Kutemukan dia pada suatu senja yang muram, sedang berceloteh tentang apa yang ditautkan seseorang pada perasaannya. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, sepertinya dia hanya ingin berbicara untuk berbicara daripada berbicara untuk didengar.
“Aku menyukai segala sesuatu yang dalam komposisi yang tepat untuk menyentuh indra dan perasaan. Tapi aku lebih menyukai keindahan yang hakiki, yang berasal dari ruhani dan jasmani yang sinergi.” Begitu dia memulai, lalu melanjutkan.
“Aku menyukai melayangkan pandang pada dirinya, seorang wanita yang kecantikannya memancar dari dalam hati.”
“Aku menyukai perilakunya yang selalu santun, yang anggun dalam membawa dan menjaga diri hingga menjadi seperti seorang putri.”
“Aku menyukai mendapat senyumnya yang menawan, yang terkadang berubah menjadi tawa riang yang tulus, yang terkadang polos dan kekanakan.”
“Aku menyukai tatapan matanya, yang jernih, hangat dan bersahabat, yang membawa makna lebih daripada seribu puisi di udara”
“Aku menyukai mendapati rona merah pada pipinya saat sedang tersipu.”
“Aku menyukai mendengar suaranya, yang senantiasa penuh kelembutan dan kebaikan, yang sesekali memperdengarkan tawa yang menyenangkan.”
“Aku menyukai musik yang sering didengarnya dengan serta merta meski aku baru pertama mendengarnya.”
“Aku menyukai bagaimana dia memulai hari, melakukan sesuatu untuk menjemput cita-cita, dan menutupnya pada malam hari.”
“Aku menyukai tidur dan kehadirannya dalam mimpi-mimpiku yang begitu intens dan nyata. Satu-satunya tempat dimana tangannya bisa kugenggam dan kutahan dari melangkah pergi.”
“Aku menyukai jika bisa berada dalam ruang dan waktu yang berbeda yang mempertemukanku dengan dirinya lebih cepat dari yang kini terjadi. Seperti aku menyukai untuk menghabiskan lebih banyak kejapan mata dengan berada dekat dirinya.”
“Aku menyukai perasaan ganjil ini, pereasaan entah bagaimana bisa menyukai apa saja yang berhubungan dengannya.”
Terlalu banyak yang dia bicarakan seperti bermonolog, hingga akhirnya aku menjadi tidak sabaran mendengarkan kelanjutannya yang seperti tak berkesudahan itu, hingga kusela perkataannya.
“Lalu apa masalahmu? Apa yang salah dengan menyukai itu semua?”
Dia menjawab.
“Aku tak menyukai satu saja dari semua. Tak menyukai akhir yang sudah bisa ditebak dari setiap perasaanku. Aku tak menyukai airmata yang akan menetes bersamaan dengan senyum yang akan kupaksakan saat mendapat sebuah surat undangan darinya, pada saat itu aku harus berbalik, melangkah pergi atau mengerjap seperti yang seharusnya.”
“Oh ya, kalau begitu kau punya masalah besar.” Sahutku.
“Tapi, aku masih akan menyukai melihat dirinya berbahagia, dengan apapun yang dia pilih atau dipilihkan Tuhan untuknya.”
“Kelihatannya, itu anugerah sekaligus musibah yang kau dapatkan kawan, tetaplah bersabar.”
Dia diam saja, duduk dengan pandangan menerawang menembus apa yang kelihatan demi melihat apa yang tak terlihat. Kutepuk-tepuk bahu teman ini sekedar untuk menguatkan dirinya atau meringankan bebannya. Lalu kutinggalkan dia seorang diri. Karena ku rasa tak ada yang bisa ku perbuat untuk menolongnya. Tak ada obat baginya, kecuali tentunya, orang yang dia bicarakan yang datang sendiri membawakan penawar bagi perasaannya. Bisa menemukan perasaan yang tulus pada seseorang adalah sebuah kebaikan yang patut dirayakan, namun harus melepaskannya pada saat yang bersamaan adalah suatu hal yang menyedihkan. Sungguh anugerah sekaligus musibah yang engkau dapatkan, kawan...
No comments:
Post a Comment