Manusia adalah makhluk yang cenderung berkeluh kesah, sedikit-sedikit aku masih manusia, sehingga perlu menyampaikan keluh kesahku entah pada siapa.
Wahai, izinkan aku menyampaikan keluhanku, yang mungkin akan menjadi risalah kepedihan, atau justru keindahan cinta ini.
Aku selalu berusaha untuk tak mempercayai bahwa cinta bisa terbatasi oleh dimensi, jarak, oleh ruang, waktu atau oleh apapun itu. Namun, terkadang kita telah melihat kenyataan dan tak mau kenyataan itu berada dalam arah pandang kita. Kita melihat kenyataan dan segera memalingkan muka sembari berusaha melupakan apa yang sudah kita lihat. Hingga kenyataan bisa datang seperti mimpi buruk di dalam tidur, menelusup dari alam bawah sadar dari sudut yang terlupakan, tanpa kita sadari, tidak pula kita kehendaki.
Meski seharusnya cinta masih bisa bertahan, karena kita melihat dengan menggunakan kacamata berwarna merah muda. Warna warni hitam kelam atau hijau muda masih bisa terbias. Pelan-pelan ku coba untuk melepaskan kacamata ku. Mencoba melihat semua seadanya, dengan jernih, meski perih.
Mencintai tidak selalu indah, pun tidak selalu pedih. Setelah kegembiraan akan ada kesedihan, setelah kesedihan akan ada kegembiraan. Kegembiraan muncul dari berlalunya kesedihan, dan setelah kegembiraan itu berlalu apa yang kita rasakan selain kesedihan. Apakah ada satu bagian lain rasa selain yang cenderung kepada keduanya, apakah ada keadaan kosong? Entahlah, jika kita tak merasakan kegembiraan lagi, atau tak merasakan kesedihan lagi meski hanya sedikit, mungkin berarti kosong. Tanpa rasa. Bahkan sepertinya tanpa rasa itu adalah keburukan, karena anugerah manusialah untuk memiliki rasa. Berarti mari kita anggap bahwa perasaan kosong tidak pernah ada.
Dengan siklus perasaan yang diakibatkan oleh cinta dari sedih menjadi gembira dan sebaliknya yang terjadi silih berganti, berarti mau tak mau kita harus mengakui bahwa waktu adalah elemen yang ikut berpengaruh dalam perasaan cinta. “aku mencintaimu untuk selamanya.” Sungguh naïf untuk didengar, karena si pembicara tak pernah bicara di luar dimensi waktu. “aku masih mencintamu.” Saat ini hanya itu yang bisa ku ucapkan.
“Aku masih mencintaimu dan ingin mencintaimu untuk selamanya.” Aku berusaha menghindari caci maki dengan mengucapkan itu. Apabila waktu dimundurkan sampai lebih dari tiga tahun yang lalu, kalimat itu masih relevan untuk didengar. Aku tidak tahu besok, lusa, setahun yang akan datang, atau yang lebih lama dari itu apakah kalimat tersebut masih belaku, karena aku akan menambahan anak kalimat: ”namun sekarang aku berusaha untuk melupakanmu.” “Aku masih mencintaimu, ingin mencintaimu untuk selamanya, namun sekarang aku berusaha untuk melupakanmu.” Sungguh aneh, ternyata keinginan ku berbeda dengan usaha ku.
Apalagi yang bisa kuusahakan, saat perasaanku begitu disakiti oleh perasaan cinta ini. Setelah titik puncak perasaan rinduku, cintaku, keinginanku, ternyata hanya berbalas kekecewaan. Jarak menunjukkan batasnya, dan waktu menunjukkan kekuasaannya. Hanya saja, jiwaku yang masih tak sanggup menanggungnya. Apakah tak dihargai lagi kerinduan yang belum ada obatnya ini, apakah tak bisa dihargai lagi usaha menahan waktu hingga titik bertemu di satu tempat pada suatu waktu di masa yang akan datang? Bahkan dalam bayanganku kita semakin dekat dengan tujuan kita untuk bersama. Tujuan kita bersama, bukan tujuan orangtua ku, tetangga ku atau presiden ku. Ternyata aku salah, kita bahkan seringkali tak memandang dengan kacamata yang sama, juga tak bicara dengan bahasa yang sama.
Betapa pedih hatiku ketika mengetahui itu.
Betapa sedih rasanya kehilangan cita-cita, kehilangan mimpi, kehilangan arah, kehilangan cinta. Betapa tak terbayangkannya harus kehilangan kamu, cita-cita, mimpi, arah hidupku, cinta ku. Tetapi aku sedikit-sedikit masih manusia, walaupun bukan manusia paripurna. Manusia sudah membuktikan eksistensinya sebagai spesies yang bisa mempertahankan peradaban di atas bumi ini. Tentu saja, aku harusnya bisa bertahan. Harusnya bisa bertahan. Seharusnya…
Wahai, izinkan aku menyampaikan keluhanku, yang mungkin akan menjadi risalah kepedihan, atau justru keindahan cinta ini.
Aku selalu berusaha untuk tak mempercayai bahwa cinta bisa terbatasi oleh dimensi, jarak, oleh ruang, waktu atau oleh apapun itu. Namun, terkadang kita telah melihat kenyataan dan tak mau kenyataan itu berada dalam arah pandang kita. Kita melihat kenyataan dan segera memalingkan muka sembari berusaha melupakan apa yang sudah kita lihat. Hingga kenyataan bisa datang seperti mimpi buruk di dalam tidur, menelusup dari alam bawah sadar dari sudut yang terlupakan, tanpa kita sadari, tidak pula kita kehendaki.
Meski seharusnya cinta masih bisa bertahan, karena kita melihat dengan menggunakan kacamata berwarna merah muda. Warna warni hitam kelam atau hijau muda masih bisa terbias. Pelan-pelan ku coba untuk melepaskan kacamata ku. Mencoba melihat semua seadanya, dengan jernih, meski perih.
Mencintai tidak selalu indah, pun tidak selalu pedih. Setelah kegembiraan akan ada kesedihan, setelah kesedihan akan ada kegembiraan. Kegembiraan muncul dari berlalunya kesedihan, dan setelah kegembiraan itu berlalu apa yang kita rasakan selain kesedihan. Apakah ada satu bagian lain rasa selain yang cenderung kepada keduanya, apakah ada keadaan kosong? Entahlah, jika kita tak merasakan kegembiraan lagi, atau tak merasakan kesedihan lagi meski hanya sedikit, mungkin berarti kosong. Tanpa rasa. Bahkan sepertinya tanpa rasa itu adalah keburukan, karena anugerah manusialah untuk memiliki rasa. Berarti mari kita anggap bahwa perasaan kosong tidak pernah ada.
Dengan siklus perasaan yang diakibatkan oleh cinta dari sedih menjadi gembira dan sebaliknya yang terjadi silih berganti, berarti mau tak mau kita harus mengakui bahwa waktu adalah elemen yang ikut berpengaruh dalam perasaan cinta. “aku mencintaimu untuk selamanya.” Sungguh naïf untuk didengar, karena si pembicara tak pernah bicara di luar dimensi waktu. “aku masih mencintamu.” Saat ini hanya itu yang bisa ku ucapkan.
“Aku masih mencintaimu dan ingin mencintaimu untuk selamanya.” Aku berusaha menghindari caci maki dengan mengucapkan itu. Apabila waktu dimundurkan sampai lebih dari tiga tahun yang lalu, kalimat itu masih relevan untuk didengar. Aku tidak tahu besok, lusa, setahun yang akan datang, atau yang lebih lama dari itu apakah kalimat tersebut masih belaku, karena aku akan menambahan anak kalimat: ”namun sekarang aku berusaha untuk melupakanmu.” “Aku masih mencintaimu, ingin mencintaimu untuk selamanya, namun sekarang aku berusaha untuk melupakanmu.” Sungguh aneh, ternyata keinginan ku berbeda dengan usaha ku.
Apalagi yang bisa kuusahakan, saat perasaanku begitu disakiti oleh perasaan cinta ini. Setelah titik puncak perasaan rinduku, cintaku, keinginanku, ternyata hanya berbalas kekecewaan. Jarak menunjukkan batasnya, dan waktu menunjukkan kekuasaannya. Hanya saja, jiwaku yang masih tak sanggup menanggungnya. Apakah tak dihargai lagi kerinduan yang belum ada obatnya ini, apakah tak bisa dihargai lagi usaha menahan waktu hingga titik bertemu di satu tempat pada suatu waktu di masa yang akan datang? Bahkan dalam bayanganku kita semakin dekat dengan tujuan kita untuk bersama. Tujuan kita bersama, bukan tujuan orangtua ku, tetangga ku atau presiden ku. Ternyata aku salah, kita bahkan seringkali tak memandang dengan kacamata yang sama, juga tak bicara dengan bahasa yang sama.
Betapa pedih hatiku ketika mengetahui itu.
Betapa sedih rasanya kehilangan cita-cita, kehilangan mimpi, kehilangan arah, kehilangan cinta. Betapa tak terbayangkannya harus kehilangan kamu, cita-cita, mimpi, arah hidupku, cinta ku. Tetapi aku sedikit-sedikit masih manusia, walaupun bukan manusia paripurna. Manusia sudah membuktikan eksistensinya sebagai spesies yang bisa mempertahankan peradaban di atas bumi ini. Tentu saja, aku harusnya bisa bertahan. Harusnya bisa bertahan. Seharusnya…
No comments:
Post a Comment