Purnama bercahaya lagi. Diatas sana, pancarannya kembali mengaduk beragam rasa di jiwa ini, jiwa yang kembali terasa sepi. Bukan seperti periode yang berdentang-dentang di masa lalu, disaat jiwa mempertanyakan belahannya dan membutuhkan lebih dari sekedar sewujud hampa untuk mengisi bilik-bilik kosong yang pintunya terbuka sebagian. Ruangan itu masih ada, tetapi telah menciut seiring purnama yang terus berlalu dan datang menemukan wujudnya kembali. Kini, hampir tak kurasakan beradanya.
Tetapi tetap, jiwa ini memang masih terasa sepi, gersang dan haus. Terus saja miskin dari tetasan-tetesan yang bisa menumbuhkannya, atau membesarkannya hingga seluas alam semesta. Seperti hari kemarin, ketika aku berada dalam kebodohan lama, berbicara dengan menggunakan ego, dan mempertahankannya sampai sebatas mempertaruhkan kemutlakan pencipta. Disambut dengan secuil ego bertopeng argumen yang lagi-lagi hanyalah secuil debu jika dihadapkan pada realitas yang menguasai kita. Bisakah semua ini disebut ada?
Alangkah rendahnya, keberadaan manusia yang diberikan secuil jiwa untuk ditumbuhkan bersama penginderaan dan akal, yang masih saja memelihara dan membesarkan ego hingga melebihi kebesaran jiwanya.
Hanya saja
ReplyDeleteKebodohan yang berulang
ataukah
Itu diri kita yang sebenarnya
Pilih...
stay or move on to your next level
Still...only human...
bahasa yang ribet dan kompleks. sulit dicerna oleh seorang yang berotak kurang encer. tidak sesederhana sarapan nasi kuning di pagi hari. tiada sesimpel is beautiful.
ReplyDeleteedd