Judul: Jingga: Perjalanan ke India dan Thailand, Mencari Surga di Bumi.
Penulis: Marina S. Kusumawardhani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 416 Halaman
Tahun Terbit: 2010
Harga: 65.000
Bukuini menceritakan tentang perjalanan. Judul bukunya adalah perjalanan, perjalanan kemana? Perjalanan ke India dan Thailand. Sudah barang tentu, di judulnya sudah dikatakan begitu. Apa yang istimewa? Teristimewanya, buku ini menceritakan perjalanan ke India dan Thailand, dalam rangka mencari surga di Bumi. Baiklah, selesai. Sudah disampaikan apa isi buku ini.
Bagi yang membutuhkan informasi lebih lanjut, akan saya sampaikan sedikit kesan yang saya peroleh dari membaca bukuini. Buku ini ditulis oleh Marina dengan sudut pandang orang pertama,yang mengisahkan perjalanannya, seorang diri, ke India dan Thailand dalam rentang waktu sekitar Tahun 2003-2004. Untuk mencari surga dibumi. Surga di bumi? Sungguh berat topik yang dipilih, karena seingatku keberadaan surga di bumi merupakan perdebatan para ahli teologi.
"Hidup adalah travelling besar" katanya. Persepsi yang aneh bukan? Sangat aneh, disaat wanita-wanita kebanyakan lebih memilih untuk duduk di dalam rumah yang nyaman, di depan sebuah televisi dan dengan dedikasi tinggi menyimak setiap episode sinetron cinta fitri season enam yang sebentar lagi akan di buat season tujuhnya. Kali ini ada yang mengatakan bahwa hidup adalah travelling besar. Baiklah, mari kita lihat travelling seperti apa yang di ceritakan dibuku ini, mengapa sebegitu rupa sehingga sampai pada filosofi bahwa hidup bisa dihargai dengan sebuah travelling.
Cerita dimulai dengan perjalanannya keIndia dengan alasan yang sedikit (atau mungkin banyak) konyol, karena vokalis grub band idolanya: Khula Shaker pernah berkata: suatu saatdalam hidupmu, engkau harus sekali saja pergi ke India. Kalau vokalis tersebut berkata bahwa: suatu saat dalam hidupmu, engkau harus belajar tari piring, barangkali hal ini akan dilakoninya juga. India, negara yang kental dengan nuansa spiritualnya, berbagai agama besar berasal dari sana, dan oleh penulis disebut sebagai tanah perjanjian. Kira-kira apa hubungannya dengan tanah yang dijanjikan kepada pengikut nabi musa sambil menyebrang laut dalam kisah di alkitab? Entah. Dalam perjalanan dari bandara menuju Delhi, seorang supir taksi berkata kepadanya: "Kau sebetulnya mencari surga dibumi m'friend, dan kau akan menemukannya, satu atau lain cara."
Demikianlah perjalanan Marina yang dituntun oleh tangan takdir, menelusuri daerah-daerah mulai dari Delhi, Srinagar, Leh, Rishikesh dan sebagainya. India, yang lingkungannya mirip-mirip negeri asal Sahrul Khan, yang suasanya masih terimbas dampak pertikaian antar kepentingan dan antar agama yang dulu pernah (masih) terjadi. Hingga sampailah dia di Kashmir, demikian indah tempat yang dikunjungi itu, dikenal dunia internasional sebagai paradise on earth.
"Danau yang dikelilingi pegunungan raksasa di sekelilingnya, riak-riak airnya mengalir lembutdan ditengah-tengah terlihat banyak lentera keemasan yang mengapung-ngapung dengan khidmat. Matahari terbenam membuat langit berwarna ungu muda dan semuanya terpantul pada danau yang luas itu, seolah membuat segala keindahan menjadi berlipat ganda."
Oke, tentunya Marina harus mendeskripsikan dengan cara yang lebih baik lagi untuk sebuah tempat yang disebut sebagai surga itu. Karena nama surga cukup berat untuk di sandang. Namun demikian, tempat tersebut oleh Salman Rushdie dalam Midnights Children diungkapkan dengan cara sama sekali berbeda, dengan deskripsi yang lebih suram. Dalam menyingkapi keindahan alam, ternyata orang-orang dengan latar belakang berbeda akan menanggapi dengan berbeda pula.
Berikut ini cara Marina mengungkapkan bagaimana satu bagian keindahan alam di wilayah itu:
"Di balik segala keindahan yang sempurna secara komposisi itu, sesuatu yang lain tak hentinya memanggil-manggil. Mungkin semacam keindahan yang ilusif.Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk menjaganya. Tidak bisa kaubotolkan ia dan kau bawa pulang. Tak bisa kau foto dan pajang begitu saja di kamarmu. Kau harus pergi ke sana, mendaki gunung-gunung itu, menyelami laut-laut itu, mengarungi sungai-sungai itu, hanya untuk menjumpainya sekali saja." Pendapat ini mengisyaratkan ada sesuatu dibalik keindahan itu, yang lebih agung, yang berhubungan dengan penciptaan. Itulah yang membuat seseorang layak menempuh perjalanan demikian jauh demi mendapatkannya. Namun, seorang lain yang bersamananya, seorang atheis dari Jepang menganggap bahwa semua keindahan itu tidak lain dari hanyalah "komposisi".
Selama beberapa hari menginap di rumah perahu di tepi danau, ternyata suasana indah seperti surga di bumi tersebut, jadi terlihat biasa-biasa saja."Inilah tempat terindah di muka bumi, dimana orang-orang di dalamnya berjalan-jalan tanpa merasa bahagia. Seolah tempat-tempat terindah dibumi pun memang tidak akan dapat menyembuhkan pergulatan batin yang terjadi di dalam. Kalau surga di bumi saja tidak bisa membuat orang-orang senang, apalagi yang bisa?"
Maka Marina melanjutkan perjalanannya, mencari surga di bumi, di tempat lain, dengan pemaknaan yang lebih spiritual. Karena ternyata untuk melihat surga di bumi, "kau harus terlebih dahulu membenarkan cara melihat, kau harus mengosongkan terlebih dahulu isi kepalamu". Mungkin orang-orang yang sering dihujat dengan ucapan :"Tak ada kutengok otakmu!", sudah bisa menemukan surga di bumi.
Perjalanan yang dirangkai dengan konflik batin, seperti kenapa ada orang-orang tidak bahagia, kenapa pula ada orang yang kelihatan begitu bahagia, begitu tenang dan seolah-olah waktu yang ada hanyalah sekarang. Serta bagaimana caranya untuk mendapatkan perasaan seperti orang-orang tersebut dengan tradisi spiritual timur. Hal yang cukup mainstream bagi para backpacker barat yang mengalami krisis karena modernisme.
Dalam proses itu, bisa dikutip perkataan seorang biksu di Laddakh kepada Marina:"Semua ajaran besar selalu bermula dari jatuh cinta yang sama. Kau harus jatuh cinta dulu pada sesama, pada kehidupan, pada apapun, untuk bisa menguak rahasia besar kehidupan. Karena jatuh cinta menarikmu keluar dari dirimu sendiri. Kebenaran ada bukan dalam dirimu atau siapapun, tetapi dalam ruang di antara kita semua. Dalam kasih sayang antar kita semua."Atau ungkapan seperti:"Untuk mengenal kebenaran, kau harus mengenal dirimu sendiri." Yang mirip seperti pernyataan terkenal dari Rumi, yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya. Kebenaran yang hakiki bisa disamakan dengan Ketuhanan. Sejalan juga dengan perkataan yang dinisbatkan pada Syekh SitiJenar:"Sesungguhnya surga neraka itu berada dalam jiwa kalian. Berada dalam jiwa setiap manusia yang bernafas."
Tentunya ada bermacam cara dalam bermacam agama untuk melakukan itu. Untuk mengenal lebih jauh ke dalam diri sendiri, ke dalam dimensi batin yang lebih tinggi, Marina menggunakan cara meditasi, yang dijalaninya di Rishikesh pusat yoga dunia, lalu di lanjutkannya dengan Ritrit disebuah kuil kota Wat Thailand. Hingga akhirnya dia bisa menemukan sesuatu yang bisa diterjemahkan sebagai pencerahan di sana. Bagaimana proses tersebut? Detailnya tersaji dalam buku ini.
Sebenarnya, untuk itu, belum tentu kita harus pergi ke luar negeri atau ke planet lain atau yang lebih jauh dari itu, mungkin saja apabila memahami caranya, kita bisa mendapatkan semacam kebahagiaan batin itu dengan hanya melakukan perjalanan dari gerbang kampus ganesha ke masjid Salman di Bandung. Tapi itulah, bukan hanya hasilakhir yang berharga. Serangkaian proses untuk menuju hasil tersebut, proses menemukan tersebut, yang lebih menjadikan hasil akhirnya berarti. Serta tentunya, pemaknaan yang lebih mendalam terhadap perjalanan fisik yang dilakukan, selain hanya sekedar menikmati suasana dan pemandangan.
Yang jelas, Marina menumpahkan isi pikirannya ke dalam buku ini dengan baik, dengan gaya bahasa anak muda beserta pergolakan batinnya. Berisi dialog-dialog yang terkadang perlu dicerna dengan perlahan agar bisa dipahami. Yang pada akhirnya, dalam momen kedamaian yang dirasakannya, Marina sedikit 'memaksakan diri' untuk menjembatani dimensi batin kepada dimensi rasional dengan teori fisika kuantumnya.
Perbedaan buku ini dengan buku yang sebelumnya ditulis: Keliling Eropa 6 Bulan Hanya Dengan Seribu Dollar, pada buku ini lebih terasa nuansa spiritualnya dibanding dengan nuansa jalan-jalan pada buku sebelumnya tersebut. Mungkin itu juga sebabnya di buku ini tidak ada gambar pemandangan, berbeda dengan buku sebelumnya yang penuh foto disana-sini. Karena yang spiritual itu harus dirasakan alih-alih hanya dipandang.
Lalu kenapa buku ini diberi judul jingga? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena sampulnya berwarna jingga. Bukan untuk didebatkan seperti manakah yang lebih dahulu, apakah itu telur atau ayam, apakah itu sampul atau judul. Maksudku, silahkan cari tau sendiri warna jingga tersebut dengan cara mendapatkannya di toko terdekat. Dengan kondisi fisik buku ini (ukuran, tebal, kertas dsb) harganya agak sedikit mahal, tapi untuk menjadi hiburan yang dilengkapi dengan pengetahuan sekaligus (mungkin) pengalaman spiritual? Rasanya pilihan untuk itu cukup terbatas..
No comments:
Post a Comment