Sunday, June 24, 2012

dari balik jendela

Sepotong bulan kepagian menarik sepasang mata untuk melihat dari balik jendela, untuk memandangi yang ada di dekat sini atau yang dikejauhan sana demi sekedar menerbitkan berbagai rasa. 
Bulan yang pucat itu menggantung tanggung di langit yang kelabu. Lampu-lampu malam mulai dihidupkan, ritme kehidupan mulai menurun. Wahai bulan, kemana cahaya indah yang selama ini kau pancarkan. Kenapa gelap harus datang sebelum cahayamu menjadi terang. Kenapa kau hanya ada diluar sana, menatap dari kejauhan. Dedaunan masih hijau dan riang diwaktu engkau datang, memberi suasana sama di sini, di balik jendela. Seperti biasa datang dan pergi gelap gulitanya malam, terang benderang dalam siang juga hadir berhias langit kelabu daripada biru.

Suatu ketika dedaunan pohon itu segera menguning dan mulai berjatuhan, sebagaimana yang sudah tercatat pada buku besar kehidupan. Hanya bisa kutatapi satu persatu daun menguning itu, yang bersusah payah memberi perannya yang terakhir untuk menyuburkan alam. Ikut luruh perasaanku terkadang, dari sepasang mata yang menatap dari balik jendela.  

Seiring berlalunya waktu, bulan kembali datang, semakin dekat, semakin bercahaya. Semakin pula ia membangkitkan rasa sekaligus menghadirkan tanya, bulan yang ini apakah sama dengan bulan yang ada luar jendelanya? Saat bulan mengingatkan sepasang mata dari balik jendela padanya, apakah bulan itu mengingatkannya pada pemilik sepasang mata dari balik jendela? meski bulan selalu mengingatkan pada senyuman dan keindahan disela-sela hiruk pikuk pencarian pengetahuan dan pengejaran mimpi, namun bulan tetaplah bulan, malam tetaplah malam, sekajap dia datang lalu menghilang. Perasaan bahagia, sedih, siang, malam, teman dan segala sesuatu datang dan pergi sudah biasa dalam kehidupan. 
Di ketika lain angin begitu kencang meniup segala rupa seraya memperdengarkan desau-desau menggetarkan kaca jendela. Kupandangi pohon yang tanpa daun itu, yang meronta mencoba bertahan, jika daun-daun itu masih ada disitu, tentu sudah jatuh berdebam sang pohon mencium muka tanah yang basah. Seketika dari langit menjelma  butiran-butiran putih halus bagai kapas yang menikmati belai angin. Menciptakan momen syahdu pada mata di balik jendela yang tak menyanggupi ajakan menarikan nada alam. Mata itu sudah lelah, dinginnya yang membekukan segala raga dan rasa hanya mampu ditahan dengan berlindung di balik selimut yang nyaman. 

 
Dari balik jendela pula, ketika mentari pagi mencoba menyeruak menyinar memberi hangat, permadani putih menghampar menutupi segala sesuatu dalam arah pandang. Rasa ingin menjejaki dan menari-nari diantara tumpukan salju itu seketika tak terhankan, membuat mata dibalik jendela terlupa pada bulan, terlupa pada badai semalam juga bahkan pada bisik-bisik mimpi barusan.  

Berwaktu-waktu yang berlalu membuat salju lalu mencair, malam yang panjang perlahan menyusut. Tunas-tunas kecil mulai tumbuh di pohon itu, bunga-bunga kecil mulai menyebar di atas rumput, merekah dengan warna-warni ceria. Semua seolah-olah ingin memberi tahu bahwa harapan-harapan baru selalu akan muncul dari ketiadaan. Keindahan bunga akan muncul dari halaman yang semula membosan. Oleh karenanya mata dibalik jendela tak perlu khawatir akan ketiadaan bulan, masih banyak warna lain yang memberi arti wilayah pandang. 


Lama-lama tunas kecil di antara ranting-ranting pohon menjelma juga menjadi dedaunan, berubah warnanya dari muda hingga menua. Bertambah sedikit demi sedikit seiring waktu yang berlalu hingga menyebar menutupi ranting yang mulanya telanjang. Dengannya seruan angin dijawab dengan tarian penuh harapan akan kehidupan, akan kesegaran.

Dari balik jendela sepasang mata memperhatikan semua, hanya dari balik jendela. Bahkan saat daun-daun itu beralih dari ada, menjelang tiada, menuju ada lagi, mata yang menatap dari balik jendela seringkali merasa kosong, berusaha menemukan hiburannya dari hal-hal kecil. Dari sepasang burung yang membangun sarang dan bercanda mesra setiap pagi, semata-mata karena ketiadaan cahaya bulan.

Pada hati yang dimiliki oleh mata dibalik jendela, betapa musim telah berlalu dan berganti, belum ada daun-daun baru yang tumbuh, belum juga bunga-bunga baru yang mekar untuk mengundang getar akibat kupu yang menjejak langkah dalam tari dari satu putih ke putik lain. Musim harus berganti lagi, menyisakan satu dua tanya pada mata yang mengamati dari balik jendela.

10 comments:

  1. itu fotonya saksi bisu empat musim ya bang.... bagus..bagus...

    ternyata suka juga to mengamati dari balik jendela

    ReplyDelete
  2. iya anggi, biar mata ga rusak melulu ke monitor dan buku jadi diselingi mengamati suasana luar..

    ReplyDelete
  3. Emang tinggal di lantai berapa sih kak? :p

    ReplyDelete
  4. tinggal di lantai tiga.. :)

    ReplyDelete
  5. Yow, kau makin menggila saja... untaian kata-kata mu membuat aku mabuk dan hampir muntah. Indah sekali pilihan katanya mas bro..

    ReplyDelete
  6. huehehehe bang Firman, thanks man.. :D

    ReplyDelete
  7. itu fotonya bagus sekali..berpadu dengan rangkaian deskripsi 4 musim yang indah ...

    ReplyDelete
  8. hai faiza, long time no see.. makasih.. makasih..

    ReplyDelete
  9. subhanallah...

    indahnya hidup bisa mengalami 4 musim.

    deskripsi dan idenya bisa buat inspirasi. Terima kasih.

    tulisan yang indah

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, klo cuma sebentar sih gapapa, tapi klo kelamaan di empat musim tersiksa juga, mending iklim tropis deh..
    terimakasih sudah mampir dan membaca Rinna Prasma :)

    ReplyDelete