Friday, January 20, 2012

mimpi

Sedikit saja berbaring, saat sedang lelah, aku segera tersedot dalam pusaran yang meluruhkan diriku dan menyatukannya lagi pada suatu tempat yang baru kuketahui apa setelah aku tak berada di sana. Aku menjelma pada sosok yang tak kuketahui sebagai aku, aku menjadi sesuatu yang hanya kurasakan, bahwa itu aku.

Aku adalah burung, yang terbang mengepak-ngepak sayap menikmati awan, melayang melalui dorongan angin dan sewaktu-waktu memanjakan sayapku. Aku adalah burung itu yang mendadak jatuh berdebam ke rerumputan, dimana seorang anak kecil menemukanku dan membawaku pulang.

Aku adalah anak itu, yang berlari kegirangan membawa seekor burung tak berdaya yang kiranya terjatuh karena terlalu dalam mengukir jejak pada awan. Aku berlari-lari menuju satu arah. Ingin menujukkan apa yang kudapatkan kepada ayah, yang sedang menungguku di rumah.

Di tengah jalan, kulihat pohon-pohon mengembang meninggalkan gerak yang monoton. Mereka berjatuhan saling bersahut-sahutan membuat ku menghindar ketakutan dan menyelamatkan diri pada tempat yang tak pernah terpikirkan. Hanya satu yang ku tahu, aku terselamatkan.

Yang tak kusadari adalah bahwa pada saat berlari tubuhku mengembang menjadi seorang pemuda. Seorang pemuda yang pada saat melihat sekeliling, mendapari ternyata semua ruang, semua ruang yang ku pandang, hanya berwarna abu-abu. Aku tak bisa membedakan apa itu hitam, atau kah itu putih, semua hanya antara hitam dan putih. Sehingga dengan perasaan tak menentu aku mencari dimana sumber warna-warna berada. Siapa yang menyimpannya?

Aku menemukannya, pada seorang wanita, yang memberikanku setangkai kuas dan beberapa helai warna. Perlahan-lahan aku melukis komposisi sebuah pemandangan, tentu aku haru melukis ruang terlebih dahulu sebelum mulai melukis benda dan kata-kata. Tapi justru ku lukis hijau sebagai merah, biru sebagai kuning, dan hitam sebagai putih. Tidak bisa mewarnai sesuatu dengan komposisi yang sama dengan yang dipahami setiap orang lain.

Aku berlari lagi, ketika melihat bunga berwarna hitam yang berdaun jambu datang hendak menerkam. Mimpi apa ini? aku ingin keluar dari mimpi ini, dan memasuki mimpi yang lebih linear. Tentu harusnya aku berhak membuat dekorasi mimpiku dalam sebuah taman dimana suara air berpadu dengan hembusan angin meniup kelopak bunga ditunggangi lebah ke tempat mana saja yang mereka ingin suburkan.

Sampai suatu ketika kulihat seorang tua berwajah kejam, menatapku dengan sorot tajam, diiringi senyuman yang lebih mirip cibiran. Aku pernah melihat wajah itu, si tua penafsir mimpi sebagai Sigmund Freud, yang mendeteksi kegilaan orang lain dari obsesinya pada kegilaan diri sendiri. Apa kepentinganmu dalam mimpiku? Kusingkirkan manusia yang tidak relefan itu dengan kibasan tangan, dan kembali ke jalan. Kemana aku akan pergi? Bukankah aku tadi ingin pulang ke rumah, untuk menjumpai ayah? 

No comments:

Post a Comment