Showing posts with label Yogyakarta. Show all posts
Showing posts with label Yogyakarta. Show all posts

Sunday, November 17, 2013

jatuh cinta pada bukit nglanggeran

Bukit itu tak seberapa tinggi, hanya memerlukan satu dua jam saja untuk menelusuri dari kaki bukit hingga ke puncaknya, namun di bukit batu gunung purba itulah pada setahun yang lalu sebentuk cinta telah bersemi. 

Di kaki bukit itu, di sebuah pendopo, kita dapati beberapa orang bule bersama penduduk sedang berkreasi membuat topeng ala venesia dengan motif hiasan tradisional jawa. Kegiatan mereka memang menarik untuk diikuti, tetapi mendaki menuju puncak bukit lebih menarik hati kita. Sehingga kita berempat langsung meneliti rute pendakian yang tertera pada papan informasi dan melanjutkan perjalanan pendakian.

Kita berempat itu adalah saya sebagai fotografer tidak profesional, Astea sebagai fotografer lebih tidak profesional, Rani sebagai pendaki gunung agak profesional, serta Bli Putu selaku pendaki gunung profesional. Tujuan Rani dan Putu mungkin untuk mendaki gunung dan bercengkrama dengan alam, tujuanku dan Astea adalah untuk berburu foto yang bagus. Dengan itu semua, kita resmi bergabung menjadi tim pendaki.

Saat itu, Astea sedang dekat dengan saya karena sedang dalam proses pendekatan, sudah beberapa kali kita jalan-jalan. 

Pendakian dilakukan dengan melalui jalan setapak yang menanjak di sela undak-undak bebatuan. Entah apa penyebabnya hari itu Astea terlihat begitu lincah, begitu ceria, sebentar-sebentar dia tersenyum, sebentar-sebentar tertawa, tak ketinggalan bernarsis ria. Tawanya yang riang lepas serta senyumnya yang merekah seperti mentari pagi yang menghangatkan, menerangi sekelilingnya, menerangi hati saya. Sungguh waktu itu saya meleleh ketika melihatnya. Rasanya, suara tawanya itu yang saya butuhkan untuk mengembalikan hari-hari saya menjadi seperti masa kecil dulu, yang penuh canda tawa.

Sebelumnya saat diperjalanan, saya telah dibuat terpesona oleh ketenangan yang ditunjukkannya. Ketika ban motor yang kita naiki mendadak kempes dia tidak terlihat panik, dengan santainya membantu mendorong motor dan mencari tambal ban yang entah dimana. Dalam waktu itu saya berpikir, bersama wanita ini, tentu jika saya sedang kesusahan dia tidak akan menambah beban kesusahan saya. Terkagum saya dibuatnya. Waktu itu di tukang tambal ban, di tempat bapak tua yang selalu mengajak bicara dengan bahasa jawa, tak sengaja terucap bahwa “saya ingin punya calon orang jogja, supaya bisa mengajari berbahasa jawa yang halus. Saya yang keturunan jawa malu karena tidak bisa bahasa jawa.”

Perjalanan mendaki kita lanjutkan. Sampai di batu besar sebagai pos pertama, berfoto-foto, sampai dengan bukit batu pos kedua, dilanjutkan dengan berfoto-foto lagi. Cukup banyak pendaki lain yang sedang menikmati suasana dan berfoto. 

Selanjutnya kita mendaki lagi, kali ini lebih dalam ke hutan dan lebih sukar tanjakannya. Sebagai juru foto tidak profesional yang tidak pernah mendaki, tak bisa dihindari nafas kita langsung ngos-ngosan, otot yang tak terbiasa bekerja keras, dan paru-paru yang tidak biasa diforsir berusaha secepat mungkin menyuplai oksigen, keringat mulai mengucur deras. Namun kita tidak menyerah, tetap mengikuti langkah bli Putu dan Rani yang masih mantap mendaki. 

Setelah melewati jalan setapak menanjak, menerobos semak, pohon buah-buahan hutan, batu-batuan yang tercecer. Akhirnya kita sampai di puncak bukit ngelanggeran, bukit batu yang luas, yang lebih tinggi dari sekelilingnya. 
Berada pada puncak itu membuat kita merasa tinggi, merasa dekat dengan langit, merasa dekat dengan keagungan Tuhan. Angin yang segar menerpa wajah kita, mengeringkan keringat untuk jadi bagian warna kulit. Pemandangan alam yang sejuk segar menghijau menenteramkan perasaan kita. Tak ketinggalan, sebungkus buah sawo yang setengah matang membuat hari kita menjadi lebih ceria. Tak ada masalah apakah memakan dengan kulitnya langsung atau memakan dengan mengupas dulu kulitnya, yang terasa adalah kesegaran dan manisnya. Semua bergabung membuat kita euforia, membuat kita jatuh cinta, membuat kita dekat dengan alam. 

Matahari sore yang merasa cemburu pada bahagia kita akhirnya meredupkan sinarnya, lalu tenggelam di ufuk barat. Kekurangan sinarnya menyadarkan kita untuk segera turun, sebelum hari berangsur menjadi lebih gelap. Maka tergesalah kita menelusuri jalan pulang sambil meraba-raba jalan. Bersyukur perjalanan kita lancar dan tidak ada yang mendapat cedera. 

Sambil jalan pulang kita mampir di sebuah masjid, masjid yang sederhana di tengah sawah dan pedesaan, tetapi entah kenapa terasa begitu asri, sejuk dan indah. Air untuk berwudhu pun terasa begitu menyegarkan. Tak sengaja saya menjadi imam. Mungkin karena sisa energi yang terakumulasi akibat berjalan jauh tadi, entah kenapa kaki saya agak gemetaran, suara saya pun jadi agak bergetar. Getaran saat membaca Al Fatihah itulah yang menurut pengakuannya telah menyentuh hatinya, membuat dia jatuh cinta. Surat yang menjadi pembuka dalam Al Quran, sekaligus menjadi pembuka pintu hatinya. 

Selesai sholat magrib, kita lanjutkan perjalanan pulang, sambil bercerita-cerita tentang angan-angan. Sambil membayangkan bahwa hubungan kita akan berlanjut sampai jauh ke masa depan. Bahwa hubungan kita akan terus berlanjut dengan derai tawa dan surat Al Fatihah yang tak terhingga banyaknya.. 

Sunday, September 29, 2013

Yogyakarta

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja

Lagu Yogyakarta itu, tidak bisa tidak, akan membuat ingatan tentangnya hadir kembali. Hadir dengan berbagai cerita yang pernah tertulis ketika kita sama-sama menikmati suasana kota. Meskipun cerita itu tak melulu bahagia, meskipun selanjutnya akan membawa luka. 

Jika kita tau itu akan luka, mungkin aku tidak akan mengajaknya pergi waktu itu, di waktu bioskop sedang memutar film-film mulai dari Looper, Life of Pi, Habibie, Les Miserables, 5 cm dan yang lainnya. Dan tak mungkin pula akan aku katakan “tanganmu aku pinjam” di dalam gedung pertunjukan itu.

Tentu akan kularang juga pengamen yang pada malam hari itu menyapa kita untuk menawarkan lagu-lagu cinta, di salah satu angkringan yang ramai oleh muda-mudi itu. Didendangkan oleh pengamen itu lagu “kau cantik hari ini, dan aku suka” dengan suara yang ternyata cukup bagus, lagu yang membuatnya tersenyum-senyum dengan pipi memerah, yang membuat pengamen itu memanggilnya aisyah.

Siapa yang tak akan suka menangkap momen itu, momen tawa dengan pipinya yang memerah, sehingga tak kutampik ajakannya berburu foto di jalanan sekitaran keraton itu. Kita suka untuk menemukan hal-hal unik yang biasanya terlewat oleh mata biasa, termasuk itu zebra cross, atau gembok yang menggantung, anak-anak bermain, atau penjahit jalanan yang sudah bergaya untuk difoto meskipun yang tertangkap kamera hanya celana yang sedang dijahitnya.

Bila itu tak terasa menyenangkan, tentu tak akan berlanjut perjalanan kita hingga ke jalan-jalan jauh melewati gunung kidul, menemui gua dan bukit itu. Berlibur di alam yang tak biasa, sambil berjalan mendaki bukit kecil Nglanggeran, dengan nafas yang tinggal satu dua, entah bagaimana justru menambah cerianya, membuatnya tertawa-tawa kekanakan yang mempesona sepanjang jalur pendakian. Sampai nafas kita yang cepat itu mereda saat melihat pemandangan menghijau yang membawa kesegaran bermula dari mata hingga ke rongga data. Dan baginya, lelah itu terbayar oleh produksi kicau twitter di atas gunung. Dalam perjalanan pulang itu, ketika sholat magrib di masjid tepi jalan, jika suara lantunan Alfatihah itu kita tau akan menyentuh pintu hatinya, tentu akan kita cari imam yang lain.

Di kali lain, kita tembus lagi itu pegunungan selatan, menjelajah pantai-pantainya yang terkenal. Berjajar pantai-pantai mulai dari Baron, Kukup, Krakal, Drini dan entah apalagi. Sulit untuk diingat karena kita sibuk saling bercerita, bercanda dan bertengkar. Disela-sela angin yang berhembus kencang menerpa gubuk-gubuk reot yang menjajakan es degan itu, diantara hempasan ombak yang menerpa karang, kita sepakatkan untuk menghilangkan sementara keraguan, untuk berjalan bersama ke tempat yang lebih jauh, ke masa yang lebih mendatang.

Karena titik akhir belum kita ketahui, itulah sebabnya pada suatu ketika kita pergi lagi menembus bebukitan menuju kampung bapak, dua jam saja dari jogja. Untuk membaca Quran di tempat beliau beristirahat.

Perjalanan itu sulit untuk dilupakan, karena motor kita yang sudah lama itu kita paksa melewati jalan yang berkelak kelok, jalanan naik turun dan berlubang, menembus hujan yang membadai, perjalanan dua jam harus kita panjangkan hingga empat jam, betapa dinginnya udara, betapa tak bersahabatnya angin, betapa gelapnya malam. Satu dua pengendara yang berpapasan atau yang memotong jalan kita adalah teman, karena kita pengendara dalam badai yang berusaha entah bagaimana untuk sampai di rumah. Untuk mengusir udara dingin dan perasaan cemas terpaksa kita nyanyikan berbagai lagu-lagu, jika habis lagu lama, kita putarlah lagu cinta, jika selesai lagu cinta maka lagu nasional tak kita tinggalkan. Itulah kenapa kita banyak-banyak bersyukur bisa sampai juga di rumah, meski malam hampir larut.

Waktu itu kita menyadari betapa spesial masing masing kita bagi satu sama lain. Sehingga kupersiapkan juga dengan spesial perayaan hari kelahirannya. Sedari pagi kusiapkan tempat makan malam yang istimewa di kafe di teras gedung mall dengan live musik itu. Selesai kita makan, sunyi sejenak, sebelum tiba-tiba band itu membawakan lagu happy birthday to you, dan pelayan membawakan kue dan kado yang sudah kupersiapkan untuknya, membuat tersipu wajahnya, membuat kita jadi bahan penglihatan pengunjung lain, beberapa bertepuk tangan. Ketika dia tiup dan potong kue tar itu, potongannya terlalu banyak untuk berdua sehingga harus kita berikan juga ke meja yang lain.

Di kota Jogja kita sementara menjalani hidup, kita menikmati hidup, termasuk itu musik jazz di waktu hujan, irama jazz yang sulit dimengerti, seperti juga galeri seni yang kita kunjungi dan tak kita pahami. Ramai orang memadati, dari satu panggung ke panggung lain, irama jazz dan hujan adalah keserasian yang perpaduan manusia dan alam berikan untuk menjadi sumber bahagia kita. Untuk melengkapi suasananya, tentulah kita teguk pula wedang jahe hangat. Apakah waktu bisa berhenti di sini, yang begitu ternikmati? Tetapi waktu terus berjalan tak peduli kita menikmati atau meratapi.

Kita terus bersama mengesampingkan segala perbedaan yang ada diantara kita. Apalah arti berbeda selera makan, berbeda kesukaan, berbeda pengetahuan, berbeda pengalaman dibandingkan perasaan kita yang sedang euforia. Bukankah perbedaan itu yang membuat kita belajar saling menerima? Bukankah kita tetap berbahagia?

Masa-masa itu kita berbahagia, tetapi kita tak tau bahwa itu akan membawa luka. Karena pada suatu waktu tak bisa kucegah untuk mengucapkan kata bahwa tak tau hubungan ini akan dibawa kemana, ada dinding itu yang belum bisa kita tembus, ada kekecewaan itu yang belum bisa kita terima. Jikalau kita tau itu akan sebegitu luka meski sebelumnya bahagia, jikalau kita diberikan pilihan untuk mengulanginya, entah apakah kita masih akan menempuhnya atau justru akan menghindarinya.

Suatu waktu kudengarkan lagi lagu yogyakarta, terlintas pula bayangannya..

Walau kini kau telah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk slalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh…

Saturday, April 28, 2012

nenek itu

Siang itu, saya kebetulan makan siang di kantin kopma kampus UGM, sedang sendirian. Dalam arah pandang saya, yaitu di depan jalan masuk ke kantin terlihat seorang nenek sedang duduk, di depannya ada sebuah gelas plastik yang berisi recehan pemberian dari orang-orang yang lewat. Gaya pakaiannya yang khas nenek dari jawa membuat saya teringat pada nenek di rumah. Terbesit perasaan sedih di hati saya.

Nenek ini sedang meminta-minta. Setiap melihat seorang yang meminta-minta, serta merta saya langsung mempertanyakan, apakah tidak bisa bekerja? Dalam tradisi yang saya pahami, orang yang meminta-minta merendahkan nilai kemanusiaannya, dalam artian gagal mengenali potensi diri dan tidak pandai mengejar kesempatan.
24 Juni 2010
Dalam tradisi agama yang saya ketahui juga, orang yang tidak mampu tetapi menahan diri dari meminta-minta derajatnya lebih mulia daripada yang tidak mampu dan meminta-minta. Tetapi tentunya hal itu harus dalam kondisi berimbang dan ideal dimana orang yang mampu dengan sukarela memberikan bantuan kepada yang membutuhkan.

Sistem di negara kita belum cukup ideal untuk hal-hal seperti itu, untuk pendistribusian tanggung jawab kesejahteraan, serta pengembangan kualitas kemanusian. Pada saat yang sama, manusia kontemporer semakin fokus pada kehidupan masing-masing disebabkan oleh semakin tingginya tuntutan dan kebutuhan hidup.

Tapi itulah warga negara, sering menyalahkan penyelenggara negaranya untuk hal-hal yang diluar kemampuanya. Sehingga dengan latar belakang itu, saya tidak bisa memberikan pernyataan sikap yang tegas dalam kasus meminta-minta tersebut.

Kembali ke nenek tadi, karena dia sudah berusia lanjut, tentu saja tidak relevan untuk menanyakan kenapa dia tidak bekerja? jadi saya hanya bertanya dalam hati, kemana anakmu? Di mana cucumu? Bagaimana keluargamu? sembari menyelesaikan makan.

Dorongan rasa penasaran menyebabkan saya menghampiri nenek itu untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya.
"Nenek, sudah makan?"
"Sudah." katanya, giginya terlihat sedikit gelap, mungkin karena sering mengunyah sirih.
"Nenek, tinggalnya dimana?"
"Di daerah bla bla bla, numpang sama tetangga, tidak punya rumah.”
“Kok bisa nek?”
“Suami saya sudah meninggal. Saya ini nasibnya buruk."
"Nenek anak atau cucunya dimana?"
"Tidak punya"
"Nenek asalnya dari mana?"
"Dari sulawesi tenggara."
"Udah lama tinggal disini?
"Udah lama, sepuluh tahun, diajak suami saya, waktu itu dia sudah sakit-sakitan, katanya ayo kita tinggal di Jogja.
Jadi saya ya nurut suami. Eh, waktu dia buang air di sungai darah tingginya kambuh, tau-tau dia sudah ngga ada"
"Nenek masih punya saudara?"
"Masih, di kampung."
"Kenapa ga pulang aja ke kampung?"
"Ndak punya uang."
"Berapa biayanyanya buat pulang nek?"
"Waktu itu, mungkin tiga juta, mana punya saya uang sebanyak itu.
“Nenek punya no telepon saudaranya?"
"Dulu punya, pernah dihubungi, tapi ngga diangkat.”
“Sekarang masih ada nomernya?"
"Udah ngga ada, nomornya di hape, hapenya saya taroh waktu saya tinggal tidur, eh pagi-paginya hilang. Padahal harganya 500rb."

Alamak sedih sekali saya mendengar cerita nenek ini..

"Anak asalnya dari mana?" Tanyanya, ternyata dia cukup komunikatif.
"Dari sumatera nek."
"Oh, ada juga adek saya di sumatra, daerah riau, kerja disana."
"Nek sebelum disini kerjanya apa?"
"Mana bisa kerja, udah tua. Kalau suami saya kerjanya ngangkutin kayu, sekubiknya dibayar 2500 rupiah."
"Nenek kalau punya uang, mau pulang?"
"Ya mau, disini saya ga punya siapa-siapa."
"Tapi nenek ingat jalan ke kampungnya."
"Masih ingat."

Kalau diturutkan perasaan hati, ingin rasanya saya membelikannya tiket dan mengantarnya pulang ke keluarganya. Tapi selain waktu, uang sebanyak itu masih cukup besar bagi saya, yang belum bebas dari materi dan prioritas pribadi, dan masih jauh dari mandiri secara finansial. Sehingga hanya saya ambil sedikit uang dari dompet dan memberikan kepadanya.

Dia lalu berkata:
"Anak, cita2nya apa? Apa mau kuliah, mau jadi dokter?" saya kaget ditanya begitu.
"Bukan nek, saya mau insinyur."
"Kalau gitu, nanti saya doakan"
"Jangan nek, jangan didoakan, biar saya ikhlas."

Oh boi, tambah sedih hati saya dibuatnya. Saya lalu cepat berpamitan dan mencium tangannya, sebelum mengucur air irisan bawang bombai.

Terbersit pikiran, bagaimana cara menolong nenek ini? Pertama-tama saya kemukakan alasan pada diri sendiri, kenapa nenek ini perlu ditolong, disini nenek ini tidak punya keturunan atau keluarga, yang bisa mengurusnya jika dia bertambah tua nanti. Sementara entah bagaimana negara mengatur pemeliharaannya saya belum mengetahui.

Dengan beban hidup yang dijalaninya, saya khawatir dia akan menyalahkan Tuhan atas penderitaannya, karena dia begini karena mengikuti ajakan suaminya yang merupakan ibadah baginya, karena ternyata meski dia masih sholat dan berdoa, tidak ada dampak terhadap kehidupannya di dunia ini, sementara orang-orang ternyata tak ada yang bisa menolong. Lalu, karena saya sudah mengetahui apa yang dialaminya, tentu menjadi wajib bagi saya untuk menolongnya, entah dengan perbuatan, dengan perkataan, atau dengan seminimal-minimal kemampuan, yaitu doa.

Lalu saya berpikir, secara kemampuan terlihat terlalu memaksakan diri bagi saya, untuk membiayai dan mengantarkannya langsung ke kampung seorang diri. Sehingga saya perlu solusi lain agar beliau tetap bisa ditolong. Sepertinya tak ada yang lebih baik selain memanfaatkan afiliasi dan kerjasama kolektif dengan orang-orang yang sama-sama menaruh perhatian, dalam lingkup yang lebih besar, kemampuan untuk tindakan juga menjadi lebih besar.

Jika berlama-lama dan tidak melakukan sesuatu saya khawatir akhirnya menjadi terlalu terbiasa melihat nenek itu duduk disitu, menganggap hal ini sebagai sebuah kewajaran dan bagian dari hidup sehari-hari.

Akhirnya, waktu berlalu, hampir setahun setelah pertemuan dengan nenek itu, akhirnya bahkan saya tak berbuat apa-apa untuk menolongnya. Saya datang lagi, hanya meluangkan waktu untuk bertegur sapa dan sedikit berbagai cerita.
27 Juli 2011
Nenek itu kelihatan masih mengenali.  
“Cu, lama tidak kemari, nenek sampai kangen. Kadang-kadang sampe nenek cariin.. kemana cucu ini..” katanya.

Oh, pandainya nenek ini menyanjung sekaligus menyindir saya yang kurang peduli ini. Membuat saya ingin minta maaf karena belum bisa menolongnya. Ternyata benar bahwa tadinya saya yang merasa sangat sedih melihatnya, lama-lama makin terbiasa, memandang bahwa itulah realita hidup. Orang-orang lalu lalang, juga seperti biasa saja, beberapa ada yang memberikan uang recehan, ada juga yang malah lewat sambil menutup hidung.

Akhirnya saya tidak berdaya lagi berbuat apa-apa selain memberikan sumberdaya seadanya untuk membuat nenek itu tersenyum beberapa saat. Untuk setidaknya membuatnya ada teman berbicara beberapa saat. Akhirnya saya pamit lagi dan entah kapan akan ke sana lagi.

Entahlah, mungkin meski kehidupan nenek itu di dunia kelihatan menyedihkan, kehidupannya di akhirat justru lebih baik dari kita. Namun, tetap saja melihat nenek yang tanpa sanak saudara di usia yang sudah renta duduk sendiri berpanas-panas di situ, terasa ada sesuatu yang tidak benar. Rasanya, tidak perlu membayangkan bagaimana jadinya bila kita, atau nenek kita, atau ibu kita, atau keluarga kita yang lain ada pada posisi si nenek untuk mendapatkan perasaan itu.

***