Monday, July 05, 2010

Padang Bulan (Resensi)

Judul : Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang, Juni 2010 

Ini adalah buku kelima dari Andrea Hirata sang penulis novel best seller tetralogi laskar pelangi. Padang bulan menjadi sebuah dwilogi bersama dengan Cinta di Dalam Gelas. Dua buku bisa didapatkan dalam satu paket, sebuah buku bersampul orange di depan dan marun di belakang.

Padang bulan dan Cinta di Dalam Gelas masih menceritakan kehidupan di sekeliling ikal, kehidupan orang melayu yang tinggal di pulau Belitong. Selain menceritakan kisah si Ikal, andrea juga menceritakan kisah seorang anak perempuan bernama Maryamah, yang biasa dipanggil Enong, yang menjadi pembuka buku ini dengan kehidupan yang dihinggapi tragedi tapi selalu bangkit dan berdiri.

Pengaruh besar perasaan cinta dalam kehidupan manusia menjadi bagian penting dari buku ini. seperti dalam kutipan berikut.
"Tak dapat dipungkiri, hal paling sinting yang mungkin dilakukan umat manusia di muka bumi ini sebagian besar berasal-muasal dari cinta." Atau dalam bagian lain dikatakan “Cinta, yang jika seluruh gunung di dunia ini digabungkan, masih akan lebih kecil darinya.”

Ikal harus berhadapan dengan kenyataan, ketika perasaan cinta pertamanya menuai pertentangan antara mencintai ayahnya dan mencintai A Ling yang tak direstui ayahnya. Ikal berniat membawa A Ling pergi ke Jakarta. Suka dan duka sebagai paradoks yang diakibatkan oleh perasaan cinta digambarkan dengan kutipan ini.
"Bagi yang tengah jatuh cinta. Waktu mengisi relung dada mereka dengan kegembiraan, sekaligus kecemasan. Karena teristimewa untuk cinta, waktu menjadi jerat. Semakin cinta melekat, semakin kuat waktu menjerat. Jika cinta yang lama itu menukik, jerat itu mencekik."

Cerita berlanjut hingga sampai pada kenyataan dimana Ikal mendapat saingan yang akan merebut cintanya dari dirinya. Perasaan cemburu itu tergambar dengan begitu mempesona.
"Akupun sesungguhnya ingin bertemu dengan Zinar. Sesungguhnya aku ingin tahu, bagaimana muka orang yang telah membuat A Ling mabuk kepayang, yang telah pula membuatku sengsara. Sore itu aku naik sepeda ke manggar. Kukayuh sepedaku dengan marah dan tergesa-gesa. Nafas meburu, hati membiru, tangan menggenggam tinju, kepala penuh pikiran jahat. Trifolia cemburu pada bunga desember, capung cemburu pada kumbang, danau ingin ditinggalkan sendiri, awan bercerai-berai, langit curiga pada angin dan angin membenci gunung. Alam penuh angkara murka."

Dimana si perebut kebahagiaannya dibayangkannya dalam sebentuk deskripsi yang amat sangat super kejam sekali.
"Bayangan manusia lain menyerbu. Giginya tonggos, wajahnya bulat, hidungnya meleleh karena suntikan silikon yang gagal dan ia dulu adalah seorang perempuan."

Rasa kehilangan terhadap orang yang dicintai yang diungkapkannya juga terasa mengiris hati, terutama bagi yang pernah mengalami.
"Namun, ternyata, jika seseorang hanya memikirkan seseorang, bertahun-tahum dan dari waktu kewaktu mengisi hatinya sendiri dengan cinta hanya untuk orang itu saja, maka saat orang itu pergi, kehilangan menjelma menjadi sakit yang tak tertanggungkan, menggeletar sepanjang waktu."

Dilanjutkan dengan teori empirisnya terhadap kebenaran-kebenaran di alam semesta.
"Dunia ini rupanya penuh dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya. Kurasa itulah postulat pertama hukum keseimbangan alam. Jika kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, seseorang akan naik ke puncak bukit, lalu meniup sangkakala, dunia kiamat."

Andrea juga sangat piawai dalam menggambarkan kehidupan disekitar Ikal yang berisi tragedi dengan cara komedi, yang banyak ditemui disepanjang cerita. Salah satunya adalah tentang teman semasa kecilnya yan disebut sebagai Detektif M Nur.
"Nasibku dan Detektif M Nur mirip. Kami adalah pengangguran, lebih dari itu kami adalah bagian dari golongan pria-pria yang paling menyedihkan di dunia ini, yaitu pria yang tak jelas masa depannya, mulai memasuki satu tahap yang disebut sebagai bujang lapuk, dan masih tinggal dengan ibu."

Namun dalam pada itu, penulis tetap mengisi narasinya dengan semangat untuk berjuang, dengan mimpi dan harapan bahwa potensi kemanusiaan bisa terus berkembang.
"Orang-orang telah melupakan bahwa belajar tidak melulu untuk mengejar dan membuktikan sesuatu, namun belajar itu sendiri adalah perayaan dan penghargaan terhadap diri sendiri." atau “Berikan aku sesuatu yang paling sulit, aku akan belajar.”

Demikian buku Padang Bulan berkisah. Lalu dilanjutkan dengan buku keduanya: Cinta di Dalam Gelas, tetap dengan gaya bahasa satire yang sama indahnya. Mengisahkan keadaan sosial dan kultural di daerahnya, yang menaruh harga diri dalam pertandingan catur, yang mengadukan kegetiran hidup di dalam sebuah warung kopi, yang kesemuanya terangkum dalam segelas kopi, yang adalah penjelmaan dari sebuah cinta di dalam gelas.

Seperti biasanya, cerita ini dilengkapi dengan pelajaran moral nomer sekian serta penyakit gila nomer sekian sekian yang tak pernah ditempatkan dengan urutan, seolah-olah dia hanya menyebutkan angka apa saja yang sedang terlintas di kepala.
“Pelajaran moral no dua puluh dua: kemiskinan susah diberantas karena pelakunya senang menjadi miskin.”

Hingga akhirnya penyakit gila itu hinggap di kepala narator, ketika dia bercerita tentang Yamuna blender kesayangannya.
“Jika warung kopi sedang sepi, aku bercakap-cakap dengan blender itu. Aku berkisah tentang kawan-kawan masa kecilku. Blender itu bercerita tentang musim yang tak menentu dan keluhannya tentang dapur tempat tinggalnya yang berantakan.”

Sangat indah sekali bagaimana andrea menceritakan tragedi, harapan dan perasaan cinta berdasarkan pengamatan dan perasaan yang mendalam, dengan gaya bahasa yang masih sama seperti buku-buku sebelumnya. 

No comments:

Post a Comment