Friday, February 28, 2014

testimoni inspirasi

Berikut ini sebuah tulisan berupa testimoni yang dikirim oleh seorang teman wanita yang dulu pernah bertemu dalam lingkungan pekerjaan, ditulis dengan bahasa yang cukup melayu, dimuat dengan seizin penulis.. 
INSPIRASI

Hadirmu dalam perjalanan hidupku tidak pernah terduga ataupun terencana, seperti sambaran kilat yang meninggalkan bekas warna pelangi pada kanvas putih, mengubah suasana hatiku saat itu. Seiring dengan perjalanan sang waktu yang semakin tidak bertanggung jawab terhadap upaya pencapaian hidup seorang manusia, momen itu kembali meraba pikiran terluarku untuk berusaha meraih sehelai takdir yang mungkin akan berujung pada sebuah mimpi bahagia, yang harus dijemput dengan kekuatan imajinasi dalam bentuk pemikiran, serta permohonan belas kasih kepada sang pemberi kehidupan.

Sosokmu, sosok yang sederhana, terpatri cukup jelas dalam memori, dengan sikap acuhmu yang terkesan tidak peduli dengan makhluk lain disekitar, yang memiliki zona tersendiri dan tenggelam dalam pusaran monitor, pada gambar, pada deretan angka-angka yang membius urat saraf. Walau begitu, hati ini membisikkan bahwa sesungguhnya sosokmu memiliki indera perasa yang sangat peka terhadap orang lain dan tidak bisa berpura-pura untuk tidak menggerakkan tubuhmu buat penderitaan sesama. Entah mengapa, hadirmu selalu kunanti, hanya  dengan alasan untuk memastikan bahwa raga itu masih melekat dan berfungsi dengan baik pada jasmanimu.

Saat memandang raut wajahmu, ada kharisma terpancar disana, ada sebentuk kebijaksanaan yang muncul, ada kedewasaan sikap yang terpancar dari bahasa tubuh yang kaku, serta ada kekuatan keyakinan yang memberi kesan bahwa sosokmu memiliki insting yang kuat, dan sangat memegang teguh pendapat pribadi yang cendrung masa bodoh terhadap pendapat orang lain.

Tapi aku mengagumi semua itu. Aku terpesona, aku menemukan sosok yang telah lama dicari yang sadar atau tidak telah menyuntikkan semangat baru, memberikan kekuatan untuk menyelami dan memecahkan misteri yang dalam. Sikap misterius yang terdeteksi dalam bulatan retinaku menyadarkanku bahwa sosokmu bukan satu di antara kami semua, kamu adalah spesies khusus, spesies sendiri yang telah tercipta dalam rupa manusia yang sama, namun berbeda.

Sosokmu, yang semakin hari semakin berkarakter, memunculkan opini dalam benak bahwa usaha apapun yang ingin dilakukan untuk mencoba memikirkan sosok lain selain dirimu akan menemui lorong tak berujung, karena semua harapan dan impian itu ada disana.. Pada sosokmu yang penuh kesederhanaan, kebersahajaan, dan memiliki kejujuran sikap yang seirama dengan tingkah laku, yang memiliki tutur kata yang lembut. Satu hal terpenting yang sangat membiusku adalah bahwa memorimu telah menampung dan menyerap lebih banyak sejarah peradaban masa lalu dan masa datang melebihi memoriku, dan sejenak melahirkan asumsi dini bahwa tidak akan ada kesempatan lagi bagiku menemukan sosok lain yang sehebat dan sejenius dirimu dalam rentang hidup selanjutnya. Sehingga berurailah puji syukur atas kemurahan sang pencipta yang memperkenalkan kita

Sungguh, aku akan membujuk hati yang merah jambu ini untuk tidak terpengaruh melihat sosok lain, yang mungkin akan jauh lebih berwarna dari sosokmu. Usaha dan pertahanan yang kokoh itu akan terus ku pupuk agar perasaan yang indah ini akan tetap hidup dalam sanubari, serta tumbuh subur dan mengakar dalam keyakinan bahwa sosokmulah yang terbaik dan terindah buat asaku selanjutnya. 

Karena sosokmu tergambar begitu sempurna dalam cermin batin, yang menghasilkan intonasi melodi yang kuat, yang menyuarakan sebongkah tekad dan keinginan yang tulus agar selalu setia menanti dan mau belajar menerima sedikit celah berwarna gelap, jika kesempatan itu ada, semoga sang pencipta meridhoi.. amin..


June, 2009

S F Z

Sunday, February 23, 2014

surat cinta untuk yang telah tiada


Hey kamu,

Apa kabarmu?

Sejak kamu pergi waktu itu, belum berkurang perasaanku padamu..

Sejak kamu pergi waktu itu, berhari bermalam berbulan aku menanggung rindu, rindu untuk bertemu, rindu yang berubah menjadi sendu karena kita tidak bisa lagi bertemu, karena kita sudah terpisah ruang dan waktu.

Sejak kamu pergi waktu itu, sering aku menatap masa lalu, mengenang hari-hari itu ketika kita saling melengkapi, ketika kita melakukan aktivitas apa saja kemana saja, pada siang pada malam, pada terang pada gelap, ke pantai, ke bukit, ke semua penjuru kota, ke pelosok desa. Kita bermain, kita berdiskusi, kita berdebat, kita tertawa, kita menangis, kita menjalani hidup, kita merayakan hidup. 

Sejak kamu pergi waktu itu, terkadang muncul kembali bayanganmu itu utuh, dari ujung kaki hingga ke kepala, dari gerakan besar hingga ekspresi kecil pada sudut bibir atau matamu. Kamu hadir dengan tawamu yang selalu menyenangkan, pipimu yang tersipu saat biasanya kupandang, tutur katamu yang enak didengar, bunyi-bunyi aneh yang sering kamu dendangkan, semua yang tiba-tiba muncul dan membayang, semuanya yang biasanya membuat cinta.

Sejak kamu pergi waktu itu, tak bisa lagi aku siapkan aneka kado ulang tahun yang spesial. Kado dan serangkaian kejutan yang akan selalu berbeda setiap tahun, tetapi akan selalu ada sebuah lukisan di situ, lukisan hasil dari menterjemahkan cantik raut wajahmu menjadi goresan di atas secarik kertas kosong. 

Sejak kamu pergi waktu itu, tak akan lagi terucap kata yang terbata dari bibir ini, yang ingin mengutarakan maksud hatinya untuk meminangmu. Hati ini telah merasa nyaman, menemukan damai, dan menumbuhkan sayang. Karena hati sudah ingin berhenti dari mencari-cari tempat persinggahan lainnya, telah didamaikan pula antara dirinya dengan pikiran. Kita sama tidak sempurna, karena segala sesuatu di dunia tidak ada yang sempurna, bukankah yang perlu kita lakukan adalah mencintai yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna. 

Sejak kamu pergi waktu itu, angan-angan untuk menghabiskan hari-hari masa depan bersamamu hingga menua nanti terasa tak berarti lagi. Angan akan sebuah keluarga baru. Di sana tergantung foto kita saat perutmu membesar. Di sana ada anak-anak yang lucu yang mewarisi hidungmu yang angkuh, anak-anak itu mungkin akan berlebihan keras kepalanya karena mewarisi kita berdua, kamu boleh mengajarkannya bahasa jawa, karena itu yang aku tak bisa, kita akan sama-sama mengajarnya mengaji sehabis magrib sebelum isya, kita akan sama-sama mendidiknya menjadi patriot bagi negeri. Dia mungkin akan menjadi arsitek, atau tokoh ekonomi, atau seniman, asal saja tidak terjun ke politik, karena kita sama tau politik sekarang ini selalu terjebak pada pragmatisme kekuasaan yang tak berkesudahan. 

Di sana ada buku-buku yang kita baca, suatu waktu akan kita diskusikan buku-buku itu. Suatu waktu, akan kusingkirkan buku dari tempat tidurmu, saat kamu tertidur karena kelelahan membaca, akan kumatikan juga tivi itu, yang sering kamu biarkan menyala, akan aku tangkupkan selimut untuk menutupi tubuhmu yang kedinginan.

Di sana ada tempat-tempat yang akan kita jelajah, karena kita berdua sama suka bertualang dan menempuh jalan baru, sama tak bisa menjalani keadaan yang melulu sama hari demi hari. Suatu waktu saat aku sedang membaca filsafat Sartre, sambil duduk di dekat meja ruang baca, saat kamu sedang menonton berita, akan kukatakan bahwa aku bosan dengan kehidupan hari-hari ini, sebuah kode bahwa kita akan kembali bertualang mengunjungi tempat baru. Suatu waktu akan kita tulis cerita perjalanan itu berdua. 

Itu, sebelum kamu pergi dariku, yang berarti sebelum angan itu berakhir. Angan itu akan mengerut, mengerucut dan menciut sehingga bisa kugenggam, ku buang dari alam sadar. Mungkin suatu waktu dalam tidurku dia akan menyeruak, mendobrak pintu alam bawah sadar saat penjagaan kesadaran begitu lemah, hingga menjelma menjadi bunga tidurku.

Sejak kamu pergi waktu itu, aku tau bahwa kamu tak akan kembali, seberapa besarpun pengharapanku. Seberapa besarpun perasaan cintaku, aku tak bisa bahkan untuk sekedar menggenggam tanganmu, menarikmu, atau membisikkan ke telingamu, tak bisakah kamu tidak pergi? Semua yang hanya mungkin terjadi dalam mimpi, satu-satunya tempat dimana aku bisa menarik tanganmu dan mencegahmu dari pergi. 

Sejak kamu pergi waktu itu, aku sering merasa bahwa segala kebaikan yang telah pernah kita alami tak akan tergantikan, tak ternilai, tak terbandingkan, sekaligus tak dapat balik, tak bisa terulang. Lambat laun akupun sadar, apapun yang terjadi itu, semua pengalaman itu, semua sudah berlalu, telah diambil oleh waktu. Apakah salahsatu bagian itu menciptakan kebahagiaan, apakah itu terasa kesedihan, semua hanya sebentuk perbandingan yang diciptakan kesan pikiran, semua tinggal kenangan. Mau tidak mau, fotomu yang biasa terpajang rapi di atas lemari, yang biasa menatapku dari depan tumpukan buku-buku itu, pada akhirnya aku turunkan. 

Sejak kamu pergi waktu itu, pergi untuk selamanya yang mungkin karena salahku, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku hanya bisa terdiam, memandang dari kejauhan. Di dunia yang lain, mungkin kamu sedang berbahagia. Aku akan tetap mencoba meraih kembali bahagia dari apa-apa yang masih kumiliki, meski itu tanpamu.

Tertanda,
Aku.

Monday, February 17, 2014

Euro Trip: a strange day in Rome

Bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi tidak kutolong ibu membersihkan tempat tidurku, karena ini hotel.. Setelah sarapan roti seadanya aku bersiap di lobi bersama Alina dan teman-teman untuk melanjutkan petualangan menuju Vatikan. Vatikan adalah sebuah kota sekaligus negara kecil yang merupakan pusat pemerintahan gereja Katolik, sebuah republik yang dipimpin oleh seorang Paus yang dipilih secara demokratis.

Mereka sudah beberapa hari di Roma, tetapi belum sempat berkunjung ke Vatikan, mungkin karena mereka bukan fanatik agama. Sebagai wanita yang sebagaimana biasanya tidak bisa membaca peta, mereka malah mengandalkanku untuk menjadi penunjuk arah. Dengan sok tau dan jaga gengsi akupun membaca peta, menunjuk sana-sini stasiun metro untuk menuju ke Vatikan. Berangkatlah kami naik Metro ke Ottaviaro, sedikit berjalan mengandalkan peta, untungnya bisa sampai ke Vatikan.
Pemandangan di Plaza St Peter
Pagi itu Vatikan sudah ramai, banyak turis-turis yang datang dan berfoto di St Peter’s Square, plaza luas yang ditengah-tengahnya terdapat semacam tugu entah apa namanya, logisnya sih dinamakan tugu St. Peter.
Basilika St Peter
Di depannya ada Basilika St Peter, Gereja terbesar yang pernah dibangun. Gereja ini dibangun oleh Konstantine I, bukan, ini pasti bukan John Constantine yang diperankan oleh Keanu Reeves itu. Kita pun masuk bersama turis-turis lainnya ke bangunan yang besar dan megah itu. Berada di bawah tiangnya saja berasa sekecil semut.
Vatikan
Di dalamnya, suasana kunjungan berlangsung khidmat. Katedral itu begitu megah dengan atap yang tinggi berhiaskan aneka kreasi seni, kita berjalan-jalan dan berkeliling menelusuri patung-patung orang suci, lukisan-lukisan, dan sarana ibadah lainnya yang pencahayaannya temaram. Sepertinya orang-orang dari berbagai belahan dunia pada datang, melakukan perjalanan suci, untuk menyambangi tempat ini. 
Teman-teman seperjalanan
Pada salah satu patung, yaitu patung St Peter yang terbuat dari perunggu, terlihat antrian orang-orang untuk menyentuh kaki kanan sambil berdoa mengharapkan dibukakan pintu ke surga. Anita menyentuh kaki patung itu dengan syahdu, sambil berdoa, entah doanya apa..
Aneka Patung karya Para Seniman
Pada berbagai sisi banyak pintu-pintu, inilah yang disebut dengan istilah the doors (banyak pintu), entahlah pintu itu mengarah ke mana, salah satunya mengarah ke salah satu musium, untuk masuk harus membayar lagi sehingga kami urung masuk. Pintu-pintu lainnya ini tentu mengarah menuju lorong-lorong bawah tanah yang penuh dengan ruang-ruang rahasia, termasuk perpustakaan legendaris yang berisi buku-buku yang sama sekali tidak boleh dibaca oleh orang sembarangan, yang rak-raknya konon sepanjang 50 km, tak terbayangkan. Tentunya di dalamnya juga penuh konspirasi-konspirasi para Cardinal saat pemilihan Paus. Ah, mungkin arsip itu tak pernah ada, mungkin aku saja yang terlalu larut dalam imajinasi saat membaca Angels and Demon nya Dan Brown dan The Name of the Rose nya Umberto Eco.
Lukisan dan tempat beribadah
Yang jelas, berjalan-jalan di sana menimbulkan perasaan yang berbeda. Menatap satu demi satu karya seniman besar, termasuk patung Pieta buatan Micheangelo, seniman besar era Renaissance. Ada sebuah quote dari Micheangelo yang cukup menarik: “Tidakkah kamu tahu perempuan yang suci dari sentuhan lelaki akan jauh lebih muda daripada mereka yang tidak? Bagian mana lagi dari Perawan Suci, yang sama sekali tidak pernah mengalami gairah, yang bisa membuat umurnya menjadi tua? Sayang kami tak bisa mengunjungi Sistine Chapel, tempat beradanya masterpiece Micheangelo, sebuah lukisan besar di langit-langit gereja itu.
Tama was here
Selesai berkeliling, kami melanjutkan perjalanan. Jalur pejalan kaki yang lumayan bagus untuk ditempuh adalah dari Vatikan menelusuri jalan di depannya, Via Della Conciliazione menuju kastil St Angelo, menelusuri Sungai Fiume Tevere, menyeberang melewati Ponte Umberto I, menelusuri jalan Tomaceli, sampai ke Spanish Steps di Piazza di Spagna.
minum air liur naga di pinggir jalan
Sepanjang jalan aku dan Alina saling bercerita. Karena nama Alina terlalu panjang, dengan semena-mena ku panggil dia dengan panggilan Ali. Ali adalah seorang Aquarius (penting ga sih?), keturunan cina yang sudah lama menetap di Rusia, sehingga sedikit banyak tentu mengerti bahasa Cina, pada suatu waktu sambil jalan itu kutanyakan juga sesuatu permasalahan yang mengganjal padanya seputar bahasa Cina. 
ali, yang tidak suka dipanggil ali
“Ali, do you understand chinese language, because my friends usually use chinese language that i can’t comprehend.”
“O yea? I understand Chinese, what is it?
 “Yes, they said, wo ai ni, for many times, do you know what does it mean?”
“It means, i love you..” katanya, sambil menatapku dengan tatapan sedikit curiga.
“Ooooh, i see, i love you too, aliiiinaaaaaa.” Kataku sambil menatapnya balik, dengan wajah yang berusaha sangat serius dan menahan tawa.
“You’re bad!” katanya, sambil tertawa, dan sebuah pukulan kecil pun ku terima dengan senang hati..
Kastil St Angelo
Ali adalah seorang yang menyenangkan, sepertinya cukup smart, sehingga pembicaraan kami mengalir dari hal-hal kecil sampai hal-hal besar. Sampai aku mengetahui bahwa dia Atheis, tidak punya agama, tidak percaya pada salah satu agama, tidak percaya hidup setelah mati, bahkan tidak percaya Tuhan. Sesuatu hal yang membuatku miris, maka sambil jalan dialog yang terjadi diantara kami adalah seputar ketuhanan itu. Terlalu panjang dialog itu, pada salah satu bagian kukatakan padanya.
“I would really like to introduce you to islam..” kataku “There is only one God, and Muhammad is the last prophet of God.”
penjual merchandise dan papan informasi yang rapi
Seperti kebanyakan manusia modern dari Eropa yang lelah dengan sejarah panjang agama yang sering berwarna hitam seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang sedikit demi sedikit mulai mengikis rasa percaya pada agama yang tidak sejalan dengannya, Ali mendebat dengan panjang lebar sepanjang perjalanan kami menempuh jalan-jalan yang sepi, tepian sungai, jembatan, jalanan yang ramai, gedung-gedung besar yang warnanya melulu kecoklatan, hingga sampai di Spanish Steps.
Jembatan
Sampai di sana, kami memutuskan untuk berpisah, tujuanku adalah Fontana Di Trevi yang legendaris, sementara mereka hendak menuju tempat lain. Sedih juga harus segera berpisah lagi dengan teman-teman yang menyenangkan ini.
Suasana berjalan di kota Roma
Saat sebuah perpisahan, berdasarkan pengalaman, biasanya orang-orang ini tidak mengenal salaman, tetapi lebih suka pelukan. Hal ini aku pahami disebabkan suatu kejadian pada suatu hari di kampus. Waktu itu bertemu dengan seorang teman wanita dari jepang bernama Ana, setelah ngobrol sebentar, saat berpamitan dan ku ajak bersalaman, dia malah terlihat kebingungan dan mengajak berpelukan sambil cipika cipiki. Maka kali ini pun aku tak mau mengulangi kesalahan yang sama, langsung saja berpamitan sambil mengajak berpelukan..hehehe mungkin saat ini terlihat keluar sedikit tanduk dari kepalaku..
Perpisahan
See you later, gimme a hug, oh im gonna miss you all.. kataku dengan ekspresi sedikit sedih. Berpelukaan, lumayan..
Pemandangan di Spanish Step
Mereka pun pergi. Tinggal aku sendiri, memotret-motret sana-sini di Spanish Step sebelum melanjutkan perjalanan menuju Fontana di Trevi. Sampai tiba-tiba seorang pria menyapaku dengan ramahnya..
“Hi, how are you?”
“Yaa, im fine, thank you.”
“Where do you come from?”
“I come from Indonesia..”
“Really, i like Indonesian people, how do you feel? do you like Rome?”
“Yess, off course, i like this cityy”
Great!! I have this magic gracelet for you.”
Oh ya? thank you..” sahutku dengan girang, waah, orang Roma ramah banget euuy..  Mungkin inilah yang dimaksud dengan keramah-tamahan lokal.. Begitu pikirku dalam hati, sumringah, sambil memberikan lengan, menyilahkan dia memasang sebuah gelang di pergelangan tanganku.

Setelah, selesai, dia mendadak berkata.
“It looks good in you, please pay 10 Euros.” Katanya, sambil menatap tajam.
O ooow, kena deh jebakan betmen..” Aku membatin..

Tak lama kemudian, dari dekatnya, seorang lagi temannya mendatangi, badannya besar, kulitnya hitam, berusaha mengintimidasi sambil mendorongku.
“Hey, you should pay him! Dont run away!”
O ooow.” Ternyata mereka sudah sekongkol, berkomplot menjebak turis yang malang sepertiku. 

Apa akal?? Apa sebaiknya aku lari menuruni atau menaiki tangga ini? dengan kaki mereka yang panjang dan lebar sepertinya bakal sia-sia, bakal terkejar. Apa aku harus teriak “Tolooooong!” menunjukkan histeria pada massa? Sepertinya tidak, jangan-jangan justru bakal dipukuli, atau diteriaki pencopet oleh mereka. Ah sepertinya harus dengan jalur diplomasi.. 

Aku tertunduk sejenak, mengumpulkan kata-kata..
Easy, easy man, you said you like Indonesian..” kataku pada pria pertama. Mungkin dia suka orang Indonesia karena badannya kecil sepertiku, yang lebih memungkinkah untuk diintimidasi dan ditipu..
“I came from Indonesia, I’ve traveled far far far away from here, and this is my first time and maybe my last time to visit Rome.. What do you think about that, do you want me to get a bad impression about this beautiful city, your city? I guess you dont wanna do that..” sebelum mereka berkomentar, segera kulanjutkan. 

“Ten euro is  too much, i don’t have that much, i’ll give you 2 euro!” Kataku.

Ternyata tanpa disangka, mereka setuju. Ya eyalah, buat gelang dari tali-temali tidak jelas begitu, sudah lumayan mereka dapat 2 Euro. Mungkin ini yang dimaksud win-win solustion, mereka bisa senang, aku pun bisa pulang. Lalu kuberikan, sambil segera pamit.
“See you..” kata mereka sambil senyum saat menerima uang recehan itu.
Noo.. I dont want to see you again“ Sahutku, sambil berlalu.. Apes hari ini..  
pemandangan Piazza Di Spagna dari tempat pemalakan
Aku pun melangkah menuruni tangga Spanish Steps, melanjutkan perjalanan menuju Fontana di Trevi. Kenapa harus menuju air mancur ini, karena dia begitu legendaris. Konon kabarnya ada kepercayaan legenda kota setempat untuk melempar koin dengan tangan kanan melalui bahu sebelah kiri di air mancur besar itu. Bila melempar di sana satu koin, maka kita akan kembali lagi ke Roma, jika melempar dua koin maka akan mendapatkan cinta sejati, jika melempar tiga koin, akan segera menikah, menikah? Maka aku bertekad melempar koin sebanyak-banyaknya, sampai sepuluh kali kalau bisa, dengan koin rupiah yang masih kubawa, mengandalkan konsep bisnis dengan modal sedikit-dikitnya untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Jika melempar sepuluh koin, berdasarkan perhitungan matematika yang sederhana, tentu cinta sejati yang kutemukan bisa banyak..  huwoo.. mataku berbinar-binar, bersemangat..

Di kanan kiri jalan banyak terdapat penjual souvenir, lumayan buat cuci mata. Untuk bertanya arah dengan orang-orang di jalan agak sedikit trauma setelah kejadian tadi, sehingga kuputuskan mencari dengan peta sendiri. Saat itu layanan internet tidak punya, blackberry sudah lama tidak berfungsi.   

Setelah lama berjalan, namun Fontana De Trofi yang dicari-cari tak kunjung ditemukan. Aku melihat peta, kemudian berjalan lagi. Belum juga ketemu. Melihat peta, kemudian berjalan lagi, sampai di tikungan antara ke kanan atau kiri, aku memutuskan menuju ke kiri, akhirnya bertemu sebuah air mancur. Air mancur ini biasa saja, tidak seramai dan seheboh yang diperkirakan, mungkinkah ini Fontana yang legendaris itu? Tidak ada koin-koin bertebaran.. Maka aku pun berfoto sejenak, lalu melangkah pergi. Setidaknya sudah ada fotonya.
air mancur sederhana
Namun beberapa waktu kemudian, saat melihat foto orang-orang yang ke air mancur tersebut lewat internet, barulah aku sadar bahwa air mancur barusan tempatku berfoto bukanlah air mancur yang dimaksud. Itu adalah air mancur di Piazza Barberini, pantesan kecil, biasa saja, tidak ramai, dan tidak seruu...

Ternyata aku tersesat, saat di pertigaan itu aku harusnya belok ke kanan, bukan malah ke kiri.. Padahal kemampuan spasialku termasuk tinggi, padahal pelajaran bangun ruang paling suka, padahal membaca peta termasuk jago, inilah kali pertamanya dalam sejarah aku tersesat, inilah pertama kalinya tidak menemukan apa yang kucari. Dan rasanya.. agak keki, sedikit menyesal.. Mungkin karena tidak menemukan Fontana di Trevi ini bisa jadi justifikasi kenapa sampai setahun setelah jalan-jalan Eropa pun aku masih belum menikah.. :p
Fontana di Trevi yang sebenarnya sumber: www.telegraph.co.uk
Apa boleh buat, harus segera kembali ke hotel karena nanti jam 1 sudah harus berada di kereta menuju Florence, sampai dekat hotel, perut menuntutku menghampiri kebab terdekat, membeli roti daging kebab yang dipastikan halal, tetapi rasanya tidak enak. Dilanjutkan berjalan menuju kamar untuk check out.

Di jalan menuju kamar hotel, berpapasan dengan pedagang kaki lima yang aku kenal wajahnya. Dia adalah orang yang semalam berada di lobi penginapan. Asalnya dari Bangladesh, aku lupa namanya, anggap saja bernama Joe

Waktu semalam berbasa-basi, dia mengaku muslim, namun saat aku tanyakan arah kiblat dia tidak tahu. Okey, sungguh anda muslim. Karena bertemu begitu, walaupun sedang buru-buru, masih aku sempatkan untuk bertegur sapa berbasa-basi.
“Hai, Indonesian.” Tegurnya, dengan dialek campuran antara Itali, India dan English.
“Haii Joe” sahutku.
“How’s the girls?” tanyanya.
“The girls? What? What girls?” Tanyaku. 
“The girls from last night, from Rusia, did you have fun with them?”  katanya sambil gestur tangannya ditangkupkan, memaksudkan gerakan making love.
What do you mean?” tanyaku, pura-pura tidak pintar, walaupun sebenarnya pintar. Oke, mungkin kata pintar lebih tepat diganti dengan tahu
“You know, that girls, you can have sex with them, if you want. Have you?”
“Noo! Nooo i don’t want to!” sahutku.
“Yess, really, you can.. just take them to drink, just ask!” sahutnya lagi.
Noo, i’m not that kind of man!” Sahutku lagi berusaha menjelaskan. Pembicaraan mulai tidak menyenangkan, maka aku coba untuk pamit saja.
“I have to go, i want to check out from the hotel.”
Are you getting back to Indonesia?”
“No, i wanna catch a train to florence.” Sahutku.
O i see, you should stay longer in Rome, this city is really nice, you know..”
Really, why?” tanyaku penasaran, setelah kejadian dipalak barusan.  
We can make much money in here. Dont go back to your country, in Italy the salary is good, just like me, i can save money and if i come back to my country, i’m being rich.” Katanya. 

Kupikir-pikir, apa terima saja tawarannya, tak perlu menyelesaikan S2, mendingan bekerja berjualan pernak-pernik di pinggir jalan dan menjadi kaya kalau pulang kampung.
“You dont need passport or visa to stay, just like me, i came here by a ships, without passport or visa. We can make it here.” Katanya. Astaga.. ternyata dia penyelundup, jadi.. menurutnya aku harus naik kapal dari inggris, lalu berenang dari kapal menuju daratan dengan jarak satu kilo, sambil menghindari tembakann atau tangkapan petugas perbatasan..
“Okey, sounds good.” Sahutku sambil mikir.
“And you, my brother.” Lanjutnya lagi.. “You remind me of someone, someone from the past..
Really, Who?”
“Jamela, my wife from Malaysia” katanya “And i miss her so much, she's like you, i remember, her face, her eyes, her skin..” sambungnya lagi, sambil menatapku dengan tatapan aneh.. Tatapan itu terasa.. mendebarkan.
 
Omygoat, aku menangkap aura tidak sedap dari ujung percakapan ini sehingga harus menerapkan jurus langkah seribu, tidak ada diplomasi, cuma boleh lari
“Errhh sorry Joe, i have to go now, am affraid of being late.” 
Aku pun meninggalkannya, berjalan tergesa menuju kamar hotel. Sungguh hari yang aneh, kota yang aneh, sungutku dalam hati.. Sambil memikirkan jalan memutar, agar nanti pada saat ke stasiun kereta tidak bertemu dengannya.. 

Semoga Florence nanti bisa menyembuhkan moodku yang memburuk..