Monday, December 12, 2011

kesetaraan

Beberapa waktu lalu, aku harus menghadap seorang koodinator disertasi untuk mendiskusikan topic disertasi dan calon pembimbing. Sampai di depan gedung jurusan, ternyata pintu sudah dikunci karena sudah pukul 5pm lewat. Setelah memencet bel, berharap orang di dalam gedung membukanya. Pintu lalu dibuka dari dalam oleh seorang pria muda yang tidak bisa melihat, tunanetra. 

Dia menyapa, kukatakan padanya bahwa aku akan menemui Jeremy. “follow me”, Katanya kemudian, sambil mencari jalan dengan menggunakan tongkat. Maka ku ikuti langkah kakinya, dengan perasaan lucu bahwa orang yang bisa melihat dengan normal dituntun oleh orang yang tidak bisa melihat. Dunia terbalik, orang-orang bertukar peran, dengan menyenangkannya.  

Setelah masuk lorong, belok kanan dan belok kiri, akhirnya dia menunjuk sebuah tangga dan menyuruhku naik dan mengetuk pintu di ujung tangga. Ku ucapkan terimakasih, lalu dia pergi. Kupikir mungkin dia salah satu karyawan di sini, atau mungkin salah seorang mahasiswa master tahun sebelumnya, atau mungkin mahasiswa program doctoral. 

Dua minggu kemudian, aku harus kembali menghadap calon dosen pembimbing, saat berjalan keluar berpapasan lagi dengan orang itu. Kali ini ku sapa dia, dan kami berkenalan. Kami berbicara sebentar yang menimbulkan kesan bahwa dia sangat ramah. Namanya Bryan, ternyata dia adalah salah satu seorang staf peneliti dan pengajar di universitas. Selain mengajar beberapa mata kuliah tentang equity dan transport ekonomi, supervisor untuk mahasiswa master dan Doctoral, dia juga pembicara untuk berbagai seminar. Usia masih muda, mungkin tidak sampai sepuluh tahun di atasku. Kelihat fakta itu, aku pun terbengong-bengong, menatap takjub, sumringah. 

Banyak orang-orang yang dilahirkan dengan sempurna, menjalani hidup dengan sempurna, tapi seringkali tak mau memanfaatkan waktu dan kesempatan dengan sebaik-baiknya, seringkali justru mengeluh pada hal-hal kecil. Ada juga orang yang dilahirkan dengan kekurangan tertentu, yang menyebabkan dia berputus asa akan berbagai kelebihan lainnya, yang lantas menyalahkan takdir buruk yang menimpa dan sering berharap belas kasihan dari orang lain, bisa dikatakan pandangannya negatif terhadap kehidupan. 

Sosok Brian ini, adalah sedikit dari orang yang berhasil mengendalikan dirinya, menerima kekurangan yang ada dan berjuang dengan memanfaatkan kelebihan yang dia miliki untuk mencapai sukses, orang yang pandangannya positif terhadap hidup. Sosok yang mengagumkan, sosok yang kuhormati. Suatu saat nanti akan ku upload foto bersamanya disini. 

Selain keberadaan dia yang istimewa, tentunya lingkungan tempat dia berada juga kondusif untuk mendukung kegiatannya, dimana orang-orang dengan kekurangan fisik tertentu memiliki akses untuk pendidikan dan pekerjaan yang setara dengan orang biasa, ruang-ruang yang accessible serta didukung oleh sarana dan prasarana lainnya. Prinsip kesetaraan untuk difabel sepertinya sudah sejak lama di aplikasikan oleh negara-negara maju, termasuk di universitas ini. Hal yang sudah “mulai akan” diperhatikan oleh Pemerintah negeriku, Indonesia Raya.

2 comments:

  1. aku juga pernah ngobrol sama mahasiswa master yang difable dan obsesive komplulsive dari swedia..sangat menyenangkan berbicara dengan mereka walaupun kita harus lebih berfikir keras untuk mengerti ucapannya..tapi hal itu yang seharusnya membuat kita lebih bersyukur..dan belajar dari negeri orang ini,bahwa tidak ada batasan untuk menuntut ilmu..suatu persamaan hak yang setara di negeri yang tidak mengenal PANCASILA..

    ReplyDelete
  2. Luar biasa aa hedot, super sekali.. semoga suatu saat nanti negeri kita akan lebih mengamalkan pancasila daripada menghafalkannya.. :D

    ReplyDelete