Sunday, February 23, 2014

surat cinta untuk yang telah tiada


Hey kamu,

Apa kabarmu?

Sejak kamu pergi waktu itu, belum berkurang perasaanku padamu..

Sejak kamu pergi waktu itu, berhari bermalam berbulan aku menanggung rindu, rindu untuk bertemu, rindu yang berubah menjadi sendu karena kita tidak bisa lagi bertemu, karena kita sudah terpisah ruang dan waktu.

Sejak kamu pergi waktu itu, sering aku menatap masa lalu, mengenang hari-hari itu ketika kita saling melengkapi, ketika kita melakukan aktivitas apa saja kemana saja, pada siang pada malam, pada terang pada gelap, ke pantai, ke bukit, ke semua penjuru kota, ke pelosok desa. Kita bermain, kita berdiskusi, kita berdebat, kita tertawa, kita menangis, kita menjalani hidup, kita merayakan hidup. 

Sejak kamu pergi waktu itu, terkadang muncul kembali bayanganmu itu utuh, dari ujung kaki hingga ke kepala, dari gerakan besar hingga ekspresi kecil pada sudut bibir atau matamu. Kamu hadir dengan tawamu yang selalu menyenangkan, pipimu yang tersipu saat biasanya kupandang, tutur katamu yang enak didengar, bunyi-bunyi aneh yang sering kamu dendangkan, semua yang tiba-tiba muncul dan membayang, semuanya yang biasanya membuat cinta.

Sejak kamu pergi waktu itu, tak bisa lagi aku siapkan aneka kado ulang tahun yang spesial. Kado dan serangkaian kejutan yang akan selalu berbeda setiap tahun, tetapi akan selalu ada sebuah lukisan di situ, lukisan hasil dari menterjemahkan cantik raut wajahmu menjadi goresan di atas secarik kertas kosong. 

Sejak kamu pergi waktu itu, tak akan lagi terucap kata yang terbata dari bibir ini, yang ingin mengutarakan maksud hatinya untuk meminangmu. Hati ini telah merasa nyaman, menemukan damai, dan menumbuhkan sayang. Karena hati sudah ingin berhenti dari mencari-cari tempat persinggahan lainnya, telah didamaikan pula antara dirinya dengan pikiran. Kita sama tidak sempurna, karena segala sesuatu di dunia tidak ada yang sempurna, bukankah yang perlu kita lakukan adalah mencintai yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna. 

Sejak kamu pergi waktu itu, angan-angan untuk menghabiskan hari-hari masa depan bersamamu hingga menua nanti terasa tak berarti lagi. Angan akan sebuah keluarga baru. Di sana tergantung foto kita saat perutmu membesar. Di sana ada anak-anak yang lucu yang mewarisi hidungmu yang angkuh, anak-anak itu mungkin akan berlebihan keras kepalanya karena mewarisi kita berdua, kamu boleh mengajarkannya bahasa jawa, karena itu yang aku tak bisa, kita akan sama-sama mengajarnya mengaji sehabis magrib sebelum isya, kita akan sama-sama mendidiknya menjadi patriot bagi negeri. Dia mungkin akan menjadi arsitek, atau tokoh ekonomi, atau seniman, asal saja tidak terjun ke politik, karena kita sama tau politik sekarang ini selalu terjebak pada pragmatisme kekuasaan yang tak berkesudahan. 

Di sana ada buku-buku yang kita baca, suatu waktu akan kita diskusikan buku-buku itu. Suatu waktu, akan kusingkirkan buku dari tempat tidurmu, saat kamu tertidur karena kelelahan membaca, akan kumatikan juga tivi itu, yang sering kamu biarkan menyala, akan aku tangkupkan selimut untuk menutupi tubuhmu yang kedinginan.

Di sana ada tempat-tempat yang akan kita jelajah, karena kita berdua sama suka bertualang dan menempuh jalan baru, sama tak bisa menjalani keadaan yang melulu sama hari demi hari. Suatu waktu saat aku sedang membaca filsafat Sartre, sambil duduk di dekat meja ruang baca, saat kamu sedang menonton berita, akan kukatakan bahwa aku bosan dengan kehidupan hari-hari ini, sebuah kode bahwa kita akan kembali bertualang mengunjungi tempat baru. Suatu waktu akan kita tulis cerita perjalanan itu berdua. 

Itu, sebelum kamu pergi dariku, yang berarti sebelum angan itu berakhir. Angan itu akan mengerut, mengerucut dan menciut sehingga bisa kugenggam, ku buang dari alam sadar. Mungkin suatu waktu dalam tidurku dia akan menyeruak, mendobrak pintu alam bawah sadar saat penjagaan kesadaran begitu lemah, hingga menjelma menjadi bunga tidurku.

Sejak kamu pergi waktu itu, aku tau bahwa kamu tak akan kembali, seberapa besarpun pengharapanku. Seberapa besarpun perasaan cintaku, aku tak bisa bahkan untuk sekedar menggenggam tanganmu, menarikmu, atau membisikkan ke telingamu, tak bisakah kamu tidak pergi? Semua yang hanya mungkin terjadi dalam mimpi, satu-satunya tempat dimana aku bisa menarik tanganmu dan mencegahmu dari pergi. 

Sejak kamu pergi waktu itu, aku sering merasa bahwa segala kebaikan yang telah pernah kita alami tak akan tergantikan, tak ternilai, tak terbandingkan, sekaligus tak dapat balik, tak bisa terulang. Lambat laun akupun sadar, apapun yang terjadi itu, semua pengalaman itu, semua sudah berlalu, telah diambil oleh waktu. Apakah salahsatu bagian itu menciptakan kebahagiaan, apakah itu terasa kesedihan, semua hanya sebentuk perbandingan yang diciptakan kesan pikiran, semua tinggal kenangan. Mau tidak mau, fotomu yang biasa terpajang rapi di atas lemari, yang biasa menatapku dari depan tumpukan buku-buku itu, pada akhirnya aku turunkan. 

Sejak kamu pergi waktu itu, pergi untuk selamanya yang mungkin karena salahku, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku hanya bisa terdiam, memandang dari kejauhan. Di dunia yang lain, mungkin kamu sedang berbahagia. Aku akan tetap mencoba meraih kembali bahagia dari apa-apa yang masih kumiliki, meski itu tanpamu.

Tertanda,
Aku.

2 comments: