Showing posts with label islam. Show all posts
Showing posts with label islam. Show all posts

Tuesday, May 24, 2011

Jeff the Atheist

Sebuah percakapan dengan seorang asing sepanjang Bandara Soeta sampai Gambir beberapa waktu lalu membuatku berpikir kembali tentang keberadaan islam di negeri ini. Orang itu kuketahui kemudian bernama Jeff, seorang pria usia sekitar empat puluh yang katanya berasal dari Canada. Dia tidak bisa bahasa Indonesia, sehingga dengan bahasa inggris yang seadanya aku menanggapi berbagai pertanyaanya tentang islam.

Dia berpenampilan resmi, duduk disebelahku dengan kemeja rapi ke dalam celana bahan dan bersepatu kulit. Saat dia itu sedang membaca sebuah buku dari tablet PC nya, sebuah buku filsafat entah apa, yang menjadi awal percakapan kami ketika kutanyakan buku apa yang sedang dibacanya. Kukatakan bahwa aku juga suka membaca buku, beberapa buku filsafat juga kubaca saat waktu senggang. Dia terlihat sedikit terkejut, katanya orang Indonesia tidak suka membaca, dilanjutkan dengan orang Indonesia tidak suka mengajukan pertanyaan. Kukatakan bahwa beberapa orang Indonesia suka membaca dan beberapa mengajukan pertanyaan. Lalu dia menanyakan adakah filsuf yang berasal dari Indonesia, kukatakan bahwa beberapa yang kuketahui mendasarkan filsafatnya pada islam. Dari situlah bermulanya perdebatan kami mengenai islam.

Dia menunjukkan ekspresi heran ketika kukatakan bahwa aku beragama islam. Kenapa? Tanyanya, dia mengatakan bahwa kebanyakan orang Indonesia beragama islam karena orangtuanya islam, itu tidak adil. Kukatakan bahwa pada awalnya memang kami memeluk islam karena keturunan, lalu kami mulai mencari, dan mempelajari agama kami, dan mulai memberi makna pada keberagamaan kami. Kukatakan bahwa aku juga sudah mempelajari agama lain, aku membaca perjanjian lama, perjanjian baru, injil barnabas, juga cerita tentang Budha.

Ketika dia bertanya apakah aku membaca Quran, kata demi kata, kujawab bahwa tentu aku membacanya, secara bertahap. Lalu dia memintaku  untuk memberitahu jika memang ada ajaran moral dalam Quran? Ku kutip salah satunya, bahwa Al Quran menganjurkan untuk menyayangi anak yatim, dan memberi makan orang miskin, seperti dalam surat Al Ma’un. Lalu dia membantah bahwa tanpa membaca Quran dia sudah mengatahui bahwa tidak baik untuk mengambil harta anak yatim, itu ukuran moral yang sudah disepakati banyak orang. Lalu dia mulai mengutip beberapa ayat, yang menurutnya berarti bahwa orang islam dianjurkan untuk membunuh orang yang berbeda keyakinan. Dia mengatakan bahwa agama merupakan salah satu penyebab kehancuran peradaban. Dia mengutip terjadinya pembunuhan terhadap Jemaah Ahmadiyah oleh sekelompok massa baru-baru ini, yang pelakunya tidak diadili.

Permasalah ini membuatku cukup bingung untuk menjawab, karena itu adalah massa yang marah disebabkan oleh sekelompok orang yang dianggap melanggar aqidah, dan mungkin penyebabnya lebih kompleks dari itu. Kukatakan bahwa aku tak akan membunuhnya karena dia berbeda keyakinan. Kukatakan bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap ayat Quran harus dengan cara yang benar, sesuai dengan latar belakang turunnya dengan membedakan makna yang tersirat dan tersurat.

Dia menanyakan, jika dia mengatakan bahwa dia mendengar suara-suara dari Tuhan, dan mengatakan bahwa dia adalah seorang nabi, akankah aku percaya? Kubilang bahwa aku tak mengenalnya, dan tentu tak akan percaya. Dia lalu mempertanyakan berbagai peristiwa yang dipercayai umat muslim, seperti tidak mungkin bahwa bulan pernah terbelah. Hanya sedikit pengetahuanku tentang itu, sehingga kukatakan bahwa, hanya karena belum ada pembuktian menganainya, bukan berarti hal tersebut tidak pernah  terjadi.

Kutanyakan padanya, dalam keberagaman cara pandang dan berpikir manusia, tidakkah dia membutuhkan sesuatu yang benar-benar bisa dipercaya, sesuatu yang mengandung kebernaran universal? Ajaran moral yang universal seperti dalam agama? Dia mengatakan bahwa dia hanya mempercayai apa-apa yang dirasakan oleh indra, logika, dan dibuktikan oleh science. Kutanyakan padanya, apakah dia percaya cinta? Tidakkah dia merasakannya tanpa harus melihatnya? Dia mengatakan bahwa cinta tidak eksis, bahwa itu hanyalah salah satu bagian dari syaraf.

Dia mengatakan bahwa islam tidak mendukung ilmu pengetahuan, hal itu ditunjukkan dengan tingkat illiteracy di Indonesia yang sangat tinggi, perempuan di Iran yang tidak bisa sekolah, dibandingkan dengan di Norwegia yang 98 persen penduduknya mendapat kesenangan dari membaca. Dia juga mengatakan bahwa islam memilih antara fakta sejarah yang diajarkan dan disembunyikan, dia menyinggung teori evolusi Darwin yang disanggah secara tidak tepat atas nama agama, dia menyinggung Averos, membandingkan dengan Socrates dan sebagainya.

Dia lalu menunjuk, lihatlah orang-orang miskin yang dipinggir jalan itu, dan tanyakan apa agamanya. Juga Gayus tambunan, tanyakan apa agamanya. Dilanjutkan dengan mengemukakan bahwa agama tidak membawa kebaikan bagi kehidupan, justru membawa kehancuran dan menghambat ilmu pengetahuan. Aku hanya bisa terdiam, kukatakan bahwa tidak adil membandingkan antara Indonesia yang pada saat di Eropa sudah memulai revolusi industry, Indonesia masih terpecah belah merangkak berjuang dari penjajahan, lantas menyalahkan islam atas itu semua. Kupikir islam bukanlah orang-orang yang ditunjuk itu, atau negara Indonesia, atau negara-negara Arab itu.

Setelah percakapan panjang yang tidak memiliki titik temu itu, sampailah kami di Gambir, dia menganjurkanku untuk membaca sebuah buku berjudul “Why I’m not muslim?” karangan Ibn Warraq. Kukatakan bahwa aku akan mencobanya dan menyarankannya untuk melihat islam dengan lebih baik, dia harus melepas kacamatanya itu. Harus mulai melihat dari sumber-sumber yang bukan hanya berasal dari barat, karena mungkin sejarah agama dan kekuasaan di barat tidak begitu baik, dan orang yang menulis apa-apa yang dibaca orang barat bisa jadi terlalu menggunakan sudut pandang yang mendiskreditkan islam. Dia bahkan belum membaca satupun buku yang ditulis Karen Amstrong.

Nice to meet you.” katanya. Aku turun dari Bus dengan menyisakan banyak pertanyaan dan beban pikiran. Ini bukan pertama kalinya aku berdialog mengenai topic ini dengan orang barat, tapi kali ini aku merasa tidak terlalu berhasil membela agama ini, karena keterbatasan penguasaan bahasa, keterbatasan pengetahuan, karena keadaan beragamaku yang belum baik, serta keterbatasan kondisi dimana memang beberapa hal yang dijadikan acuan adalah hal-hal yang di permukaan terlihat benar.

Lihatlah kondisi di negeri ini sekarang, dengan mayoritas warganegaranya muslim ternyata tingkat korupsinya juga mayoritas. Ditambah dengan pergeseran nilai belakangan ini, dimana kelompok pengajian tertentu malah identik teroris. Orang-orang yang memandang dengan kacamata barat yang skeptis, tentu sulit untuk memahami bahwa agama islam adalah rahmat bagi seluruh alam, karena ciri-ciri yang muncul dipermukaan belum menggambarkan itu semua. Jika kita melihat sebuah rumah yang dari halamannya saja terlihat berantakan bukankah akan berasumsi bahwa bagian dalam akan tidak kalah berantakan. Bukankah kaum muslim di negeri ini perlu meninjau kembali identitasnya sebagai muslim?

Monday, May 17, 2010

ar rahmaan



Kali ini saya akan sedikit bercerita tentang kesan. Karena yang saya bicarakan adalah sebuah surat di dalam Al Qur’an, maka saya hanya berani mengungkapkan sebagai kesan. Penguasaan bahasa yang terbatas serta penelusuran historis dan simbolik yang belum bisa saya lakukan, ditambah kondisi beragama saya yang tidak terlalu baik, membuat saya tidaklah dalam kapasitas yang tepat untuk membuat sebuah tafsir.

Meski begitu, saya sudah memutuskan untuk maju satu langkah, dengan mempercayai bahwa Tuhan itu ada. Saya maju dua langkah dengan mempercayai kebenaran ajaran islam, para rasul, para malaikat, Al Quran berikut kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, keberadaan alam akhirat serta takdir.

Dan ini adalah kesan menurut saya. Sesuatu yang terlintas di kepala berdasarkan sesuatu yang lainnya yang telah lebih dahulu mengendap di kepala saya sebagai pengalaman dan pengetahuan. Kesan saya ketika beberapa tahun yang lalu, membaca surat ini adalah betapa indahnya. Keindahan itu terasa dari nada-nadanya saat membaca dan ketika melihat terjemahnya keindahan itu saya rasakan juga dari makna kata-katanya. Berikut ini sebagian kutipan nya.

(Tuhan) Yang Maha Pemurah (1)
Yang telah mengajarkan Al Qur'an (2)
Dia menciptakan manusia (3)
Mengajarnya pandai berbicara (4)
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan (5)
Dan bintang-bintang dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada Nya (6)
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) (7)
Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu (8)
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (9)
Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk(Nya) (10)
Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang (11)
Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya (12)
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (13)

Sang Maha Pemurah yang telah menciptakan manusia, mengajarkan kepada isi Al Qur’an dalam rangka menuntun kita menjalani kehidupan. Sang pencipta memberikan petunjuk kepada ciptaannya, karena tanpa petunjuk, manusia akan kebingungan menjalankan peranannya di bumi ini. Sang pencipta juga telah menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang bisa mengekspresikan isi pikiran dan kemauan dengan cara berbicara. Berbicara atau berkomunikasi merupakan symbol dari pengetahuan dan kecerdasan pikiran manusia dibanding makhluk hidup lainnya.

Matahari, bulan, bintang dan seisi alam semesta berjalan berdasarkan aturan, sesuai perhitungan yang telah ditetapkan. Dan diantara bumi dan benda langit telah ditetapkan keseimbangannya yang belakangan telah diformulasikan dalam rumus-rumus oleh fisikawan. Agar manusia tetap menjaga keseimbangan tersebut. Agar manusia tidak merusak hukum kesetimbangan tersebut, hidup dalam harmoni. Bumi ini telah diciptakan dan dipersiapkan untuk kedatangan manusia dengan kondisi ideal, sumber makanan dari tumbuhan yang kaya variasi yang bukan hanya mengandung gizi, tetapi memuaskan indra pengecap dan pengihatan kita, untuk mendukung kehidupan kita dan seluruh makhluk hidup lainnya.

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Kalimat inilah yang menjadi penekanan dalam surat ini, yang diulang berkali-kali pada ayat-ayat berikutnya setelah menceritakan mengenai penciptaan, surga, dan neraka, yang kalau dirangkum hanya seiktar sepertiga yang menceritakan kehidupan dunia dan dua pertiga sisanya adalah kehidupan akhirat. Kalimat ini ditafsirkan dengan beragam makna dengan kekayaan kata-kata bahasa arab dari kata “nikmat” dan beragam penjabaran pada kata “dustakan”.

Nikmat, bisa juga diterjemahkan sebagai manifestasi, mukjizat, atau kekuasaan Tuhan dalam konteks yang berbeda pada ayat-ayat selanjutnya. Sedangkan mendustakan bisa terjadi dalam beberapa tingkatan antara lain: Tidak mengakui keberadaan Tuhan sebagai sang pencipta yang biasanya kita temukan pada penganut materialisme, tidak mengakui kebenaran ajaran agama atau atheis yang belakangan semakin banyak kita jumpai, dan pada tingkatan yang lebih terselubung adalah tidak berterimakasih atas nikmat yang telah diperoleh.

Tetapi mengapa pertanyaan ini bernada negatif? Dalam bagian lain disebutkan karakter yang dominan pada diri manusia adalah makhluk yang cenderung zalim, tergesa-gesa, bodoh, banyak membantah dan mendebat, serta tidak berterima kasih. Seperti dalam surat Al Ma'arij (70: 19, 20, 21) dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung berkeluh kesah, apabila ditimpa kesusahan ia mengeluh dan apabila mendapat kebaikan ia menjadi kikir, dengan beberapa perkecualian yang salah satunya adalah orang-orang yang mengerjakan sholat dan sebagainya. Itulah salah satu yang menyebabkan manusia membutuhkan penuntun dalam menjalankan kehidupannya.

Kehidupan kita selalu berputar, terkadang hal-hal yang kita inginkan tak selalu berjalan sesuai kehendak kita, selain kenyataan bahwa apa-apa yang kita ingingkan belum tentu benar-benar baik bagi diri kita. Maka seberapa sering kita mengeluh terhadap kehidupan ini dan merasa semakin tidak bahagia dari hari kehari. Oke mungkin bahasa saya terlalu negatif. Seberapa sering kita tidak bersyukur atas apa-apa yang kita miliki? Dalam bahasa yang lebih positif lagi, seberapa sering kita bersyukur atas semua nikmat yang telah kita peroleh?

Jika boleh mengeluh, saya seringkali merasa iba jika melihat berita di televisi dimana sering meliput pertikaian antar manusia karena hal-hal sepele yang dilanjutkan pertikaian antar keluarga dan antar kampung bahkan antar Negara karena konflik kepentingan. Okelah, mungkin memang sudah semestinya begitu, karena toh manusia sama-sama memperjuangkan kepentingan yang menurutnya layak diperjuangkan dan itu semua bisa berbeda-beda tergantung pada sudut pandang, latar belakang pengalaman dan pendidikan. Tapi bolehlah jika saya merasa heran pada status orang-orang yang memprotes kedatangan hujan misalnya, atau mengeluhkan sejumlah hal-hal remeh lainnya.

Bukankah sudah ditakdirkan bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung berkeluh kesah, jadi kenapa harus protes? Benar sekali, tapi telah diajarkan juga kepada kita untuk bisa memanfaatkan potensi kita untuk lebih cenderung bersyukur daripada kufur. Menurut saya, tak apalah sesekali mengeluh, karena itu memberi ruang bagi seseorang lain dalam kehidupan kita untuk menjalankan peranannya menentramkan kita, untuk saling berbagi. Tapi jika setiap hari kita terlaru larut dalam keluhan-keluhan, rasanya lambat laun itu akan menjerumuskan kita, yang pada akhirnya bisa membuat kita lupa untuk berterima kasih pada karunia Tuhan atas diri kita.

Dalam rangka inilah, kesan saya terhadap surat yang indah ini, lebih spesifik lagi, terhadap ayat: “Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” ini, saya buat untuk mengingatkan diri saya sendiri. Agar lebih mensyukuri nikmat di sekeliling saya, lebih fokus pada apa-apa yang saya miliki, daripada terus menyesali apa-apa yang tidak ada dan yang telah hilang dari kehidupan saya. Jika suatu saat saya terlupa, apa boleh buat? toh itu bukan berarti saya tidak berusaha...