Terutuk erlian, cahaya hatiku.
Malam, dingin. Semilir angin yang berhembus menembus pori-pori pada tubuh yang sepi. Sepi, karena hanya dihuni hati yang berkata-kata terbata di dalam selimut cinta. Selimut cinta kita yang berjuang memberi kehangatan, menularkan kehangatan pada setiap sendi dan nadi, menjalari seluruh tubuh, mengusir udara dingin dari merasuki pori lebih dalam lagi.
Malam, memudarkan dinginnya. Membawa anganku pergi untuk menemuimu. Membawa pada kenangan masa dimana kita bertemu, mungkin lebih tepat, masa dimana aku menemukanmu. Aku terpesona pada saat itu. Terpesona pada kecantikanmu. Jika kecantikan fisik ysng bisa membuai mata seorang pria tak akan bertahan lama. Maka kecantikan hatimulah yang telah sampai padaku saat pandangan itu, sehingga sekian waktu yang berlalu tak mampu mengusirmu dari penglihatan hatiku. Aku jatuh cinta saat itu, pada dirimu dengan keanggunan itu.
Malam, hangat. Saat itu, kuikuti jejakmu. Membawaku untuk mengenal dirimu. Akhirnya, aku melangkah untuk menjumpaimu. Meski merasakan, langkahku tak akan lebih indah jika dibandingkan dengan semua yang terurai pada jejakmu dibenakku. Kutatap mata itu, dan kurasakan kehangatanmu mengalir mengisi ruang kosong pada hatiku. Pada tatapanmu kurasakan gembira yang membaur dengan kesedihan, ada semangat yang berusaha menjawab tantangan yang hidup berikan, ada juga cinta yang masih mencari cawan untuk dituangkan. Kudengarkan tutur katamu, dan mengalir membawa kesejukan yang meresap jauh kepermukaan hati. Kudengarkan bisikannya, ”aku merasa tentram bersamamu”.
Malam, memanas. Memanas sejak mengetahui cinta itu tercurah juga padaku. Tercurah pada cawan yang selama ini seringkali kosong, melukisi dinding hati dengan warna merah jambu, mengisi tamannya dengan bunga-bunga yang merekah indah menyebarkan wangi pada setiap penjuru. Meski aku tak tahu, seberapa besar yang benar-benar ada untukku, kuharap tidak sebesar cinta kepada pemberi kehidupan beserta orang-orang yang telah merawat kehidupan, kuharap lebih bearti dari cintamu kepada pengisi lain pada kehidupanmu. Aku tak tahu, karena di kedalaman relung hatimulah semua itu tersembunyi. Relung hati wanita adalah bagian yang seorang pria tak mampu mencapainya. Aku mencoba dengan prasangka dan prasangka terkadang hanya menenangkan sementara, tak memberikan jawaban yang selamanya layak diterima.
Malam, panas. Aku dibakar rindu. Hampir tak bisa berbicara karenanya. Kutulis surat untukmu, berharap menjadi air yang bisa memadamkan api kerinduan. Nyatanya tak ada guna, membuatku seolah-olah mengipasi api yang berkobar, semakin membakar. Datanglah padaku saat ini, aku akan memelukmu. Biar kupandang wajahmu, kutatap matamu. Kita tak perlu berkata-kata, seribu kata-kata tak akan cukup mewakili semua. Kita berbicara dalam seribu bahasa. Biar kesunyian yang bernyanyi mendendangkan lagu cinta bagi kita berdua. Biar bayangan yang gemulai menari menarikan luapan rasa. Biarkan bintang yang bertebar menjadi penulis bagi puisi-puisi yang menjelma disekeliling kita. Perintahkan bulan untuk menutup cahayanya, karena tlah tergantikan oleh cahaya cinta kita.
Malam, meleburku. Melebur dalam pesona, dalam rasa, dalam cinta. Dalam sebuah ruang tanpa dimensi dimana cinta yang bertahta. Dunia sedang menderita, tapi terasa adil bagiku, karena masih ada cinta disana. Bahkan meski cinta membawa derita pada dunia, masih terasa adil bagiku, karena tak ada rasa apapun tanpa cinta. Karena cinta, semua karena cinta.
Malam, tak ada lagi. Karena bersamamu, gelapnya telah pergi. Kuteruskan pengembaraan dalam mimpi. Kita akan menari, menyambut pagi yang menghampiri.
2 februari 2006
Malam, dingin. Semilir angin yang berhembus menembus pori-pori pada tubuh yang sepi. Sepi, karena hanya dihuni hati yang berkata-kata terbata di dalam selimut cinta. Selimut cinta kita yang berjuang memberi kehangatan, menularkan kehangatan pada setiap sendi dan nadi, menjalari seluruh tubuh, mengusir udara dingin dari merasuki pori lebih dalam lagi.
Malam, memudarkan dinginnya. Membawa anganku pergi untuk menemuimu. Membawa pada kenangan masa dimana kita bertemu, mungkin lebih tepat, masa dimana aku menemukanmu. Aku terpesona pada saat itu. Terpesona pada kecantikanmu. Jika kecantikan fisik ysng bisa membuai mata seorang pria tak akan bertahan lama. Maka kecantikan hatimulah yang telah sampai padaku saat pandangan itu, sehingga sekian waktu yang berlalu tak mampu mengusirmu dari penglihatan hatiku. Aku jatuh cinta saat itu, pada dirimu dengan keanggunan itu.
Malam, hangat. Saat itu, kuikuti jejakmu. Membawaku untuk mengenal dirimu. Akhirnya, aku melangkah untuk menjumpaimu. Meski merasakan, langkahku tak akan lebih indah jika dibandingkan dengan semua yang terurai pada jejakmu dibenakku. Kutatap mata itu, dan kurasakan kehangatanmu mengalir mengisi ruang kosong pada hatiku. Pada tatapanmu kurasakan gembira yang membaur dengan kesedihan, ada semangat yang berusaha menjawab tantangan yang hidup berikan, ada juga cinta yang masih mencari cawan untuk dituangkan. Kudengarkan tutur katamu, dan mengalir membawa kesejukan yang meresap jauh kepermukaan hati. Kudengarkan bisikannya, ”aku merasa tentram bersamamu”.
Malam, memanas. Memanas sejak mengetahui cinta itu tercurah juga padaku. Tercurah pada cawan yang selama ini seringkali kosong, melukisi dinding hati dengan warna merah jambu, mengisi tamannya dengan bunga-bunga yang merekah indah menyebarkan wangi pada setiap penjuru. Meski aku tak tahu, seberapa besar yang benar-benar ada untukku, kuharap tidak sebesar cinta kepada pemberi kehidupan beserta orang-orang yang telah merawat kehidupan, kuharap lebih bearti dari cintamu kepada pengisi lain pada kehidupanmu. Aku tak tahu, karena di kedalaman relung hatimulah semua itu tersembunyi. Relung hati wanita adalah bagian yang seorang pria tak mampu mencapainya. Aku mencoba dengan prasangka dan prasangka terkadang hanya menenangkan sementara, tak memberikan jawaban yang selamanya layak diterima.
Malam, panas. Aku dibakar rindu. Hampir tak bisa berbicara karenanya. Kutulis surat untukmu, berharap menjadi air yang bisa memadamkan api kerinduan. Nyatanya tak ada guna, membuatku seolah-olah mengipasi api yang berkobar, semakin membakar. Datanglah padaku saat ini, aku akan memelukmu. Biar kupandang wajahmu, kutatap matamu. Kita tak perlu berkata-kata, seribu kata-kata tak akan cukup mewakili semua. Kita berbicara dalam seribu bahasa. Biar kesunyian yang bernyanyi mendendangkan lagu cinta bagi kita berdua. Biar bayangan yang gemulai menari menarikan luapan rasa. Biarkan bintang yang bertebar menjadi penulis bagi puisi-puisi yang menjelma disekeliling kita. Perintahkan bulan untuk menutup cahayanya, karena tlah tergantikan oleh cahaya cinta kita.
Malam, meleburku. Melebur dalam pesona, dalam rasa, dalam cinta. Dalam sebuah ruang tanpa dimensi dimana cinta yang bertahta. Dunia sedang menderita, tapi terasa adil bagiku, karena masih ada cinta disana. Bahkan meski cinta membawa derita pada dunia, masih terasa adil bagiku, karena tak ada rasa apapun tanpa cinta. Karena cinta, semua karena cinta.
Malam, tak ada lagi. Karena bersamamu, gelapnya telah pergi. Kuteruskan pengembaraan dalam mimpi. Kita akan menari, menyambut pagi yang menghampiri.
2 februari 2006
No comments:
Post a Comment