Friday, March 31, 2006

geliat, gelisah, gerah...

*****
Aku kecewa, kecewa pada kehidupanku. Bukan berarti hidupku tak layak, tetapi tempat hidupku yang tak layak sebagai tempat hidup. Itu juga kalau aku masih dikatakan hidup.

Selama ini aku hidup di bumi, ya di bumi. Berdasarkan penelitian para ahli, cuma bumi di alam semesta yang layak bagi kehidupan. Bumi yang keberadaannya di tata surya, atmosfer dan perpaduan gas didalamnya, panas alaminya, semuanya memungkinkan manusia untuk hidup, tapi berangsur-angsur telah berubah, kondisinya semakin memburuk. Mereka bohong mengatakan bahwa bumi tempat yang pantas didiami.

Aku hidup di Indonesia, ya, di Indonesia. Yang berdasarkan posisinya, sangat strategis karena terletak diantara dua benua dan dua samudra, terletak di lintasan garis katulistiwa, yang terdiri dari ribuan pulau dikelilingi laut yang punya sekian banyak potensi bahari, berbagai mineral penting terletak diwilayahnya, itu yang dikatakan buku geografi di sekolah-sekolah. Tidakkah Indonesia menjadi tempat yang layak ditinggali, ternyata tidak. Para pengarang buku-buku sekolah banyak berbohong dengan apa yang mereka tulis.

Aku hidup sebagai bagian dari kampus. Ya, di kampus. Sebuah perguruan tinggi di Indonesia, yang untuk masuk kesini diperlukan tidak sedikit intelegensi. Harusnya ini adalah surga bagi intelektual, itu yang aku bayangkan sebelum berada di kampus ini. Tapi, Akupun dibohongi oleh bayanganku sendiri.

Jadi, segala sesuatu disini tidaklah layak untuk ditinggali. Kataku, berdasarkan pembuktian induktif. Aku adalah kategori orang yang gelisah. Menggeliat-geliat gelisah merasakan kegerahan terhadap semua. Dunia, Indonesia dan kampusku.

Aku dibeberkan berbagai fakta tentang tempat hidupku. Aku melihat berita, selalu hal-hal menyakitkan yang ditayangkan. Pertikaian, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan kemelaratan. Ya, semua yang berujung pada kemelaratan. Tayangan-tayangan yang semakin menurunkan nilai-nilai manusia menjadi seperti binatang, menurunkan kelayakan negara untuk mengatur kehidupan warganya. Kuhindarkan diriku dari semua berita yang memuakkan itu, lalu apa yang bisa dilihat dari media? Kehidupan para artis yang dianggap sebagai publik figur, bintang sinetron, dan sinetron-sinetron picisannya. Aih, apa sudah tak ada lagi orang-orang dengan otak, yang bekerja di media.

Tayangan-tayangan itulah yang paling sering mengisi media, terutama televisi, yang secara perlahan-lahan namun pasti merusak penduduk negeri. Seperti katak dengan air, yang ditaruh dalam kuali, direbus dengan perubahan panas perlahan-lahan. Sang katak tak akan menyadari dirinya direbus, dan saat mulai menyadari, dia telah akan mati.

Akupun semakin skeptis terhadap media. Kujauhkan mereka dariku. Lalu kuamati keadaan sekitarku, kampusku, lingkunganku. Dan betapa aku kemudian tetap dikecewakan.

Lihatlah kesenjangan yang semakin mengkhawatirkan ini. Berapa persen orang tak mampu yang bisa mendapat tempat disini. Untuk mendaftar saja harus membayar sekian juta rupiah. Bila salah satu tridarma perguruan tinggi adalah pengabdian masyarakat, kampus ini sudah tidak mengabdi pada masyarakat. Lebih cenderung mengabdi pada borjuis dan menyembah pada kapitalis.

Mari lihat juga penyelenggara perguruan tinggi ini, yang menganggap mahasiswanya tak punya kedewasaan. "Kalian anak kecil, ikuti saja sistem yang telah kami tetapkan, belajar dengan baik, raih nilai tinggi dan jadilah kuli yang baik di perusahaan asing." demikian yang aku tangkap dengan berbagai kebijakannya yang represif.

Penyelenggara pendidikan ini tak pernah belajar filosofis pendirian perguruan tinggi, pastinya. Perguruan tinggi yang seharusnya membentuk manusia yang memiliki tanggung jawab atas kesejahteraan manusia serta dapat memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan. Pelembagaan pendidikan, apalagi sebuah perguruan tinggi seperti kampusku, seharusnya adalah untuk membuat perbaikan di masyakat. Jadi, tujuan tertinggi dari pendidikan bagi orang terbaik masyarakat adalah untuk mengabdikan keilmuannya pada peningkatan mutu peradapan manusia dan kemanusiaan, serta menyelesaikan sebanyak mungkin problem-problem yang ada pada masyarakat.

Semakin kuperhatikan, semakin kampus ini hanya menambah masalah pada masyarakat. Benar begitu, karena yang banyak dilahirkan darinya adalah orang-orang yang membusungkan dada dan mendongakkan kepala saat berjalan diantara masyarakat yang tak berpendidikan. Menundukkan kepala, dan menyembah begitu berhadapan dengan pemimpin-pemimpin perusahaan besar. Lantas, bagaimana bisa menjadi juru selamat bagi kemasyarakatan? Karakter seperti itukah yang selayaknya dibentuk dari sebuah perguruan tinggi. Karakter yang semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran serta kemanusiaan.

Itulah sedikit tentang kampusku. Mungkin sedikit saja, karena semakin banyak tahu.. ah, mungkin sebaiknya kita tidak pernah tahu.

Tak jarang, segala sesuatu membuatku merasa jengah. Tak ada yang benar, tak ada yang ideal. Sering pula kurindukan masa kecil, dimana dunia terasa begitu manis dan ideal. Saat hujan dengan petir menggema diangkasa pun, kita berlari-lari kegirangan berusaha menangkap setiap curahan air dari langit dalam kebahagiaan. Anak kecil belum mengetahui ada berjuta-juta orang yang merasakan kelaparan dan meratapi hari-hari. Ada orang-orang yang saling bunuh untuk mempertahankan egoisme. Bahkan, ternyata ada orang-orang yang merasa tak akan hidup tanpa harus korupsi, tak bisa hidup tanpa memakan orang lain.

Masa-masa kecil dan kebahagiaannya telah berlalu dan tak akan terulang kembali. Hanya tertingal dalam ingatan, itupun tidak semua, karena yang bisa diingat hanyalah sekelumit dari semua kisah. Masa-masa merasa bahagia menjelang tidur dan berharap segera bangun agar besok bisa kembali bermain. Bisa kembali berenang dikali, tanpa takut harus tenggelam. Semua segera mengabur seiring jejak-jejak usia yang semakin dalam menguburnya. Semakin mendekati masa kini, semakin semua kenangan bahagia itu mengabur.

Sekarang aku semakin banyak tahu, titik-titik pengetahuan yang apabila kita sampai pada satu titik, akan dihantarkan pada titik-titik yang lain. Pengetahuan tak terbatas. Semakin banyak tahu, semakin merasa bodoh. Tetapi tidak bagiku, semakin banyak tahu, semakin merasa gerah. Semakin kehidupan terasa bertambah aneh. Semua jawaban atas pengetahuan hanya menambah rentetan pertanyaan. Why..why..?

Why: fucking question! Demikian sebuah band underground menulis dalam lirik lagunya. Manusia kerap kali mempertanyakan kenapa begini, kenapa begitu, dan menyesali nasib yang membawanya. Tak bisa dikatakan aku menyesali nasib yang membawaku, tapi jelas, aku terjebak pada pertanyaan yang dikutuk, bahkan oleh seorang musisi bawah tanah.

Disela-sela kegelisahanku, pernah kudengar, beberapa mahasiswa rekan kampus, berteriak-teriak lantangnya. "Kami menolak kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat kecil. Harusnya aparat-aparat penyelenggara negara bisa memberikan solusi yang tidak memarginalkan kaum miskin. Berantas korupsi, Tolak kenaikan BBM, tolak semuanya." Aku kagum. Meski ’kami’ yang diwakilinya adalah massa tak lebih dari tiga puluh orang. Tapi mereka peduli, sudah lebih dari lumayan.

Tapi aku lalu terbawa pada penggalan seperti mimpi, dejavu. Rekaman aktivis beberapa dekade sebelumnya yang kini memegang kekuasaan, dan bertindak hanya demi kepentingan kelompok atau bahkan dirinya sendiri. Padahal bukankah mereka meneriakkan suara rakyat selama berada di dalam kampus? Lantas bagaimana dengan mahasiswa yang sekarang berteriak disana beberapa tahun kedepan? Tak ada yang bisa memastikan.

Sekarang kita berkata-kata. Sedangkan kata-kata, hanyalah bayangan dari realitas. Tak pernah tahu, kapan sinar yang membentuknya berada tepat diatas kepala dan bayangan menyatu dengan wujudnya. Atau bahkan, tak pernah menyatu karena awan gelap segera datang menutupi wujudnya dari cahaya yang tadinya membentuk bayangan.

Hingga saat ini, dalam benakku. Segala sesuatu menyeruak seketika. Berkecamuk, berlomba-lomba memberikan simpul matinya untuk menambah keruwetan pikiran. Aku tak sanggup lagi.
”Aaargh!!. Gila! Gila! Gila! Kalian semua gila. Aku gila. Dunia ini sudah gila.” Teriakku ditengah lapangan tempat orang-orang sedang berolahraga. Aku meracau, berteriak-teriak tidak jelas. Bahkan semakin tak tahu apa yang aku teriakkan. Semua tumpah.

Orang-orang segera pergi menjauh. Mereka punya persepsi, segala sesuatu yang diluar keteraturan dalam kampus ini adalah masalah, dan sebaiknya menjauhkan diri dari masalah.

Kesadaranku mulai pulih, tapi masih belum bisa mengendalikan diri. Kembali berteriak-teriak sambil berlari-lari mengejar mahasisawa yang menjauh.
”Kalian, kalian semua. Apa kalian manusia? Apa kalian hidup? Apa kalian punya jiwa? Tidak! Kalian hanyalah robot-robot yang diprogram. Dikendalikan!”
”Hei! Tak sadarkah kalian, dunia sudah kacau. Dan kalian semakin mengacaukan dunia!”
Lalu, orang gila dalam rekayasa Nietzsche merasuk dalam pikiranku.
”Ya, dunia telah semakin kacau. Siapa yang mengatur dunia? Tuhan? Kemana Tuhan pergi? Tidakkah Tuhan telah mati?? Kita semua membunuhnya!”
Kembali aku terlarut dalam teriakan-teriakan tak terkendali, tak terkendali oleh otak yang orang anggap waras.
”Ayolah kawan. Mari, mari kita kembali menjadi manusia! Manusia yang bisa membawa kemajuan bagi dunia. Tunjukkan kita manusia, masih hidup! Biar kutujukkan pada kalian!” Aku membuka baju. Beberapa orang satpam mengejarku. Berhasil menangkapku sebelum mulai membuka celana.

Setelah itu semua, aku akan berdiri. Membelakangi kampus. Aku tidak lulus dalam standar yang mereka tetapkan, merekapun tak lulus dalam standar yang aku tetapkan. Seperti juga aku yang tak sesuai dengan standar yang orang-orang pahami. Maka, aku seharusnya pergi.

Aku berjalan, meninggalkan kampusku dan hendak meninggalkan negeri ini. Kampus adalah miniatur negeri, maka akan sama keadaannya dengan negeri ini.

Aku akan mencoba berlari. Berlari dari semua frustasi. Jika semua frustasi ada di dunia, maka aku harus berlari dari dunia. Selama masih berjiwa, tak mungkin aku meninggalkan dunia. Ya jiwa. Itu kunci segalanya. Tak ada yang bisa kulakukan selain membiarkan jiwa ini tetap ada dan mempersiapkan segala sesuatu untuk kepergiannya.

Aku terjaga dari lamunan saat seorang teman menepuk bahuku, memberitahu kuliah akan segera dimulai. Aku bangkit dan kembali, lagi-lagi membuang semua niat untuk menumpahkan semua kegelisahan yang tadi menyeruak. Kupakai topeng yang selalu menabur senyum bertema kebahagiaan. Yang hanya diluar, karena tak bisa kudapat kebahagiaan lagi di dalam sini.

Kembali, ku kunci semua kegelisahan itu didalam lemari hati besi. Ya, hati besi. Lebih baik selamanya berada disitu. Aku, seperti juga kebanyakan mahasiswa lain, mengambil buku dan kembali mencerna apa yang disuguhkan oleh dosen. Hanya makanan bagi otak yang diberikannya, tanpa minuman untuk disuguhkan pada jiwaku yang semakin merasa kehausan. Kembali aku terpenjara dalam sistem pendidikan yang tak pernah layak bagiku. Disini sudah ada sistem, dan semua orang berkata, bahwa sistem itulah yang akan membawa kita pada masa depan. Masa depan, masa depan kita sendiri.

Mungkin aku pun sudah terlalu jauh terperangkap pada perkataan mereka, sehingga semakin jarang berkata-kata, apalagi bertanya. Tak usah bertanya, karena bertanya pun tak akan mendapatkan jawaban. Pertanyaan hanya akan membawa kepada pertanyaan lain yang selanjutnya tak akan berkesudahan.

Lalu, disela-sela materi kuliah yang diberikan dosen, kuproyeksikan masa depanku, lulus dengan IP tinggi, segera bekerja diperusahaan Internasional yang menjamin penghasilan jauh lebih besar dari sekedar pegawai negeri. Akan kujual tenagaku, harga diriku, harga diri bangsaku. Dari hasilnya akan kubeli sebuah kehidupan dengan kesenangan dunia, kekayaan materi pribadi. Kutumpuk satu demi satu, menjadi tangga yang menjulang ke langit, berharap dengan ketinggian itu, permohonan ampunan kepada Tuhan karena telah menyembah materi, lebih mudah didengar. Tak pernah mencapai langit, karena di awang-awang, kematian menjemputku. Lalu malaikat maut pun heran dan bertanya.
”Hei, bukankah engkau manusia yang diciptakan dengan membawa harga diri, Kemana harga dirimu sekarang?” Lalu kujawab.
”Aku telah menjual harga diriku. Jadi, segerakan pekerjaanmu!”

Tidak, tidak! Bukan kematian seperti itu yang aku harapkan. Bukan kematian dengan kehilangan harga diri. Bukan kematian dengan tanpa memperjuangkan gambaran kehidupan yang seharusnya hidup rasakan. Bukan saat idealisme mencair dan hanyut terbawa oleh sungai yang berarus deras.

Udara kembali menjadi panas, aku kembali merasa gelisah, kepalaku terasa berputar-putar. Tak ada penjelasan dosen yang sampai ke otakku. Teriakan-teriakan marah. Itulah yang semakin menyesak ke rongga telinga. Kugunakan kedua tangan untuk menutup telinga, tapi tetap saja terdengar teriakan, disusul suara berdentang-dentang yang semakin lama semakin mengeras.

Semakin kusadari, ternyata suara itu berasal dari sebuah lemari besi di relung hati. Hatiku sendiri. Dari kegelisahan yang tadi kukunci. Yang sekarang memukul-mukul dindingnya dan menerjang pintu yang menahannya. Detik demi detik semakin menguat. Semakin memekakkan. Bagaimana mungkin, untuk menutup telinga dari hatinya sendiri?

Tidak ada yang dapat kulakukan untuk membendungnya. Tak bisa dicegah, hati nurani ini tak merasakan kecocokan dengan dunia. Dunia harus berubah, dan dunia tak akan berubah untukku, apalagi jika aku berdiri membelakangi.

Maka aku berdiri, menghentikan kuliah yang dosen berikan. Berdiri diatas meja. Hatiku telah menjebol semua pertahanan, memenangkan semua pergulatan. Kurayakan kemenangannya. Aku menari-nari, berputar-putar, menghentak-hentakkan kaki diatas meja mengikuti nada yang tercipta dari dalam hati. Aku bernyanyi, tak kupedulikan dosen yang berteriak marah. Tak kuacuhkan teman-teman yang menjauh. Aku tetap bernyanyi, mengikuti suara hati. Merayakan kemenanganku, untuk menjadikan kehidupan yang mematuhi hati nurani...

*****

3 comments:

  1. Anonymous8:20 PM

    Hey what a great site keep up the work its excellent.
    »

    ReplyDelete
  2. Anonymous2:26 AM

    Great site loved it alot, will come back and visit again.
    »

    ReplyDelete
  3. Anonymous4:18 PM

    Ini hanya saran dari sahabat:Insya 4JJ1 mendalami al-quran bisa memberikan "obat" untuk kegelisahan dan semua masalah yang ada dimuka bumi.Sebelum fikiran dan hati nurani menentukan tindakan menari menang diatas meja kiranya fikiran dan hati nurani tersebut perlu dibatasi dan dikontrol Al-quran, mengingat keterbatasan keduanya baik fikiran atau hati nurani.Kombinasi keduanya belum bisa menentukan tindakan yang benar perlu ditambah iman ingat "ilmu + iman".Tapi saya salut dengan kemampuan ilmu berfikir saudara yow yang sudah sangat maju dibanding saya sendiri dan orang lain mungkin.SALUTOOO SENIOR YOW....

    ReplyDelete