Tuesday, April 15, 2008

Seuprit Kebijaksanaan dalam Permainan Bola

Jangan pernah meremehkan serangan lawan, meski seberapa remeh pun itu kelihatannya…

Erwin rekan kerja ku menendang bola dari tengah lapangan futsal, pelan. Aku sebagai kiper memperhatikan bola yang menggelinding dengan sangat pelan ke arahku. Sangat pelan, hingga aku tertawa terkikik-kikik. Hihihi

Aku akan menghentikan bola dengan sebelah kaki, berlagak segera menginjaknya dengan gaya paling cool. Kugerakkan kakiku. Sreet! Ternyata: gool!!! Satu lapangan tertawa terbahak-bahak, aku berhenti terkikik kikik.

Perjalanan di negeri yang damai

Hari itu, 15 oktober 2006, beberapa anak muda menjejakkan kaki di negeri aceh. Dibawa oleh Pak Le seorang bos besar tetapi keci. ”Penjualan manusia”. Tujuh anak muda, antara lain: Yows, Roni, Obhe, Fikar, Dany, Ardha dan Zikri, yang berhasil dikecoh dengan iming-iming pekerjaan yang beliau selalu bilang ”kesempatan” yang menjanjikan bagi fresh graduate. Gaji sekian sebulan, uang makan sekian, transportasi, berikut pulsa sekian.

Maka jadilah, meski masih shock karena baru saja tiba di bagian paling ujung indonesia barat, sekian manusia itu langsung disebar ke berbagai daerah lokasi pekerjaan: Pidie, Meulaboh dan Tapak Tuan. Tersebutlah tiga orang yang mendapat kesempatan emas di daerah Pidie, dengan ibukotanya Siglie.

Profil Tim Pidie:

Yows: Tampan, berperilaku santun, berbudi pekerti luhur, berjiwa ksatria, gemar menabung dan cinta keindahan.

Zikri: Hampir tidak tampan, berperilaku hampir ganjil.

Ardha: Tidak tampan, berperilaku ganjil.

Pak Asep: Sangat tidak tampan, dan berperilaku sangat ganjil.

Kota Siglie

Semua makhluk tersebut di basecamp kan (oleh Bos Besar tapi Kecil) di losmen Riza. Losmen yang mendominasi industri penginapan di kota kecil ini. Lokasi sangat strategis dan pelayanan sangat tidak strategis. Siglie adalah kota yang aneh, terlihat terlalu malu untuk dikatakan sebuah kota. Berjalan keliling di pusat kota hanya akan menghabiskan waktu sekitar 15menit.

”Ironis” kata yang sering terucap oleh Pak Asep saat melihat keadaan kota. NAD provinsi kaya. Dan kekayaannya tak tergambar pada keadaan kota yang mereka lihat. Tapi jika hal itu dikaitkan dengan kenyataan bagaimana keadaan NAD saat berada di bawah kekuasaan RI, pernyataan ironis itu telah menemukan jawaban. Pemerintah RI dibawah rezim orde baru telah... telah apa ya? mungkin cukup untuk dikatakan telah berlalu.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan sebuah kota kecil. Hidup di kota kecil seharusnya menyenangkan. Padang rumput yang luas menghampar, sapi-sapi hidup rukun, gunung-gunung hijau berjajar, sungai yang bening mengalir. Tapi, setelah di tinjau lebih jauh lagi, disini tak ada toko buku yang memadai. Itu yang sangat menyedihkan bagi sebuah kota kecil.

Satu hal yang tak lepas dari pengamatan, seperti yang terdapat di kota besar, di daerah ini banyak pengemis, di pinggir jalan, di pom bensin, bahkan yang berdinas dari rumah ke rumah. Salah satu yang paling populer adalah seorang wanita usia produktif yang punya ciri khas kental. Begitu datang ke kamar dia mengucapkan salam, kemudian dilanjutkan dengan kalimat yang sama rima dan iramanya dari hari ke hari, ”Bisa kakak minta tolong sama adek, Sudah dua hari kk belum makan, tidak punya uang buat beli beras, kalau adek mau membantu insya alloh amalnya diterima.” Kedatangan pertama, mereka memberi ala kadarnya. Tapi begitu besoknya dia datang lagi dengan perkataan yang sama ”Sudah dua hari tidak makan.” bingungnya hendak berbuat apa. Tapi mereka tak bisa menyalahkan diri mereka karena tidak memberi, tidak bisa menyalahkan beliau karena meminta-minta, juga tidak bisa menyalahkan bencana Tsunami yang melanda wilayah ini.

Inspector dan Konsultan Supervisi

Apakah bedanya antara inspector dan inspectur? Pertanyaan itu akan terjawab dalam percakapan berikut ini:

Duri dan Ardha memasuki lapangan (sebuah rumah makan nasi goreng kentucki yang sangat khas dari dari Aceh setelah mie kepiting dan kopi hitamnya). Mereka langsung disambut oleh seorang laki-laki bertubuh besar, ganteng, berkulit hitam dan berhidung mancung layaknya seorang bintang film india.

”Selamat datang, mau pesan apa inspector?” Kata si laki-laki.

”Pesan nasi goreng ayam kentucki inspectur Rajib!”

(Sebenarnya dialog ini hanya memberikan jawaban ambigu)

Ya, itulah bedanya inspector dan inspectur. Dan demikianlah, tiga orang mahasiswa yang hari-hari sebelumnya tak pernah bermimpi akan singgah di negeri daun surga akhirnya mejadi seorang inspector. Mungkin lebih tepat jika dikatakan: menjadi seorang sub-inspector.

Seperti juga kontraktor yang biasa men-subkan pekerjaan, ternyata supervisi juga mengakomodir perilaku yang sama, men-subkan pekerjaan. Hingga nama-nama yang ada di daftar bukanlah nama sebenarnya. Seorang dengan nama Ardha saat dilapangan harus siap memperkenalkan diri sebagai Sukirman, seorang Wahyu dengan nama Mustakin dan seorang Duri dengan nama Sekretaris Asep?

Empat orang tim Sigli di dalam kijang inova merah marun secara rutin berangkat ke proyek sambil bernyanyi-nyanyi lagu Iwan Falls dan Dloyd, sambil cekakan, tak lupa untuk mengklakson inong-inong cantik di pinggir jalan. Begitu rutinnya, sampai Pak Asep bisa membedakan apakah itu anak gadis yang sedang kerja di sawah atau ibu-ibu tua dari bunyi angin yang meniupnya antara Ssssssssst atau Wiir Wiiir... Begitu tiba di proyek, celingak celinguk sebentar, salaman sana sini, sapa sana sini, tunjuk sana sini, sambar air dan rokok jatah trus pulang. Tentu saja ini bukan budaya kerja yang baik, tapi begitulah hari-hari harus berlalu.

Sulit untuk dikatakan apakah masa-masa di Aceh ini merupakan masa bahagia atau masa yang lain. Tapi mereka selalu mewanai hari-hari disana dengan ceria, saat matahari sudah agak tinggi berangkat ke proyek, pulang sebelum matahari turun. Untuk tetap di proyek seharian tidak mungkin karena ada beberapa lokasi yang berjauhan, apalagi dengan kondisi pengawasan tidak lebih sebagai formalitas.

Begitu saja hari-hari berlalu, Tim Siglie sukses menjadi Tim yang jarang kena marah oboz besar, padahal oboz adalah seorang yang terkenal berdarah tinggi. Tentu saja ini terjadi berkat Yows yang berbudi pekerti luhur, Zikri yang berbudi pekerti agak ganjil, Ardha yang ganjil, serta Pak Asep yang sangat Ganjil.

Beberapa bulan berlalu, hingga bulan ramadhan tiba, hingga liburan hari raya tiba. Akhirnya mereka pulang dengan selamat ke kampung halaman masing-masing.

Tuesday, April 01, 2008

Pledoi Hati Laki-laki

Anak muda itu duduk seorang diri dalam cahaya remang hati yang meradang. Dia ingin bingar tapi tak ada suara terdengar. Dia tak mengerti, hanya merasa hatinya disakiti. Dengan senyum sinis yang membuat wajahnya meringis, dia lalu mencoba menulis. Dia rasa hanya itu yang dia bisa untuk memberikan terang pada remang sementara untuk berkata-kata dia kan terbata-bata.

"Pledoi hati laki-laki" Dia memulainya.

"Ada hati yang tak mudah mengerti, tapi itu bukanlah keinginannya. Ada hati yang tak ingin disakiti, tapi siapa yang menginginkan menyakiti. Apalagi kepada hati kita sendiri. Jika hati itu telah terbagi, bukankah lebih mudah dia disakiti?"

Si anak muda memejamkan matanya beberapa saat, mengangkat sebelah tangan ke dahi, menyangga kepalanya yang terasa berat.

"Biar, biarkan saja isi kepala jatuh, karena kini hati lebih ingin dihormati." Lanjut si pemuda, sembari menyalakan rokok untuk meringankan bebannya.

"Baik, baiklah, kita menghendaki kebaikan, menginginkan kebenaran. Hentikan bicara tentang sakit menyakiti. Benar, mari biarkan yang benar terlihat benar. Adakah yang tau bagaimana melihat yang benar? Apakah itu dengan perasaan? Apakah itu dengan pikiran? Apabila itu dengan perasaan, bagaimana bisa ada orang berbuat salah tapi merasa dirinya benar? Apabila itu dengan pikiran, betapa banyaknya manusia yang tak bisa berpikir, karena nabi-nabi harus turun menyampaikan kebenaran. Mungkinkah itu dengan hati, tapi bagaimana membedakannya dengan yang lain. Jelas, kita tak tau apa yang benar. Jelas kita masih mencari cara mencari benar. Jelas, terdakwa di persidangan berhak mengajukan pledoi. Karena hakim atau jaksa, atau siapapun belum tentu benar."

Si anak muda menghisap nafas dalam-dalam berbaur nikotin yang membuatnya berat, lalu menghembuskan kuat-kuat agar dadanya terasa lebih kosong. Jiwa dan raganya yang lelah semakin tak bertenaga. Bahkan dia tak tau apakah yang dia lakukan itu benar.

"Sudah, sudahlah, tak perlu kita bicarakan apa yang tak kita tau. Aku akan bercerita apa yang aku tau, meski cerita itu tidak untuk siapapun, walaupun aku tak mendengar apa yang kau tau. Mungkin aku tak boleh memakai kata kita lagi untuk kau dan aku, karena aku tak tau kau"

"Aku tau cinta, aku tau, hanya tau. Tak peduli apakah itu dari pikiran, perasaan atau dari pengindraan. Aku tau ada cinta. Aku tau aku cinta kau. Aku pun tau kau punya cinta, aku pernah menduga bahwa sebagiannya untukku. Tolong beri tau aku jika itu salah. Tapi beri tau aku jika cara mencinta ku tidak kau inginkan. Tapi beri tau jika aku tak kau inginkan! Apakah kau pernah melihat petir di siang bolong, akan ku katakan bahwa aku pernah merasakannya saat malam sunyi dan tak ada awan yang memberi pertanda. Haruskah hukum alam tak berlaku lagi, karena bukankah kejadian alam selalu diiringi pertanda?"

Si anak muda ingin berteriak, tapi tanpa bersuara pun mulutnya terasa kering, kering dalam hening yang membalut perih.

"Dalam diam mu aku terus mencari, haruskah aku pergi atau akan terulang begini. Waktu yang kejam ternyata hanya berputar-putar, kisah yang sama kembali lagi disini. Tentu saja lelah adalah buangannya. Tapi apa artinya usaha jika lelah tak ku hargai. Dalam lelah aku harusnya bertahan, bukan berhenti."

"Bukankah telah kukatakan mimpi yang mengukir masa depan. Bukankah telah kulukis kau pada setiap arah pandang ku, bahkan pada setiap bayangan yang mengikutiku. Bukankah telah kutanam mawar pada jejak yang kutinggalkan. Tentu harus ada duri padanya, atau kita tak akan mencium wanginya. Malangnya aku. Bahkan kata kita yang tak ingin kusebutkan tak mampu kuhindari."

Si anak muda termenung. Diresapinya udara dingin ke dalam tulang. Ditariknya nafas satu dua. Dikerjapkannya cahaya yang remang. Didengarnya detak jantungnya sendiri. Dirasakannya detak kekasihnya yang pergi entah kemana. Detak yang dia inginkan untuk rengkuh dalam pelukan. Detak yang membuat jam seharusnya berhenti berdetak hingga mereka tak terusik oleh waktu.

Si anak muda memejamkan matanya. Lama. Kenangan demi kenangan mengisi. Semua yang tertinggal dalam ingatan hadir kembali. Dia pernah tertawa, pernah hampir menitikkan air mata. Tangannya menggapai mecoba memeluk setiap penggal kenangan, tak bisa. Dia tau itu, tapi terus mencoba. Dalam pada itu dia melihat senyuman yang sangat akrab. Yang membuatnya ikut tersenyum. Tidak sinis seperti saat dia memulai.

Saat itulah dia mulai bisa bersuara, meski parau terdengarnya.
"Aku mengerti kini, aku dan kau punya kenangan. Itu abadi. Dan aku tau, kau masih akan singgah dalam tidurku meski apapun yang terjadi nanti. Sudahlah. Aku memaafkanmu. Aku membebaskanmu meraih bahagia dengan caramu sendiri. Bahagia mu adalah bahagia ku. Aku merelakanmu."

Si pemuda meraih tulisan tangannya, lalu membuangnya ke udara.

***