Sunday, April 29, 2012

motivasi beasiswa (2)

Saat itu, seorang kakak perempuan dua tahun di atasku dan kakak laki-laki empat tahun di atas juga sedang masa-masa mengenyam pendidikan tinggi, sehingga aku harus sadar bahwa akan ada kesulitan besar untuk membiayai kuliahku. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa orang tua sedang kesulitan finansial disebabkan oleh adanya hutang yang harus di cicil dari Bank.

Alkisah, ada seorang teman ayah yang meminjam uang dari Bank untuk usaha percetakan, untuk meluluskan pinjaman tersebut dia meminjam sertifikat tanah rumah kami. Meskipun ibu menolak, ayah dengan kebaikan hati dan rasa percayanya mengiyakan untuk meminjamkan. Selang setahun, saat bisnis orang itu gagal, propertinya di akuisisi, dia mendadak kabur entah kemana, sehingga mau tak mau sisa hutangnya itu yang jumlahnya sangat besar harus kami bayar.

Demikian ibu bercerita, kisah yang waktu itu terlarang untuk aku dengar karena mereka khawatir akan mengganggu konsentrasi ujian nasional. Demikian, sehingga ayah memintaku untuk melanjutkan studi di STPDN saja, sekolah kedinasan yang menanggung semua biaya pendidikan. Setelah tiga tahun menjalani masa pendidikan disiplin semi militer di SMA, maka memasuki disiplin semi militer berikutnya bukanlah opsi yang menyenangkan bagiku. Namun, jika itu permintaan orantua, tentu seorang anak harus mematuhi.

Akhirnya aku mencari informasi pendaftaran dan untungnya (atau sialnya) usiaku terlambat dua bulan. Usia pendaftar minimal 18 Tahun per agustus 2001, sementara aku baru akan berusia 18 di bulan oktober. Akhirnya satu-satunya opsi untukku adalah perguruan tinggi negeri. Tetap tak ada jaminan bahwa jika aku lulus, orang tua bisa membiayai, terasa sangat sedih waktu itu, namun ibu membesarkan hatiku bahwa tak usah dipikirkan persoalan biaya, jika diusahakan selalu ada jalan.

Menjelang kelulusan SMU, ada tawaran beasiswa BMU UMPTN dimana dipilih dua orang untuk mewakili setiap SMU dengan kriteria tak mampu secara ekonomi dan mampu secara akademik. Yang boleh mengikuti seleksi adalah orang-orang yang tak pernah mendapat nilai di bawah tujuh untuk matematika dan bahasa inggris, setelah lulus UMPTN penerima beasiswa akan mendapatkan sumbangan biaya SPP sampai tamat kuliah. Beruntung aku termasuk salah satu yang layak untuk mendaftar dan lulus seleksi beasiswa.

Ketika teman-teman pergi ke Bandung dan Jogja untuk bimbingan belajar intensif, aku hanya mengikuti  bimbingan belajar di Jambi karena keterbatasan biaya tadi. Jadwal bimbel hanya 1,5 jam di pagi hari, namun aku datang juga ke kelas sore untuk lebih banyak belajar dan berlatih.

Akhirnya pada suatu pagi aku mendapati namaku satu-satunya dari peserta UMPTN di Jambi yang lulus di ITB dengan jurusan pilihan pertamaku Teknik Sipil. Kelulusan itu sama artinya aku mendapat beasiswa dari masuk hingga lulus, meliputi biaya SPP dan biaya hidup. Akhirnya aku lulus dari ITB dengan predikat bisa saja, yang artinya bisa lulus saja sudah bersyukur karena panjang dan berliku perjuangannya.
Wisuda di Sabugha

Singkat kata singkat cerita, hidup baik-baik saja. Pekerjaan setelah kuliah juga biasa saja, tak ada yang istimewa. Sepertinya aku belum menemukan suatu bidang pekerjaan yang benar-benar bisa dinikmati untuk ditekuni. Setelah setiap tahun berganti-ganti dan pindah lokasi pekerjaan, akhirnya aku bekerja sebagai Lead Engineer sebuah kontraktor di Jambi, seperti yang selalu aku idamkan untuk berperan serta membangun daerah. 

Saat itu aku sedang pula membangun hubungan yang serius dengan seorang wanita, sudah hampir empat tahun lamanya. Sedemikian rupa, sehingga aku membuat rencana-rencana masa depan dengannya. Namun, suatu ketika dia memutuskan untuk berhenti karena perbedaan lokasi kerja, karena ada orang baru dan sekian hal lainnya.

Duniaku terasa jungkir balik, apapun yang kukerjakan seolah kehilangan esensinya. Hingga akhirnya proyek selesai dan aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Ternyata cobaan tak berakhir sampai di situ saja, karena mendadak ayahku mengeluh sakit dan setelah kami periksakan ternyata mengidap tumor ganas.

Setelah berjuang dengan berbagai pengobatan alternative kesana kemari, akhirnya mau tak mau kami memilih opsi operasi untuk ayah, di sebuah rumah sakit pusat di Jakarta. Sebulan lebih beliau dirawat sebelum operasi. Operasi yang kutandatangani persetujuan untuk menerima konsekuensinya. Setelah operasi, kelihatannya kondisinya membaik, sehingga aku pulang duluan ke rumah di Jambi.

Hingga akhirnya pada suatu subuh, ibu menelpon sambil menangis dan mengatakan bahwa ayah telah tiada. Terjadi dilemma untuk membawa jenazahnya pulang ke jambi atau ke jawa kampung halamannya. Semua orang menungguku untuk membuat keputusan, aku hanya ingin beliau di jambi karena dekat dengan rumah, sehingga kami bisa sering berkunjung. Namun, seorang tetangga yang dekat dengan ayah mengatakan bahwa alm selalu membicarakan keinginannya untuk pulang kampung, seperti sebuah firasat.

Andai beliau setidaknya bisa berbicara dan memberi pesan terakhir tentu dilema ini tak terjadi. Akhirnya kuputuskan untuk menganggap itu kemauan terakhir alm ayah, sehingga pergilah kami ke Jawa, Gunung Kidul, Wonogiri, ke tanah kelahirannya. Beliau mendapat tempat persis di sebelah makam alm kakek, ayahnya.

Berbulan-bulan setelah itu, hidupku terasa hampa, tanpa pekerjaan, tanpa tujuan hidup, penuh perasaan kehilangan. Sulit rasanya merangkai harapan-harapan baru, tak tau kemana hendak melangkah. Sosok seorang ayah, selama ini adalah sosok yang selalu membangkitkan motivasiku untuk berkarya, yang membuatku tertantang untuk membuatnya bangga. Kehilangannya membuatku kehilangan motivasi, kehilangan motif hidup, kehilangan tantangan.

Salah satu yang bisa menguatkan adalah pedoman Ayat Quran, bahwa dibalik kesulitan ada kemudahan, yang bagiku artinya manusia tak boleh berputus asa terhadap suatu keadaan. Bahwa orang beriman akan selalu dituntun dari kegelapan menuju cahaya.

bersambung..

No comments:

Post a Comment