Saturday, March 26, 2011

something to write

This month’s almost ends. My intention to post something in this blog at least once a month makes me think, what should I write for this month? I don’t have any interesting stories to tell, I don’t have time actually to write stories, too much books to read, too much assignment to do, with so little time I have.

Early in this month, I got my grade for the first semester. Perfect grade actually, I got A for every subject. Which I thought it’s only possibly to happened once each hundreds of years. Since my first year in my previous college and even in my schools, my grades always under my father’s concern. So when I got this perfect grade, the only one that I thought was my father. How he’d react if I gave him this piece of paper. I remember his expression, I made him proud because I was the best in junior high school. Then I also made him disappointed while I couldn’t keep the value for the next term, I remember his face, his expression. I remember saw him sit on the chair and open my raport. I remember, my motivation since that day, only to made my father proud of me. Although I couldn’t see him again, still I take my time to think of him every day, then i pray for him, which I thought will make him happy for having a son like me.

Oh my, why do I write something grievous like this? I better write something delightful. Okay, I have one. I never thought that i will have any interest to transportation. If only I found it’s interesting, I’d have taken this major in my bachelor degree. Here I’m, now attracted by transport system and love to read many books about it, maybe due to its relationship to the society. Through the transportation we can help people improve their welfare, we understand what’s behind their behavior, and we can get more comprehensive understanding about the civilization. Don’t you know that Ahmadinejad, who’s now a president in Iran, has doctoral degree in transport system? Another delightful story is: I have this little probability to continue study somewhere in Europe or Australia within this year. I hope it will come true.

There it is. I finally write something this month.

Friday, February 04, 2011

pursuit of happiness

Everyone has the right for happiness, every single one. The happiness might depend on something, someone, or anything. The biggest mistake someone can create is laying the major factor of happiness in someone else. There are sort of people who get their happiness by loving someone. Such as the man, who has the feeling of being happy by loving a woman, by staring her smile, by hearing her voice, by seeing her coming, by feeling her inside heart.

Until one bitter day came, when she left him for the second time. He had completed one last year, one year of solitude, one year of faithful while she betrayed him. He has been waiting for so long through the sorrow, until she finally come back to him, and said that she felt sorry about it. And now, she leaves him again, with the same reason she left before. She was afraid of being left by him, and therefore she leaves. It happened twice, while he didn’t do anything wrong as an intention to leave her.

Now, he’ll have to consider whether he has to wait for the same one through unlimited time, with no such probability that she’ll come back again, with the same uncertainty that she will possibly leave again. He just too much in love with her and can’t help falling out of love.

Someone who feels the great loss will try so hard to survive. During the bad times, he will pursue the happiness into small things around the world. He maybe find that by traveling, by the way birds singing, by the way music playing, by a scratch of painting, by the strange book he’s reading, by the way people laughing, by prayer beads circling, by all the small things. He tries to keep his concentration to all of beautiful things in daily life, to distract him from miserable feeling. It’s not good to be depressed, someone should being happy to celebrate the existence of human being. When he believes in something, the true test of his faith is during the bad times, not during the good one. Even after the darkest night, the brightest morning will come. That’s things he believes.

Maybe one day, while he have accomplished the test. He would realize that love doesn’t exist, there’s no such thing as love, that it’s just magical comfort food for the weak and uneducated person or just misguided feelings and emotions. If someone asked what make him think so, he’d probably said it’s from the girl he’s going to marry, but then she smartened up while he stays as dumb as before. 

Friday, January 28, 2011

unexpected

Bila semut-semut mendatangi kamarku, aku menyapunya keluar, ke tempat yang lebih aman tanpa bermaksud menyakitinya. Kehidupan seekor semut adalah kehidupan yang patut dihargai. Jika membunuh seekor semut pun aku tak mau, apalagi membunuh seorang manusia. Itulah pengalaman berupa musibah besar dalam hidupku yang akan kuceritakan berikut ini. 
Dalam mengendarai motor aku tak pernah terlalu kencang, terutama jika melalui rute yang belum terlalu familiar. Kutelusuri jalan dari rumah bude ke rumah pamanku itu, yang sekitar satu jam perjalanan, dengan kecepatan motor yang aman. Mas To saudaraku dari ayah dan isterinya teman seperjalananku yang baru saja kuhadiri pernikahannya mendahului sebagai penunjuk jalan.  
Hingga suatu saat, saat pandanganku ke depan seperti biasa, tiga orang anak seusia 12 tahunan tiba di tepi jalan, mendadak muncul dari dalam lorong sebelah kiri. Mereka bercanda satu sama lain, aku tak terlalu memperhatikan, hingga salah satu anak itu berlari ke tengah jalan, hendak menyeberang sedang yang lain menyusul di belakangnya. Aku sangat terkejut dengan gerakan yang tiba-tiba itu. 
Saat itu, jika aku mendadak membanting arah, atau mengerem, atau panic entah apa yang terjadi. Jadi aku menghindar ke kanan sebisa mungkin menghindari datangnya anak itu, lalu terasa bahwa tubuh anak itu mengenai badanku sebelah kiri, anak itu terpental. Aku kehilangan keseimbangan sebentar hingga akhirnya mengerem, tanpa terjatuh dari motor. Di depan kulihat motor Mas To menjauh, dan sialnya aku belum mencatat nomer teleponnya. Aku menoleh ke belakang, dan anak itu terbaring dengan badan kejang-kejang. Muncul dilemma singkat dalam benakku, apa yang harus kulakukan? Aku bisa saja segera memacu motor untuk kabur, tetapi hati menahanku, bahwa aku harus bertanggung jawab. Pada titik ini aku cukup bangga dengan apa yang kulakukan, karena itu menghindarkanku dari rasa bersalah seumur hidup.  
Sehingga kupinggirkan motorku, dan berlari ke arah anak itu. Menyambut resiko bahwa melihat kondisi anak itu yang kelihatan seperti sedang kritis, mungkin saja kerumunan masa yang datang akan memukuliku sampai mati. Aku pasrahkan diriku. Kurangkul anak itu, sambil beristigfar, sambil kubisikkan sahadat, sambil kukatakan.  
“Leh sadar leh.”
Tetapi dia tak sadarkan diri. Matanya terkatup, memperlihatkan warna putih, dengan badan terkulai sambil merintih ringan. Dua anak yang lain hanya kebingungan.
Beberapa orang berdatangan, seseorang menanyai,
“Siapa ini yang menabrak?” sementara aku diam saja.
Salah seorang melihatku, sambil menuding.
“Mas ya yang menabrak?”
“Iya.” Jawabku singkat, pasrah.   
Salah seorang meminta identitasku, dan yang lain membawa anak itu pergi ke puskesmas terdekat. Anak itu termuntah saat sedang digendong. Melihat gejala itu, beberapa orang mengatakan kemungkinan bahwa terjadi geger otak. Sementara, aku diarahkan untuk melapor ke polsek terdekat, untuk menghindari hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Aku mengikuti, dan menunggu di pos polisi sambil menelpon Paman agar datang. Sungguh tak tau apalagi yang harus dilakukan. 
Selang beberapa saat, datang seorang mengendarai motor, melaporkan bahwa puskesmas tidak bisa menangani dan anak itu dirujuk ke Rumah Sakit kabupaten. Selang beberapa saat lagi, kembali dikabarkan bahwa RS Kabupaten tidak bisa menanggulangi, dan anak itu harus dibawa ke RS Solo yang jaraknya sejam perjalanan. Aku semakin pucat terduduk di kantor polisi. Tak berapa lama, Paman datang. Setelah olah TKP bersama seorang anggota polsek, aku dipersilahkan pulang dengan motor yang  disita dan dianjurkan untuk melihat korban keesokan harinya. 
Sampai di rumah, segera aku sholat magrib, membaca Yasin dan Tahlil dan memohon agar anak itu segera sadar, dan disembuhkan. Badanku lemas, memikirkan kenyataan bahwa aku menjadi seorang pembunuh, perutku mual, bulu kudukku merinding. Aku meminta selimut. Tubuhku menggigil, bahkan selimut tak bisa menghangatkan Pikiranku menerawang ke hal-hal buruk yang akan terjadi. 
Bagaimana jika anak itu terlambat mendapat pertolongan dan meninggal dunia, aku yang harus betanggung jawab. Bagaimana jika orang tuanya kalap, atau tidak bisa menerima dan menuntut qisas. Terbayang juga seorang Bapak bernama Indra yang beberapa waktu lalu berjalan kaki dari malang ke Jakarta demi menuntut keadilan bagi anaknya yang ditabrak seoran polisi. Bagaimana jika kasus ini diperpanjang dan aku harus berhadapan dengan pengadilan. Apa yang akan kukatakan kepada pengadilan? Belum pernah aku merasakan ketakutan seperti yang kurasakan ini. 
Mungkin aku akan mengatakan bahwa aku memahami bagaimana beratnya perasaan kehilangan itu, aku sudah kehilangan Ayah. Aku mungkin mengatakan bahwa aku siap menjalani hukuman yang setimpal dengan perbuatanku. Lalu bagaimana dengan kuliahku, beasiswaku yang harus diganti dua kali lipat karena tidak bisa diselesaikan. Tapi tentu aku tidak bersalah, karena anak itu yang mendadak berlari ke tengah jalan. Tapi bagaimana jika hakim disuap oleh keluarga korban, atau perlukah aku juga membayar untuk mengamankan posisi. Semua pikiran dan kemungkinan itu berseliweran menambah kekhawatiranku sehingga aku menjadi semakin kalut. Kupanjatkan doa, istighfar dan tahlil sampai aku tertidur.   
Tidur tak bisa nyenyak, seolah ada bayangan yang menghantuiku. Terbangun di tengah malam, akhirnya aku sholat Tahajud, kembali memohon kesembuhan anak itu, dan menazarkan untuk berpuasa tiga hari jika doaku dikabulkan. Hingga pagi hari setelah subuh, baru rasa badanku sedikit lebih tenang dan sedikit lebih jernih. Siang hari, kami putuskan untuk menjenguk anak itu, yang kuketahui bernama Tedi. Ada perasaan takut menemui keluarganya, bagaimana bertanggung jawab terhadap keluarganya. Apa jadinya jika keluarganya kalap, dsb. 
Namun ternyata Ayah anak itu termasuk salah seorang penyabar yang pernah kutemui. Saat kusalami dan meminta maaf sambil mencium tangannya, dia justru meminta maaf bahwa anaknya telah khilaf. Anaknya yang saat itu terbaring dengan beberapa selang infus di ICU. Bahkan saat kuberikan uang untuk mengganti biaya ambulans, rumah sakit, kerugian moril, kerugian karena tak bisa bekerja, dan untuk makan kepada Bapak yang tergolong kurang mampu ini, beliau menolaknya, baru menerima setelah kupaksa. Terharu juga melihat ada orang seperti ini. Perasaanku mulai lega, karena si Tedi sudah siuman, pemeriksaan awal tidak ada geger otak, dan saat kuajak berbicara dia bisa menangkap dengan baik.
“Cepat sembuh ya dek, biar jadi anak yang berguna bagi keluargamu.” Kataku
“Iya.” Katanya 
Sungguh, dua hari yang aneh. Aku bertanya-tanya, hal salah apa yang kulakukan sehingga harus diuji dengan musibah ini. Baru dua hari sebelumnya aku mempelajari teori traffic accident, beserta data statisticnya untuk jalan di pedesaan. Ternyata setelah itu harus mempraktekkannya sendiri. 
Aku mereview ulang, bagian mana dari perjalananku di hari itu yang salah. Aku dari rumah Bude, menghadiri pernihakan saudara, tidak ada yang istimewa. Aku ziarah ke makam Alm. Ayah, membaca surat, tahlil, dan doa, kupikir itu biasa. Aku sudah rindu kepadanya, dan berkunjung ke makamnya mungkin membuatnya senang. Ke bagian sebelumnya, aku ke pasar membeli kembang, karena kembang menggantikan fungsi kurma untuk berzikir hingga layu, seperti pelepah kurma yang ditancapkan Nabi SAW saat melewati sebuah pemakaman. Aku teringat ketika keluar dari pasar mengambil motor yang diparkir, seorang tukang parkir membuatku merasa sedikit jijik. Kulitnya dipenuhi semacam bintik2 putih seperti berpenyakit, sehingga aku membayar dengan sedikit enggan. Namun aku lantas beristighfar dalam hati. Setiap melihat sesuatu yang membuatku marah, menerbitkan kesombongan, atau yang membuatku memandang rendah ciptaan Tuhan aku selalu beristighfar untuk menjaga pikiran dari hal-hal buruk. Terbesit juga apakah mungkin Bapak itu, merasakan tatapan jijikku dan mendoakan kesialan bagiku. Ah, itu tidak mungkin. 
Mungkin memang tidak ada kebenaran pada pernyataan bahwa takdir merupakan hubungan sebab akibat, seperti yang dikatakan beberapa tokoh pemikir islam itu. Mungkin takdir adalah takdir itu sendiri, yang tak perlu proses, yang ketika Sang Maha Kuasa berkata “Jadilah” maka Jadilah, hingga hanya kepadanyalah aku bisa memohon petunjuk dan ampunan. Kepadanya memohon diringankan beban, dan dilepaskan dari masalah, karena Dia yang menguasai kalimat “Jadilah” maka jadilah. Makhluknya hanya bisa menerima apapun peran yang sedang dipilihkan untuk dijalani, dengan pertolongan sabar.  

Monday, October 18, 2010

cita-cita Bung Tomo

Tak terlalu tinggi cita-citaku.
Impianku kita punya rumah di atas gunung.
Jauuuh dari keramaian.
Rumah yang sederhana seperti pondok.
Hawanya bersih,
sejuk & pemandangannya Indah.
Kau tanam bunga-bunga dan kita menanam sayur sendiri.
aku kumpulkan muda-mudi kudidik mereka menjadi patriot bangsa.
(disebut-sebut sebagai surat cinta Bung Tomo)

Hujan membuatku merasa dingin, dingin sampai ke dalam-dalam hati. Secangkir teh panas mungkin bisa membantu menghangatkan diri, seuntai tulisan mungkin bisa menghangatkan hati.  

Kutipan kata-kata di atas, yang menjadi note pertama di facebook, cukup mewakili perasaanku. Kupikir, juga tak terlalu tinggi cita-citaku. Jika harga diri seorang laki-laki diukur dari ketinggian cita-citanya, tentulah tak terlalu tinggi juga harga diriku.

Entah kenapa cita-cita bisa sangat identik dengan pekerjaan. Seperti dialog antara aku dengan teman sekolah dulu,
“Apa cita-citamu?”
“Mau menjadi presiden.” Katanya. Banyak cita-cita yang serupa itu, entah itu menjadi dokter, pilot, insinyur, atau yang berupa pencapaian seperti menjadi pemimpin, keliling dunia, bintang tenar, pengusaha sukses, kaya raya dsb.

Tentu yang sewajarnya, semakin tinggi cita-cita, semakin besar juga usaha untuk meraihnya. Sudah alamiah, yang merupakan hukum alam, bahwa orang-orang yang mempunya kapasitas untuk itu, menjadi begitu dekat  dan mungkin untuk mencapai cita-citanya. Orang yang cita-citanya menjadi presiden, mungkin saja tidak akan pernah menjadi presiden, namun pada akhirnya menjadi salah satu menteri. Kira-kira seperti itu menurut apa yang kupikirkan.

Jika ditanyakan padaku, “Apa cita-citamu?”
Entah berapa lama yang dibutuhkan untuk menjawabnya, aku tak tau apa cita-citaku, dan tak pernah punya cita-cita terlalu tinggi. Secara ngawur waktu SMP pernah kukatakan keinginanku untuk kuliah di Oxford University, tapi itu ngawur. Kalau saat ini aku sedang belajar di program magister, bukanlah karena aku pernah mencita-citakannya. Hanya karena aku sedang tak tau apa yang ku inginkan, lalu aku mendaftarkan diri untuk mengisi waktu, selain karena lokasinya yang dekat dengan tempat persemayaman terakhir sang ayah.  

Aku tak pernah bercita-cita ingin menjadi presiden atau yang semacamnya, menjadi pemimpin. Tak pernah tertarik pada jabatan-jabatan seperti itu. Setidaknya selain menjadi pemimpin keluarga yang kuharap kelak akan kumiliki. Kalau dulu pernah beberapa kali menjadi memimpin, bukanlah karena keinginanku. Tapi aku bukanlah juga seorang plegmatis karena bagaimanapun aku termasuk orang keras kepala, dalam beberapa kali test yang kuikuti kuketahui bahwa distribusi kepribadianku  dari yang paling dominan adalah sanguis, koleris, melankolis dan plegmatis.

Aku tak pernah punya cita-cita bekerja di perusahaan multinasional atau apapun itu yang memiliki penghasilan terlalu besar, yang terlalu besar sehingga tak sempat merasakan empati pada orang kecil. Hanya tidak bekerja di Jakarta, itu saja yang pernah kugariskan tentang pekerjaanku, dengan ketakutan. yang cukup konyol untuk diungkapkan. Aku selalu ingin tinggal dan bekerja di kota kecil, yang hawanya bersih, sejuk dan pemandangannya indah. Hidupku sudah sangat dekat dengan itu semua setahun yang lalu, tapi takdir menggenggamku dengan genggaman yang membuatku bahkan merasa sesak.

Dulu, ayah selalu menginginkanku menjadi pegawai negeri seperti dirinya, yang aku tak terlalu mengindahkan. Sekarang mungkin itu saja yang kuinginkan, agar suatu saat aku bisa mendatanginya dan mengatakan, “aku menjadi seperti yang engkau anggap baik bagiku, dan itu memang baik bagiku.” Kalaupun itu harus di Jakarta, kuanggap sesuatu yang tak bisa dihindari, sebagai takdir. Hanya tidak akan korupsi, itu saja yang ingin ku jadikan pegangan, seperti ayah yang selalu meneladankan prinsip-prinsip kesederhanaan padaku.

Di luar hasratku untuk petualangan dan pengalaman baru. Aku hanya ingin tinggal di kota kecil bersama orang yang kelak menjadi isteriku yang, tentu saja, kucintai. Aku hanya ingin hidup mandiri, tidak merepotkan orang lain, seperti Bung Tomo ingin menanam sayur sendiri. Bagiku itu adalah memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya hidup, pendidikan, sarana dan prasarana serta sedikit tabungan yang bisa digunakan untuk mengajak orang tua dan keluarga menunaikan haji. Itu saja yang kuinginkan sedari dulu. Aku juga ingin sesekali bisa memberikan bantuan berupa pemikiran atau perbuatan yang bermanfaat bagi orang banyak, yang artinya pemikiranku haruslah satu tingkat di atas orang lain dengan perbuatan yang menjadi teladan. Aku ingin setidaknya suatu saat ada anak atau orang lain yang menganggapku sebagai guru. Seperti Bung Tomo ingin mengumpulkan muda-mudi dan mendidiknya menjadi patriot bangsa. Tentu adalah sebuah kebetulan, jika dari namaku, aku juga bisa dipanggil Bung Tomo.

Cita-cita, entah kenapa hal ini kelihatan terlalu duniawi. Sehingga setiap hari, yang menjadi kegiatan orang-orang, termasuk juga aku, adalah mencoba untuk menguasai dunia. Menguasai dunia? Untuk apa? Kadang aku membaca kitab suci, dan merasa malu akan ini semua. Alasan yang menjadi pembenaranku adalah: agar tidak menjadi fakir dan bisa membantu para fakir.

Hujan sudah berhenti, udara tak lagi terasa dingin. Tulisan ini ku akhiri, hatiku tak lagi terlalu dingin.  

Wednesday, September 22, 2010

Hari yang Biasa

Hari yang biasa saja, sinar mentari terasa panas menusuk-nusuk kulit. Yang diluar kebiasaan adalah beberapa hari lalu aku dan teman bernama Agus dan Eman baru berkenalan dengan seorang pemuda asal sumatera utara bernama Leonardo Saragih di tepian Pantai Kuta Bali. Leonardo yang besar kemungkinan masih ada hubungan marga dengan Leonardo Dicaprio.

Hari yang biasa saja, saat ketika dia berkoar-koar dengan sangat membuai, bak seorang calon anggota dewan, tentang kemampuannya surfing.  
“Mudah‘nya itu bang. Bisa aku ajarkan abang, kalau mau.” 
“Serius kau bang, nanti tenggelam pula kawanmu ini kau bikin.” Sambutku skeptis.
 
Hari yang biasa saja, ketika entah kenapa pada hari berikutnya, keinginan untuk mencoba ombak, membakar tubuh yang basah dengan matahari dan mengeringkannya lagi dengan angin di pantai ini memenuhi benakku. Itulah sebabnya, seorang diri kutemui lagi si Leo ini di tempatnya biasa menjaga payung di sejajaran tepi pantai.  
“Cemmana bang, bisa kau ajarkan awa surfing!”
Dan adalah si Leo, telah kunobatkan sebagai seorang pelatih surfing dadakan. Tentu belum pernah ada seorang pun muridnya, yang bisa memanggilnya dengan panggilan guru. Tentu juga belum pernah ada seorang pun yang mengajarkanku surfing, yang bisa memanggilku murid. Kondisi ini, membuat pertukaran kami menjadi adil, dia menjadi guru dadakanku, dan aku menjadi murid dadakan pula. 

Hari yang biasa saja, ketika Leo dengan intonasi batak murni belum dipoles, membius para pemilik sewa papan selancar.
“Mas, ini sodaraku orang jawa datang dari sumatera, mau belajar surfing, bisa kusewa papan ini?” sehingga dapat juga papan dengan harga sangat bersaing. 

Hari yang biasa saja, ketika aku dan si Leo telah membuka pakaian dengan menyisakan celana pendek, segera ingin menaklukkan ombak.
“Oke, siap kita bang.” Katanya
“Jadi gimana caranya bang?” Tanyaku bingung.
“Ikatkan tali pengaman ini ke kaki, lalu kita langsung aja berenang ke laut.”
“Loh, ga dipelajari dulu teorinya di darat  ini? mumpung ga perlu pake tenggelam?” aku terbengong.
“Aih, gampang’nya itu, langsung aja kita turun.” Sahutnya seraya langsung berjalan menuju laut.

Hari yang biasa saja, ketika ku ikuti juga langkah-langkah tergesa saudara si Dicaprio ini. Kami berlari menjauhi pantai dan saat air terasa dalam mulai berenang melawan ombak. Setiap ombak datang, berbalik badan untuk menahan agar tidak terlalu membentur dada. Si Leo yang sepertinya baterenya baru di charge ini sebentar saja sudah di laut yang dalam. Tali pengaman papan surfing di pasang di kakinya. Leo berbalik badan memungguni ombak, kemudian berbaring di papan, dan berenang searah ombak. Dorongan dari gelombang dan tenaga berenangnya membuat papan segera meluncur kencang ke arah tepi pantai. Leo berdiri di papan dengan trendi, sebentar menjaga keseimbangan, sebelum akhirnya jatuh ke laut.
“Naah, gitu caranya.” Katanya, cukup bangga dengan skill yang masih pas-pasan.
“Okelah bang, sinih ku coba.”

Hari yang biasa saja, ketika ku ikuti cara si Leo, berenang ke tengah laut, dihantam ombak. Berenang lebih jauh lagi, sebentar saja sudah pedih semua badan. Sudah habis tenaga, tak berguna latihan berenangku di sungai waktu kecil dan di kolam renang Mayang Club waktu besar.

Hari yang biasa saja, ketika si Leo berteriak dengan lebih kencang dari deru ombak dan disiplin lebih kejam dari militer.
“Berenang bang, renang terus. Kurang jauh itu.”
“Ampuun bang, udah capek kali ini.” Nafasku memburu.
“Aih, lemah kali, berenang terus, ayo, itu ombak besar datang itu.”
Maka kuikuti gaya si Leo berbaring di atas papan, dan saat ombak datang, berenang ke arah pantai, dan dorongan ombak meluncurkan papan selancar dengan kencang. Diam sesaat, aku berdiri dan segera jatuh, persis contoh dari sang instruktur.
“Aih, cemmana kok malah jatuh, yang penting keseimbangan bang.” Teriak si Leo di sela-sela ombak. “Abang aja ga bisa juga tadi!” Sahut ku sambil ngos-ngosan.  
“Sini ku kasih contoh.”Sahutnya. Maka si Leo segera berenang lagi mengulangi seperti pertama, aku berenang mengikutinya, si Leo sukses meluncur dengan papannya. Kali ini berdiri dengan agak lama sampai menjelang tepi pantai sebelum terjatuh.
“Naah, kek gini bang.” Teriaknya.
“Okelah, aku coba dulu.”
“Terus aja, coba gitu, nanti juga bisa. Awak mau jaga payung dulu ya bang.”

Hari yang biasa saja, ketika aku mengutuki si Leo dalam hati.
“Naah, gawat ini orang. Gimana kalo aku mendadak tenggelam, dan ga ada yang nolongin?” Seperti hari yang biasa juga, ketika tak ada jalan keluar buat perasaan takutku.
“Perdulilah, sudah kepalang basah, harus bisa.”
Maka kulanjutkan sesuai instruksi pelatih. Berenang melawan ombak sampai batas yang jauh, lalu berenang searah ombak. Lalu berdiri di papan. Dan aku terjatuh dihantam ombak karena salah posisi. Dada terasa sesak, kepala pusing, pandangan berkunang-kunang, perut mual, kulit terasa perih, hanya tanganku yang kugunakan untuk menarik tali pada papan selancar agar bisa mengapung lagi.

Hari yang biasa saja, ketika terus kucoba-coba sehingga lama-kelamaan papan selancar ini mulai bersahabat, ombak mulai melunak. Aku meluncur, merasakan angin yang mengusir kegelisahan, merasakah bahagia. Perasaan seperti anak kecil yang melihat setiap informasi sebagai pengetahuan baru, setiap tindakan sebagai pengalaman yang baru.

Hari yang biasa saja, ketika aku dan seorang teman bernama Arman, dalam wujud seorang anak sepuluh tahun berjalan tergesa di halaman belakang rumah. Rumah yang dikelilingi oleh halaman yang luas yang terisi bermacam pepohonan, tanaman, padang ilalang dan semak belukar. Dibelakang rumah, agak jauh kebelakang, setelah menuruni bukit dan menembus hutan dimana terdapat sebuah sungai alam yang saat itu tak disentuh peradaban manusia. Manusia lain kecuali kami, anak-anak nakal ini. Yang menerobos masuk ke dalam hutan dan menemukan sungai itu. Kami namakan sungai AUO, karena ada semacam akar yang melilit dari atas pohon hingga ke permukaan sungai, yang kami potong dan kami jadikan tempat bergelayutan sambil meneriakkan password AUOO.

Hari yang biasa saja, ketika kami memanggul batang pisang, yang sudah ditebang karena buahnya keliahatan telah hampir matang, ke arah sungai yang jaraknya sekitar setengah kilometer dan tidak dalam batas pandang. Terkadang, dengan berlari-lari kecil menerobos semak karena tak sabar menemui sungai yang menanti kami.

Hari yang biasa saja, ketika kami melempar potongan batang pisang itu ke sungai. Lalu melempar baju dan celana kami ke pinggiran, lalu melempar tubuh bugil kami ke sungai juga. Segera menghanyutkan diri berpegang pada batang pisang yang telah kami tambahkan kayu untuk berpegangan.

Hari yang biasa saja, saat kami tak memikirkan resiko untuk tenggelam di arus yang kencang karena belum punya kemampuan berenang, saat kami tak memikirkan resiko untuk dipatuk ular pada bagian terlarang yang saat itu tak terlindung, yang tentu akan kami sesali karena pada suatu saat akan menjadi bagian paling penting dalam kehidupan kami.

Hari yang biasa saja, setelah sekitar setengah kilo kami menghanyutkan diri, kami harus menarik potongan batang pisang itu kembali ke daratan, dan berjalan kembali ke hulu sungai menelusuri tepi hutan tanpa alas kaki dan tak takut akan duri untuk memulai semua dari awal lagi.

Hari yang biasa saja, tetapi saat itu kami merasa gembira, kami menikmati sebuah hari. Kami merasa gembira, seperti orang yang jatuh cinta dan mengejarnya. 

Monday, August 30, 2010

JIngga: Perjalanan ke India dan Thailand, Mencari Surga di Bumi (review)

Judul: Jingga: Perjalanan ke India dan Thailand, Mencari Surga di Bumi.
Penulis: Marina S. Kusumawardhani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 416 Halaman
Tahun Terbit: 2010
Harga: 65.000

Bukuini menceritakan tentang perjalanan. Judul bukunya adalah perjalanan, perjalanan kemana? Perjalanan ke India dan Thailand. Sudah barang tentu, di judulnya sudah dikatakan begitu. Apa yang istimewa? Teristimewanya, buku ini menceritakan perjalanan ke India dan Thailand, dalam rangka mencari surga di Bumi. Baiklah, selesai. Sudah disampaikan apa isi buku ini.

Bagi yang membutuhkan informasi lebih lanjut, akan saya sampaikan sedikit kesan yang saya peroleh dari membaca bukuini. Buku ini ditulis oleh Marina dengan sudut pandang orang pertama,yang mengisahkan perjalanannya, seorang diri, ke India dan Thailand dalam rentang waktu sekitar Tahun 2003-2004. Untuk mencari surga dibumi. Surga di bumi? Sungguh berat topik yang dipilih, karena seingatku keberadaan surga di bumi merupakan perdebatan para ahli teologi.

"Hidup adalah travelling besar" katanya. Persepsi yang aneh bukan? Sangat aneh, disaat wanita-wanita kebanyakan lebih memilih untuk duduk di dalam rumah yang nyaman, di depan sebuah televisi dan dengan dedikasi tinggi menyimak setiap episode sinetron cinta fitri season enam yang sebentar lagi akan di buat season tujuhnya. Kali ini ada yang mengatakan bahwa hidup adalah travelling besar. Baiklah, mari kita lihat travelling seperti apa yang di ceritakan dibuku ini, mengapa sebegitu rupa sehingga sampai pada filosofi bahwa hidup bisa dihargai dengan sebuah travelling.

Cerita dimulai dengan perjalanannya keIndia dengan alasan yang sedikit (atau mungkin banyak) konyol, karena vokalis grub band idolanya: Khula Shaker pernah berkata: suatu saatdalam hidupmu, engkau harus sekali saja pergi ke India. Kalau vokalis tersebut berkata bahwa: suatu saat dalam hidupmu, engkau harus belajar tari piring, barangkali hal ini akan dilakoninya juga. India, negara yang kental dengan nuansa spiritualnya, berbagai agama besar berasal dari sana, dan oleh penulis disebut sebagai tanah perjanjian. Kira-kira apa hubungannya dengan tanah yang dijanjikan kepada pengikut nabi musa sambil menyebrang laut dalam kisah di alkitab? Entah. Dalam perjalanan dari bandara menuju Delhi, seorang supir taksi berkata kepadanya: "Kau sebetulnya mencari surga dibumi m'friend, dan kau akan menemukannya, satu atau lain cara."

Demikianlah perjalanan Marina yang dituntun oleh tangan takdir, menelusuri daerah-daerah mulai dari Delhi, Srinagar, Leh, Rishikesh dan sebagainya. India, yang lingkungannya mirip-mirip negeri asal Sahrul Khan, yang suasanya masih terimbas dampak pertikaian antar kepentingan dan antar agama yang dulu pernah (masih) terjadi. Hingga sampailah dia di Kashmir, demikian indah tempat yang dikunjungi itu, dikenal dunia internasional sebagai paradise on earth.
"Danau yang dikelilingi pegunungan raksasa di sekelilingnya, riak-riak airnya mengalir lembutdan ditengah-tengah terlihat banyak lentera keemasan yang mengapung-ngapung dengan khidmat. Matahari terbenam membuat langit berwarna ungu muda dan semuanya terpantul pada danau yang luas itu, seolah membuat segala keindahan menjadi berlipat ganda."

Oke, tentunya Marina harus mendeskripsikan dengan cara yang lebih baik lagi untuk sebuah tempat yang disebut sebagai surga itu. Karena nama surga cukup berat untuk di sandang. Namun demikian, tempat tersebut oleh Salman Rushdie dalam Midnights Children diungkapkan dengan cara sama sekali berbeda, dengan deskripsi yang lebih suram. Dalam menyingkapi keindahan alam, ternyata orang-orang dengan latar belakang berbeda akan menanggapi dengan berbeda pula.

Berikut ini cara Marina mengungkapkan bagaimana satu bagian keindahan alam di wilayah itu:
"Di balik segala keindahan yang sempurna secara komposisi itu, sesuatu yang lain tak hentinya memanggil-manggil. Mungkin semacam keindahan yang ilusif.Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk menjaganya. Tidak bisa kaubotolkan ia dan kau bawa pulang. Tak bisa kau foto dan pajang begitu saja di kamarmu. Kau harus pergi ke sana, mendaki gunung-gunung itu, menyelami laut-laut itu, mengarungi sungai-sungai itu, hanya untuk menjumpainya sekali saja." Pendapat ini mengisyaratkan ada sesuatu dibalik keindahan itu, yang lebih agung, yang berhubungan dengan penciptaan. Itulah yang membuat seseorang layak menempuh perjalanan demikian jauh demi mendapatkannya. Namun, seorang lain yang bersamananya, seorang atheis dari Jepang menganggap bahwa semua keindahan itu tidak lain dari hanyalah "komposisi".

Selama beberapa hari menginap di rumah perahu di tepi danau, ternyata suasana indah seperti surga di bumi tersebut, jadi terlihat biasa-biasa saja."Inilah tempat terindah di muka bumi, dimana orang-orang di dalamnya berjalan-jalan tanpa merasa bahagia. Seolah tempat-tempat terindah dibumi pun memang tidak akan dapat menyembuhkan pergulatan batin yang terjadi di dalam. Kalau surga di bumi saja tidak bisa membuat orang-orang senang, apalagi yang bisa?"

Maka Marina melanjutkan perjalanannya, mencari surga di bumi, di tempat lain, dengan pemaknaan yang lebih spiritual. Karena ternyata untuk melihat surga di bumi, "kau harus terlebih dahulu membenarkan cara melihat, kau harus mengosongkan terlebih dahulu isi kepalamu". Mungkin orang-orang yang sering dihujat dengan ucapan :"Tak ada kutengok otakmu!", sudah bisa menemukan surga di bumi.
Perjalanan yang dirangkai dengan konflik batin, seperti kenapa ada orang-orang tidak bahagia, kenapa pula ada orang yang kelihatan begitu bahagia, begitu tenang dan seolah-olah waktu yang ada hanyalah sekarang. Serta bagaimana caranya untuk mendapatkan perasaan seperti orang-orang tersebut dengan tradisi spiritual timur. Hal yang cukup mainstream bagi para backpacker barat yang mengalami krisis karena modernisme.

Dalam proses itu, bisa dikutip perkataan seorang biksu di Laddakh kepada Marina:"Semua ajaran besar selalu bermula dari jatuh cinta yang sama. Kau harus jatuh cinta dulu pada sesama, pada kehidupan, pada apapun, untuk bisa menguak rahasia besar kehidupan. Karena jatuh cinta menarikmu keluar dari dirimu sendiri. Kebenaran ada bukan dalam dirimu atau siapapun, tetapi dalam ruang di antara kita semua. Dalam kasih sayang antar kita semua."Atau ungkapan seperti:"Untuk mengenal kebenaran, kau harus mengenal dirimu sendiri." Yang mirip seperti pernyataan terkenal dari Rumi, yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya. Kebenaran yang hakiki bisa disamakan dengan Ketuhanan. Sejalan juga dengan perkataan yang dinisbatkan pada Syekh SitiJenar:"Sesungguhnya surga neraka itu berada dalam jiwa kalian. Berada dalam jiwa setiap manusia yang bernafas."

Tentunya ada bermacam cara dalam bermacam agama untuk melakukan itu. Untuk mengenal lebih jauh ke dalam diri sendiri, ke dalam dimensi batin yang lebih tinggi, Marina menggunakan cara meditasi, yang dijalaninya di Rishikesh pusat yoga dunia, lalu di lanjutkannya dengan Ritrit disebuah kuil kota Wat Thailand. Hingga akhirnya dia bisa menemukan sesuatu yang bisa diterjemahkan sebagai pencerahan di sana. Bagaimana proses tersebut? Detailnya tersaji dalam buku ini.

Sebenarnya, untuk itu, belum tentu kita harus pergi ke luar negeri atau ke planet lain atau yang lebih jauh dari itu, mungkin saja apabila memahami caranya, kita bisa mendapatkan semacam kebahagiaan batin itu dengan hanya melakukan perjalanan dari gerbang kampus ganesha ke masjid Salman di Bandung. Tapi itulah, bukan hanya hasilakhir yang berharga. Serangkaian proses untuk menuju hasil tersebut, proses menemukan tersebut, yang lebih menjadikan hasil akhirnya berarti. Serta tentunya, pemaknaan yang lebih mendalam terhadap perjalanan fisik yang dilakukan, selain hanya sekedar menikmati suasana dan pemandangan.

Yang jelas, Marina menumpahkan isi pikirannya ke dalam buku ini dengan baik, dengan gaya bahasa anak muda beserta pergolakan batinnya. Berisi dialog-dialog yang terkadang perlu dicerna dengan perlahan agar bisa dipahami. Yang pada akhirnya, dalam momen kedamaian yang dirasakannya, Marina sedikit 'memaksakan diri' untuk menjembatani dimensi batin kepada dimensi rasional dengan teori fisika kuantumnya.

Perbedaan buku ini dengan buku yang sebelumnya ditulis: Keliling Eropa 6 Bulan Hanya Dengan Seribu Dollar, pada buku ini lebih terasa nuansa spiritualnya dibanding dengan nuansa jalan-jalan pada buku sebelumnya tersebut. Mungkin itu juga sebabnya di buku ini tidak ada gambar pemandangan, berbeda dengan buku sebelumnya yang penuh foto disana-sini. Karena yang spiritual itu harus dirasakan alih-alih hanya dipandang.

Lalu kenapa buku ini diberi judul jingga? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena sampulnya berwarna jingga. Bukan untuk didebatkan seperti manakah yang lebih dahulu, apakah itu telur atau ayam, apakah itu sampul atau judul. Maksudku, silahkan cari tau sendiri warna jingga tersebut dengan cara mendapatkannya di toko terdekat. Dengan kondisi fisik buku ini (ukuran, tebal, kertas dsb) harganya agak sedikit mahal, tapi untuk menjadi hiburan yang dilengkapi dengan pengetahuan sekaligus (mungkin) pengalaman spiritual? Rasanya pilihan untuk itu cukup terbatas..