Saturday, November 10, 2012

Euro Trip: Amsterdam, Kota Perayaan Euforia Hidup Part II


Beranda Rumah Typical di Amsterdam
Pagi yang baru masuk ditandai dengan matahari yang bersinar ramah dari sela-sela gedung, melewati halaman taman di tengah bangunan hostel, menuju ruang makan. Ruang makan sudah penuh dengan turis dan backpacker dari berbagai Negara yang sedang menyantap sarapan pagi gratis sebagai salah satu fasilitas hostel dengan tipe layanan bed and breakfast ini. 

Ideal, bisa mengambil sarapan dengan porsi besar sekaligus makan siang, sekaligus makan malam, sekaligus makan pagi besoknya lagi jika memungkinkan. Maka kupenuhi piring dengan aneka roti, aneka selai, dua butir telur rebus, dan bergelas-gelas susu. Sambil menikmati, kuamati sekitar, kebanyakan orang berada dalam rombongan, ada satu dua orang yang sendirian, sayangnya tidak ada yang menarik yang bisa di prospek buat teman jalan, devinisi menarik sampai sejauh ini adalah gadis dengan senyum manis dan mengenakan hijab.

Selesai sarapan, waktunya jalan-jalan. Salah satu metode untuk berkenalan dengan sebuah kota adalah dengan menelusuri jalan-jalannya, dengan mengikuti belokan-belokannya dan memutari setiap lekuknya untuk sampai pada titik mula, sehingga terlukislah gambaran parsial kota tersebut. Namun dengan waktu kunjungan yang singkat, cara ini menjadi kurang efektif dibandingkan langsung menggunakan peta dan mengukur jarak salah satu bagian dengan bertelusur. 

Jalan Jalan Kota
Pada dasarnya, pusat kota Amsterdam tidak terlalu besar. Berbagai objek wisata tersebar dimana-mana pada berbagai arah dan lokasi. Seorang turis bisa menjelajah kota tanpa guide, tanpa teman dengan hanya berbekal peta. Dengan menyesal karena telah membeli peta di Bandara, ternyata kudapati banyak peta gratis dibagikan di tourist information center yang tersebar di berbagai lokasi strategis di pusat kota.

Pagi yang indah itu membuatku menelusuri jalan-jalan kota Amsterdam dengan sumringah. Berdasarkan informasi yang beredar di dunia maya, lebih spesifiknya dari foto-foto facebook teman-teman yang pernah ke Amsterdam, ada anggapan bahwa belum ke Amsterdam jika belum menunjukkan foto di landmark kota, rangkaian huruf besar berwarna-warni “I am sterdam”. Maka segera aku menuju ke sana, berjalan kaki sambil sesekali bertanya sana-sini. 

Jalan Kota dan Kafe
Kebanyakan orang menguasai bahasa Inggris, sehingga tak ada kesulitan berkomunikasi dengan penduduk lokal mulai dari yang muda hingga yang tua. Tentu guru bahasa inggris di sekolah merasa bangga dengan kondisi ini, sementara mungkin guru bahasa belanda mereka merasa prihatin. Yang jelas ini membuat turis dari berbagai Negara merasa nyaman karena dapat mengurangi penggunaan bahasa tarzan, sehingga kemungkinan besar bisa meningkatkan daya tarik pariwisata.
Berbagai Pose
Berjalan setengah jam, akrhirnya tiba di tulisan Iamsterdam tersebut. Berupa-rupa orang berfoto dengan berupa pose mulai dari berdiri, memeluk, memanjat, menungging dsb. Akhirnya aku berhasil mendapatkan celah dan berfoto juga, tak tanggung-tanggung, dengan berbagai pose untuk mendapatkan huruf TAMA. 

Tama was here in Amsterdam
Lokasi huruf iamsterdam dekat dengan beberapa museum, diantaranya Rijksmuseum, Stedelick museum, dan Van Gogh museum sehingga kulangkahkan kaki menuju ke sana. Apa daya, begitu sampai museum ternyata antriannya begitu panjang yang laju pengurangan antriannya tak terbaca, dengan harga tiket yang lumayan mahal.

Museum
Tiket untuk setiap museum 14 euro, padahal Van Gogh museum salah satu yang paling ingin kukunjujungi, seorang pelukis jenius yang akhinya menjadi gila dan memotong telinganya sendiri. Lalu kudapati fakta bahwa untuk makhluk yang berumur di bawah 18 tahun, masuknya gratis. Sungguh kejam penggolongan berdasarkan usia ini, biarpun wajahku masih seperti 17 tahun namun umurku tak bisa berbohong, sungguh malang nasib orang yang baru bisa berpergian ke Eropa dengan menanggung banyaknya umur. Betapa dunia terasa lebih ramah saat seseorang berumur belum genap delapan belas.

Harga tiket yang sebegitu menurutku terlalu mahal, kesimpulan dari pengalaman empiris bahwa di Inggris museum-museum dengan berbagai koleksi yang luar biasa hampir seluruhnya gratis. Maka aku mundur teratur, memutuskan berjalan-jalan di taman dan melihat-lihat aneka pedagang kaki lima. Terjaja di pedagang kaki lima berbagai kerajinan tangan, aneka kaos, buku serta berbagai kartu pos dari lukisan-lukisan terkenal cenderung muram karya Van Gogh.

Souvenir ala Van Gogh
Setelah mengamati berbagai koleksi itu tanpa membeli satupun, akhirnya aku menuju taman. Taman yang bersih menjadi tempat orang bersantai, tempat burung-burung hidup rukun, tempat orang-orang terlihat kesepian yang mengajak anjingnya jalan-jalan, tempat seorang nenek membawa cucunya untuk memberi makan burung-burung tersebut. Taman bernama Vondel Park yang luas merangkum pepohonan di kiri kanan, danau-danau kecil, kursi-kursi taman dan jalan sepeda di tengah-tengahnya. 
Burung-burung di taman
Hari yang begitu menyenangkan, akhirnya bisa menjalani libur setelah sekian lama begitu sibuk dengan perkuliahan, mengurung diri dalam kamar, menenggelamkan diri dalam lautan buku di perpustakaan, dan menyatu dengan tugas-tugas dan penelitian thesis (oke, mungkin deskripsi yang terlalu berlebihan). Demikian rupa sehingga dalam liburan ini metode yang kutempuh adalah bersantai se santai-santainya. Maka aku duduk santai di taman, sambil minum sambil mengamat-amati orang yang lalu lalang. 

Lalu-lalang di Taman
Siang hari, ternyata sarapan yang ditargetkan bisa mengenyangkan hingga malam tak berhasil menjalankan tugasnya. Perut sudah keroncongan, maka salah satu kebab yang berlabel halal menjadi sasaran. Seporsinya 10 euro, porsinya ukuran orang arab, buat orang Indonesia bisa dibungkus dan dibawa pulang buat dua kali makan.
Sepeda parkir dimana suka
Melanjutkan perjalanan ke arah utara, bisa disimpulkan bahwa Amsterdam adalah kota sepeda, dimana-mana saja sejauh mata memandang akan ada sepeda parkir berbanjar atau berbaris. Tidak cuma parkir, akan selalu ada juga yang menaiki sepedanya dengan bermacam kecepatan. Ada yang memburu waktu, ada yang menikmati suasana. 

Terkadang aku terpaku juga pada wanita berambut panjang yang rambutnya berkilapan diterpa sinar mentari, berkibaran ditiup angin, sambil bernyanyi kecil “here comes your woman” sambil mengayuh sepeda mininya yang memiliki anyaman keranjang di depannya. Saat itulah dunia yang berada disekitarnya bergerak relatif lebih pelan. Lalu kepalanya akan menoleh ke kiri kanan mengikuti lagu yang dinyanyikan. Lalu dia akan menabrak tiang listrik karena lupa melihat ke depan. Pada jenis pengendara sepeda dengan perilaku yang seperti ini para pejalan kaki harus menaruh waspada. 
cyclists
Pasar Bunga
Selain sebagai kota sepeda, Amsterdam juga adalah kota bunga. Sebenarnya ada taman bunga yang terletak agak jauh dari kota, dikenal bernama Keukenhof. Sebuah taman 32 hektar yang terkenal dengan bunga tulipnya, meskipun tulip yang identik dengan Belanda ini konon katanya justru berasal dari Turki. Di salah satu tepi kanal di pusat kota Amsterdam, terdapat Bloemenmarkt yang kira-kira isitilah Indonesianya adalah pasar kembang. Maka cukup layak untuk berkunjung ke satu dua toko bunga ini, menghirup wewanginya, menikmati warna-warni pink segar bertebaran dimana-mana. Cukup beruntung bahwa aku tak sedang berbulan madu, sehingga membeli sekuntum tulip warna unyu untuk dipersembahkan kepada si wanita tak ada dalam salah satu dari sekian banyak pilihan. Meskipun apa yang kukatakan ini belum tentu mengungkapkan maksud sebenarnya. 

Kusuka SIngkong kau suka keju
Di depan pasar bunga itu, dan di pojok-pojok lainnya terdapat aneka rupa toko oleh-oleh serta toko keju. Keju yang dijual berbentuk pipih bundar besar dipajang di etalase toko dengan wangi yang khas, khasnya seperti keju, yang masih hangat. Melihat bentuk dan ukurannya itu, tak terbayang bagaimana cara memakannya. Jika orang-orang disini menyantap keju sebesar itu sebagai kudapan, tentu dapat ditarik asumsi sementara bahwa makanan inilah salah satu faktor yang menyebabkan mereka bisa tumbuh sedemikan besar, tidak seperti orang Indonesia yang biasanya bertubuh kecil yang makanan utamanya singkong.

Scream
Lebih ke utara lagi, menjelang stasiun kereta, ada suatu plasa ramai diantara Koninklijk Paleis atau dalam istilah Jogjanya mungkin kekeratonan yang berdekartan dengan monument nasional. Entahlah monument nasional ini dibuat untuk memperingati pembebasan dari penjajahan oleh Negara mana, atau sekedar peringatan sehabis menjajah Negara mana lagi pula yang seperti Indonesia. Yang jelas, disana ada kerumunan orang, melingkupi inlander dan para turis memadati pertunjukan sirkus yang biasa diadakan. Ada anak kecil yang dihadapkan dengan pelempar pisau, dan berbagai pertunjukan lainnya. Di Indonesia, biasanya tempat seperti ini penuh dengan copet beredar diantara kerumunan sambil menjalankan operasinya. Disekitar situ juga terdapat orang-orang yang mengenakan berbagai kostum tokoh terkenal, super hero, tokoh film, bisa dijadikan objek berfoto bersama. Tentunya dengan membayar, sekitar dua euro.

Club mencurigakan
Bahwa Amsterdam kota Gay dan Lesbian menikah, itu sudah sering kudengar. Beruntungnya aku sehingga tidak melihat ada Gay yang melakukan perbuatan asusila di pinggir-pinggir jalan. Namun di salah satu lorong ada juga terlihat sebuah klub yang mengkhususkan mengadakan acara-acara aneh berbau-bau LGBT, "underwear party" katanya, "drop your pants and dance" katanya. dan tragisnya nama klub itu adalah church. Horor,  segera aku kabur, tak ingin melihat ada apa di tempat seperti itu.

Selain melegalkan pernikahan sejenis yang terkutuk itu, Amsterdam juga melegalkan sex sebagai komoditas yang bisa dipertukarkan dengan uang. Hal ini tergambar dari keberadaan museum sex, toko-toko yang menjual alat bantu sexual, serta red light district.

Patung dewi sex
Sex museum adalah salah satu museum yang termurah yang bisa ditemukan di kota ini, tikernya cuma 4 euro. Dengan pertimbangan itulah aku masuk. Isinya tentu saja, segala sesuatu yang berhubungan dengan sex. Mulai dari patung-patung, foto-foto, lukisan, suara-suara, apapun itu. Bahkan ukiran orang bersenggama yang didatangkan dari kuil mana di India ini.
bzzzzt

Sedangkan tempat prostitusinya Red Light District, sangat terkenal kemana-mana, menjadi landmark kota dan daya tarik pariwisata, walaupun muungkin tak sebesar yang di Thailand atau (sayangnya) Surabaya. Dengan berbekal keingintahuan tinggi akan seperti apa tempat itu, maka aku melangkahkan kaki mencari lokasi lokalisasi yang dimaksud.

Red Light di Musium
Menjelang sekitar jam tujuh malam, sore masih terang. Jalanan yang dikenal sebagai red light district mengapit sebuah canal. Banyak orang berdiri bersantai-santai sambil melihat dan mengambil foto diam-diam ke arah salah satu gedung yang menawarkan wanita malam (berbagai informasi mengatakan bahwa mengambil foto dilarang, dan akan berakibat kamera dihancurkan oleh geng setempat). Di muka pintu itu seorang wanita blonde hanya mengenakan bra dan cd warna pink melambai-lambaikan tangan bergaya seperti boneka.Aku terpaku sejenak.

Menelusuri jalan, semakin matahari terbenam, semakin banyak bermunculan wanita-wanita di ruang-ruang kaca di gedung-gedung semacam ruko itu. Ruang kaca itu memiliki pintu yang bisa dibuka jika hendak melakukan penawaran, ketika transaksi telah disepakati, orang tinggal masuk, korden pada jendela kaca ditutup, dan entah apa pun itu yang terjadi di dalam sana. Saat malam lampu warna merah akan menjadi penerang utama di sepanjang jalan. Sambil jalan kulihat satu-satu, ada wanita cantik langsing seksi dan entah deskripsi apalagi yang tepat mewakilinya, mengerling sambil tersenyum sambil menggerakkan jari telunjuk memanggil-manggil. Deg-degan juga hati jadinya, takut mendadak tergerak belok menawar atau malah masuk ke dalam salah satu ruang kaca itu. Padahal buat wanita yang secantik itu, dengan menyederhanakan hal-hal lain tentu aku bersedia membawanya ke rumah, lalu menjadikannya sebagai partner produksi aneka boneka Barbie. Menyimak salah satu orang yang kedapatan sedang melakukan penawaran, ternyata satu sesinya bervariasi sekitar 100 euro saja.
the Redlight dan the District
Sambil terus jalan melewati berbagai gadis di dalam kaca, ternyata sepanjang jalan terdapat berbagai pub, berbagai toko yang menjual peralatan-peralan sex yang dari etalase kacanya, menjual berbagai kostum-kostum aneh, boneka, gambar, alat bantu sex, dsb. Tak cukup dengan itu semua, bahkan ada juga club yang menyajikan live show sex. Perunjukan langsung orang bercinta. Berbagai orang muda-mudi tua-tui, pasangan maupun segerombolan datang untuk menyaksikan. Ketika aku mengamati iklan karena ingin tau kira-kira apa yang ada di dalam sana, bodyguard yang sangar botak dan berkulit legam memberi informasi. “seven live shows within an hour, come on, only 30 euros.” Duit segitu sih ada di kantong bukan jumlah yang terlalu banyak, alamak besar sekali godaan di sini, harus segera pergi, segera pulang dan sholat magrib.

bersambung saja lagi...

No comments:

Post a Comment