Friday, March 02, 2012

euforia nonton bola di Old Trafford


Bagi para penggemar bola di seluruh dunia yang terbiasa menonton pertandingan-pertandingan Liga Inggris di televisi, maka menonton tim favorit berlaga di stadion secara langsung adalah mimpi-mimpi yang seperti terlalu mewah untuk terwujud.

Seperti sedang bermimpi di siang bolong, akhirnya kita melangkahkan kaki menuju Stadion Old Trafford, di kota Manchester, Britania Raya. Namun demikian, bukan demi Man United aku melangkahkan kaki ke sana, tetapi demi Chelsea, dalam rangka menghentikan dominasi Man United dari gelar juara. 

Tiket untuk pertandingan tim favorit yang disinyalir akan penuh drama antara Man United dan Chelsea sangat sulit didapat, seseorang harus mendaftar menjadi member dengan biaya sekitar 30 pounds, dan mengumpulkan sejumlah point untuk bisa membeli tiket. Sebelum tiket dijual kepada publik, biasanya sudah habis dipesan oleh member. 

Adalah sebuah keberuntungan, ketika dua hari sebelum pertandingan aku mendapatkan tiket itu di loket penjualan tiket Stamford Bridge, Chelsea. Dan adalah suatu keajaiban bisa mendapat satu tiket lagi dari seorang wanita penggemar Chelsea yang berhalangan hadir, dan sedang bersusah hati karena tiket yang sudah dibeli tidak bisa dire-fund. Para akhirnya, kepentingan kami bertemu dalam sebuah transaksi yang ideal.
  
Berbekal dua tiket itu, dengan penuh percaya diri kita berangkat menuju Manchester. Dari stasiun kereta api, Old Trafford bisa ditempuh dengan menggunakan Tram, tiket Tram sekitar 3 pounds bolak-balik. Setelah turun di stasiun Exchange Quay, perlu lima belas menit jalan kaki untuk menuju ke stadion. 

Sebuah jembatan merah bernama Trafford Road Bridge menjadi landmark bahwa lokasi stadion kian dekat. Di pinggir jalan menelusuri tepi sungai, banyak orang berjualan berbagai aksesoris MU seperti kaos, syal, bendera, kupluk dan berbagai pernak-pernik lainnya. Semakin mendekati stadion, semakin banyak pedagang-pedagang aksesoris beserta penjual makanan dan minuman fast food kaki lima, seperti di indonesia. 

Akhirnya dari kejauhan terlihat stadion yang berdiri kokoh dengan kemegahannya. Orang-orang mulai berduyun-duyun berdatangan memadati sekeliling stadion. Rata-rata berseragam merah-merah untuk mendukung tim kesayangan mereka bermain di kandang. 

Seperti juga di Indonesia, terdapat beberapa calo yang menjual tiket di pertadingan, namun harganya empat kali harga normal. Jika kami mendapat tiket dengan harga 42 pounds atau sekitar 600 ribu rupiah, maka tiket dari calo berharga sekitar 2.5 juta rupiah. 

Di deretan depan stadion terdapat bagian gedung yang menjual merchandise official MU sedang dipadati pembeli potensial menjelang pertandingan, tempat yang pas untuk mencari oleh-oleh bagi penggemar MU di Indonesia, meskipun ternyata sebagian besar produk adalah made in Indonesia. 

Ketika menunggu dipersilahkan masuk, seorang Bapak yang datang dengan dua anaknya, yang semuanya memakai kaos MU, melihat atribut kita yang bertuliskan Chelsea. Bapak itu seketika mencibir, menatap dengan sinis, menunjuk-nunjuk sambil berbisik kepada anak-anaknya, yang boleh jika diasumsikan berbunyi: “Nak, kalau besar nanti, jangan jadi pendukung Chelsea seperti dia. Mau ditaruh dimana muka Bapakmu ini nantinya..” 

Akhirnya dua jam sebelum pertandingan kita sudah boleh memasuki stadion. Tempat masuk antara orang berkaos biru-biru dipisah dengan tempat masuk orang berkaos merah-merah yang lebih dominan untuk mencegah pertikaian yang berpotensi terjadi. Kapasitas yang diperuntukkan kepada supporter tim tamu hanya 3000 kursi, dibandingkan dengan total keseluruhan yang mencapai 75 ribu kursi. 

Keadaan di dalam stadion cukup menerbitkan rasa takjub. Ketika kosong, seluruh stadion didominasi oleh warna merah. Yang ditengahnya terdapat tulisan besar berwarna putih: MANCHESTER UNITED. Di salah satu bagian lain terdapat spanduk panjang bertuliskan MANCHESTER IS MY HEAVEN dan MU FC FOR EVERY MANC A RELIGION. Di salah satu tribun terdapat julukannya yang terkenal sebagai THE THEATRE OF DREAMS. Melihat tulisan itu, aku hanya bisa berkata dalam hati: “Bersiaplah, pertandingan ini akan menjadi mimpi buruk bagi kalian..” sambil terkekeh-kekeh. 

Para supporter mulai memenuhi stadium. Para pemain mulai bermunculan di lapangan dan melakukan pemanasan. Timbul perasaan sumringah bahwa detik ini, aku hadir dan melihat mereka secara langsung, di tempat yang sangat jauh dari rumah. 

Akhirnya peluit tanda mulai pertandingan disemprit oleh wasit. Menyaksikan pertandingan secara langsung di stadion, setelah biasanya hanya menonton dari televisi, terasa seperti menambah efek 3D, membebaskan sudut pandang dari yang sekedar gambar yang ditangkap kameramen, menambah surround sound sampai pada level maksimal, kengurangi suara komentator, serta sayangnya meniadakan siaran ulang untuk kejadian-kejadian penting. Secara umum, jalannya pertandingan ini dari sudut pandang yang sangat subyekti adalah: Chelsea mendominasi pertandingan dan menyia-nyiakan begitu banyak kesempatan-kesempatan emas. 

Adalah sebuah hal luar biasa, akhirnya bisa membaur bersama keriuhan para supporter Chelsea yang bernyanyi-nyanyi demi mendukung satu-persatu pemain agar lebih bersamangat, supporter yang bersorak-sorai untuk mendukung Torres agar (setidaknya) mencetak gol (setelah sekian lama), yang lalu meneriakkan yel yel yang mengejek satu persatu pemain lawan, serta menyanyikan berbagai lagu kebangsaan. 

Adalah sebuah hal luar biasa, menyaksikan dari dekat para supporter yang mengekspresikan kesedihan saat Chelsea kebobolan satu gol oleh sundulan Smalling. Mereka yang mengekspresikan kesedihan yang lebih mendalam saat Chelsea kebobolan satu gol lagi oleh tendangan jarak jauh Nani. Mereka yang serentah berteriak setengah putus asa saat Rooney mencetak gol ketiga. Serta menyaksikan momen penuh harapan akan kebangkitan saat tiba-tiba Torres mencetak gol yang sangat indah ciamiks dan brilliant. 

Adalah sebuah hal luar biasa, bisa ikut serta mencemooh Ronney yang terjatuh saat mengeksekusi penalty. Bisa ikut serta merasakan perasaan campur aduk antara marah, menyesal, dan takjub saat menyaksikan Torres yang berhasil dengan teknik cemerlang mengecoh kipper De Gea, berhadapan degnan gawang yang kosong, dan gagal mencetak gol. Kejadian yang belakangan dijuluki sebagai “One of the most extraordinary misses in the history of Barclays Premier League”.

Semua pengalaman dan perasaan itu terangkum menjadi sebuah euforia, perasaan senang dan marah, pengalaman akan militansi, perasaan mencintai dengan sepenuh hati, perasaan menyatu dalam kebersamaan. Sebuah kesempatan langka yang ketika mendekat, tak boleh disia-siakan. Theatre of Dream, adalah benar panggung pertunjukkan tempat terwujudnya mimpi-mimpi, meskipun kali ini resmi menjadi salah satu pertunjukan mimpi buruk bagi kita penggemar Chelsea. 

2 comments:

  1. waaaaaaaaah, iri banget dah :( pengen nonton CHELSEA secara langsung jg, ane jg fans CHELSEA nih :) kapan yah bisa ke Stamford Bridge ? :(

    ReplyDelete
  2. maafkan saya.. :D
    ayo, diniatkan saja dulu, nanti juga kapan2 bisa.. :)

    ReplyDelete