Monday, January 30, 2012

seribu kata untuk ayah

Ayahku, sekarang sudah berpulang ke tempat yang dituju semua manusia. Rangkaian peristiwa yang mengiringi kepergiannya berjalan begitu cepat, sehingga kami sekeluarga terkadang masih merasa heran, seperti sedang mengalami mimpi buruk dan berharap akan ada orang-orang yang terjaga yang segera membangunkan.

Ayahku, semasa hidupnya adalah orang yang polos dan sederhana. Beliau selalu berkata-kata dengan lugas. Memaksudkan apa yang dia ucapkan dan mengucapkan apa yang dia maksudkan. Selalu mengajarkan kejujuran dan kerendahan hati. Seorang yang terkadang tak terlalu banyak bicara, tetapi sering mengajak kami bercanda-tawa.


Ayahku, semasa hidupnya seorang yang selalu memiliki teman di mana saja, kemana kami pergi selalu ada satu dua orang yang akan bertegur sapa dengannya, selalu ada satu dua orang yang akan diajaknya berbicara. Selalu ada orang-orang yang memandang suka padanya dan bercanda-tawa. 

Ayahku disamping pekerjaannya yang baru setahun menjalani pensiun, telah didaulat menjadi seorang ketua RT seumur hidup oleh para tetangga, tentu saja bukan karena beliau sangat cocok untuk jabatan itu, tapi sejak beliau terpilih tak direlakan untuk melepas jabatannya dan tak ada yang mau bersusah-susah menggantikannya. Seperti para pemilihnya memilih cuci tangan. Sehingga panggilan Ibu RT masih melekat pada ibu sampai jauh hari setelah kepergiannya.

Ayahku, terlihat seperti sudah ingin memiliki cucu, selalu mengajak bermain anak-anak yang datang ke rumah. Sesekali menyindir abangku kenapa tak segera menikah, juga menanyakan padaku apakah tak ingin segera punya anak. Aku yang tak terlalu menanggapi dan belum sanggup menyanggupi perkatannya dulu.

Ayahku, senang mendengarkan lagu-lagu berirama nostalgia, lagu-lagu berbahasa jawa atau Qur’an Syeikh  Gomidi di waktu senggangnya. Sesekali mendendangkan lagu-lagu itu dengan cara yang sangat kurindukan, sesekali mengikuti melantunkan bacaan-bacaan Qur’an. Sekali waktu dia akan menanyakan padaku ini itu ini itu tentang permasalah agama yang sedang dikajinya, yang kujawab dengan itu ini itu ini sepengatahuanku. Sesekali dia akan menanyakan apa-apa yang ku kerjakan, yang tak selalu ku jawab dengan cara yang benar.

Ayahku, dalam pada itu selalu dalam kondisi sehat. Badannya yang berisi, yang selalu mengisi waktu senggang dengan berkebun. Beliau yang mulai menceritakan mimpinya untuk kembali ke desa tanah kelahirannya yang katanya sangat subur dan hijau, untuk menjadi seorang petani. Sampai kami menyadari, ternyata dalam fisik yang terlihat sehat itu terdapat sebuah penyakit yang berbahaya, yang sudah menggerogoti lima tahun lamanya. 

Ayahku, ketika keluar dari ruang dokter bersama ibu, terlihat tertekan karena diagnose tumor ganas itu. Namun dalam perjalanan pulang beliau hanya mengajak kami bersenda gurau dan tertawa-tawa, sehingga tak terasa pedih lagi hati kami akibat berita itu. Sehingga bisa kami tersenyum meski sebelumnya mata memerah. Sehingga kami belajar bagaimana tegar terhadap suatu masalah.

Ayahku, akhirnya berjuang dengan mencari berbagai pengobatan, tapi tak sabar menunggu hasilnya karena tekanan perasaan sakit itu. Kejadian-kejadian rumit yang sebegitu rupa sehingga pada akhirnya membuat kami menyerahkan semuanya pada ilmu kedokteran modern yang pada kenyataannya selalu mengutamakan opsi operasi dibanding yang lainnya.

Ayahku, akhirnya dirawat di rumah sakit pusat negeri ini. Sampai suatu waktu datang sebuah surat persetujuan operasi yang terpaksa ayah dan aku tanda tangani untuk menerima semua resiko yang bisa terjadi. Hingga akhirnya beliau terbaring lemah tak bisa berbicara lagi setelah operasi yang kelihatannya berhasil itu. Hingga begitu banyak dan macam obat yang harus diterimanya. Sampai ginjalnya gagal berfungsi, sehingga racun menyebar diseluruh tubuhnya. Air matanya menetes dan hanya menggeleng setiap kali ibu usap. Sehingga kami yakin ada dosanya yang diluruhkan karena perjuangan atau kesabarannya menahan perasaan sakit itu, selama dua bulan di rumah sakit itu.

Ayahku, seolah-olah hanya memikirkan kami pada masa terakhirnya, setelah beberapa hari dinyatakan kritis itu. Sehingga ketika ibuku mengatakan merelakannya, beliau baru bersedia pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Untuk menghilangkan sama sekali rasa sakitnya, dalam keadaan tenang. Selama masa itu ibu menjaga dan memaninya tanpa pernah merasa lelah, tanpa pernah satu kalipun mengeluh, juga tak pernah menunjukkan rasa putus asa akan sebuah kesembuhan.

Ayahku, mungkin tak tau isi pikiranku, bahwa aku merasa tak mungkin bisa menjadi seorang dokter yang layak untuk merawatnya. Yang sangat menghargai arti sebuah nyawa. Yang bisa menganggap seorang pasien seperti keluarganya sendiri. Yang bersedia meluangkan waktu untuk berbicara seperti seorang teman. Yang tidak membedakan seorang pasien berdasarkan uang yang dimiliki. Yang bersedia memberikan senyum yang tulus bukan karena pekerjaan. Yang bisa memilih kata-kata agar tidak menjadi bualan karena berusaha menentramkan dan tidak pula menyakiti karena menyampaikan kebenaran. Yang tidak memberi solusi dengan memberikan obat bagi setiap gejala secara parsial. Yang memahami ada faktor psikis dalam setiap tindakan fisik. Yang tidak menganggap memahami probabilitas, dan menyampaikannya dengan layak, sebagai kemewahan.

Ayahku, mungkin tak mengetahui perasaan anak-anaknya. Perasaan yang campur aduk karena kehilangan. Yang sedang belajar menerima setiap musibah meski kelihatannya selalu bertambah. Yang berusaha memandang semua dari sudut paling baik yang mungkin dilakukan. Yang terkadang merasa menyesal karena belum bisa mempersembahkan apapun yang terbaik seperti yang beliau inginkan.


Ayahku, mungkin tak bisa melihat. Masa-masa ketika aku memeluk dan menenangkan kakak perempuannya yang meratapi kepergiannya. Masa-masa ketika aku menenangkan ibuku yang menangisi kepergiannya. Masa-masa ketika kami terduduk lesu dan tak berdaya mengubah satu dua tindakan di masa lalu. Masa-masa ketika mereka melamun sejenak ketika membicarakannya. 

Ayahku, tentu tak bisa melihat rumahnya yang ramai didatangi oleh para tetangga selama seminggu penuh setelah kejadian itu. Tamu-tamu yang datang sampai memenuhi halaman pada hari ke-empat puluh sejak kepergiannya. Orang-orang yang membacakan ayat suci Al Quran dan mendoakan kebaikan baginya. Pak Lurah kenalannya yang selalu datang di setiap kesempatan. Teman-teman dekatnya yang turut menyesal merasa kehilangan. Anaknya yang berkelimpahan air mata saat mengingat dan mendoakannya.

Ayahku, pasti mengetahui betapa sempurna dan mulianya agama kami. Bahwa ketika buku hidupnya telah ditutup masih akan ada amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang bisa menambah catatan kebaikannya. Bahwa suatu saat akan ada masanya ketika dia dan keluarganya bisa dipertemukan kembali. 

Ayahku, mungkin bisa merasakan kehadiran anak-anaknya di sekitar pusaranya. Yang terkadang berbicara sendiri seolah-olah beliau ada dan mendengar, yang dalam bicaranta sering mendadak terbata dengan mata berkaca-kaca, yang hanya bisa menyampaikan rindu dengan taburan bunga-bunga yang basah, yang hanya memperlihatkan bakti dengan membersihkan rumput-rumput liar, yang hanya menyampaikan salam dengan doa dan harapan.

Ayahku, boleh jadi bukanlah ayah terbaik di dunia. Tapi tentu saja beliau tetap ayah terbaik untukku, yang telah melimpahkan kasih sayang, perhatian, pengetahuan, harapan dan segala yang dia punya kepada anak-anaknya. Yang menatap anak-anaknya dengan perasaan senang dan bangga, meski tak selalu mengatakannya...


Yaa Allah, Yaa Rahmaan, Yaa Rahiim
Ampunilah kesalahan dan kekhilafannya, dengan ampunan yang menyeluruh
Limpahkanlah rahmat kepadanya, dengan rahmat yang luas
Peliharalah dia dari siksa kubur dan azabnya dengan nikmat, rahmat, cahaya, dan keindahan hingga hari berbangkit nanti.

Yaa Allah, Yaa Rahmaan, Yaa Rahiim
Jadikanlah Al-Qur’anul Karim dan amalnya sebagai penghibur di alam kuburnya,
Sebagai pemberi syafaat di hari kiamat
Sebagai sinar, naungan dan penunjuk jalan pada hari perhimpunan semua makhluk
Sebagai pemberat amal baiknya pada hari penimbangan
Sebagai cahaya dan penuntunnya pada shirath
Sebagai penutup dan penghalang terhadap siksa neraka
Dan sebagai temannya di dalam surga.

Yaa Allah, Yaa Rahmaan, Yaa Rahiim
Engkaulah sebaik-baik pemberi peristirahatan, sebaik-baik pemberi nikmat, sebaik-baik pemberi rahmat.
Kami memanjatkan doa dengan penuh pengharapan kepadamu agar dia senantiasa mendapatkan syafaat, nikmat, dan rahmat.

Amin, Yaa Rabbal’alamin

Sunday, January 29, 2012

berhenti merokok

Semakin banyak pengetahuan mengenai akibat buruk rokok baik secara global dan lokal membuat banyak orang semakin antipati terhadap rokok. Sulitnya mengupayakan perubahan secara struktural, kultural dan sosial pada akhirnya membuat pergerakan bergerser ke ranah individual, wilayah yang paling kecil, yaitu bagaimana membuat orang per orang berhenti merokok. Ada banyak kisah sukses orang yang berhenti merokok sebanyak kisah gagalnya. 

Buatku, persoalan berhenti merokok ini dulu terasa sangat jauh di mata dekat di hati. Ada keinginan di dalam hati untuk berhenti secepatnya, yang sayangnya selalu berakhir dengan kegagalan. Seorang perokok sering berhenti merokok ketika sakit, ketika batuk, atau sakit yang agak parah seperti gejala tyfus dsb, biasanya rasa rokok menjadi tak enak. Sewaktu kuliah, beberapa kali aku berhenti merokok dengan alasan ini. Beberapa saat setelah sembuh, akhirnya kembali merokok lagi, begitu berulang kali. 

Salah satu yang membuat orang bisa berhenti merokok adalah alasan, latar belakang, motivasi. Motivasi bisa membuat orang melakukan hal yang sulit menjadi mudah, hal-hal yang kelihatan tidak mungkin menjadi mungkin.

Salah satu motivasiku adalah keluarga. Saat pulang ke rumah, di sana ada ayah, yang sudah berhenti merokok selama beberapa tahun terakhir. Beliau tak suka melihatku merokok, meski beliau tak menyuruhku berhenti merokok, beliau hanya mengatakan, “Kurangilah rokok itu, nanti badan terasa lebih enak”. Aku tak terlalu mengerti apa yang membuat ayah dulu secara tiba-tiba berhenti merokok, sementara teman-temannya di lingkungan pekerjaan maupun di sekitar rumah tetap dengan kebiasan merokok. Aku juga tak terlalu mengerti bagaimana caranya beliau dengan serta merta berhenti merokok.

Pernah suatu saat, saat ayah sedang di rawat di rumah sakit, satu ruagn dengannya ada pasien yang dirawat karena kerusakan paru-parunya, yang kelihatan sangat menderita. Ayah mengatakan: “Lihat, itu akibatnya karena kebanyakan merokok.” Lagi-lagi tidak menyuruh berhenti merokok. Akhirnya aku malah berjalan keluar dari gedung, mencari sebuah pojok, dan merokok. Adegan itu tersimpan di benakku dan pada akhirnya menguatkan alasan untuk berhenti merokok.

Setelah motivasi, faktor penting berikutnya untuk berhenti merokok adalah momentum, yaitu kapan kita akan berhenti untuk merokok. Momentum ku datang ketika berhenti bekerja dan memulai kuliah. Berhenti bekerja pada umur dua puluhan mengandung konsekuensi untuk menanggung biaya hidup sendiri berbekal tabungan yang sudah terkumpul.

Kuliah master membutuhkan biaya besar, mulai dari tempat tinggal, transportasi, buku, makan, hiburan dsb. Dengan pola hidup seperti masih memiliki penghasilan, mengerucutnya uang tabungan tetap saja jauh lebih cepat daripada menggelembungnya, hal ini menambah motivasi dan menjadi sebuah momentum yang tepat untuk berhenti merokok.

Akhirnya aku memutuskan untuk mulai berhenti merokok, asbak yang baru seminggu dibeli langsung kusingkirkan. Namun, berhenti merokok ternyata cukup sulit untuk dilakukan dengan serta merta, aku menetapkan dalam hati tidak akan membeli berbungkus rokok seperti biasanya. Akan ku kurangi jumlahnya secara signifikan, jika biasanya sebungkus sehari, menjadi sebatang sehari.

Biasanya keinginan untuk merokok datang paling kuat saat selesai makan, maka setiap kali selesai makan daripada menyalakan rokok, aku mengambil permen. Bermacam jenis permen dengan berbagai warna dan rasa pernah menghiasi meja belajar. Padahal terlalu banyak mengkonsumsi permen tidak baik juga karena dapat merusak gigi.

Merokok juga memiliki hubungan dengan konsentrasi. Semakin rutin dan banyak mengkonsumsi rokok disinyalir akan mengurangi kemampuan berkonsentrasi. Mungkin karena merokok itu adalah kegiatan yang berupa kebiasaan, yang dilakukan dengan menggerakkan tangan tanpa perlu konsentrasi. Sehingga aku mencari cara untuk meningkatkan konsentrasi, dengan menekuni hobi seperti menggambar, menulis dsb.  

Merokok berhubungan erat dengan stress, setiap kali stress hasrat merokok biasa datang. Itulah kenapa kebanyakan orang miskin justru semakin sulit berhenti merokok seberapa mahal pun harganya, karena rokok membantu mengalihkan perasaan stress mereka. Maka aku harus mencari cara mengurangi stress, bisa dengan berbagai hiburan musik, film, buku, dsb.

Untuk membantu konsentrasi sekaligus mengurangi stress biasanya cara yang efektif berzikir, membaca Qur’an secara rutin, serta sesekali membaca Yasin dan Tahlil. Dengan demikian pikiran menjadi lebih tenang, lebih sedikit stress, dan konsentrasi semakin meningkat. Bisa dipakai buat kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti belajar dan sebagainya.  

Merokok berhubungan erat dengan pergaulan. Banyak remaja yang memulai rokok dengan alasan pergaulan. Berkumpul dengan perokok akan menyebabkan kita ikut merokok, maka aku kurangi pergaulan. Jika biasanya pada kuliah S1 selesai kuliah segera nongkrong di himpunan melakukan kegiatan apa saja yang ramai-ramai, maka sewaktu kuliah S2 setiap selesai kuliah segera pulang ke rumah, kecuali jika ada ajakan makan siang dari teman-teman.

freedom!
Kesemuanya itu saling bantu-membantu untuk membuatku berhenti merokok. Pada akhirnya, pada hari itu, tanggal 28 Oktober 2010, aku tetapkan sebagai hari behenti merokok, sekaligus untuk memperingati hari sumpah pemuda. Dengan semangat para pemuda yang telah berjuang mempersatukan bangsa aku sepenuhnya berhenti merokok. 

Semua ternyata bisa dilakukan tanpa perlu biaya besar, tanpa perlu konsultasi ke dokter, tanpa perlu menggunakan hipnotherapi, tanpa alat-alat pengganti nikotin. Dan ternyata benar apa yang pernah ayah katakan, bahwa ketika berhenti merokok badan akan terasa lebih enak, lebih tenang, lebih jarang sakit, lebih hemat, aroma mulut lebih baik, dan bermacam kelebihan lainnya. 
Alhamdulillah.

Monday, January 23, 2012

merokok

Setelah sebelumnya menulis tentang rokok dan bermacam hal yang berkaitan dengannya, kali ini aku akan menulis tentang merokok, berdasarkan pengalaman pribadi. Ada baiknya aku memulai cerita sedari awal.

Sewaktu SD, saat teman-teman mandi di sungai, beberapa orang mulai membawa rokok, entah kebiasaan yang berasal dari mana. Waktu itu aku mencoba, tapi langsung terbatuk-batuk tak menyenangkan. Sewaktu SMP saat beberapa teman semakin banyak yang merokok, aku juga tak mencoba, bahkan termasuk grup anti perokok. Sewaktu SMA, karena disiplin sekolah yang ketat bersama kehidupan asrama, aku pun dijauhkan dari rokok. 

Ada sebuah kecendrungan bahwa anak-anak muda belia yang masih berseragam dan bercelana pendek itu akan kelihatan lebih keren dan lebih berani bila mereka sudah mulai merokok. Anggapan yang sangat konyol memang, saat itu mereka merokok karena pergaulan. Hal yang tidak berlaku buatku. 

Namun, pada hari yang tidak baik itu, sekitar tahun ketiga kuliah di Bandung, aku duduk seorang diri diantara warung-warung makan di Gelap Nyawang. Itu adalah saat aku memikirkan persoalan yang seakan tak memiliki penyelesaian, sedang tak ada seorang teman untuk berdiskusi atau sekedar bercerita. Lalu kuhampiri abang di salah satu kios, membeli sebatang rokok, rokok Gudang Garam (garpit). Untuk yang tidak mengerti rokok, jenis ini ada pada tingkat yang lebih berat, lebih banyak kadar tar dan nikotinnya dibanding rokok seperti Sampoerna atau Marlboro. Kenapa kupilih merek itu? karena aku telah mencoba Sampoerna dan tak merasa ada sesuatu yang istimewa.


Sejak saat itu, rokok telah jadi salah satu teman saat sepi, saat membaca buku sambil menghirup secangkir kopi, saat mengerjakan tugas-tugas di malam-malam panjang, saat memikirkan hal-hal yang nonlinear. Lalu perlahan rokok juga menjadi teman di saat ramai, saat rapat-rapat di himpunan, saat diskusi-diskusi kemahasiswaan, saat obrolan malam-malam di kampus yang tak jelas juntrungan. Salah satu lagu The Doors favoritku kala itu adalah “Soul Kitchen”, dimana salah satu liriknya “Speaking secret alphabets, I light another cigarette, learn to forget”.


Perokok jenis garpit adalah yang terlangka di himpunan di zaman itu, dimana orang-orang selalu membawa rokok jenis Jarum Super dan mild. Tak ada yang menyukai rokok garpit selain orang-orang tertentu, aku menyebutnya rokok dengan idealisme, out of mainstream. Saat rapat dan biasanya orang melempar rokoknya untuk dibagikan ke forum, maka kulempar sebungkus penuh rokok garpit dengan maksud untuk berbagi, akan dilempar kembali kepadaku dengan penuh juga dengan imbalan cercaan.

Singkat cerita, kebiasaan merokok ini terbawa hingga saat bekerja. Semakin berat beban pekerjaan, semakin banyak merokok, sehingga aku tak terlalu menyukai bekerja di ruangan ber AC yang hanya bisa merokok saat istirahat makan. Saat bekerja di lapangan, semakin banyak pula konsumsi rokok, saat itu bisa mencapai dua bungkus sehari. Sebungkus mild dan sebungkus garpit.

Jadilah sebagai seorang Engineer, yang mengurus pekerjaan di kantor dan di lapangan, mengurus apa saja, selalu dengan dua bungkus rokok di kantong. Orang-orang di lingkungan proyek sudah mengetahui kebiasaanku, bahwa saat aku mengeluarkan garpit, berarti pekerjaan sedang sulit dan suasana hati sedang tidak bersahabat. Sedangkan saat aku mengeluarkan rokok mild, berarti pekerjaan lancar, dan pikiran sedang tenang.

Sebenarnya aku ingin berhenti merokok. Waktu itu aku pernah membuat catatan dalam hati, aku akan berhenti merokok jika sang pacar memintaku untuk berhenti, kemauan dari sang pacar mungkin bisa menjadi motivasi yang kuat untuk itu, namun ternyata sang pacar yang baik hati tidak memintaku untuk berhenti, meski juga tidak suka melihatku merokok. Maka, aku mengurangi kegiatan merokok saat sedang bersamanya. Saat berada di dekatnya, setidaknya dia tak akan terkena oleh asap rokok ku.

Aku pernah dengan konyolnya mengatakan bahwa rokok adalah salah satu bahasa universal, ada saat ketika seorang pria bertemu dengan pria lain, mulanya tidak saling tegur sapa. Salah seorang pria akan menghidupkan rokok, dan menawarkan pada pria di sebelahnya. Pria di sebelahnya tak perlu menjawab, hanya dengan memberikan isyarat tangan bahwa dia tak perlu rokoknya, lalu segera mengeluarkan rokok sendiri. Lalu mereka merokok bersama, dan percakapan pun dimulai, suasana menjadi lebih cair. Mereka menjadi bersahabat secepat frekuensi isapan dan hembusan asap dari rokok yang bergemeretak.

Jika di satu sisi faktor kesehatan dan sebagainya memberikan berbagai dasar dan argumen kenapa orang harus berhenti merokok, di sisi lain para perokok selalu bisa memberi berbagai argumen untuk tetap merokok. Ada sekian banyak argumen untuk merokok, sebanyak argumen untuk tidak merokok. 

Saturday, January 21, 2012

rokok

Baru saja bangun tidur tengah malam, membuka komputer dan mendapati postingan pada facebook mengenai rokok: Vanguard: Sex, Lies, & Cigarettes, "Smoking Baby" and Big Tobacco in Indonesia dari link youtube. Vanguard ini serial dokumenter yang mengeksplorasi tentang isu-isu global yang berdampak sosial luas seperti kriminal, perdagangan obat-obatan dan pemberontakan bersenjata. Dan ternyata kasus perokok di Indonesia termasuk salah satu bagian dari hal-hal diatas. 

Tayangan itu dimulai dengan menceritakan pusat kota Newyork yang penuh dengan semua jenis advertising, kecuali satu: rokok, yang sudah dilarang oleh pemerintah. Juga diceritakan bahwa harga sebungkus Marlboro 12 USD. Lalu reporternya terbang ke Indonesia dan mengatakan perjalanan itu seperti perjalanan menembus waktu, dimana dia kembali ke masa lalu di negaranya, masa dimana iklan rokok bertebaran dimana-mana dan industry rokok sangat berkembang. Harga sebungkus rokok hanya 1.2 USD saja. Indonesia adalah the new Marlboro country. 

Diceritakan tentang para perokok yang kebanyakan adalah anak muda, tentang anak usia 2 tahun yang sudah kecanduan rokok, tentang industry rokok yang ingin mendapatkan lebih banyak anak muda merokok sebagai investasi untuk masa depan perusahaan, tentang aturan tentang rokok yang selalu gagal disepakati oleh anggota DPR karena intervensi perusahaan, tentang orang-orang yang berjuang untuk mencegah semua itu terus berlanjut beserta pro dan kontra nya. 

Iklan rokok di Indonesia memang sangat banyak, bertebaran di sepanjang jalan dari perkotaan hingga pedesaan. Di perkampungan kecil antara Aceh dan medan saja balihonya sangat membius: “Ini Panamas Bung!”. Iklan televisinya selalu jadi salah satu yang terbaik, sangat masal dan keren yang tentunya berbiaya besar. Iklan dari setiap event juga tidak kalah banyak, setiap event musik besar selalu disponsori oleh rokok, sponsor untuk acara olahraga juga rokok, tanpa rokok entah bisa atau tidak orang Indonesia mengelar liga sepakbola indonesia atau menonton liga inggris. Sebuah fakta yang.. menggiriskan. 

Industri rokok memang agak susah dihilangkan dari Indonesia. Penyerapan tenaga kerja yang sangat banyak, sekitar 6.1 juta orang bekerja di Industri itu, sekitar 33.2 juta jiwa jumlah orang yang bekerja terkait langsung dengan industry rokok, belum lagi jumlah pedagang asongan yang mendapat penghasilan terutama dari menjual rokok. Dengan kata lain, keberlangsungan hidup banyak orang tergantung di situ. Jumlah para perokok yang terus bertambah, bahkan perkembangan perokok wanita meningkat pesat karena mengikuti perkembangan pergaulan. Pengharaman oleh MUI yang selalu menghadapi pro dan kontra, serta kemungkinan besar adanya campur tangan perusahaan-perusahaan untuk mengatur regulasi melalui anggota DPR. Belum lagi penghasilan Negara yang dihasilkan dari pajak rokok yang katanya mencapai sepuluh persen dari APBN. 

Akhir kata, berhubung pagi sudah menjelang dan perlu tidur lagi, aku hanya bisa menyimpulkan bahwa permasalah rokok ini, memang adalah permasalahan sulit, dilematis. Seperti dulu setiap kali seseorang mengingatkanku untuk berhenti merokok, aku selalu bilang. “Untuk memikirkan permasalahan-permasalahan sulit gw perlu merokok, untuk berhenti merokok gw perlu memikirkan kenapa dan bagaiman caranya, karena ini adalah permasalahan sulit.” Sehingga makin sering aku ingin berhenti merokok, semakin banyak aku merokok. Dan, begitulah seterusnya.. 

Referensi:
http://www.youtube.com/watch?v=hG8vw3MRRyM&feature=related 
http://current.com/shows/vanguard/93219795_sex-lies-cigarettes-vanguard-sneak-peek.htm
http://www.smallcrab.com/kesehatan/541-demi-uang-indonesia-korbankan-kesehatan-masyarakat
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/11/02/lu16en-industri-rokok-enggan-cantumkan-gambar-akibat-merokok-di-bungkus-rokok

Friday, January 20, 2012

menyayangi kalian

Malam ini, barusan saja tadi.

Aku berjalan-jalan, keliling kota sendirian. Sendirian? ya biasalah, karena kebanyakan teman jauh, dan mantan kekasih juga jauh, sudah biasa aku keliling sendirian. Meski juga kota ini adalah kota kelahiran. Keliling kota sendirian biasanya hanya akan membuat kita merasa gundah, seperti tak punya teman.

Aku bertemu teman, namanya Eca. Teman baru, baru saja berkenalan. Kami bercerita-cerita sebentar, sebentar saja, tak berlama-lama. Dia bercerita tentang pekerjaannya, tentang keluarganya, tentang bagaimana dia merasa bosan dengan pekerjaannya dan ingin berkeluarga, lalu menjadi ibu rumah tangga saja. Umurnya baru 21 mungkin, dia sudah merasakan kegelisahan itu, apalagi aku yang sekarang sudah berumur... entah berapa, tak jadi masalah, hanya belum ketemu jodoh. Kami mempunyai keinginan yang sama, tapi aku tau, kami tidak akan menjalaninya bersama.

Lalu aku pulang, entah kenapa terasa perasaanku berbeda dari sebelum-sebelumnya. Aku mengamati sekeliling, kulihat ada orang-orang berjualan di pinggir jalan. Berjualan apa saja, padahal ini sudah malam, waktunya tidur. Mungkin jam kerja mereka berbeda dengan jam kerja kebanyakan orang lain.

Salah satunya ada yang berjualan martabak bangka, Bangka? Perasaan ku selalu sedikit bergetar mendengar kata bangka, sedikit saja, tak perlu banyak-banyak. Aku hampiri, meski tak begitu lapar, mungkin ada orang-orang lain di rumahku atau di mana saja yang nanti bisa ketemu, yang perlu ku belikan makanan. Kalaupun tak ada, aku tetap akan membeli hanya untuk membuat penjualnya senang.

Yang menjual seorang Bapak memakai kopiah, seorang ibu memakai jilbab yang mungkin isterinya, juga seorang anak perempuan yang sama mungkinnya adalah anak mereka. Mereka bekerjasama dengan sinergis untuk menyediakan pesanan. Aku senang sekali melihat mereka. Mereka berusaha hingga semalam ini, yang kulihat disepakati oleh hampir semua orang sebagai pukul 11 malam. Mereka berusaha mencari penghasilan dengan cara yang baik. Mereka terlihat ceria, dan sepertinya tidak sedang memaki kehidupan yang membuat mereka masih bekerja hingga semalam ini. Dan banyak orang-orang seperti mereka ini. Yang bekerja dari cinta, oleh cinta, untuk cinta. Cinta yang universal maksudku, cinta kepada kehidupan dan pemberi kehidupan, bukan cinta sempit menggebu-gebu yang kurasakan kepada mantan kekasihku sampai saat ini.

Aku seolah-olah mendapat sedikit perasaan dari mereka, tertular sedikit. Aku merasa nyaman, merasa dipenuhi perasaan sayang. Entah fenomena psikologi apa ini namanya. Aku berjalan pulang, mengucapkan terima kasih pada mereka. Aku jadi merasa menyayangi mereka, jadi merasa meyayangi kalian semua yang bekerja untuk untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik, aku menyayangi kalian yang berjuang untuk merawat anak-anak kalian, aku menyayangi kalian yang bekerja demi diri kalian sendiri, aku meyayangi kalian orang-orang yang lewat di jalan, aku meyangi orang yang tadi terlalu ngebut sehingga hampir menabrakku, yang menyadarkanku bahwa hidup perlu disyukuri, aku menyayangi kalian yang malam-malam begini sedang berkumpul di pinggir jalan, entah untuk tujuan apa. Aku meyayangi orang tuaku yang nanti akan terbangun untuk membukakan pintu. Aku meyayangi kalian semua teman-temanku, temanku yang sedang bersama anaknya yang kemarin ku datangi, temanku yang senasib dengan ku yang kemarin sama-sama mendatangi, teman-temanku lainnya yang jauh yang kadang-kadang mengirimkan pesan-pesan untuk menghiburku, juga teman jauh ku yang menceritakan kesedihannya untuk mendapat hiburan dariku. Orang-orang yang telah ku kenal dan yang akan ku kenal. Aku menyayangi kalian semua.

Aku sedang tak membenci kalian, pemerintahku. Karena toh kalian bekerja demi kepentingan banyak orang, dan selalu akan ada hal-hal baik yang kalian hasilkan. Hanya kami saja yang jarang menyadarinya, sehingga selalu mencari hal-hal buruk dari kalian untuk ikut kami sesali, karena sesungguhnya kami menyesali kehidupan kami sendiri, mungkin kami hanya mencari sesuatu dari luar diri untuk melampiaskan sedikit rasa marah. Aku sedang tak membenci artis-artis atau tayangan tentang artis ini artis itu yang sering terasa betapa tak pentingnya, kalian juga manusia yang perlu disayangi, yang perlu pencapaian. Aku sedang tak membenci orang yang telah merebut mantan kekasihku. Aku sedang tak membenci diriku yang tak berhasil menjaga perasaan mantan kekasihku. Aku sedang tak membenci apapun. Karena kita semua sama, hanya sedang menjalani peranan yang sedang dipilihkan untuk kita, jika kita menolak menjalani peran ini, berusaha saja, masih banyak peran lain yang bisa dimainkan.

Entah berapa lama perasan ini akan bertahan, aku sadar, mungkin tak lama. Karena jiwa masih berfluktuasi dan mencari titik kesetimbangannya. Karena selalu akan ada masalah di setiap hari yang kita lalui. Masalah yang selalu saja, jika diurai akan semakin panjang, dan jika digulung akan semakin pendek. Aku masih percaya, semua akan indah, kalau tidak pada saat ini, mungkin sekejap kemudian, atau beberapa kejap kemudian, tak perlulah jumlah kejapan itu kita hitung. Hanya percaya, itu saja yang kita butuhkan.

Aku meyangi kalian semua.

Salam.

Catatan 25 Januari 2010

mimpi

Sedikit saja berbaring, saat sedang lelah, aku segera tersedot dalam pusaran yang meluruhkan diriku dan menyatukannya lagi pada suatu tempat yang baru kuketahui apa setelah aku tak berada di sana. Aku menjelma pada sosok yang tak kuketahui sebagai aku, aku menjadi sesuatu yang hanya kurasakan, bahwa itu aku.

Aku adalah burung, yang terbang mengepak-ngepak sayap menikmati awan, melayang melalui dorongan angin dan sewaktu-waktu memanjakan sayapku. Aku adalah burung itu yang mendadak jatuh berdebam ke rerumputan, dimana seorang anak kecil menemukanku dan membawaku pulang.

Aku adalah anak itu, yang berlari kegirangan membawa seekor burung tak berdaya yang kiranya terjatuh karena terlalu dalam mengukir jejak pada awan. Aku berlari-lari menuju satu arah. Ingin menujukkan apa yang kudapatkan kepada ayah, yang sedang menungguku di rumah.

Di tengah jalan, kulihat pohon-pohon mengembang meninggalkan gerak yang monoton. Mereka berjatuhan saling bersahut-sahutan membuat ku menghindar ketakutan dan menyelamatkan diri pada tempat yang tak pernah terpikirkan. Hanya satu yang ku tahu, aku terselamatkan.

Yang tak kusadari adalah bahwa pada saat berlari tubuhku mengembang menjadi seorang pemuda. Seorang pemuda yang pada saat melihat sekeliling, mendapari ternyata semua ruang, semua ruang yang ku pandang, hanya berwarna abu-abu. Aku tak bisa membedakan apa itu hitam, atau kah itu putih, semua hanya antara hitam dan putih. Sehingga dengan perasaan tak menentu aku mencari dimana sumber warna-warna berada. Siapa yang menyimpannya?

Aku menemukannya, pada seorang wanita, yang memberikanku setangkai kuas dan beberapa helai warna. Perlahan-lahan aku melukis komposisi sebuah pemandangan, tentu aku haru melukis ruang terlebih dahulu sebelum mulai melukis benda dan kata-kata. Tapi justru ku lukis hijau sebagai merah, biru sebagai kuning, dan hitam sebagai putih. Tidak bisa mewarnai sesuatu dengan komposisi yang sama dengan yang dipahami setiap orang lain.

Aku berlari lagi, ketika melihat bunga berwarna hitam yang berdaun jambu datang hendak menerkam. Mimpi apa ini? aku ingin keluar dari mimpi ini, dan memasuki mimpi yang lebih linear. Tentu harusnya aku berhak membuat dekorasi mimpiku dalam sebuah taman dimana suara air berpadu dengan hembusan angin meniup kelopak bunga ditunggangi lebah ke tempat mana saja yang mereka ingin suburkan.

Sampai suatu ketika kulihat seorang tua berwajah kejam, menatapku dengan sorot tajam, diiringi senyuman yang lebih mirip cibiran. Aku pernah melihat wajah itu, si tua penafsir mimpi sebagai Sigmund Freud, yang mendeteksi kegilaan orang lain dari obsesinya pada kegilaan diri sendiri. Apa kepentinganmu dalam mimpiku? Kusingkirkan manusia yang tidak relefan itu dengan kibasan tangan, dan kembali ke jalan. Kemana aku akan pergi? Bukankah aku tadi ingin pulang ke rumah, untuk menjumpai ayah?