Pada suatu hari yang entahlah antara cerah atau
mendungnya, seorang pria sudah agak tua dengan kepala bulat dan janggut tebal yang
dikenal sebagai Socrates sedang berjalan-jalan di pasar. Badannya yang gemuk
membuatnya bergerak dengan lamban di antara para pedagang yang sedang
menjajakan barang. Sebagaimana biasanya, dia menghampiri salah seorang yang
dilihatnya di jalan yang dilaluinya untuk berdialog, bertanya jawab, sekedar
membuktikan kesalahan ramalan Apollo bahwa tidak ada orang yang lebih bijaksana
daripada dirinya. Saat itu dilihatnya seorang anak muda sedang termenung, tidak
sedang berusaha dagang sebagaimana yang lainnya di pasar, maka dihampirinya.
Socrates: “Hoi, apa kabarmu anak muda?”
Pemuda: “Hoi juga Pak Tua, bukankah Bapak ini
Socrates yang terkenal bijaksana itu, maaf saya tak melihat kapan Pak datang.”
Socrates: “Kenapa kau tidak bekerja seperti yang
lain, hanya termenung begini, hidup dengan pikiranmu sendiri di hari yang sepantasnya
untuk bekerja.”
Pemuda: “Saya sedang kebingungan Pak Guru,
berhubungan dengan suatu masalah, mengenai cinta dan pernikahan. Saya belum
bisa memikirkan dan melakukan hal-hal lain karena persoalan ini.”
Socrates: “Jangan
panggil saya Guru, karena saya belum tentu bisa mengajarkan sesuatu, saya hanya
bisa membantumu berpikir. Panggil saja saya sesuai nama. Hmm, sepertinya berat
juga masalahmu. Pernahkah sampai ke telingamu, tentang dialog antara saya dan Plato
pada suatu ketika saat pohon jambu di halaman tetangga sedang berbuah waktu
itu?”
Pemuda: “Belum Pak Soc, mungkin Pak berkenan untuk menerangkan.”
Socrates: “Di musim yang lalu, Plato dan
teman-temannya pernah datang dan bertanya, apa hikakatnya cinta itu? Mungkin dia
menanyakan itu karena mengalami perasaan jatuh cinta. Sebagai yang lebih
berpengalaman, aku katakan padanya untuk pergi ke dalam hutan, dan mencarikan
sebatang pohon apapun yang paling indah, paling sehat, dan paling berkenan
dalam penglihatannya, untuk dibawa kepadaku.”
Pemuda: “Selanjutnya apa yang terjadi Pak Soc?”
Socrates: “Setelah kembali, Plato datang dan
mengatakan telah berjalan sepanjang hari ke hutan itu, melihat bermacam-macam
pohon yang indah, kuat, dan sehat, tetapi saat akan memotongnya merasa
ragu-ragu karena hatinya berkata hutan masih luas dan di dalamnya mungkin masih
banyak pohon yang lebih indah, oleh sebab itu dia tidak mau memotongnya, tanpa
terasa hingga sore datang dan harus pulang sebelum hari jadi gelap. Dia meminta
maaf karena tidak bisa membawakan pohon seperti yang ku inginkan.”
Pemuda: “Apalah arti sebuah pohon itu Pak Soc, lalu
apa yang Pak Soc bilang?”
Socrates: “Itulah dia hakikat cinta, ketika engkau
belum puas dan menemukannya, maka kau akan terus mencari dan mencari, melihat sesuatu dan membandingkannya dengan
yang lain, sehingga hanya kehampaan yang didapatkan.”
Pemuda: “Super
sekali Pak Soc, setelah ke hutan apa Plato lalu ke pantai?”
Socrates: “Belum
selesai, anak muda gila, karena besoknya Plato kembali datang, kali ini
bertanya tentang hakikat pernikahan. Aku suruh dia kembali ke hutan lagi untuk
melakukan seperti sebelumnya, setengah hari Plato sudah kembali dengan membwa
sebatang pohon Zaitun yang elok dan segar kepadaku, sehingga kutanyakan
kepadanya apakah ini pohon terbaik yang dia temukan? dia menjawab bahwa inilah
pohon yang baik dan segar yang dia dapatkan, walaupun dia tahu bahwa pohon ini
bukanlah pohon yang terbaik di dalam hutan sana, tetapi dia telah memilih pohon
ini karena tidak mau terulang lagi seperti hari sebelumnya, yaitu pulang dengan
tangan hampa.”
Pemuda: “Bagus
pohon itu Pak Soc? Lantas apa maksudnya semua itu?”
Socrates: “Itulah
hakikat pernikahan, dimana kau memutuskan memilih yang baik menurut pandanganmu
dan walaupun engkau tahu bahwa itu bukanlah yang terbaik, engkau menentukan
sikap dalam memilih, sebuah pengambilan keputusan yang berani dalam menerima
kelebihan dan kekurangan.”
Pemuda: “Pak
Soc, ceritamu membuat saya sedih.”
Socrates: “Kenapa
jadi kau yang bersedih anak muda?“
Pemuda: “Betapa
tidak Pak, sayapun telah mengalami kejadian sebagaimana ilustrasi tersebut.
Saya pun telah mengalami berbagai peristiwa jatuh cinta yang tidak ada
ujungnya, tiada habisnya, yang membuat saya sadar untuk menyudahi semua ini.
Saya pun telah mengalami menentukan pilihan, untuk menerima segala sesuatu yang
ada pada orang yang ingin saya nikahi.”
Socrates: “Bukankah
itu bagus anak muda, lalu kenapa kau bermuram durjana?”
Pemuda: “Itulah
masalahnya Pak Soc, itulah masalahnya, mungkin Pak Soc belum pernah mengalami
sebuah penolakan yang pahit setelah perjalanan panjang yang ditempuh?”
Socrates: “Ceritakan
anak muda, ceritakan.”
Pemuda: “Tak
mau saya menceritakannya Pak Soc, karena baru ini mengalami peristiwa yang
sedemikian langka. Telah saya tempuh jarak raturan kilo untuk menemui seorang
wanita. Selama beberapa minggu Saya persiapkan dengan sebaiknya sebuah
bingkisan untuk wanita itu yang saya cinta. Sebuah kotak besar, saya bawa
sendiri dari rumah sampai stasiun, dari stasiun sampai ke penginapan, dari
penginapan sampai ke rumahnya. Setiap yang melihat saya sepanjang perjalanan itu,
selalu menatap kotak yang saya bawa, seperti bertanya isinya apa. Kalau mereka
bertanya tentu saya jawab ini persembahan untuk cinta saya. Pak Soc, apa masih
mendengarkan?”
Socrates: “Lanjutkan
anak muda.”
Pemuda: “Jadi,
saya bawa bingkisan itu ke rumahnya untuk dipersembahkan kepadanya dalam rangka
memuliakan hari kelahirannya. Supaya kotak itu diterimanya tepat pada malam hari
kelahirannya. Saya ketuk pintu rumah itu, dengan perasaan berdebar. Ayahnya
menyambut saya dengan keramahan, dengan basa-basi sewajarnya. Tetapi yang tidak
wajar, adalah sambutan dirinya, yang tidak menghendaki kedatangan saya. Katanya
saya seorang yang egoisnya luar biasa yang sedang berniat buruk padanya. Dengan
marahnya dia hanya mengirim pesan dan tidak mau datang menyambut saya. Tau Pak
Soc apa yang saya rasakan saat itu? Rasa malu, pucat wajah saya, gemetar,
tertunduk kepala saya, tidak tau apa yang akan saya katakan lagi kepada
Ayahnya. Saya tau kedatangan saya yang tiba-tiba itu salah, tetapi tidak ada
niat saya untuk berbuat buruk, saya hanya berniat baik menyampaikan hadiah.”
Socrates: “Lantas
apa yang anak muda lakukan?”
Pemuda: “Saya memohonnya untuk
keluar sebentar. Setelah dia muncul, terpaksa saya segera pamit pulang, dengan
perasaan yang tidak karuan. Saya tau tak akan melihat rumah itu lagi, tertunduk
jalan saya, tertatih langkah saya. Baru ini saya mengalami begitu dilecehkan, begitu dipermalukan,
terluka harga diri saya.”
Socrates: “Lantas
bagaimana perasaanmu anak muda?”
Pemuda: “Saya
merasa, inilah perasaan cinta yang saya rasakan, serta keyakinan untuk menempuh
hidup baru yang pernah saya rasakan, saya tak tau kapan
akan mendapatkan perasaaan yang serupa itu, sehingga mau tidak mau harus saya
perjuangkan dengan membawa niat baik untuk datang ke rumahnya. Tetapi, saya juga
sudah tau bahwa perjalanan itu akan sia-sia, tetapi tetap saya tempuh. Saya tau
bahwa ini hanyalah persembahan terakhir dari saya, saya tidak mengharapkan
balasan apa-apa, hanya menginginkan bisa menikmati saat-saat bersamanya yang
terakhir kali, untuk menjadi sebuah kenangan manis, saya hanya tidak menyangka
akan menjadi sebuah kenangan pahit.“
Socrates: “Kau tidak salah anak muda,
karena jika engkau
menginginkan kebaikan, harus dilaksanakan selagi engkau mampu, tidak ada
kebaikan yang boleh dilakukan dengan cara yang buruk. Tetapi jika engkau
menginginkan keburukan, segeralah hardik jiwamu karena telah menginginkannya. Apakah anak muda menyesal?”
Pemuda: “Tidak, tidak akan saya
menyesal. Itu semua yang terbaik yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki
keadaan.”
Socrates: “Apakah cinta anak muda kemudian beralih
menjadi benci?”
Pemuda: “Tidak, tidak mungkin saya membencinya, orang
sepertinya selalu akan membuat saya jatuh cinta lagi dan lagi.. Saya hanya
merasa bahwa kehidupan saya sedang diuji, pasti ada maknanya semua yang saya
jalani ini. Pasti ada sesuatu yang baik setelah semua kejadian ini.”
Socrates: “Benar anak muda, akhirnya
kau sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan yang belum teruji bukanlah suatu
kehidupan yang layak dijalani. Dan ingatlah, hidup selalu berubah, tidak pernah ada kondisi manusia yang tetap. Sehingga
kita tidak boleh terlalu gembira dengan
nasib baik atau terlalu mengeluh
dengan kemalangan.”
Pemuda: “Iya Pak Soc, tetapi saya masih
bersedih.”
Socrates: “Tak perlu kau bersedih lagi anak muda, kesedihan membuat akal terpana dan tidak
berdaya. Jika kau tertimpa musibah atau kesedihan, terimalah dia dengan
keteguhan hati dan berdayakanlah akal untuk mencari jalan keluar.”
Socrates: “Mungkin kau belum mendengar bahwa
tubuh merespon cinta dengan dua cara, ada yang merespon secara buruk sehingga
cinta berubah menjadi racun, merusak tubuh dan menyebabkan kematian, tetapi
adapula bentuk cinta yang bekerja sebagai obat dan menyegarkan tubuh serta
pemikiran. Tetapi apapun reaksi itu, konsep utamanya adalah cinta merupakan
kekuatan yang mampu merubah sesuatu, mampu mentransformasi sesuatu. Tinggal
bagaimana kau berusaha, agar perasaan cinta itu menjadi sebuah obat..”
Pemuda: “Tak perlu semua obat itu Pak Soc, saya ingin menikmati
menjalani sakit ini, biarkan dia menyeret saya dalam kesucian atau kegilaan. Hanya
saja, terkadang saya berpikir, apakah ini memang takdir saya, untuk selalu
bermasalah dengan urusan percintaan.”
Socrates: “Segala yang terjadi padamu adalah hasil dari tindakanmu
sendiri, tidak ada sesuatu yang disebut takdir itu, bahkan meskipun takdir itu
ada, itu bisa ditulis ulang. Bahkan Oedipus yang diramalkan akan membunuh
ayahnya dan menikahi ibunya pun, sebenarnya tak lebih dari kesalahan ibunya
dalam membuat keputusan untuk membuangnya hanya karena sebuah ramalan. Nasib
kita tergantung dari usaha kita, bukanlah karena ketidakpedulian Tuhan”
Pemuda: “Apakah mungkin ini karena doa saya belum didengar?”
Socrates: “ Doa apa itu anak muda, sebuah doa harusnya adalah
mengharapkan kebaikan yang bersifat umum, karena hanya Tuhan yang Maha Tahu apa
yang terbaik bagi manusia.”
Pemuda: “Bisa jadi bisa jadi. Pak Soc, kenapa jadi terdengar
religius.. Apa habis ikut tausiah Aa Gym?”
Socrates: “Pertanyaanmu perlu diteliti kembali anak muda.”
Pemuda: “Sepertinya memang benar Pak Soc yang paling bijaksana di
Athena.”
Socrates: “Tidak demikian. Hanya saja, apa yang saya tidak
tahu, saya tidak berpikir bahwa saya tahu.. orang yang bijaksana bukanlah orang
yang mengetahui atau bersifat seolah mengetahui sesuatu, melainkan adalah orang
yang tahu bahwa dia tidak tahu. Dan saya tahu bahwa saya tidak tahu..”
Pemuda: “Pak Soc, saya sedang bersedih, jangan saya
dibuat berpikir hal-hal yang berat itu, Paradok tentang tahu itu, itulah kenapa
saya selalu lebih suka tempe..”
Socrates: “Sia-sia ngomong denganmu anak
muda, baiklah saya lanjutkan perjalanan. Lebih mudah mengajarkan kepada Plato
tentang Idea daripada mengajakmu bicara. Ingatlah anak muda Jalan terdekat untuk meraih kemuliaan adalah
dengan berusaha keras menjadi apa yang kamu inginkan dan sesuai dengan apa yang
kamu pikirkan.”
Pemuda: “Terimakasih Pak Soc, aku padamu, jangan
diminum racun itu, mending Pak Soc lari..”
Socrates: “Kematian mungkin berkah yang terbesar
untuk umat manusia. Untuk takut mati hanyalah berpikir bahwa kita bijaksana tanpa
menjadi bijaksana, karena kebodohan adalah menganggap mengetahui sesuatu yang
kita sama sekali tidak tahu..”
Setelah dialog itu si pemuda semakin bingung dan
bersedih, sementara Socrates pun melanjutkan perjalanannya..
Baca postingan ini rasa2nya cocok smbil dengerin lagunya the rain ft endang sukamti yg terlatih patah hati. Salam~
ReplyDeletebaca komentarnya langsung dicoba dengarkan lagu endang nya..
ReplyDelete