Sunday, April 06, 2014

Eurotrip: a very short trip to Pisa


Kereta yang kutumpangi dari Stasiun Roma Termini menuju Firenze S.M.N. di sebelah utara meluncur dengan cepat. Di hadapanku duduk sepasang remaja berwajah asia yang menyebalkan, sepanjang jalan mereka bermesraan tidak karuan, menyebabkan dua jam perjalanan terasa tidak menyenangkan, karena di sebelahku duduk pria tengah baya yang terlihat kurang ramah, sehingga tidak kuajak ngobrol. 


Sampailah di Florence alias Firenze alias Florentia alias Fiorenza, satu kota dengan banyak nama ini. Hari sudah pukul empat sore ketika kulangkahkan kaki ke luar stasiun. Seperti biasa, tempat pertama yang kutuju adalah tourist information, karena aku belum merencanakan itinerary untuk tempat-tempat wisata selama di kota ini. Maka berjalanlah ke tourist information di sebelah kanan stasiun. 


Di sana ada orang, karena ini informasinya memang untuk orang. Mereka bisa bahasa inggris seperti biasanya. Maka aku meminta peta, gratisan, lalu meminta petunjuk objek wisata di kota ini. Petugasnya, seorang wanita muda yang telah terbiasa mendapat pertanyaan serupa menjelaskan dengan cepat tempat wisata yang bisa didatangi selama satu hari liburan, sambil corat sana coret sini di peta.  


Kuketahui kemudian bahwa letak kota Pisa cukup dekat dari Florence, sehingga memungkinkan untuk berkunjung ke sana menjelang malam ini. Maka kutanyakan pada petugas. 


“Bagaimana menuju Pisa? Apakah hari ini aku bisa bolak-balik ke sana.” Petugasnya melihat jam sejenak dan menjawab. 


“Ke Pisa memakan waktu satu jam perjalanan dengan kereta, tetapi jika sudah jam segini, kamu tidak bisa lagi ke sana karena hari ini ada demo, sehingga kereta berhenti beroperasi pada pukul 7 malam, lebih cepat dari biasanya. Kalau mau ke Pisa, sebaiknya besok saja.” Katanya. 


“Baiklah, satu lagi, tahukah mbak alamat hotel ini?” Setelah obyek wisata, berikutnya adalah menanyakan letak hotel, petugas menjelaskan juga dengan cepat cara menuju hotel.


“Bisa ditempuh dengan jalan kaki 15 menit dari belakang McD sana.” Katanya, sambil menunjuk. 


“Terimakasih.” Kataku. Luar biasa bermanfaatnya sebuah tourist information di pusat kota. Kota wisata di Indonesia perlu juga menyediakan layanan informasi turis ini di dekat stasiunnya, untuk membantu turis-turis yang tersesat dan berpotensi tersesat, sepertiku ini.


Maka berjalanlah aku ke penginapan, belok sekali, tanya sana-sini dan sampai. Di penginapan, aku masih saja memikirkan ingin ke Pisa, karena ini kesempatan satu-satunya setelah jauh ke Italia. Sampai penginapan, setelah check ini, kutanyakan kepada resepsionis hotel.


“Jika aku ingin ke Pisa bolak-balik hari ini masih bisakah? Naik apakah?” Petugasnya disela-sela kesibukannya yang melayani banyak turis yang sedang menginap menjawab dengan singkat. 


“Naik kereta, kalo jam segini sih ga mungkin bisa bolak-balik” begitu katanya, sambil berailh melayani turis lain, hotel sedang padat dengan tamu-tamu dan berbagai pertanyaannya. Sialun abang ini, sudah jawabannya ga enak, melayaninya juga tidak melayani. 


Tetapi kata sulit, tidak bisa, tidak mungkin, hanya menjelma menjadi pematik yang membakar rasa penasaranku. Masa sih? Masa sih ngga bisa? Maka detik itu juga kuputuskan untuk menuju ke stasiun kereta, mencari kereta yang bergerak menuju Pisa. 


Kebetulan di Stasiun ada kereta yang sedang mangkal, hendak menuju ke Pisa. Aku mendapat kereta jam 5.30 sore, sehingga jam 6.30 sudah bisa sampai di Stasiun Pisa Centrale. Pada musim panas ini matahari tenggalam jam 8an sehingga kota jam segini kota masih terang. 


Aku menghubungi petugas di loket stasiun dan menanyakan kapan kereta terakhir berangkat dari Pisa menuju Florence, katanya kereta terakhir jam 7an, berarti setengah jam lagi. Aku pun ke luar stasiun dengan langkah tergesa. 


Di luar, kutanyakan pada seorang berkulit gelap yang memakai kupluk putih, bagaimana cara menuju menara Pisa. Dia menjawab dengan bahasa yang kurang jelas, yang intinya mungkin aku harus menunggu bis dari halte di dekat gedung situ. Perjalanan ke sana sekitar 15 menit, kalau jalan kaki bisa 30 menit. Setelah menunggu beberapa menit, aku pun menjadi gelisah, tidak mungkin berangkat menuju Menara Pisa dengan bis, tidak akan sempat. Aku bimbang, apa kembali ke stasiun saja menunggu kereta pulang karena kabarnya angkutan yang bisa diandalkan menuju Florence hanya jalur kereta ini. Masa sudah jauh perjalanan, cuma untuk kembali pulang?


Maka aku berlari ke arah taksi dan menyuruh anak muda necis berkacamata hitam pengemudinya itu ngebut menuju Menara Pisa. Tetapi ini adalah kota yang padat sehingga dia tidak bisa ngebut. Pada satu bagian yang kelihatannya tinggal lurus, si pengemudi malah belok sana-belok sini membuatku sedikit curiga bahwa dia memperpanjang rute perjalanannya. Setelah sekitar 10 menit perjalanan, akhirnya sampailah di sana. Waktuku tinggal 15 menit sebelum kereta terakhir ke Pisa. 


“Bisa ga abang tunggu di sini sebentar, sementara saya foto-foto? Apa harus bayar?” tanyaku pada si anak muda. 


“Ya, argo harus tetap hidup.” Katanya, tidak mau meringankan bebanku. 


“Ya sudahlah, silahkan pergi, nanti aku cari taksi lain saja.” Kataku sambil membayar biaya taksi  8 Euro.  


Dengan tergesa-gesa aku berfoto di depan menara Pisa, jepret sana-jepret sini, tidak sempat naik, tidak sempat berjalan-jalan ke sekelilingnya, tidak sempat masuk ke gedung pekuburan antik di sebelahnya, tidak sempat menjelajah katedral di seberangnya, bahkan tidak sempat duduk-duduk di tamannya dimana orang sedang beraktivitas duduk santai, berpacaran, bermain frishbe, atau sekedar berfoto dengan aneka gaya yang aneh. Semua itu tidak sempat kulakukan. Hanya sempat meminta tolong foto orang yang lewat.

Melihat kaosku yang bertuliskan Oxford University, ibu berkacamaya yang kuminta tolong memfoto bertanya.


“Mahasiswa Oxford University mas?” tanyanya. Ingin kujawab dengan jawaban iya yang tegas dan berwibawa serta jumawa, tetapi tidak bisa. 


“Ngga siy, saya kuliahnya di Leeds University, UK.” Kataku sambil hanya senyum malu.


Sekitar lima menit berfoto, aku berlari menuju taksi yang sedang mangkal, sayangnya pengemudinya tidak kelihatan. Menunggu beberapa saat, untunglah ada taksi lewat, supirnya bapak-bapak berewokan bersurban, melompat, segera menuju ke stasiun. 

Dalam 10 menit aku sudah berada di stasiun, berlari-lari menuruni tangga menyeberang menuju Platform No.5 mencari kereta yang menuju Florence dan 5 menit kemudian pada pukul 7.15 kereta terakhir menuju Florence ini berangkat. Nafasku masih tersengal-sengal saat menaiki kereta itu. 


Namun aku puas, ternyata tetap bisa ke Pisa. Ternyata sifat keras kepalaku ada juga baiknya, jika tadi tidak bersikeras menempuh perjalanan ke Pisa, tentu hari-hari ke depan akan dihantui rasa penasaran tentang bagaimana menara itu. Meskipun hanya menghabiskan waktu lima menit di sana, meskipun lima menit berbuah sebuah foto itu seharga biaya taksi dua kali delapan euro, sekitar 200 ribu rupiah. 

Aku hanya tersenyum sambil menatap matahari terbenam dari balik jendela kereta. Kereta berjalan dengan kecepan lebih pelan daripada biasanya, melintasi padang rumput, hutan, perbukitan dan danau yang temaram. Di langit sana sekelompok burung-burung sedang terbang, mungkin hendak kembali ke sarang. Tentu menyenangkan beramai-ramai seperti mereka, kembali ke sarang..

Exploring the Leeds University Library

Langit buram dan awan mendung menggantung di langit Kota Leeds tak menghalangi langkah kakiku untuk menuju kampus Leeds University. Kulangkahkan kaki menelusuri trotoar jalan di Woodhouse Lane, mencapai pertigaan dan menyeberang melewati zebra cross setelah mendapati lampu petunjuk menyeberang jalan berwarna hijau. 

Di sebelah kanan adalah Parkinson Building, gedung yang berdiri megah dan menjadi Landmark Universitas, gedung yang berwarna kusam dengan latar belakang langit yang sering kelabu, beberapa mahasiswa santai duduk di tangganya yang besar-besar. Gedung-gedung universitas dinamai dengan nama ilmuwan, termasuk gedung ini yang namanya diambil dari seorang ahli ekonomi terkenal Northcote Parkinson, satu kalimatnya masih kuingat benar karena pernah dikutip oleh seorang dosen di kelas saat memberi tugas: “Work expands so as to fill the time available for its completion.” 

Salah satu contoh prakteknya adalah bahwa diberi tenggang waktu yang sepanjang apapun, mahasiswa masih akan bersantai dan mengerjakan tugasnya di akhir waktu, dan ujung-ujungnya tetap akan ada yang terlambat mengumpulkan tugas. Aku adalah penganut aliran menunggu dan mengejar deadline itu. Oleh karenanyalah tiap melewati gedung Parkinson, serta tiap mengumpulkan tugas di akhir waktu, selalu teringat kutipan manis itu.. 
Di dalam Parkinson Building terdapat berbagai fasilitas universitas: ruang pusat bahasa, museum seni dan Brotherton Library dsb. Perpustakaan yang ini dikhususkan untuk buku-buku ilmu sosial, hukum dan seni, beserta aneka koleksi buku-buku tebal tua dan manuskrip langka lainnya. Namun, perpustakaan tujuanku bukan di gedung ini, aku harus menuju perpustakaan lainnya, berbelok kanan melewati Parkinson Building, menelusuri jalanan di pinggiran gedung yang halamannya rumput hijau berhias aneka tanaman bunga. Jika matahari muncul, halaman hijau di sekitar gedung akan memutih karena mahasiswa-mahasiswi pada berjemur demi mendapatkan sedikit tambahan pigmen.
Universitas punya beberapa perpustakaan antara selain Brotherton Library, antara lain: The Health Sciences Library perpustakaan untuk ilmu-ilmu kesehatan, St James's University Hospital Library perpustakaan khusus kedokteran dsb, serta Edward Boyle Library. Edward Boyle Library adalah perpustakaan di jantung kampus yang dominan dengan koleksi ilmu pengetahuan, teknik, dan berbagai koleksi lainnya. Sebagai seorang yang mengaku berdarah engineer, tentunya di perpustakaan inilah harus menghabiskan waktu. 

Edward Boyle Library berlantai sampai dengan 13, yang dimulai dari lantai 8. Jangan ditanya letak lantai satu sampai dengan lantai tujuhnya, karena akupun tidak tahu ada dimana. Untuk memasuki perpustakaan, mahasiswa harus menggunakan kartu sakti KTM, tempel sedikit dan portal pengaman bisa didorong. Sungguh sakti kartu itu, kartu segala fungsi segala manfaat, yang awal-awalnya dulu sempat membuatku luar biasa terkesima. Salah satunya adalah untuk meminjam buku di perpus, hanya perlu menempelkan kartu pada mesin pemindai dan menscan barcode pada buku-buku yang diinginkan, selesai, langsung masukkan ke dalam tas dan melenggang pergi.

Memasuki perpustakaan, menghamparlah aneka rak-rak berisi lautan buku, komputer dan sebagainya. Biasanya pertama kali aku akan mampir ke pojok kanan, bagian literature dan sastra, membaca sedikit karya-karya Salman Rushdie yang banyak bertengger di sana, lalu menutupnya lagi dengan sedikit cacian hujatan, bukan apa-apa, cuma karena aku tak bisa memahaminya.
Setelah itu, biasanya aku akan masuk berjalan menelusuri lorong diantara rak buku, menuju ruang koleksi film dan melihat satu-satu aneka judul film itu. Berbagai film dari yang lama sampai yang baru bisa kita dapati di sini, termasuk itu film the Doors yang sudah sulit ditemukan DVD nya di pasaran. 

Karya sastra dan karya film itu selalu berhasil mendistraksi perhatianku dari tujuanku semula, apa tujuanku semula? Adalah pergi mencari referensi buku di bagian engineering, membaca sebanyak-banyaknya untuk mendapat sedikit pengertian pada landasan teori penelitian.

Buku adalah gudang ilmu, jika demikian, untuk menemukan satu gudang ilmu di dalam gudang besar berisi jutaan gudang ilmu lainnya ini kadang-kadang bukan perkara mudah. Pada papan informasi yang tersedia, ada petunjuk ringkas tentang keberadaan buku-buku di perpustakaan.
Dari lantai yang di pintu masuk, level 9 tempatnya buku-buku sejarah, tambang, literature, sastra dsb kita beranjak naik ke lantai atasnya melalui tangga, mengikuti kebiasaan mahasiswa lainnya. Kebanyakan mereka lebih suka sedikit olahraga turun naik tangga daripada naik lift yang tersedia.

Sampai ke Level 10 tersusun rapi rak-rak penuh buku mulai dari sejarah modern, biologi, hewan, dsb. Kadang aku mampir ke salah satu bagian ilmu psikologi dan mendapati beberapa buku yang cukup mencolok mata, salah satunya beberapa buku tebal dengan judul Essays on the Pleasure of Death. Luar biasa, sudahkah para penulisnya mengalami sendiri, sehingga bisa menulis esai tentang nikmatnya kematian? Pertanyaan itu belum terjawab karena aku terus menuju lantai berikutnya.

Beranjak dari lantai 10 ke lantai 11 rak-rak buku mulai terasa familiar, ada buku ilmu makanan dan engineering mulai dari kimia, ilmu komputer, sipil, minyak, material, matematika, mesin, tambang dsb. Sesekali dulu mampir ke bagian teknik sipil dan mencari referensi. 

Tetapi rak buku tujuanku tentunya tetap di Lantai 12, tempat ilmu-ilmu umum, biologi, sport, geografi, geologi, dan tentunya transportasi. Buku-buku yang sangat spesifik pada satu dua topik khusus ini di Indonesia bakal susah didapatkan. Beberapa rak buku transportasi itu sudah sering ku kunjungi dan sudah familiar dengan beberapa judulnya. Namun, untuk menemukan buku yang diinginkan dengan menekuri satu demi satu judul buku cukup membuang waktu. 

Oleh karenanya, jalan praktis yang bisa diambil adalah dengan mencari buku melalui katalog online yang tersedia pada komputer-komputer di dekat lift. Dengan menggunakan login mahasiswa, kita bisa mengakses library online, Jika mencari judul buku tertentu, pada bagian buku itu akan tertera judul, penulis, kode raknya, serta kode bukunya. Sehingga memudahkan kita mencari buku. Bahkan jika buku itu sedang dipinjam, kita bisa mengklik pemesanan sehingga orang yang sedang meminjam tidak bisa memperpanjang jangka waktu peminjaman, dan selanjutnya kita akan diberitahu jika buku itu sudah bisa diambil. Pada akun mahasiswa bisa dicek buku apa saja yang sedang dipinjam dan kapan harus diperpanjang atau dikembalikan. Akun tersebut juga sakti mandraguna untuk mendapatkan berbagai paper, jurnal, disertasi dan bermacam electronic resources lainnya dari dunia akademis, dengan sekali klik download. Luar biasa memudahkan, surga ilmu pengetahuan. 

Setelah menemukan buku yang kucari, ku ambil untuk menuju meja yang terdapat di sebelahnya, di lokasi silent study area. Area ini ditandai dengan tanda dilarang berisik, tidak perlu ada Rangga dan lemparan pensilnya, karena sepertinya kebanyakan orang mematuhi aturan yang tertera. Aku pun mulai membaca.
Perihal membaca buku itu, jangan dikira merupakan sebuah aktivitas yang bisa bertahan berjam-jam penuh konsentrasi. Biasanya beberapa lama melihat dan mempelajari rumus-rumus model matematika, di dukung penuh oleh ruangan yang terlalu sunyi senyap, hawanya yang terasa hangat dari penghangat ruangan yang ada di dekatnya, serta aroma-aroma buku-buku itu, akan membuat kantuk segera datang, rumus-rumus dan berbagai lambang matematika biasanya menjelma menjadi makhluk-makhluk kecil yang menggeliat keluar dari buku, dan pada ujungnya akupun jatuh ketiduran, kepala tertelangkup jatuh pada gudang ilmu yang sedang terbuka lebar. Itulah hal yang akan terjadi, setelah beberapa kali pembuktian secara empiris. 

Menyadari hal itu, aku sudah menyiapkan strategi: setelah membaca beberapa bagian akan ada sesi diskusi dengan seorang teman sekelas. Ruang diskusi ada di lantai paling bawah, lantai 8. Di sanalah seorang Arwa, wanita cantik berkerudung dari timur tengah yang jenius dan semua mata pelajaran mendapat nilai distinction, sedikit menjelaskan mengenai random taste of heterogeneity pada discrete choice modeling. Istilah itu tidak mungkin dinisbatkan pada sesuatu yang manis semanis potongan kue lapis legit, bahkan sepertinya bukan sesuatu bisa dimakan.. 

Satu dua jam diskusi dengan Arwa biasanya akan memberikan pencerahan pada satu dua persoalan yang tadinya mengganjal. Hal itu bisa menjadi bahan buat menulis bahan tugas atau landasan teori untuk thesis. Kesempatan yang baik setelah diskusi itu kugunakan dengan beranjak menuju ruang komputer cluster, di Lantai 10, membaca lagi, sambil mengetik rangkuman hasil bacaan. Jangan pernah menulis sesuatu yang sama dengan yang ada di buku, karena itu akan menjadi plagiarisme dalam dunia akademis. Kemampuan membolak-balik struktur kalimat dan mencari padanan kata sangat diperlukan. 

Sambil melirik kanan-kiri, berbagai suku bangsa pria dan wanita sedang asyik di komputer masing-masing, mungkin sedang mengerjakan tugas. Jika beruntung, selalu ada satu dua wanita blonde cantik yang rambutnya berpijaran keemasan terpapar sinar matahari sore. Pada musim ujian dan tugas-tugas besar biasanya ruang komputer selalu penuh. Pada hari-hari biasa, perpustakaan ini buka sampai jam 12 malam, dan pada masa-masa ujian akan buka selama 24 jam non stop. Tidak mengherankan jika pernah ada cerita orang hilang yang pengumumannya dimuat di halaman koran, setelah beberapa hari orang hilang itu ditemukan dalam keadaan mendekam di perpustakaan. Lost in the library, terdengar keren.

Tak terasa waktu pun berlalu, setelah berjam-jam berkonsentrasi, akhirnya jam menunjukkan pukul dua belas malam lebih, mata sudah semakin sayu, baterai sudah low. Jika satu hari terasa produktif, apalagi jika mendapat sesuatu ide dan bahan yang bisa dimasukkan ke dalam penelitian, membuat semacam perasaan senang. Membuat ingin segera pulang ke rumah dan memeluk orang rumah. Okey, orang rumah itu belum ada, cuma ada tetangga kos yang akan merasa aneh jika mendadak dipeluk. Tapi hal ini tak mengurangi euforiaku ketika berjalan pulang. 

Aku melangkah dengan langkah-langkah panjang kali lebar kali tinggi. Orang-orang Inggris kebanyakan hobi berjalan kaki dengan langkah lebar dan panjang, boleh jadi dua kali kecepatan jalan orang indonesia kebanyakan yang sedang bergerombol, lama-lama kebiasan langkah cepat itu menular, membawa semacam rasa optimis.

Aku berjalan pulang melalui lorong, berbelok menelusuri bangunan-bangunan tua yang gelap dan bersuasana mencekam. Berbelok lagi mencapai Parkinson building, melewati beberapa taksi yang masih parkir di depan gedung. Mencapai lampu merah, dan berpapasan dengan serombongan orang-orang yang mabuk baru dari club atau bar setempat, mungkin mereka hendak pulang, mungkin juga hendak melanjutkan maraton ke bar-bar lain di kota. Berhadapan denganku seorang wanita agak gemuk, berambut pirang berkostum peri. Apakah di depanku ini semacam penampakan halusinasiku yang disebabkan karena aku terlalu lama belajar?

“Emiliii” Teriaknya ketika melihatku.

Lalu dia bergerak mengejar dengan langkah sempoyongan, diikuti rombongan wanita teman-temannya. Ada apa ini? Sejak kapan namaku berubah menjadi Emili? Kebetulan lampu hijau tanda boleh menyeberang sudah hidup, aku pun lari menyeberang jalan, pergi menghindari wanita mabuk dan delusinya soal Emili.

Agak kontras memang, nuansa akademis surga ilmu pengetahuan di dalam kampus yang berlangsung sampai pagi, bersanding dengan hingar-bingar suasana kehidupan malam menyambut weekend yang juga berlangsung sampai pagi ini..