Anak muda itu duduk seorang diri dalam cahaya remang hati yang meradang. Dia ingin bingar tapi tak ada suara terdengar. Dia tak mengerti, hanya merasa hatinya disakiti. Dengan senyum sinis yang membuat wajahnya meringis, dia lalu mencoba menulis. Dia rasa hanya itu yang dia bisa untuk memberikan terang pada remang sementara untuk berkata-kata dia kan terbata-bata.
"Pledoi hati laki-laki" Dia memulainya.
"Ada hati yang tak mudah mengerti, tapi itu bukanlah keinginannya. Ada hati yang tak ingin disakiti, tapi siapa yang menginginkan menyakiti. Apalagi kepada hati kita sendiri. Jika hati itu telah terbagi, bukankah lebih mudah dia disakiti?"
Si anak muda memejamkan matanya beberapa saat, mengangkat sebelah tangan ke dahi, menyangga kepalanya yang terasa berat.
"Biar, biarkan saja isi kepala jatuh, karena kini hati lebih ingin dihormati." Lanjut si pemuda, sembari menyalakan rokok untuk meringankan bebannya.
"Baik, baiklah, kita menghendaki kebaikan, menginginkan kebenaran. Hentikan bicara tentang sakit menyakiti. Benar, mari biarkan yang benar terlihat benar. Adakah yang tau bagaimana melihat yang benar? Apakah itu dengan perasaan? Apakah itu dengan pikiran? Apabila itu dengan perasaan, bagaimana bisa ada orang berbuat salah tapi merasa dirinya benar? Apabila itu dengan pikiran, betapa banyaknya manusia yang tak bisa berpikir, karena nabi-nabi harus turun menyampaikan kebenaran. Mungkinkah itu dengan hati, tapi bagaimana membedakannya dengan yang lain. Jelas, kita tak tau apa yang benar. Jelas kita masih mencari cara mencari benar. Jelas, terdakwa di persidangan berhak mengajukan pledoi. Karena hakim atau jaksa, atau siapapun belum tentu benar."
Si anak muda menghisap nafas dalam-dalam berbaur nikotin yang membuatnya berat, lalu menghembuskan kuat-kuat agar dadanya terasa lebih kosong. Jiwa dan raganya yang lelah semakin tak bertenaga. Bahkan dia tak tau apakah yang dia lakukan itu benar.
"Sudah, sudahlah, tak perlu kita bicarakan apa yang tak kita tau. Aku akan bercerita apa yang aku tau, meski cerita itu tidak untuk siapapun, walaupun aku tak mendengar apa yang kau tau. Mungkin aku tak boleh memakai kata kita lagi untuk kau dan aku, karena aku tak tau kau"
"Aku tau cinta, aku tau, hanya tau. Tak peduli apakah itu dari pikiran, perasaan atau dari pengindraan. Aku tau ada cinta. Aku tau aku cinta kau. Aku pun tau kau punya cinta, aku pernah menduga bahwa sebagiannya untukku. Tolong beri tau aku jika itu salah. Tapi beri tau aku jika cara mencinta ku tidak kau inginkan. Tapi beri tau jika aku tak kau inginkan! Apakah kau pernah melihat petir di siang bolong, akan ku katakan bahwa aku pernah merasakannya saat malam sunyi dan tak ada awan yang memberi pertanda. Haruskah hukum alam tak berlaku lagi, karena bukankah kejadian alam selalu diiringi pertanda?"
Si anak muda ingin berteriak, tapi tanpa bersuara pun mulutnya terasa kering, kering dalam hening yang membalut perih.
"Dalam diam mu aku terus mencari, haruskah aku pergi atau akan terulang begini. Waktu yang kejam ternyata hanya berputar-putar, kisah yang sama kembali lagi disini. Tentu saja lelah adalah buangannya. Tapi apa artinya usaha jika lelah tak ku hargai. Dalam lelah aku harusnya bertahan, bukan berhenti."
"Bukankah telah kukatakan mimpi yang mengukir masa depan. Bukankah telah kulukis kau pada setiap arah pandang ku, bahkan pada setiap bayangan yang mengikutiku. Bukankah telah kutanam mawar pada jejak yang kutinggalkan. Tentu harus ada duri padanya, atau kita tak akan mencium wanginya. Malangnya aku. Bahkan kata kita yang tak ingin kusebutkan tak mampu kuhindari."
Si anak muda termenung. Diresapinya udara dingin ke dalam tulang. Ditariknya nafas satu dua. Dikerjapkannya cahaya yang remang. Didengarnya detak jantungnya sendiri. Dirasakannya detak kekasihnya yang pergi entah kemana. Detak yang dia inginkan untuk rengkuh dalam pelukan. Detak yang membuat jam seharusnya berhenti berdetak hingga mereka tak terusik oleh waktu.
Si anak muda memejamkan matanya. Lama. Kenangan demi kenangan mengisi. Semua yang tertinggal dalam ingatan hadir kembali. Dia pernah tertawa, pernah hampir menitikkan air mata. Tangannya menggapai mecoba memeluk setiap penggal kenangan, tak bisa. Dia tau itu, tapi terus mencoba. Dalam pada itu dia melihat senyuman yang sangat akrab. Yang membuatnya ikut tersenyum. Tidak sinis seperti saat dia memulai.
Saat itulah dia mulai bisa bersuara, meski parau terdengarnya.
"Aku mengerti kini, aku dan kau punya kenangan. Itu abadi. Dan aku tau, kau masih akan singgah dalam tidurku meski apapun yang terjadi nanti. Sudahlah. Aku memaafkanmu. Aku membebaskanmu meraih bahagia dengan caramu sendiri. Bahagia mu adalah bahagia ku. Aku merelakanmu."
Si pemuda meraih tulisan tangannya, lalu membuangnya ke udara.
***
"Pledoi hati laki-laki" Dia memulainya.
"Ada hati yang tak mudah mengerti, tapi itu bukanlah keinginannya. Ada hati yang tak ingin disakiti, tapi siapa yang menginginkan menyakiti. Apalagi kepada hati kita sendiri. Jika hati itu telah terbagi, bukankah lebih mudah dia disakiti?"
Si anak muda memejamkan matanya beberapa saat, mengangkat sebelah tangan ke dahi, menyangga kepalanya yang terasa berat.
"Biar, biarkan saja isi kepala jatuh, karena kini hati lebih ingin dihormati." Lanjut si pemuda, sembari menyalakan rokok untuk meringankan bebannya.
"Baik, baiklah, kita menghendaki kebaikan, menginginkan kebenaran. Hentikan bicara tentang sakit menyakiti. Benar, mari biarkan yang benar terlihat benar. Adakah yang tau bagaimana melihat yang benar? Apakah itu dengan perasaan? Apakah itu dengan pikiran? Apabila itu dengan perasaan, bagaimana bisa ada orang berbuat salah tapi merasa dirinya benar? Apabila itu dengan pikiran, betapa banyaknya manusia yang tak bisa berpikir, karena nabi-nabi harus turun menyampaikan kebenaran. Mungkinkah itu dengan hati, tapi bagaimana membedakannya dengan yang lain. Jelas, kita tak tau apa yang benar. Jelas kita masih mencari cara mencari benar. Jelas, terdakwa di persidangan berhak mengajukan pledoi. Karena hakim atau jaksa, atau siapapun belum tentu benar."
Si anak muda menghisap nafas dalam-dalam berbaur nikotin yang membuatnya berat, lalu menghembuskan kuat-kuat agar dadanya terasa lebih kosong. Jiwa dan raganya yang lelah semakin tak bertenaga. Bahkan dia tak tau apakah yang dia lakukan itu benar.
"Sudah, sudahlah, tak perlu kita bicarakan apa yang tak kita tau. Aku akan bercerita apa yang aku tau, meski cerita itu tidak untuk siapapun, walaupun aku tak mendengar apa yang kau tau. Mungkin aku tak boleh memakai kata kita lagi untuk kau dan aku, karena aku tak tau kau"
"Aku tau cinta, aku tau, hanya tau. Tak peduli apakah itu dari pikiran, perasaan atau dari pengindraan. Aku tau ada cinta. Aku tau aku cinta kau. Aku pun tau kau punya cinta, aku pernah menduga bahwa sebagiannya untukku. Tolong beri tau aku jika itu salah. Tapi beri tau aku jika cara mencinta ku tidak kau inginkan. Tapi beri tau jika aku tak kau inginkan! Apakah kau pernah melihat petir di siang bolong, akan ku katakan bahwa aku pernah merasakannya saat malam sunyi dan tak ada awan yang memberi pertanda. Haruskah hukum alam tak berlaku lagi, karena bukankah kejadian alam selalu diiringi pertanda?"
Si anak muda ingin berteriak, tapi tanpa bersuara pun mulutnya terasa kering, kering dalam hening yang membalut perih.
"Dalam diam mu aku terus mencari, haruskah aku pergi atau akan terulang begini. Waktu yang kejam ternyata hanya berputar-putar, kisah yang sama kembali lagi disini. Tentu saja lelah adalah buangannya. Tapi apa artinya usaha jika lelah tak ku hargai. Dalam lelah aku harusnya bertahan, bukan berhenti."
"Bukankah telah kukatakan mimpi yang mengukir masa depan. Bukankah telah kulukis kau pada setiap arah pandang ku, bahkan pada setiap bayangan yang mengikutiku. Bukankah telah kutanam mawar pada jejak yang kutinggalkan. Tentu harus ada duri padanya, atau kita tak akan mencium wanginya. Malangnya aku. Bahkan kata kita yang tak ingin kusebutkan tak mampu kuhindari."
Si anak muda termenung. Diresapinya udara dingin ke dalam tulang. Ditariknya nafas satu dua. Dikerjapkannya cahaya yang remang. Didengarnya detak jantungnya sendiri. Dirasakannya detak kekasihnya yang pergi entah kemana. Detak yang dia inginkan untuk rengkuh dalam pelukan. Detak yang membuat jam seharusnya berhenti berdetak hingga mereka tak terusik oleh waktu.
Si anak muda memejamkan matanya. Lama. Kenangan demi kenangan mengisi. Semua yang tertinggal dalam ingatan hadir kembali. Dia pernah tertawa, pernah hampir menitikkan air mata. Tangannya menggapai mecoba memeluk setiap penggal kenangan, tak bisa. Dia tau itu, tapi terus mencoba. Dalam pada itu dia melihat senyuman yang sangat akrab. Yang membuatnya ikut tersenyum. Tidak sinis seperti saat dia memulai.
Saat itulah dia mulai bisa bersuara, meski parau terdengarnya.
"Aku mengerti kini, aku dan kau punya kenangan. Itu abadi. Dan aku tau, kau masih akan singgah dalam tidurku meski apapun yang terjadi nanti. Sudahlah. Aku memaafkanmu. Aku membebaskanmu meraih bahagia dengan caramu sendiri. Bahagia mu adalah bahagia ku. Aku merelakanmu."
Si pemuda meraih tulisan tangannya, lalu membuangnya ke udara.
***
No comments:
Post a Comment