Saturday, February 01, 2014

dialog antara Socrates dengan Pemuda yang mencinta

Pada suatu hari yang entahlah antara cerah atau mendungnya, seorang pria sudah agak tua dengan kepala bulat dan janggut tebal yang dikenal sebagai Socrates sedang berjalan-jalan di pasar. Badannya yang gemuk membuatnya bergerak dengan lamban di antara para pedagang yang sedang menjajakan barang. Sebagaimana biasanya, dia menghampiri salah seorang yang dilihatnya di jalan yang dilaluinya untuk berdialog, bertanya jawab, sekedar membuktikan kesalahan ramalan Apollo bahwa tidak ada orang yang lebih bijaksana daripada dirinya. Saat itu dilihatnya seorang anak muda sedang termenung, tidak sedang berusaha dagang sebagaimana yang lainnya di pasar, maka dihampirinya.


Socrates: “Hoi, apa kabarmu anak muda?”



Pemuda: “Hoi juga Pak Tua, bukankah Bapak ini Socrates yang terkenal bijaksana itu, maaf saya tak melihat kapan Pak datang.”



Socrates: “Kenapa kau tidak bekerja seperti yang lain, hanya termenung begini, hidup dengan pikiranmu sendiri di hari yang sepantasnya untuk bekerja.”



Pemuda: “Saya sedang kebingungan Pak Guru, berhubungan dengan suatu masalah, mengenai cinta dan pernikahan. Saya belum bisa memikirkan dan melakukan hal-hal lain karena persoalan ini.”



Socrates:  “Jangan panggil saya Guru, karena saya belum tentu bisa mengajarkan sesuatu, saya hanya bisa membantumu berpikir. Panggil saja saya sesuai nama. Hmm, sepertinya berat juga masalahmu. Pernahkah sampai ke telingamu, tentang dialog antara saya dan Plato pada suatu ketika saat pohon jambu di halaman tetangga sedang berbuah waktu itu?”



Pemuda: “Belum Pak Soc, mungkin Pak berkenan untuk menerangkan.”



Socrates: “Di musim yang lalu, Plato dan teman-temannya pernah datang dan bertanya, apa hikakatnya cinta itu? Mungkin dia menanyakan itu karena mengalami perasaan jatuh cinta. Sebagai yang lebih berpengalaman, aku katakan padanya untuk pergi ke dalam hutan, dan mencarikan sebatang pohon apapun yang paling indah, paling sehat, dan paling berkenan dalam penglihatannya, untuk dibawa kepadaku.”



Pemuda: “Selanjutnya apa yang terjadi Pak Soc?”



Socrates: “Setelah kembali, Plato datang dan mengatakan telah berjalan sepanjang hari ke hutan itu, melihat bermacam-macam pohon yang indah, kuat, dan sehat, tetapi saat akan memotongnya merasa ragu-ragu karena hatinya berkata hutan masih luas dan di dalamnya mungkin masih banyak pohon yang lebih indah, oleh sebab itu dia tidak mau memotongnya, tanpa terasa hingga sore datang dan harus pulang sebelum hari jadi gelap. Dia meminta maaf karena tidak bisa membawakan pohon seperti yang ku inginkan.”



Pemuda: “Apalah arti sebuah pohon itu Pak Soc, lalu apa yang Pak Soc bilang?”



Socrates: “Itulah dia hakikat cinta, ketika engkau belum puas dan menemukannya, maka kau akan terus mencari dan mencari, melihat sesuatu dan membandingkannya dengan yang lain, sehingga hanya kehampaan yang didapatkan.”



Pemuda: “Super sekali Pak Soc, setelah ke hutan apa Plato lalu ke pantai?”



Socrates: “Belum selesai, anak muda gila, karena besoknya Plato kembali datang, kali ini bertanya tentang hakikat pernikahan. Aku suruh dia kembali ke hutan lagi untuk melakukan seperti sebelumnya, setengah hari Plato sudah kembali dengan membwa sebatang pohon Zaitun yang elok dan segar kepadaku, sehingga kutanyakan kepadanya apakah ini pohon terbaik yang dia temukan? dia menjawab bahwa inilah pohon yang baik dan segar yang dia dapatkan, walaupun dia tahu bahwa pohon ini bukanlah pohon yang terbaik di dalam hutan sana, tetapi dia telah memilih pohon ini karena tidak mau terulang lagi seperti hari sebelumnya, yaitu pulang dengan tangan hampa.”



Pemuda: “Bagus pohon itu Pak Soc? Lantas apa maksudnya semua itu?”



Socrates: “Itulah hakikat pernikahan, dimana kau memutuskan memilih yang baik menurut pandanganmu dan walaupun engkau tahu bahwa itu bukanlah yang terbaik, engkau menentukan sikap dalam memilih, sebuah pengambilan keputusan yang berani dalam menerima kelebihan dan kekurangan.”



Pemuda: “Pak Soc, ceritamu membuat saya sedih.”



Socrates: “Kenapa jadi kau yang bersedih anak muda?“



Pemuda: “Betapa tidak Pak, sayapun telah mengalami kejadian sebagaimana ilustrasi tersebut. Saya pun telah mengalami berbagai peristiwa jatuh cinta yang tidak ada ujungnya, tiada habisnya, yang membuat saya sadar untuk menyudahi semua ini. Saya pun telah mengalami menentukan pilihan, untuk menerima segala sesuatu yang ada pada orang yang ingin saya nikahi.”



Socrates: “Bukankah itu bagus anak muda, lalu kenapa kau bermuram durjana?”



Pemuda: “Itulah masalahnya Pak Soc, itulah masalahnya, mungkin Pak Soc belum pernah mengalami sebuah penolakan yang pahit setelah perjalanan panjang yang ditempuh?”



Socrates: “Ceritakan anak muda, ceritakan.”



Pemuda: “Tak mau saya menceritakannya Pak Soc, karena baru ini mengalami peristiwa yang sedemikian langka. Telah saya tempuh jarak raturan kilo untuk menemui seorang wanita. Selama beberapa minggu Saya persiapkan dengan sebaiknya sebuah bingkisan untuk wanita itu yang saya cinta. Sebuah kotak besar, saya bawa sendiri dari rumah sampai stasiun, dari stasiun sampai ke penginapan, dari penginapan sampai ke rumahnya. Setiap yang melihat saya sepanjang perjalanan itu, selalu menatap kotak yang saya bawa, seperti bertanya isinya apa. Kalau mereka bertanya tentu saya jawab ini persembahan untuk cinta saya. Pak Soc, apa masih mendengarkan?”



Socrates: “Lanjutkan anak muda.”



Pemuda: “Jadi, saya bawa bingkisan itu ke rumahnya untuk dipersembahkan kepadanya dalam rangka memuliakan hari kelahirannya. Supaya kotak itu diterimanya tepat pada malam hari kelahirannya. Saya ketuk pintu rumah itu, dengan perasaan berdebar. Ayahnya menyambut saya dengan keramahan, dengan basa-basi sewajarnya. Tetapi yang tidak wajar, adalah sambutan dirinya, yang tidak menghendaki kedatangan saya. Katanya saya seorang yang egoisnya luar biasa yang sedang berniat buruk padanya. Dengan marahnya dia hanya mengirim pesan dan tidak mau datang menyambut saya. Tau Pak Soc apa yang saya rasakan saat itu? Rasa malu, pucat wajah saya, gemetar, tertunduk kepala saya, tidak tau apa yang akan saya katakan lagi kepada Ayahnya. Saya tau kedatangan saya yang tiba-tiba itu salah, tetapi tidak ada niat saya untuk berbuat buruk, saya hanya berniat baik menyampaikan hadiah.”



Socrates: “Lantas apa yang anak muda lakukan?”



Pemuda: “Saya memohonnya untuk keluar sebentar. Setelah dia muncul, terpaksa saya segera pamit pulang, dengan perasaan yang tidak karuan. Saya tau tak akan melihat rumah itu lagi, tertunduk jalan saya, tertatih langkah saya. Baru ini saya mengalami  begitu dilecehkan, begitu dipermalukan, terluka harga diri saya.”   



Socrates: “Lantas bagaimana perasaanmu anak muda?”  



Pemuda: “Saya merasa, inilah perasaan cinta yang saya rasakan, serta keyakinan untuk menempuh hidup baru yang pernah saya rasakan, saya tak tau kapan akan mendapatkan perasaaan yang serupa itu, sehingga mau tidak mau harus saya perjuangkan dengan membawa niat baik untuk datang ke rumahnya. Tetapi, saya juga sudah tau bahwa perjalanan itu akan sia-sia, tetapi tetap saya tempuh. Saya tau bahwa ini hanyalah persembahan terakhir dari saya, saya tidak mengharapkan balasan apa-apa, hanya menginginkan bisa menikmati saat-saat bersamanya yang terakhir kali, untuk menjadi sebuah kenangan manis, saya hanya tidak menyangka akan menjadi sebuah kenangan pahit.“



Socrates: “Kau tidak salah anak muda, karena jika engkau menginginkan kebaikan, harus dilaksanakan selagi engkau mampu, tidak ada kebaikan yang boleh dilakukan dengan cara yang buruk. Tetapi jika engkau menginginkan keburukan, segeralah hardik jiwamu karena telah menginginkannya. Apakah anak muda menyesal?” 



Pemuda: “Tidak, tidak akan saya menyesal. Itu semua yang terbaik yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki keadaan.”



Socrates: “Apakah cinta anak muda kemudian beralih menjadi benci?”


Pemuda: “Tidak, tidak mungkin saya membencinya, orang sepertinya selalu akan membuat saya jatuh cinta lagi dan lagi.. Saya hanya merasa bahwa kehidupan saya sedang diuji, pasti ada maknanya semua yang saya jalani ini. Pasti ada sesuatu yang baik setelah semua kejadian ini.”



Socrates: “Benar anak muda, akhirnya kau sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan yang belum teruji bukanlah suatu kehidupan yang layak dijalani. Dan ingatlah, hidup selalu berubah, tidak pernah ada kondisi manusia yang tetap. Sehingga kita tidak boleh terlalu gembira dengan nasib baik atau terlalu mengeluh dengan kemalangan.”  



Pemuda: “Iya Pak Soc, tetapi saya masih bersedih.”



Socrates: “Tak perlu kau bersedih lagi anak muda, kesedihan membuat akal terpana dan tidak berdaya. Jika kau tertimpa musibah atau kesedihan, terimalah dia dengan keteguhan hati dan berdayakanlah akal untuk mencari jalan keluar.”



Socrates: “Mungkin kau belum mendengar bahwa tubuh merespon cinta dengan dua cara, ada yang merespon secara buruk sehingga cinta berubah menjadi racun, merusak tubuh dan menyebabkan kematian, tetapi adapula bentuk cinta yang bekerja sebagai obat dan menyegarkan tubuh serta pemikiran. Tetapi apapun reaksi itu, konsep utamanya adalah cinta merupakan kekuatan yang mampu merubah sesuatu, mampu mentransformasi sesuatu. Tinggal bagaimana kau berusaha, agar perasaan cinta itu menjadi sebuah obat..”



Pemuda: “Tak perlu semua obat itu Pak Soc, saya ingin menikmati menjalani sakit ini, biarkan dia menyeret saya dalam kesucian atau kegilaan. Hanya saja, terkadang saya berpikir, apakah ini memang takdir saya, untuk selalu bermasalah dengan urusan percintaan.”



Socrates: “Segala yang terjadi padamu adalah hasil dari tindakanmu sendiri, tidak ada sesuatu yang disebut takdir itu, bahkan meskipun takdir itu ada, itu bisa ditulis ulang. Bahkan Oedipus yang diramalkan akan membunuh ayahnya dan menikahi ibunya pun, sebenarnya tak lebih dari kesalahan ibunya dalam membuat keputusan untuk membuangnya hanya karena sebuah ramalan. Nasib kita tergantung dari usaha kita, bukanlah karena ketidakpedulian Tuhan”



Pemuda: “Apakah mungkin ini karena doa saya belum didengar?”



Socrates: “ Doa apa itu anak muda, sebuah doa harusnya adalah mengharapkan kebaikan yang bersifat umum, karena hanya Tuhan yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi manusia.”



Pemuda: “Bisa jadi bisa jadi. Pak Soc, kenapa jadi terdengar religius.. Apa habis ikut tausiah Aa Gym?”



Socrates: “Pertanyaanmu perlu diteliti kembali anak muda.”



Pemuda: “Sepertinya memang benar Pak Soc yang paling bijaksana di Athena.”



Socrates: “Tidak demikian. Hanya saja, apa yang saya tidak tahu, saya tidak berpikir bahwa saya tahu.. orang yang bijaksana bukanlah orang yang mengetahui atau bersifat seolah mengetahui sesuatu, melainkan adalah orang yang tahu bahwa dia tidak tahu. Dan saya tahu bahwa saya tidak tahu..”

Pemuda: “Pak Soc, saya sedang bersedih, jangan saya dibuat berpikir hal-hal yang berat itu, Paradok tentang tahu itu, itulah kenapa saya selalu lebih suka tempe..”



Socrates: “Sia-sia ngomong denganmu anak muda, baiklah saya lanjutkan perjalanan. Lebih mudah mengajarkan kepada Plato tentang Idea daripada mengajakmu bicara. Ingatlah anak muda Jalan terdekat untuk meraih kemuliaan adalah dengan berusaha keras menjadi apa yang kamu inginkan dan sesuai dengan apa yang kamu pikirkan.



Pemuda: “Terimakasih Pak Soc, aku padamu, jangan diminum racun itu, mending Pak Soc lari..”



Socrates: “Kematian mungkin berkah yang terbesar untuk umat manusia. Untuk takut mati hanyalah berpikir bahwa kita bijaksana tanpa menjadi bijaksana, karena kebodohan adalah menganggap mengetahui sesuatu yang kita sama sekali tidak tahu..”



Setelah dialog itu si pemuda semakin bingung dan bersedih, sementara Socrates pun melanjutkan perjalanannya..

2 comments:

  1. Baca postingan ini rasa2nya cocok smbil dengerin lagunya the rain ft endang sukamti yg terlatih patah hati. Salam~

    ReplyDelete
  2. baca komentarnya langsung dicoba dengarkan lagu endang nya..

    ReplyDelete