Saturday, December 27, 2008

Tradisi tebang pohon

Di kampungku, ada beberapa kejadian yang setelah kuamati bisa disebut sebagai tradisi. Tradisi tebang pohon.

Acara tebang pohon ini hampir selalu terjadi saat ada anak gadis yang dinikahkan. Acara resepsi pernikahan berbiaya beberapa tahun menabung umumnya dilangsungkan di tempat mempelai wanita, karena halaman rumah yang biasanya cukup luas, maka halaman ybs disulap menjadi tenda biru.

Untuk itu, biasanya keluarga si wanita harus merelakan pohon-pohon yang ada di halaman menjadi korban. Itulah yang terjadi di halaman rumahku saat kakak perempuan menikah dengan seorang laki-laki (pastinya). Tetangga-tetangga sebelah berdatangan beberapa hari sebelum hari H untuk prosesi tebang pohon.

Seorang Bapak pemilik pohon yang dalam dilema biasanya tak kuat mengayunkan parangnya.
Bapak : “Yang ini jangan ditebang semua ya..” dengan memelas.
Tetangga : “Sayang sama anak apa sama pohon?” seraya mengayunkan parang dengan tertawa-tawa kejam.
Alhasil sebuah pohon sawo, jambu, rambutan, mangga harus menjadi korban. Selang setahun setelah itu mereka belum bisa berbuah. Si pohon jambu bahkan tidak pernah hidup lagi. Itulah salah satu wujud pengorbanan sebuah keluarga untuk melepas anaknya ke pelaminan.

Kali ini tradisi (atau mungkin tragedi?) tebang pohon dilaksanakan di rumah tetangga sebelah rumahku, maka tetangga-tetangga lain kembali berdatangan, beberapa siap membawa parang dari rumahnya sendiri yang sudah diasah dengan tajam. Tentu saja Bapak yang dua tahun lalu kehilangan pohonnya pun bertindak cukup agresif sebagai wujud balas budi. Ayunan demi ayunan dilayangkan untuk mengubah sebuah taman bunga berikut beberapa pohon sawo dan alpukat menjadi sebuah tenda. Bahkan pohon mangga tetangga lainnya juga harus menjadi korban. Mereka melakukannya dengan tertawa-tawa seraya mengucapkan slogan “Sayang anak apa sayang pohon?”

Aku hanya memperhatikan, dalam hati timbul pertanyaan, “Kapan dan dimanakah ada anak gadis yang keluarganya akan merelakan pohon berikut taman kecilnya untukku?”

Sunday, December 21, 2008

Biji Island

Kisah tentang pelarian adalah kisah yang menggambarkan pulau biji. Disanalah hidup beberapa orang yang oleh tangan takdir, bercengkrama dalam suasana yang sama setiap harinya.

Aku adalah salah satu diantara yang berjuang disana. Seperti juga orang-orang lain, tidak semua hal dalam hidup bisa dipilih, sehingga pilihan untuk menyambung hidup di pulau biji tak bisa dielakkan. Tak lepas dari pengamatan mengenai silih bergantinya warga pulau biji. Hampir setiap bulan ada wajah baru yang datang dan ada wajah lama yang menghilang. Seringkali bahkan wajah menghilang lebih banyak dari wajah yang datang, hingga pontang-pantinglah kami pekerja di pulau biji menerima beban kerja yang lebih banyak.

Ada kisah bung Teme yang sejak hari pertama menginjakkan kakinya disana selalu memikirkan rencananya untuk pergi ke pulau lain yang lebih subur. Bung Teme yang biasa makan siang bersamaku mengatakan di pulau ini tak ada kenyamanan, tak ada tantangan, hanya kebosanan yang hadir setiap hari. Sehingga jika saja kutanyakan kepada Bung Teme “Apa rencana mu hari ini?” dia akan menjawab: “Seperti hari-hari sebelumnya, melarikan diri dari pulau Biji.” Akhirnya beberapa bulan berselang Bung Teme berhasil mewujudkan rencananya, rencana itu terbungkus rapi dalam alasan sakit yang mendera dirinya, padahal dia berlayar ke pulau bali.

Penguasa pulau Biji kehilangan, dan mencari kemana Bung Teme, tapi Bung Teme telah terlalu jauh untuk dikejar. Kalau perasaannya tak bisa ditangkap, apa gunanya mengurung badannya, pikirku mengenai kejadian ini. Akupun merasa sangat kehilangan, tapi turut bergembira untuk keberhasilan Teme, karena tindakannya adalah perwakilan dari perasaan banyak orang di pulau Biji.

Ada juga kisah Bung Koco yang sehari-hari mendapat tekanan luar biasa dari banyaknya Biji yang harus dia hasilkan. Koco yang dibiasakan untuk makan ikan asin setiap hari, sangat gembira ketika datang tawaran serupa bandeng, Berlarilah Koco mengejar ikan Bandeng. Berkurang lagilah warga pulau Biji diikuti bertambahnya beban warga pulau yang tersisa. Pertambahan dan pengurangan selalu ditanggapi alam dengan mencapai sebuah kesetimbangan baru.

Demikian satu persatu warga pulau berkurang, dengan kecepatan yang lebih lambat, satu demi satu juga penguasa pulau menambah warga baru. Ditengah-tengahnya aku mulai merasakan getaran yang ditinggalkan oleh para pendahulu tersebut, getaran bosan luar biasa pada biji imajiner yang harus dikumpulkan setiap hari. Teriakan pendahulu juga terdengar sayup-sayup “bangkitlah!”. “Sekali-kali kita harus mengatakan tidak pada kehidupan statis”, ucapku pelan.

Hingga suatu ketika dimana angin tak bertiup, hujan tak turun, guntur tak terdengar, dan semua terlihat biasa saja. Yang tak biasa adalah sebuah kapal kecil hadir di pinggir pulau, mengajakku naik kesana. Aku tak bisa menahan diri, berjalanlah aku kesana setelah meminta sedikit restu dari penguasa pulau. Tiba dengan berjabat tangan, maka aku pun pergi dengan berjabat tangan, diiringi berbagai tatapan yang entah apa artinya. Suasana haru mungkin akan menyelimuti pulau biji setelah aku tinggalkan, bukan karena aku sangat berarti disana, tapi lebih banyak karena ketiadaanku berarti memberi warisan pekerjaan kepada warga pulau yang masih bekerja disana.

Selamat tinggal warga pulau biji, ketika aku sudah mencapai pulau harapan, akan kukirimkan kapal untuk mengajak kalian serta. Ucapku dalam hati…