaya bahasanya yang khas dan selalu bermanja-manja itu, dia juga memiliki kemampuan yang mengagumkan untuk menceritakan padaku detail-detail yang tak biasanya kuingat. 

Ternyata mimpi bisa begitu indah, bercampur baur antara masa lalu, masa sekarang dan masa depan, yang semuanya hanya permainan jalinan-jalinan system saraf.  Kita bermain dengan imajinasi, tentang pertemuan, bermain dengan drama hidup dengan alur maju mundur, ada masa depan, bermain dengan anak yang akan bernama Curcuma Cocolatos yang cita-citanya mungkin ingin menjadi arsitek, dokter, atau bahkan ahli nuklir. 

Kehadirannya itu, dalam mimpi yang konsisten dari waktu ke waktu telah membuat kestabilan perasaanku terguncang, terbuka ruang-ruang yang baru yang sebelumnya tidak ada. Kehadirannya itu membawa semacam candu, membangkitkan berbagai hormon, membangkitkan perasaan tenang damai dan bahagia. 

Dia menawarkan rasa sayang, saat mendapati kisahku akan perasaan itu yang terkadang berakhir sendu. Dia menawarkan bahwa tak akan membiarkan ku terluka karena cinta lagi. Bagaikan dibuai-buai nyanyian seorang puteri, aku tersentuh, terjatuh sayang walaupun dia hanya berada di alam mimpi. Entah yang dinyanyikannya lagu-lagu yang nyata atau yang khayal belaka. 

Dalam pada itu dia memintaku untuk datang, menemuinya dan menjemputnya, untuk mencoba membawanya keluar dari alam itu, menuju alam nyata yang bisa dijalani berdua. Yang kuminta saat itu hanya waktu, waktu yang terbaik untuk mengawali semuanya. Tetapi waktu itu tidak pernah datang. 

Saat suatu hari terjadi sebuah pertemuan setelah dia sampai di alam nyata, keadaan tidak lagi sama. Bahwa apapun yang telah terjadi diantara aku dan dirinya adalah mimpi. Bahwa apa yang kami percakapkan selama ini tak lebih daripada bunga tidur. Meskipun sempat terasa nyata dan terasa indah, semua hanya mimpi yang tak sempurna yang akan terbenam di antara tumpukan memori.

Wednesday, October 02, 2013

Euro Trip Barcelona the city of Gaudi



Karya legendaris gaudi berikutnya terletak di puncak bukit, ada di utaranya pusat kota. Namanya Park Guell, yaitu sebuah taman di puncak bukit dengan bangunan-bangunan yang didesain oleh Gaudi. 

Menuju ke sana harus dengan melalui jalanan Baixada De La Gloria yang menanjak yang lumayan panjang lurus namun bertingkat-tingkat dengan anak tangga dan eskalator. Dengan nafas ngos-ngosan akhirnya bisa juga sampai di puncak sana. 

Banyak orang yang duduk-duduk bersantai menikmati pemandangan kota Barcelona dari atas, sebagian lagi berfoto sana sini, sebagian berkeliling menikmati arsitektur dan interior karya gaudi. 




Arsitektur Gaudi masih aneh seperti biasanya, dengan ubin-ubin marmer aneka warna yang sering membentuk aneka hewan. Salah satunya mungkin air mancur yang keluar dari kepala kodok atau mungkin biawak. Tempat ini adalah salah satu yang dikunjungi si Vicky dalam film Vicky Christina Barcelona itu. 

Setelah puas menikmati selasar yang ramai itu, akhirnya aku menelusuri jalan setapak, naik ke puncak bukit. Sambil menikmati bukit itu, lewatlah didepan ku seorang wanita yang berjalan sendirian. Karena wanita itu cantik dan sendirian, muncullah keisengan untuk menyapanya dan minta tolong untuk memfoto. 

Setelah aku difoto dengan gaya cicak nemplok di dinding, kami berkenalan dan ngobrol-ngobrol. 



Obrolan dimulai dari tempat- tempat wisata yang dia datangi, sampai ke kehidupan pribadi kami masing-masing. Dia yang sarjana sejarah bekerja di sebuah museum di San Fransisco. Dia traveling sendirian berkeliling Eropa sepertiku. 

Wanita itu, yang namanya katherine, berperjalanan sendirian dari negeri asalnya San Fransisco, Amerika, mengambil jatah liburan dari kantor. Dia traveling sendirian menjelajah eropa dengan rute yang berkebalikan dengan diriku, melalui Italia, Perancis, sampai ke Barcelona. 

Lalu dia menceritakan tentang Katedral Gaudi dengan penuh antusias. Latar belakang pendidikannya yang sejarah dan minatnya pada budaya dan seni membuat pembicaraan kami menjadi seru. Melebar-lebar sampai dia menceritakan adiknya yang minggu depan akan menikah, sementara dia sendiri belum. Sampai kuceritakan perihal disertasiku yang sedang mentok, yang sedang kutinggalkan buat jalan-jalan. 

Sayangnya hari ini adalah hari terakhir liburannya keliling eropa sebelum pulang ke amerika, sehingga tidak bisa diajak bertualang sama-sama. Lama kami berbincang-bincang sampai akhirnya tak terasa matahari sudah akan terbenam. “I have to go now. Gotta bacak to my hotel and leave tomorrow in the morning. It’s very nice talking with you.” Katanya sambil tersenyum lebar, ah manis sekali. 

“Very nice to meet you too” kataku, yang sedang meleleh.

Dia berjalan pergi, menuruni batu-batu, dan menghilang di balik rerimbunan pohon. Ketika dia sudah hilang, barulah aku teringat pada hal-hal penting seperti, lupa mengajak foto bareng, lupa meminta email. Arrrgh!! sungguh menyesal, hampir bisa dipastikan bahwa kami tak akan bertemu lagi. 

Sambil memendam penyesalan, aku memendaki menuju puncak bukit batu, di atasnya ada salib besar yang entah menggarmbarkan apa, orang-orang sedang terkesima dengan pemandangan sekitar yang saling berfoto. Maka tak ketinggalan, aku juga berfoto dengan pose the crusification of tama. 

Selesai berfoto, aku pun mengamati pemandangan matahari yang hampir tenggelam. Semakin turun menuju ke antara bukit di kejauhan. Di sebelah sana, kota yang bangunan dan jalannya tertata dengan begitu rapi dengan blok-blok kotak dari jaman dahulu kala, dari ujung laut sampai ke gunung, semakin meremang kehilangan cahaya matahari. 

Ketika itu tak sengaja terdengar percakapan dua orang abege dari yang dialeknya begitu Amrik, seorang pria dan dua orang wanita. Mereka membicarakan tentang agama. 

Si wanita kelihatannya kristen dan si pria diragukan, entah beragama atau tidak. 

“I’m an agnostik, i dont believe in religion because it only bring teror for us human.” Katanya, yang bagiku, dari cara ngomongnya yang berlebihan, kelihatan seperti sedang berusaha menarik simpati dua wanita temannya ini, kalimatnya membuatku yang berada semeter di belakang mereka jadi ikut menyimak. 

“The religion is dangerous,” katanya “In muslim countries they wouldn’t allow woman to drive a car, they have to wear a scarf to cover the hair. They aren’t allowed to go outside without relatives. Could you imagine to have restriction such that” katanya. Kedua wanita temannya mengiyakan. 

Lalu dia melanjutkan. “If people read their book, they will become  extreme, like the terroris on WTC, It really is a dangerous book.” katanya lagi. Aku yang mendengarkannya menjadi panas hati, ingin ikut menyela percakapan mereka. Dan tepat saat kata “excuse me” sudah menggantung di bibirku, salah satu mereka bilang.“Its getting dark now, lets go to some other place” Dan merekapun pergi. 

Tinggal aku yang terbengong, tak jadi menyela. Haruskah aku kejar mereka, untuk mendebat bahwa yang mereka katakan itu tentang agama islam itu jauh dari kebenaran?

Matahari telah turun dari peraduannya di ujung barat. Hari telah gelap. Aku ikuti bayangan mereka yang berjalan menuruni bukit, tinggal aku yang terduduk merasa tidak membela agama sendiri. 

Hari yang gelap dan kesendirian membuatku beranjak dan berjalan pulang. Melewati cahaya diantara gedung-gedung kota yang temaram.