Monday, August 18, 2014

di tapal batas



Ayah ibuku berasal dari Padang, ibu sudah tidak ada, dan ayah menikah dengan wanita lain lalu pindah ke Palembang. Kakak perempuanku sebagai pewaris harta peninggalannya menjual tanah dan rumah kami namun tidak memberikan bagian yang cukup untukku. Itulah sebabnya, aku sampai harus merantau kesana-kemari pindah dari satu kota ke kota lain demi mencari sesuap nasi. 

Selama hampir setahun terakhir ini aku tinggal di jambi. Ada saudara jauh yang memberikan pekerjaan, pekerjaan menjaga pasar. Setiap malam antara komplek pasar dari Angso Duo sampai ruko-ruko baru di WTC, aku berjaga-jaga dan mengutip pembayaran sebulan sekali. Mungkin penjagaan yang informal itu bisa diistilahkan dengan sebutan preman. 

Badanku gempal, kulitku hitam, rambutku keriting, dan di lenganku yang berotot terdapat tato berwarna hijau biru yang sudah memudar. Setidaknya itu menjadi bekal yang cukup untuk pekerjaanku. Tetapi lama-lama pekerjaan ini tidak menyenangkan juga, masih terasa rasa bersalah saat beberapa teman mengutip berlebihan dari pemilik-pemilik toko. Saat memberikan uang, mau tidak mau terasa bahwa dalam hati mereka, mereka mungkin mengutuki kami ini yang menerima uang mereka. Suatu saat, terasa bahwa suasana kian tidak menyenangkan, kuputuskan untuk merantau ke Jakarta. 

Perjalanan ke Jakarta dengan menumpang sebuah truk, selama dua hari membuat badanku lumayan pegal. Tujuanku adalah Terminal Pasar Senen, dengan berbekal sebuah SIM, mudah-mudahan aku bisa menjadi sopir cadangan angkot atau apapun itu di terminal. Tetapi, hari sudah malam, sehingga aku mencari tempat istirahat di antara ruko-ruko pasar. 

Banyak juga orang di sana, ada beberapa lelaki yang gaya bicaranya kewanitaan dan mencoba menggodaku, mengajakku bercinta. Segerombolan lelaki itu, seperti sebuah komunitas, saling berkenalan dan saling mengajak. Bahkan sampai bersedia membayarku seratus ribu untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Awas, kalau mereka macam-macam bisa kuhantam. Menurutku itu adalah penyakit menular yang susah disembuhkan, aku tak mau ditularkan penyakit sejenis itu. Aku masih suka dengan perempuan, meskipun di usia yang sudah tiga puluh lima ini masih belum menikah. Permasalahan sederhana dan klasik, dimana bisa kutemukan wanita yang mau menikahi seorang lelaki dengan pekerjaan serabutan sepertiku? 

Sambil menatap kelompok lelaki yang saling berkenalan, bercanda dan menjurus ke menjalin keintiman itu kupejamkan mata, tidur dengan beralaskan kardus di sela-sela lorong ruko yang sudah tutup. Aku pun tertidur, dan dalam tidurku akhirnya merasakan kejamnya Ibukota. 

Pada saat bangun pagi, tas yang kubawa sudah tidak ada, padahal di sana ada perlengkapan, pakaian, fotokopi ijazah SMP, serta dompetku yang berisi SIM uang dan sebagainya. Kesal sekali, jika bertemu orang yang mengambilnya tentu kupukuli sampai mampus.  

Rencana mencari pekerjaan jadi sopir cadangan di Terminal Senen tak bisa dijalankan, karena SIM ku sudah tak ada. Akhirnya selama beberapa hari aku berkeliling kesana kemari, mencari pekerjaan, tidak kudapatkan. Dengan berjalan kaki kutempuh dari pasar senen, hingga pulau gadung, hingga kembali lagi, menempuh jalan sampai ke Salemba, mencari pekerjaan dengan mendatangi satu persatu toko di pinggir jalan. Sampai suatu pagi di hari keempat, uang di kantongku sudah habis. 

Pagi-pagi aku pergi ke Monas, kabarnya bisa menjadi joki 3 in One di situ, tetapi hari minggu seperti ini ternyata tak ada. Lelah sekali aku, langkahku sudah sempoyongan, akhirnya aku berjalan ke taman lapangan Banteng, mencoba mencari tempat tidur. 

Orang-orang sedang berolaharaga pagi di taman ini, aku cari tempat yang nyaman, ada sebuah saung dari bambu dengan atap yang nyaman di tengah taman, seorang lelaki muda sedang tiduran dan membaca di situ.
“Permisi mas, numpang istirahat ya..” kataku.
“Iya, boleh pak.” Katanya.
Kulihat dia sedang santai membaca buku, judulnya dalam bahasa inggris, di sebelahnya handphonenya tergeletak seadanya. Kupikir-pikir, kalau dia lengah bisa juga handphone nya kubawa lari,  bisa dijual buat beli makan.
“Susah kali mas nyari kerja di Jakarta ini, sampai tepar badan saya, sudah jalan kaki kemana-mana cari kerja, ga dapat juga.”
“Iya pak, memang susah nyari kerja di Jakarta.” Sahutnya, sambil berhenti membaca, melihatku.
“Mana dompet dan tas hilang diambil orang, didalamnya ada dompet segala macam, jadi dari kemaren belum makan karena habis uang, memang Jakarta kejam.” Kuceritakan sekalian masalahku.
“Serius pak, sehari belum makan?” tanya pemuda itu, wajahnya campuran antara kaget, senyum seperti hendak tertawa, mungkin dikiranya aku bercanda.
“Iya, terakhir sarapan di warung tegal kemaren, tujuh ribu, semalam cuma minum kopi dikasih penjual minuman.”
“Ini pak, ada beng beng, bisa buat sarapan.” Kata pemuda itu, sambil menyodorkan plastik berisi tiga buah beng beng, sambil menyodorkan air minum botol. Dengan canggung akhirnya kuambil, makan satu-satu.
“Darimana asalnya pak? Kok bisa ke Jakarta?” Tanya pemuda itu, sudah berhenti dari membaca buku. Sambil memasukkan handhphonenya ke dalam tas.
“Dari padang mas, sudah empat hari saya di Jakarta, cari kerja. Mas nya darimana?”
“Saya dari Jambi mas, di sini  juga cuma kerja.”
“Oh, aku pun dari Jambi kemaren, lah setahun kerja di jambi.” Kuceritakan sekalian kisahku sambil mengubah dialek jadi melayu Jambi, bagaimana bisa datang ke Jakarta in. Biasanya orang yang satu daerah, satu kampung, bisa lebih peka untuk membantu. Mungkin dia bisa memberikan bantuan uang ala kadarnya, tetapi aku menahan malu supaya tidak meminta secara langsung. Walaupun belum tentu semuanya baik, berkaca dari pengalaman semalam, penjual sate padang yang kuajak ngobrol dan kuceritakan bahwa aku tak punya uang untuk makan sama sekali tak menawariku makan, tetap kipas-kipas dan tak terlalu peduli, dari pengalamanku memang seperti itulah watak asli padang. 

Setelah kuceritakan kisahku, pemuda ini bukannya simpati malah bertanya.
“Abang, agamanya apa?”
“Islam.” Kataku.
“Itu bang, dalam islam rejeki kita tak cuma tergantung pada usaha aja, ada unsur doa juga, kalau abang rajin sholat dan berdoa, mungkin lebih dimudahkan datangnya rejeki.”
“Kadang mau sholat itu ragu jugo, badang kotor begini, pakaian sudah berapa hari dak ganti. Macam mano sholat mau diterimo.” Ucapku membela diri, sambil menarik lengan baju, supaya tato di lengan tak terlalu kelihatan.
“Sebenarnya ada seorang paman buka rumah makan padang di terminal Baranangsiang, kalau terpaksa mungkin aku bisa bantu-bantu di sana, tapi sekarang ini mau ke Bogor pun sudah tak ada ongkos. Dengan baju tinggal di badan begini, datang ke sana kaya gembel, biso diketawain aku. Nanti diceritakan pula sama sanak keluarga, masak biasanya di kampung jadi preman di Jakarta malah jadi gembel.” Kataku melanjutkan keluhan. Pemuda itu tertawa sedikit.
“Ukuran badan kita ga jauh beda kan ya bang, di tempat aku ada baju-baju yang sudah jarang dipakai, abang mau?” katanya.
“Boleh juga jika begitu.” Kataku.

Kami pun berjalan menuju ke tempat tinggalnya, katanya di daerah Pejambon, dekat Stasiun Gambir. Sambil jalan, pemuda itu bilang.
“Tapi, sebenarnya kalau mau berusaha bisa hidup di Jakarta ini, jika jualan apa saja pasti ada yang beli, kaya pemulung dan penyapu jalan itu, itu juga suaut yang bisa dikerjakan, asal kita terus berusaha.” Katanya sambil jalan,  kami lewati beberapa pemulung, seorang pak tua yang sedang menyapu jalanan, seorang perempuan yang sedang menunggu bus di trotoar. Akhirnya tiba di pengkolan jalan.  
“Abang sarapan aja dulu, terserah mau di mana, sambil aku ambilkan bajunya.” Kata pemuda itu.
“Iyolah, di sini aja.” Aku lapar sekali, sehingga tak berpikir panjang langsung masuk ke sebuah warteg pinggir jalan. Pemuda tadi, entah siapa namanya, pergi meninggalkanku menuju tempat tinggalnya.

Aku pun makan dengan lahap, sampai kenyang. Saat selesai makan, barulah terpikirkan, bagaimana jika pemuda itu tidak datang lagi. Mau bagaimana caranya membayar makanan ini? Uang tidak ada, sesuatu yang bisa dijual digadai juga tidak ada, alamak, sering orang menipu di Jakarta ini, masak aku tertipu lagi. Beberapa menit aku menunggu, sambil meminjam koran dan membacanya di kursi depan warung. Jika sampai lama nanti pemuda itu tidak datang, aku bisa tinggal lari pura-pura lupa membayar.

Sial sekali nasibku, umurku sudah 35 Tahun, tidak punya pekerjaan, mau makan tidak ada uang, mau pergi ke Bogor tidak ada modal, jika sampai 40 tahun nasibku masih begini-begini saja, maka sudah tidak ada harapan buat menjadi lebih baik. Begitu selalu yang kudengar dari orang-orang tua. Sering kupikirkan untuk berbuat apa saja demi mendapat uang, mencopet, menjambret, mencuri, toh orang-orang juga tidak peduli jika perutku lapar. Orang yang bermobil, bermotor di jalanan ini bahkan  tak peduli jika aku menyeberang, tetap kencang laju jalannya. Orang sekampung yang jualan sate padang bahkan tak peduli jika aku lapar. Pemuda tadi juga, harusnya kuambil saja handphonenya, terus lari, setidaknya aku bisa dijual untuk hidup sebulan. Begitu pikiranku dalam hati, sambil pura-pura membaca koran. Dadaku berdebar-debar karena kekhawatiran. 

Saat itulah mendadak dari arah depan pemuda itu berjalan mendekat, langsung masuk ke warung, menanyakan dan membayar apa yang kumakan.
“Sempat ketar-ketir tadi, kukira mas ga balik lagi..” kukatakan isi pikiranku.
“Ga mungkin lah bang..” katanya sambil memberikan satu plastik berisi baju-baju dan celana. 
“Sukses ya bang, mudah-mudahan cepat dapat kerjaan..” Dia menjabat tangan, sambil memberikan sejumlah uang yang jumlahnya cukup untuk membawaku ke Bogor. Aku tak bisa berkata-kata. Aku langsung berbalik dan melangkah pergi, rasanya ingin menangis.. 

1 comment:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete