Bejo, itulah namanya.
Berusia hampir empat puluh tahun dan menjalani hidup sebagai sebuah perjuangan panjang. Perjuangan untuk hidup, bersaing dan meraih kemapanan ekonomi. Di sebuah rumah mewah itulah akhirnya Bejo berada.
Dirumahnya yang seperti istana, lengkap dengan kolam renang di halaman belakang dan taman bunga di halaman depan, Bejo mempekerjakan seorang tukang kebun, seorang supir, dan dua orang pembantu rumah tangga, mereka saling berpasangan sebagai suami istri. Namun Bejo belum memiliki istri.
Marni, teman wanita yang disukainya sejak kecil waktu di kampung telah lama menikah, Bejo tak pernah menyatakan perasaannya. Bahkan sampai saat ini dia belum pernah menyatakan perasaan cinta kepada seorang wanita pun. Karena hampir di setiap waktunya, Bejo selalu berjuang untuk hidup, bersaing, dan meraih kemampuan ekonomi. Sendirian di ruangan keluarga yang besar itulah Bejo kini melamun.
Minggu depan usianya genap empat puluh tahun, dia telah mencapai apa yang kebanyakan orang anggap sebagai kesuksesan tentu saja. Dia yang dilahirkan dari keluarga miskin di daerah jawa tengah, ditinggalkan kedua orang tuanya semenjak kecil, telah berjuang, mencari nafkah di ibukota sebagai seorang pekerja bangunan. Karirnya berkembang hingga dia kini memiliki perusahaan sendiri, sebagai kontraktor pelaksana. Dia telah berjuang untuk hidup, bersaing, dan meraih kemampuan ekonomi. Sekarang dia bertekad untuk mendapatkan calon istri sebelum usianya mencapai empat puluh tahun, atau lebih tua lagi.
Didepannya diatas meja, tergeletak sebuah harian ibu kota. Bejo telah menaruh profil dirinya di bagian kontak jodoh. “BEJO SUJOTOKO, pria matang , lima puluh tahun, sukses, punya perusahaan sendiri, mapan, merindukan seorang gadis yang baik untuk menjadi isteri, langsung menikah.” Sudah satu bulan sejak dia menaruh iklan, tapi hingga hari ini belum ada yang menghubungi dirinya.
Bejo mulai berpikir apakah tidak ada orang yang percaya dia seorang pria sukses, karena pria sukses mana yang berumur segitu tapi belum memiliki seorang isteri. Pikirannya jadi lelah memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk mengenai betapa susahnya mendapatkan seorang isteri. Bejo bangkit dan memutuskan untuk menghibur diri dengan melihat-lihat taman bunga di halaman depan.
Bejo duduk di beranda, Kusno si tukang kebun sedang merapikan daun bonsai. Bejo menatap bunga mawar ditengah halaman yang hampir layu. Dibayangkannya bukan si Kusno yang merawat kebun, tetapi isterinya. Dibayangkannya anaknya berlarian diatas rumput mengejar kupu-kupu seperti yang biasa dia lakukan waktu masih kecil. Dibayangkannya dirinya bercanda tawa bersama mereka. Tak terasa air matanya menetes perlahan. “Bagaimana aku bisa bahagia kalau tidak ada seorang yang menemaniku berbagi rasa bahagia.” Gumamnya tak sadar.
Kusno si tukang kebun heran melihat majikannya tiba-tiba menangis.
“Ada yang bisa saya bantu pak?”
Bejo tergagap.
“Tidak ada, tidak mungkin kamu bisa bantu. Sudah, kamu ke dalam saja!”
“Baik pak.”
Bejo menghapus air matanya dengan lengan baju. Lalu mengambil ponsel, mencari seseorang yang bisa menyelesaikan masalahnya dari phone book. Dari A hingga Y diteliti. Tak ada nama wanita di phone booknya, selain sekretarisnya yang telah menikah. Itulah Bejo, yang tak pernah berbicara dengan wanita, kecuali pekerja-pekerjanya. Dia bahkan tak pernah berkenalan dengan wanita-wanita lain diluar lingkup pekerjaannya, dia juga tak mau mengajak bicara para pelacur karena dia tau akan membawa dosa.
Sebenarnya dia sangat menghargai wanita, terlalu menghargai bahkan, hingga dia tak pernah berani untuk mengenal satu dua pribadi lebih mendalam. Sekarang dia mulai mengumpulkan keberaniannya. Karena dia harus, dia harus menikah sesegera mungkin, atau dia tak tahan lagi dengan semua kesendirian dalam malam-malamnya. Kesendirian dalam kebahagiaannya, kesendirian dalam kesedihannya.
Bejo sering memikirkan, sebenarnya dia bisa saja menelepon beberapa rekan kerjanya, dan minta untuk dicarikan seorang istri. Tapi dia merasa malu. Dia akan menjadi bahan tertawaan teman-temannya, karena sudah berusia lanjut, bisa meraih kesejahteraan, menghidupi orang-orang, tapi tidak bisa mencari istri sendiri. Dia tak pernah membicarakan kehidupan pribadi dengan teman-temannya. Bejo merasa harus mencari calon dari orang yang belum dia kenal.
Hari-hari berlalu mengiringi usaha Bejo dan gejolak batinnya yang semakin tak tertahankan. Diberanda yang sama, melihat taman bunga yang sama, pikirannya melayang ke hal yang sama. Seorang wanita untuk menjadi isterinya, bersamanya meneruskan keturunan, membentuk keluarga yang ramai yang memupus rasa sepinya. Besok hari ulang tahunnya, dia sudah tak tahan dengan hari-hari yang dilaluinya tanpa hasil.
Lelah terlalu lama berpikir dan tanpa hasil, Bejo pun membuat keputusan, siapa saja wanita yang lewat di depan pagar rumahnya dan sendirian akan diajukannya pertanyaan. “maukah jadi isteriku” Ya, harus begitu, harus berani. Ujarnya menguatkan diri.
Jalanan di depan komplek rumahnya tergolong sepi, jarang yang lewat, apalagi seorang wanita yang berjalan sendirian. Bejo menunggu hampir selama satu jam di dekat pagar. Akhirnya dilihatnya seorang wanita sendirian, mengenakan baju santai warna merah. Bertubuh gemuk, berparas biasa saja, sedang berjalan santai. Bukan tipe wanita yang dia suka, tapi dia menguatkan hatinya, mungkin saja tidak ada pilihan lain.
Bejo menghampiri.
“Mbak, maaf mbak saya mau nanya, boleh?”
“Oh, boleh.” Jawab wanita itu heran.
“Mbak, sudah menikah?”
“Oh, belum. Kenapa emangnya?” tanya si wanita menatap curiga.
Bejo mulai gugup. “Begini mbak, itu rumah saya, saya punya perusahaan, punya banyak karyawan, tapi belum punya isteri, mbak mau jadi isteri saya? Kalau mau kita bisa menikah minggu ini”
Si wanita kaget diajukan pertanyaan seperti itu. Sembari melotot dia meradang.
“Pak, gini ya, saya ini meski gemuk dan tidak cantik, tapi wanita baik-baik. Bapak anggap apa saya ini? Kalau mau mencari pasangan, itu perlu proses. Bapak belum tau nama saya aja udah nanya yang aneh-aneh. Harus kenalan dulu baik-baik. Apalagi untuk menjadi sebuah keluarga, perlu waktu buat pria dan wanita menyatukan visi. Bapak udah gila ya?” Si wanita mengakhiri ucapannya, dan berjalan tergesa-gesa membawa amarah.
Bejo merasa lemas, terduduk diatas tanah, bahkan wanita yang seperti itu pun tak bisa menjadi isterinya. Bejo menahan sedu.
Berusia hampir empat puluh tahun dan menjalani hidup sebagai sebuah perjuangan panjang. Perjuangan untuk hidup, bersaing dan meraih kemapanan ekonomi. Di sebuah rumah mewah itulah akhirnya Bejo berada.
Dirumahnya yang seperti istana, lengkap dengan kolam renang di halaman belakang dan taman bunga di halaman depan, Bejo mempekerjakan seorang tukang kebun, seorang supir, dan dua orang pembantu rumah tangga, mereka saling berpasangan sebagai suami istri. Namun Bejo belum memiliki istri.
Marni, teman wanita yang disukainya sejak kecil waktu di kampung telah lama menikah, Bejo tak pernah menyatakan perasaannya. Bahkan sampai saat ini dia belum pernah menyatakan perasaan cinta kepada seorang wanita pun. Karena hampir di setiap waktunya, Bejo selalu berjuang untuk hidup, bersaing, dan meraih kemampuan ekonomi. Sendirian di ruangan keluarga yang besar itulah Bejo kini melamun.
Minggu depan usianya genap empat puluh tahun, dia telah mencapai apa yang kebanyakan orang anggap sebagai kesuksesan tentu saja. Dia yang dilahirkan dari keluarga miskin di daerah jawa tengah, ditinggalkan kedua orang tuanya semenjak kecil, telah berjuang, mencari nafkah di ibukota sebagai seorang pekerja bangunan. Karirnya berkembang hingga dia kini memiliki perusahaan sendiri, sebagai kontraktor pelaksana. Dia telah berjuang untuk hidup, bersaing, dan meraih kemampuan ekonomi. Sekarang dia bertekad untuk mendapatkan calon istri sebelum usianya mencapai empat puluh tahun, atau lebih tua lagi.
Didepannya diatas meja, tergeletak sebuah harian ibu kota. Bejo telah menaruh profil dirinya di bagian kontak jodoh. “BEJO SUJOTOKO, pria matang , lima puluh tahun, sukses, punya perusahaan sendiri, mapan, merindukan seorang gadis yang baik untuk menjadi isteri, langsung menikah.” Sudah satu bulan sejak dia menaruh iklan, tapi hingga hari ini belum ada yang menghubungi dirinya.
Bejo mulai berpikir apakah tidak ada orang yang percaya dia seorang pria sukses, karena pria sukses mana yang berumur segitu tapi belum memiliki seorang isteri. Pikirannya jadi lelah memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk mengenai betapa susahnya mendapatkan seorang isteri. Bejo bangkit dan memutuskan untuk menghibur diri dengan melihat-lihat taman bunga di halaman depan.
Bejo duduk di beranda, Kusno si tukang kebun sedang merapikan daun bonsai. Bejo menatap bunga mawar ditengah halaman yang hampir layu. Dibayangkannya bukan si Kusno yang merawat kebun, tetapi isterinya. Dibayangkannya anaknya berlarian diatas rumput mengejar kupu-kupu seperti yang biasa dia lakukan waktu masih kecil. Dibayangkannya dirinya bercanda tawa bersama mereka. Tak terasa air matanya menetes perlahan. “Bagaimana aku bisa bahagia kalau tidak ada seorang yang menemaniku berbagi rasa bahagia.” Gumamnya tak sadar.
Kusno si tukang kebun heran melihat majikannya tiba-tiba menangis.
“Ada yang bisa saya bantu pak?”
Bejo tergagap.
“Tidak ada, tidak mungkin kamu bisa bantu. Sudah, kamu ke dalam saja!”
“Baik pak.”
Bejo menghapus air matanya dengan lengan baju. Lalu mengambil ponsel, mencari seseorang yang bisa menyelesaikan masalahnya dari phone book. Dari A hingga Y diteliti. Tak ada nama wanita di phone booknya, selain sekretarisnya yang telah menikah. Itulah Bejo, yang tak pernah berbicara dengan wanita, kecuali pekerja-pekerjanya. Dia bahkan tak pernah berkenalan dengan wanita-wanita lain diluar lingkup pekerjaannya, dia juga tak mau mengajak bicara para pelacur karena dia tau akan membawa dosa.
Sebenarnya dia sangat menghargai wanita, terlalu menghargai bahkan, hingga dia tak pernah berani untuk mengenal satu dua pribadi lebih mendalam. Sekarang dia mulai mengumpulkan keberaniannya. Karena dia harus, dia harus menikah sesegera mungkin, atau dia tak tahan lagi dengan semua kesendirian dalam malam-malamnya. Kesendirian dalam kebahagiaannya, kesendirian dalam kesedihannya.
Bejo sering memikirkan, sebenarnya dia bisa saja menelepon beberapa rekan kerjanya, dan minta untuk dicarikan seorang istri. Tapi dia merasa malu. Dia akan menjadi bahan tertawaan teman-temannya, karena sudah berusia lanjut, bisa meraih kesejahteraan, menghidupi orang-orang, tapi tidak bisa mencari istri sendiri. Dia tak pernah membicarakan kehidupan pribadi dengan teman-temannya. Bejo merasa harus mencari calon dari orang yang belum dia kenal.
Hari-hari berlalu mengiringi usaha Bejo dan gejolak batinnya yang semakin tak tertahankan. Diberanda yang sama, melihat taman bunga yang sama, pikirannya melayang ke hal yang sama. Seorang wanita untuk menjadi isterinya, bersamanya meneruskan keturunan, membentuk keluarga yang ramai yang memupus rasa sepinya. Besok hari ulang tahunnya, dia sudah tak tahan dengan hari-hari yang dilaluinya tanpa hasil.
Lelah terlalu lama berpikir dan tanpa hasil, Bejo pun membuat keputusan, siapa saja wanita yang lewat di depan pagar rumahnya dan sendirian akan diajukannya pertanyaan. “maukah jadi isteriku” Ya, harus begitu, harus berani. Ujarnya menguatkan diri.
Jalanan di depan komplek rumahnya tergolong sepi, jarang yang lewat, apalagi seorang wanita yang berjalan sendirian. Bejo menunggu hampir selama satu jam di dekat pagar. Akhirnya dilihatnya seorang wanita sendirian, mengenakan baju santai warna merah. Bertubuh gemuk, berparas biasa saja, sedang berjalan santai. Bukan tipe wanita yang dia suka, tapi dia menguatkan hatinya, mungkin saja tidak ada pilihan lain.
Bejo menghampiri.
“Mbak, maaf mbak saya mau nanya, boleh?”
“Oh, boleh.” Jawab wanita itu heran.
“Mbak, sudah menikah?”
“Oh, belum. Kenapa emangnya?” tanya si wanita menatap curiga.
Bejo mulai gugup. “Begini mbak, itu rumah saya, saya punya perusahaan, punya banyak karyawan, tapi belum punya isteri, mbak mau jadi isteri saya? Kalau mau kita bisa menikah minggu ini”
Si wanita kaget diajukan pertanyaan seperti itu. Sembari melotot dia meradang.
“Pak, gini ya, saya ini meski gemuk dan tidak cantik, tapi wanita baik-baik. Bapak anggap apa saya ini? Kalau mau mencari pasangan, itu perlu proses. Bapak belum tau nama saya aja udah nanya yang aneh-aneh. Harus kenalan dulu baik-baik. Apalagi untuk menjadi sebuah keluarga, perlu waktu buat pria dan wanita menyatukan visi. Bapak udah gila ya?” Si wanita mengakhiri ucapannya, dan berjalan tergesa-gesa membawa amarah.
Bejo merasa lemas, terduduk diatas tanah, bahkan wanita yang seperti itu pun tak bisa menjadi isterinya. Bejo menahan sedu.
No comments:
Post a Comment