Thursday, January 05, 2006

bantal dari masa itu

Institut teknologi bandung, Teknik Sipil, 1954.
Seorang pria berjaket hijau berambut gondrong masuk ke dalam sebuah ruangan yang diketahui kemudian bernama sekre HMS, beberapa hari setelah peresmian AD/ART HMS oleh musyawarah anggota. Dinding ruangan yang berwarna putih ibarat kertas yang akan mengukir berbagai sejarah di dalam ruangan tersebut. Sebuah ruangan yang memfasilitasi kegiatan organisasi HMS untuk terus maju dan mengalir dalam arah pergerakan kemahasiswaan. Pria itu membawa sebuah bungkusan, kantong plastik besar yang setiap orang akan langsung berprasangka ada apa gerangan di dalamnya? Beberapa pria yang sedang nongkrong di sekre langsung bersiaga, berharap harap cemas akan ada makanan gratis yang akan segera akan dibagikan. Pria berjaket hijau, mengeluarkan isinya, pria-pria lain semakin berdebar dengan irama perut menuntut segera dipuaskan. Kresek kresek….. Dan patah hatilah mereka, karena yang dikeluarkan ternyata adalah sebuah………. Bantal!!! Sebuah bantal berwarna putih bersih dan cemerlang.

“Dengan bantal ini, kita akan mengukir mimpi…… ha ha ha ha!!!!” Pria berjaket hijau tersebut tertawa, diatas penderitaan kepatah hatian perut teman-temannya.

Sepuluh tahun kemudian, Adi Sasono sedang berbaring, diatas sebuah bantal cembung persegi berwarna putih kekuning-kuningan, sembari memikirkan tentang pergerakan kebangsaan yang selalu hanya menyuarakan nafsu memegang kekuasaan belaka. Bahkan organisasi yang katanya memperjuangkan kaum buruh dan yang tertindaspun tak lebih hanya berakhir pada premanisme yang bisa saja menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Jiwa kebangsaan yang tumbuh dan memenuhi benaknya, membuatnya ingin menemukan sisi perjuangan kebangsaan yang murni, menuntutnya berpikir untuk berbuat sesuatu terhadap bangsa ini, terus berpikir, akhirnya dia tertidur masih dengan pemikiran yang menuntutnya berjuang.

Beberapa tahun berlalu, malam cukup larut, seorang pemuda yang cukup gemuk bernama Hariono memasuki ruangan. Mengambil sebuah bantal berwarna kuning, yang masih menyisakan sedikit warna putih disela-selanya, dan mencoba memejamkan mata. Alih-alih segera tertidur, dia malah berpikir tentang seorang wanita yang tak bisa diraihnya. Seorang wanita bandung yang lebih memilih pendamping dengan mobil BMW daripada dia yang dibekali kemampuan otak yang brilian. Sial, apakah semua cewek bandung seperti ini? Pikirnya. Tapi tak boleh aku berputus asa dalam keadaan ini. Terbesit dibenaknya dengan segala kreatifitas yang ada untuk menjalankan usaha, berbisnis untuk mendapat penghasilan tambahan. Membuka sebuah usaha pijat yang bersih dari segala prasangka, serta restoran jepang yang berkelas sepertinya merupakan ide yang bagus, pikirnya. Dengan begitu aku bisa kaya dan akan kuperkosa semua cewek bandung. Beberapa pemikiran berkecamuk di benaknya sebelum akhirnya terseret kealam mimpi.

Beberapa tahun berlalu, Sony memasuki sekre HMS, dengan sisa-sisa lelah pada wajahnya, kuliah dengan kerja sambilan memberi jasa bimbingan pada siswa SMU untuk lulus UMPTN ternyata begitu menyita waktu dan energinya. Ditambah semua kegiatan di HMS, membuatnya merasa tak bisa memiliki waktu yang cukup untuk semua aktifitas. Sony lalu mencoba berbaring, melepas semua lelah pada dirinya. Sebuah bantal berwarna kuning kecokelatan menarik dirinya untuk segera beristirahat total. Tidak bisa begini terus, pikirnya. Aku harus segera menentukan tujuan hidupku. Fokus pada hal-hal yang benar-benar berarti untukku. Terus berusaha menentukan pilihan, akhirnya dia malah terlelap. Bermimpi indah dan akan terbangun untuk mewujudkan mimpinya.

HMS ITB beberapa tahun kemudian, Sujiwo berbaring diatas bantal berwarna coklat kekuningan, sambil mencoba memetik gitar. Kuliah disini ternyata terlalu banyak membendung kreatifitasku. Pikirnya, sembari memainkan gitar. Meski begitu HMS cukup banyak memberi ruang bagi kreatifitas ini. Sujiwo lalu berpikir tentang HMS. HMS ITB bersatu padu, dibawah almamater ITB tercinta, mengenakan jaket hijau, melangkah dengan gagah dan perkasa meraih cita-cita, berbakti dan berkarya untuk Negara Indonesia, dengan semangat ayo maju terus HMS ITB. Waah, kayanya bisa jadi lirik lagu nih, pikir Sujiwo. Dengan bersemangat ia lalu mencoba mencari nada yang pas dengan gitarnya. Setelah puas dengan hasil eksplorasi nada pada gitarnya, akhirnya dia membawa hasilnya ke alam mimpi.

HMS ITB 2004. Seorang berinisial Alex memasuki lapangan, dengan gaya aparat menemukan lokalisasi untuk disergap. Lantai dua HMS, dipenuhi orang-orang yang mencoba mengistirahatkan diri disana. Wah ko sudah penuh ya, pikir Alex. Matanya lalu tertuju pada sesosok makhluk janggal yang terbaring tak berdaya berinisial Edi. Edi tertidur pulas, sambil mencoba meneteskan cairan kehidupan (mungkin bisa juga dikatakan cairan kematian) pada sebuah bantal berwarna hitam. Alex kembali dengan kebiasaan buruknya.
“Wuooy Edi, bangun Wuoooy! Kuliah kuliah!”
Ucap Alex sambil menggoyang-goyangkan tubuh Edi tanpa mengindahkan jam di dinding yang tetap memaksa diri untuk menunjukkan waktu pukul 02.15 dini hari. Edi tak bergerak. Alex merebut bantal dari kepala Edi dengan tanpa memperhatikan efek psikologis yang akan diderita oleh Edi pada mimpinya. Belum cukup dengan sebuah bantal, Alex lalu menarik selimut Edi. Edi bermimpi ditonjok preman Tanah Abang dan jatuh ke jurang di pedalaman Himalaya, Alex mengambil posisi disela-sela tubuh yang bergelimpangan. Mencoba memejamkan mata, ternyata Alex tak segera bisa tertidur.

Ada yang salah dengan kemahasiswaan di ITB ini, pikirnya. Ada yang salah juga dengan bangsa ini. Pikirannya menerawang jauh, meski belum mampu mendeskripsikan dengan tepat apa sebenarnya yang menjadi objek pemikirannya. Ada yang salah juga dengan nilai matekku. Lanjutnya lagi. Entah apa korelasi yang menghubungkan antara kemahasiswaan, bangsa dan Nilai Matek. Tapi semua itu saling berebut memberi bayangan pada benaknya. Daripada berlarut-larut memikirkan penyelesaian persoalan kebangsaan, kemahasiswaan, maupun perkuliahan, akhirnya Alex lebih memfokuskan pemikirannya pada pergerakan HMS dalam hubungannya dengan dunia luar HMS, dan berlanjut pada pemikiran antara kampus dan dunia luar kampus. Hingga, akhirnya dia beralih dari sebuah mimpi ke mimpi lainnya diatas sebuah bantal kumel berwarna hitam. Membantah semua dakwaan dunia yang tertuju padanya dengan ekspresi wajah tak berdosa.
Tidakkah semua hal besar dimulai dari sebuah mimpi??

2 comments:

  1. Anonymous11:57 PM

    semua berawal dari mimpi tentunya bung. anda punya mimpi, sayapun begitu, adi sasono, hariono, sony, alex, entah siapapun, bahkan yang belum dan tak akan pernah mencicipi bantal seribu mimpi itu pun berusaha mewujudkan mimpinya masing2.
    karena perbuatan di alam nyata adalah pengejawantahan khayalan pada impian2 indah ataupun mimpi buruk.

    selamat berjuang mewujudkan mimpi.
    semoga tercapai mimpi kita semua.
    saya doakan anda memperoleh 'keajaiban'.
    karena suatu kala anda berkata pada saya:"hanya keajaiban yang dapat membuat saya wisuda di bulan Mar*t (nama bulan g boleh disebutkan demi menjaga privasi dan perasaan)

    edd

    ReplyDelete
  2. terimakasih sobat, sungguh meski dengan atau tanpa terwujudnya mimpi-mimpi itu, bumi masih berputar pada porosnya dan kehidupan berjalan kemana saja dia suka, yang bisa kita lakukan pada masa-masa itu hanya berbahagia..

    ReplyDelete