Wahai, sudahkah kamu membaca buku Edensor dari Andrea Hirata? Andrea adalah salah satu yang terbaik dari panulis-penulis yang ada di Indonesia, kata-katanya selalu indah, penuh makna dan membangkitkan imaginasi, salah satu favoritku. Malam ini, kubuka lagi lembaran-lembaran dari buku ini, yang dulu sejak pertama terbit sudah ku baca. Buku ini menceritakan tentang perjalanan Ikal dan Arai ke Eropa, mungkin karena sekarang aku sedang ada di Eropa juga, sehingga ku buka kembali buku ini.
Kalimat yang tertera di halaman mukanya sebagai berikut:
“Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis, namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak terbantahkan”, (Hirata, 2007). Rangkaian kata yang cukup menawan untuk mendefiniskan sebuah kata saja: takdir.
Cerita di buku ini masih sama, tentang pencarian cinta Ikal terhadap A Ling, serta pemujaan Arai terhadap Zakiah Nurmala.
“Nanti, akan kujelajah separuh dunia, berkelana di atas tanah-tanah asing yang dijanjikan mimpi-mimpi, akan kutemui perempuan yang membuat hatiku kelu karena cinta, karena rindu yagn menyiksa..” (ibid)
Adalah Arai yang menjadi sahabat sekaligus pemicu semangat Ikal, Arai yang pantang menyerah, yang katanya memperlihatkan jiwa yang besar, lebih dari siapapun yang dia kenal.
“Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu", (ibid). Kata Arai suatu ketika. Adalah kebetulan, sama sepertiku, Arai ternyata adalah penggemar Jim Morrison, “Penyanyi kesayanganku Kal.. karena aku akan berjumpa dengannya, walau hanya pusaranya, di Perancis!” , (ibid).
Dan bahkan jauh sebelum membaca buku ini, sekitar tahun 2004 sudah besar keinginan ku untuk berkunjung juga ke Perancis sana, ke pemakaman Pere Lachaise, untuk mempersembahkan sebuah puisi kepada Jim Morrison, seperti yang Arai dan semua penggemar Jim Morrison dan The Doors lakukan setiap tahun di bulan Juli. Dengan anehnya, pernah suatu ketika aku bermimpi datang berkunjung kesana, ketika tak berapa lama kemudian kubaca di Koran Kompas bahwa minggu itu adalah hari untuk mengenang Jim. Seperti yang Arai lakukan ketika itu, membaca puisi.
“Tak ada yang paham kalau puisi itu bukan untuk Jim. Namun, Jim Morrison dan Zakiah Nurmala adalah belahan hati Arai. Keduanya menempati kamar yang menyesakkan dadanya. Hari ini, Arai mengguncang-guncang kamar itu dengan cinta, rindu, harap dan putus asa yang lama bertumpuk di sana, terburai-burai, tumpah ruah di atas pusara Jim Morrison”, (ibid).
Selain tentang kuliahnya di Sorbonne, buku ini juga berisi tentang petualangannya menjelajahi Eropa. Darimanakah judul Edensor itu berasal? Ternyata itu adalah nama sebuah desa di Inggris. Dalam buku kenangan dari A Ling untuknya, If Only They Could Talk, karya James Herriot. Desa itu diceritakan dengan gambaran:
“Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seakan berguling ditelan langit sebelah barat. Bentuknya laksana pita kuning dan merah tua. Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu lalu terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah nan luas. Di dasar lembah sungai berliku-liku diantara pepohonan. Rumah-rumah petani Edensor yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu bak pulau di tengah ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng bukit. Di pekarangan, taman bunga mawar dan asparagus tumbuh menjadi pohon yang tinggi. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergelantungan di atas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar…” , (Herriot, 1970 dikutip oleh Hirata, 2007).
“Bus merayap, aku makin dekat dengan desa yang dipagari tumpukan batu bulat berwarna hitam. Aku bergetar menyaksikan nun di bawah sana, rumah-rumah penduduk berselang-seling di antara jejarak anggur yang terlantar dan jalan setapak yang berkelak-kelok. Aku terpana dilanda déjà vu melihat hamparan desa yang menawan. Aku merasa kenal dengan gerbang desa berukir ayam jantan itu, dengan pohon-pohon willow di pekarangan itu, dengan bangku-bangku batu itu, dengan jajaran bunga daffodil dan astuaria di pagar peternakan itu. Aku seakan menembus lorong waktu dan terlempar ke sebuah negeri khayalan yang telah lama hidup dalam kalbuku.
Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, “Ibu, dapatkah memberitahuku nama tempat ini?”
“Sure lof, it’s Edensor”, (ibid).
Begitu katanya, ketika mengakhiri novel ini. Edensor, tentu saja, sudah dekat sekali tempat itu dengan tempatku berada ini. Hanya sekitar dua jam perjalanan saja jauhnya. Dan tentunya, suatu saat nanti, akan ada usahaku untuk ke sana. Mungkin akan kudapati tak akan seindah seperti yang digambarkan dalam kedua buku ini, Herriot dan Hirata, namun tetap layak untukku mengalami sendiri menemukan pedesaan itu dalam arah pandang, menghirup udaranya, menikmati suasananya, mengabadikannya dalam bentuk foto untuk dikirimkan kepadamu atau merangkumnya dalam seuntai kisah untuk diceritakan padamu.
Ref:
Hirata, Andrea. 2007. Edensor. Bentang, Indonesia.
iya, buku bagus.. :D
ReplyDelete