Tuesday, August 30, 2005

Spiritual kembali

Beberapa hari, minggu dan bulan belakangan ini, aku kembali dihadapkan pada perenungan. Seperti sebuah ungkapan, untuk dapat memanfaatkan hidup dengan sebaik-baiknya, kita harus melakukan perenungan yang sedalam-dalamnya tentang kehidupan. Dan, kali ini aku termenung, merenungkan tentang apa arti sebuah agama bagiku dalam kehidupan ini.

Ya, apa artinya semua rutinitas dan keseharianku dengan agama yang kupeluk. Agama islam. Bukan, bukan karena keraguan akan kebenaran ajarannya. Melainkan merenungkan kembali bagaimana agama itu menjadi pakaian bagiku, dan bagi kebanyakan orang, begitu banyak orang yang beragama sama, agama islam. Apakah Cuma berakhir sebatas pakaian bagi kami?

Suatu hari, saat bercengkerama dengan alam di puncak tangkuban perahu aku diingatkan oleh seorang pedagang sekaligus pemandu, dalam pembicaraan kita mengenai kehidupan beragama.

“Di dunia ini sekarang kita selalu lebih mementingkan kehidupan dunia dengan materinya daripada kehidupan beragama.“ Loh kok dia bisa berpikiran seperti itu, pikirku.
“Bukannya semestinya kita harus menyeimbangkan antara kehidupan beragama dengan kehidupan dunia pak.” Kataku.
“Kalau bicara soal keseimbangan, kita tidak akan sanggup. Coba lihat, berapa banyak waktu kita untuk mencari materi dan dunia, bandingkan dengan waktu untuk beribadah dan mengejar kehidupan akhirat! Tidak akan bisa seimbang!, Kalau mau seimbang, saat adzan datangi masjid dan langsung sholat berjamaah! Tinggalkan kesibukan lain!!” Jleb!!! Langsung menusuk ke sasaran. Meski pembelaan dalam hati menyatakan bahwa bukankah kita semua ada pada usaha yang mengarah pada hal itu, keseimbangan. Tapi belum ada bukti konkret yang menguatkannya.

Tak bisa dipungkiri, bahwa pandangannya benar. Meski banyak pandangan yang berbeda denganku yang merasa punya kehidupan terpelajar dibandingkan dengan dia yang punya keseharian di pegunungan. Tapi banyak pelajaran bisa didapat dari pemikirannya.

Tentang agama islam sebagai sesuatu yang diperoleh dari keturunan. Kalau diibaratkan sebagai sepatu, sebuah sepatu yang diperoleh dengan susah payah, oleh seseorang, kemudian diwariskan pada keturunannya. Akankah keturunannya menghargainya sebagaimana leluhurnya menghargainya?? Kita akan bisa lebih menghargai sesutau kalau kita berjuang untuk mendapatkannya. Dan konsep agama sebagai hasil perolehan keturunan bisa saja menghilangkan penghargaan terhadapnya.

Lantas apa yang bisa kita lakukan? Salah satu caranya adalah dengan berusaha memperjuangkan keislaman yang kita punya menuju pada taraf yang lebih maju. Tidak terbatas pada pakaian luar dan identitas pada KTP. Itulah perjuangan yang layak bagi penerus agama ini.

Aku dan lingkunganku, islam dan lingkungannya. Berapa banyak orang yang mengakui keesaan Allah SWT, Kenabian Muhammad SAW, dan kebenaran ajaran yang dibawanya, namun tak membekas pada perilaku sehari-hari.
Sholat yang hanya lima kali seharipun terkadang dilalaikan, belum lagi mencapai taraf apakah sholat ini sempurna, khusuk atau tidak. Belum lagi berbagai larangan agama yang ketika berada dalam sebuah komunitas, tak lagi menjadi sebuah larangan. Ketika terjadi usaha kearah perbaikan, selalu ada benturan-benturan dengan budaya berbeda yang hampir mengakar. Bisakan budaya islam ditegakkan di Negara ini?? Kalau jawabannya bisa,bagaimana??

Bagaimana caranya agar setiap orang islam memahami keberadaan agamanya tidak hanya sebatas penutup luar, melainkan merasuk sampai ke hati sanubari. Sehingga setiap ajaran moral yang ada pada agama tidak hanya berakhir sebatas wacana. Sehingga bisa terbukti bahwa agama ini merupakan ajaran moral yang paling universal.

Bagaimana di Negara ini korupsi bisa menjadi budaya, kriminalitas menjadi bagian dari keseharian, dan dunia menjadi tujuan. Mungkin kelihatan klasik, seperti pada ceramah agama maupun pengajian. Tetapi tetap saja, pelaku kejahatan, pencurian, bahkan pemerkosaan yang dilakukan oleh orang dengan pakaian islam, bahkan atribut haji yang disandangnya membuat miris hati ini. Apa masalahnya, tidakkah semua orang memahami ajaran agamanya? Atau kebanyakan cuma berada pada kulit terluar dan tidak bisa mencapai bagian terdalam bagi sebuah pemahaman religius? Kalau demikian halnya, adakah usaha setiap orang untuk memperdalam pengetahuannya mengenai agama??

No comments:

Post a Comment