Sunday, April 29, 2012

motivasi beasiswa (2)

Saat itu, seorang kakak perempuan dua tahun di atasku dan kakak laki-laki empat tahun di atas juga sedang masa-masa mengenyam pendidikan tinggi, sehingga aku harus sadar bahwa akan ada kesulitan besar untuk membiayai kuliahku. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa orang tua sedang kesulitan finansial disebabkan oleh adanya hutang yang harus di cicil dari Bank.

Alkisah, ada seorang teman ayah yang meminjam uang dari Bank untuk usaha percetakan, untuk meluluskan pinjaman tersebut dia meminjam sertifikat tanah rumah kami. Meskipun ibu menolak, ayah dengan kebaikan hati dan rasa percayanya mengiyakan untuk meminjamkan. Selang setahun, saat bisnis orang itu gagal, propertinya di akuisisi, dia mendadak kabur entah kemana, sehingga mau tak mau sisa hutangnya itu yang jumlahnya sangat besar harus kami bayar.

Demikian ibu bercerita, kisah yang waktu itu terlarang untuk aku dengar karena mereka khawatir akan mengganggu konsentrasi ujian nasional. Demikian, sehingga ayah memintaku untuk melanjutkan studi di STPDN saja, sekolah kedinasan yang menanggung semua biaya pendidikan. Setelah tiga tahun menjalani masa pendidikan disiplin semi militer di SMA, maka memasuki disiplin semi militer berikutnya bukanlah opsi yang menyenangkan bagiku. Namun, jika itu permintaan orantua, tentu seorang anak harus mematuhi.

Akhirnya aku mencari informasi pendaftaran dan untungnya (atau sialnya) usiaku terlambat dua bulan. Usia pendaftar minimal 18 Tahun per agustus 2001, sementara aku baru akan berusia 18 di bulan oktober. Akhirnya satu-satunya opsi untukku adalah perguruan tinggi negeri. Tetap tak ada jaminan bahwa jika aku lulus, orang tua bisa membiayai, terasa sangat sedih waktu itu, namun ibu membesarkan hatiku bahwa tak usah dipikirkan persoalan biaya, jika diusahakan selalu ada jalan.

Menjelang kelulusan SMU, ada tawaran beasiswa BMU UMPTN dimana dipilih dua orang untuk mewakili setiap SMU dengan kriteria tak mampu secara ekonomi dan mampu secara akademik. Yang boleh mengikuti seleksi adalah orang-orang yang tak pernah mendapat nilai di bawah tujuh untuk matematika dan bahasa inggris, setelah lulus UMPTN penerima beasiswa akan mendapatkan sumbangan biaya SPP sampai tamat kuliah. Beruntung aku termasuk salah satu yang layak untuk mendaftar dan lulus seleksi beasiswa.

Ketika teman-teman pergi ke Bandung dan Jogja untuk bimbingan belajar intensif, aku hanya mengikuti  bimbingan belajar di Jambi karena keterbatasan biaya tadi. Jadwal bimbel hanya 1,5 jam di pagi hari, namun aku datang juga ke kelas sore untuk lebih banyak belajar dan berlatih.

Akhirnya pada suatu pagi aku mendapati namaku satu-satunya dari peserta UMPTN di Jambi yang lulus di ITB dengan jurusan pilihan pertamaku Teknik Sipil. Kelulusan itu sama artinya aku mendapat beasiswa dari masuk hingga lulus, meliputi biaya SPP dan biaya hidup. Akhirnya aku lulus dari ITB dengan predikat bisa saja, yang artinya bisa lulus saja sudah bersyukur karena panjang dan berliku perjuangannya.
Wisuda di Sabugha

Singkat kata singkat cerita, hidup baik-baik saja. Pekerjaan setelah kuliah juga biasa saja, tak ada yang istimewa. Sepertinya aku belum menemukan suatu bidang pekerjaan yang benar-benar bisa dinikmati untuk ditekuni. Setelah setiap tahun berganti-ganti dan pindah lokasi pekerjaan, akhirnya aku bekerja sebagai Lead Engineer sebuah kontraktor di Jambi, seperti yang selalu aku idamkan untuk berperan serta membangun daerah. 

Saat itu aku sedang pula membangun hubungan yang serius dengan seorang wanita, sudah hampir empat tahun lamanya. Sedemikian rupa, sehingga aku membuat rencana-rencana masa depan dengannya. Namun, suatu ketika dia memutuskan untuk berhenti karena perbedaan lokasi kerja, karena ada orang baru dan sekian hal lainnya.

Duniaku terasa jungkir balik, apapun yang kukerjakan seolah kehilangan esensinya. Hingga akhirnya proyek selesai dan aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Ternyata cobaan tak berakhir sampai di situ saja, karena mendadak ayahku mengeluh sakit dan setelah kami periksakan ternyata mengidap tumor ganas.

Setelah berjuang dengan berbagai pengobatan alternative kesana kemari, akhirnya mau tak mau kami memilih opsi operasi untuk ayah, di sebuah rumah sakit pusat di Jakarta. Sebulan lebih beliau dirawat sebelum operasi. Operasi yang kutandatangani persetujuan untuk menerima konsekuensinya. Setelah operasi, kelihatannya kondisinya membaik, sehingga aku pulang duluan ke rumah di Jambi.

Hingga akhirnya pada suatu subuh, ibu menelpon sambil menangis dan mengatakan bahwa ayah telah tiada. Terjadi dilemma untuk membawa jenazahnya pulang ke jambi atau ke jawa kampung halamannya. Semua orang menungguku untuk membuat keputusan, aku hanya ingin beliau di jambi karena dekat dengan rumah, sehingga kami bisa sering berkunjung. Namun, seorang tetangga yang dekat dengan ayah mengatakan bahwa alm selalu membicarakan keinginannya untuk pulang kampung, seperti sebuah firasat.

Andai beliau setidaknya bisa berbicara dan memberi pesan terakhir tentu dilema ini tak terjadi. Akhirnya kuputuskan untuk menganggap itu kemauan terakhir alm ayah, sehingga pergilah kami ke Jawa, Gunung Kidul, Wonogiri, ke tanah kelahirannya. Beliau mendapat tempat persis di sebelah makam alm kakek, ayahnya.

Berbulan-bulan setelah itu, hidupku terasa hampa, tanpa pekerjaan, tanpa tujuan hidup, penuh perasaan kehilangan. Sulit rasanya merangkai harapan-harapan baru, tak tau kemana hendak melangkah. Sosok seorang ayah, selama ini adalah sosok yang selalu membangkitkan motivasiku untuk berkarya, yang membuatku tertantang untuk membuatnya bangga. Kehilangannya membuatku kehilangan motivasi, kehilangan motif hidup, kehilangan tantangan.

Salah satu yang bisa menguatkan adalah pedoman Ayat Quran, bahwa dibalik kesulitan ada kemudahan, yang bagiku artinya manusia tak boleh berputus asa terhadap suatu keadaan. Bahwa orang beriman akan selalu dituntun dari kegelapan menuju cahaya.

bersambung..

Saturday, April 28, 2012

nenek itu

Siang itu, saya kebetulan makan siang di kantin kopma kampus UGM, sedang sendirian. Dalam arah pandang saya, yaitu di depan jalan masuk ke kantin terlihat seorang nenek sedang duduk, di depannya ada sebuah gelas plastik yang berisi recehan pemberian dari orang-orang yang lewat. Gaya pakaiannya yang khas nenek dari jawa membuat saya teringat pada nenek di rumah. Terbesit perasaan sedih di hati saya.

Nenek ini sedang meminta-minta. Setiap melihat seorang yang meminta-minta, serta merta saya langsung mempertanyakan, apakah tidak bisa bekerja? Dalam tradisi yang saya pahami, orang yang meminta-minta merendahkan nilai kemanusiaannya, dalam artian gagal mengenali potensi diri dan tidak pandai mengejar kesempatan.
24 Juni 2010
Dalam tradisi agama yang saya ketahui juga, orang yang tidak mampu tetapi menahan diri dari meminta-minta derajatnya lebih mulia daripada yang tidak mampu dan meminta-minta. Tetapi tentunya hal itu harus dalam kondisi berimbang dan ideal dimana orang yang mampu dengan sukarela memberikan bantuan kepada yang membutuhkan.

Sistem di negara kita belum cukup ideal untuk hal-hal seperti itu, untuk pendistribusian tanggung jawab kesejahteraan, serta pengembangan kualitas kemanusian. Pada saat yang sama, manusia kontemporer semakin fokus pada kehidupan masing-masing disebabkan oleh semakin tingginya tuntutan dan kebutuhan hidup.

Tapi itulah warga negara, sering menyalahkan penyelenggara negaranya untuk hal-hal yang diluar kemampuanya. Sehingga dengan latar belakang itu, saya tidak bisa memberikan pernyataan sikap yang tegas dalam kasus meminta-minta tersebut.

Kembali ke nenek tadi, karena dia sudah berusia lanjut, tentu saja tidak relevan untuk menanyakan kenapa dia tidak bekerja? jadi saya hanya bertanya dalam hati, kemana anakmu? Di mana cucumu? Bagaimana keluargamu? sembari menyelesaikan makan.

Dorongan rasa penasaran menyebabkan saya menghampiri nenek itu untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya.
"Nenek, sudah makan?"
"Sudah." katanya, giginya terlihat sedikit gelap, mungkin karena sering mengunyah sirih.
"Nenek, tinggalnya dimana?"
"Di daerah bla bla bla, numpang sama tetangga, tidak punya rumah.”
“Kok bisa nek?”
“Suami saya sudah meninggal. Saya ini nasibnya buruk."
"Nenek anak atau cucunya dimana?"
"Tidak punya"
"Nenek asalnya dari mana?"
"Dari sulawesi tenggara."
"Udah lama tinggal disini?
"Udah lama, sepuluh tahun, diajak suami saya, waktu itu dia sudah sakit-sakitan, katanya ayo kita tinggal di Jogja.
Jadi saya ya nurut suami. Eh, waktu dia buang air di sungai darah tingginya kambuh, tau-tau dia sudah ngga ada"
"Nenek masih punya saudara?"
"Masih, di kampung."
"Kenapa ga pulang aja ke kampung?"
"Ndak punya uang."
"Berapa biayanyanya buat pulang nek?"
"Waktu itu, mungkin tiga juta, mana punya saya uang sebanyak itu.
“Nenek punya no telepon saudaranya?"
"Dulu punya, pernah dihubungi, tapi ngga diangkat.”
“Sekarang masih ada nomernya?"
"Udah ngga ada, nomornya di hape, hapenya saya taroh waktu saya tinggal tidur, eh pagi-paginya hilang. Padahal harganya 500rb."

Alamak sedih sekali saya mendengar cerita nenek ini..

"Anak asalnya dari mana?" Tanyanya, ternyata dia cukup komunikatif.
"Dari sumatera nek."
"Oh, ada juga adek saya di sumatra, daerah riau, kerja disana."
"Nek sebelum disini kerjanya apa?"
"Mana bisa kerja, udah tua. Kalau suami saya kerjanya ngangkutin kayu, sekubiknya dibayar 2500 rupiah."
"Nenek kalau punya uang, mau pulang?"
"Ya mau, disini saya ga punya siapa-siapa."
"Tapi nenek ingat jalan ke kampungnya."
"Masih ingat."

Kalau diturutkan perasaan hati, ingin rasanya saya membelikannya tiket dan mengantarnya pulang ke keluarganya. Tapi selain waktu, uang sebanyak itu masih cukup besar bagi saya, yang belum bebas dari materi dan prioritas pribadi, dan masih jauh dari mandiri secara finansial. Sehingga hanya saya ambil sedikit uang dari dompet dan memberikan kepadanya.

Dia lalu berkata:
"Anak, cita2nya apa? Apa mau kuliah, mau jadi dokter?" saya kaget ditanya begitu.
"Bukan nek, saya mau insinyur."
"Kalau gitu, nanti saya doakan"
"Jangan nek, jangan didoakan, biar saya ikhlas."

Oh boi, tambah sedih hati saya dibuatnya. Saya lalu cepat berpamitan dan mencium tangannya, sebelum mengucur air irisan bawang bombai.

Terbersit pikiran, bagaimana cara menolong nenek ini? Pertama-tama saya kemukakan alasan pada diri sendiri, kenapa nenek ini perlu ditolong, disini nenek ini tidak punya keturunan atau keluarga, yang bisa mengurusnya jika dia bertambah tua nanti. Sementara entah bagaimana negara mengatur pemeliharaannya saya belum mengetahui.

Dengan beban hidup yang dijalaninya, saya khawatir dia akan menyalahkan Tuhan atas penderitaannya, karena dia begini karena mengikuti ajakan suaminya yang merupakan ibadah baginya, karena ternyata meski dia masih sholat dan berdoa, tidak ada dampak terhadap kehidupannya di dunia ini, sementara orang-orang ternyata tak ada yang bisa menolong. Lalu, karena saya sudah mengetahui apa yang dialaminya, tentu menjadi wajib bagi saya untuk menolongnya, entah dengan perbuatan, dengan perkataan, atau dengan seminimal-minimal kemampuan, yaitu doa.

Lalu saya berpikir, secara kemampuan terlihat terlalu memaksakan diri bagi saya, untuk membiayai dan mengantarkannya langsung ke kampung seorang diri. Sehingga saya perlu solusi lain agar beliau tetap bisa ditolong. Sepertinya tak ada yang lebih baik selain memanfaatkan afiliasi dan kerjasama kolektif dengan orang-orang yang sama-sama menaruh perhatian, dalam lingkup yang lebih besar, kemampuan untuk tindakan juga menjadi lebih besar.

Jika berlama-lama dan tidak melakukan sesuatu saya khawatir akhirnya menjadi terlalu terbiasa melihat nenek itu duduk disitu, menganggap hal ini sebagai sebuah kewajaran dan bagian dari hidup sehari-hari.

Akhirnya, waktu berlalu, hampir setahun setelah pertemuan dengan nenek itu, akhirnya bahkan saya tak berbuat apa-apa untuk menolongnya. Saya datang lagi, hanya meluangkan waktu untuk bertegur sapa dan sedikit berbagai cerita.
27 Juli 2011
Nenek itu kelihatan masih mengenali.  
“Cu, lama tidak kemari, nenek sampai kangen. Kadang-kadang sampe nenek cariin.. kemana cucu ini..” katanya.

Oh, pandainya nenek ini menyanjung sekaligus menyindir saya yang kurang peduli ini. Membuat saya ingin minta maaf karena belum bisa menolongnya. Ternyata benar bahwa tadinya saya yang merasa sangat sedih melihatnya, lama-lama makin terbiasa, memandang bahwa itulah realita hidup. Orang-orang lalu lalang, juga seperti biasa saja, beberapa ada yang memberikan uang recehan, ada juga yang malah lewat sambil menutup hidung.

Akhirnya saya tidak berdaya lagi berbuat apa-apa selain memberikan sumberdaya seadanya untuk membuat nenek itu tersenyum beberapa saat. Untuk setidaknya membuatnya ada teman berbicara beberapa saat. Akhirnya saya pamit lagi dan entah kapan akan ke sana lagi.

Entahlah, mungkin meski kehidupan nenek itu di dunia kelihatan menyedihkan, kehidupannya di akhirat justru lebih baik dari kita. Namun, tetap saja melihat nenek yang tanpa sanak saudara di usia yang sudah renta duduk sendiri berpanas-panas di situ, terasa ada sesuatu yang tidak benar. Rasanya, tidak perlu membayangkan bagaimana jadinya bila kita, atau nenek kita, atau ibu kita, atau keluarga kita yang lain ada pada posisi si nenek untuk mendapatkan perasaan itu.

***

Sunday, April 22, 2012

motivasi beasiswa (1)

Ada banyak orang yang bangun dari tidur dan mulai membangun mimpi-mimpinya setiap hari, mimpi menjadi orang besar, menjadi orang terkenal, menjadi ilmuwan, dsb seperti juga mimpi untuk sekolah di luar negri.

Untukku, yang dari keluarga sederhana di kota kecil Jambi ini, sekolah keluar negeri bukanlah salah satu dari mimpi yang kubangun, meskipun pernah sesekali mengkhayalkannya namun pada akhirnya kutepis lagi. Kutaruh di salah satu pojok bagian paling gelap di sebuah lemari di dalam gudang mimpi tak terealisasi dari masa kecil, gudang itu dikunci, kuncinya tak pernah kulihat lagi.

Kenapa aku bisa menjadi seperti orang yang pesimis begitu? Waktu itu kupikir itu bukan pesimis, itu hanya realistis, karena untuk sekolah ke luar negeri dengan biaya sendiri, aku tak mampu, sedangkan untuk sekolah dengan mendapatkan beasiswa pemerintah, aku bukan guru. Namun entah bagaimana, pada akhirnya setelah bagian-bagian tidak menyenangkan dari hidup, akhirnya aku justru sedang menikmati fasilitas menimba ilmu pengetahuan di luar negeri dengan beasiswa, seperti yang akan kuceritakan berikut ini.

Apabila belajar ke luar negeri, satu-satunya negeri yang ingin kudatangi adalah Inggris, United Kingdom. Karena universitasnya yang telah sejak lama menjadi barometer ilmu pengetahuan, karena kekayaan peradabannya, budaya, seni, sastra, sepakbola dsb. Terlebih karena ini merupakan khayalan semasa kecil.

Sewaktu masih SMP, ada seorang lelaki muda salesman yang kebetulan lewat jalan depan rumah dan mengetok pintu rumah kami, dia menawarkan dengan berbusa-busa paket pelajaran bahasa inggris dalam sebuah koper hitam besar. Ayah mendengarkannya dengan ketertarikan sewajarnya, lalu memanggilku, menanyakan ketertarikanku. Aku yang tak tau apa-apa hanya mengiyakan. Mungkin lebih karena kasihan kepada salesmannya daripada karena manfaat paket tersebut, akhirnya resmilah koper tersebut berada di rumah kami.

Paket pelajaran itu terdiri dari selusin kaset, beberapa buku dan satu kamus Oxford Dictionary. Di banyak tempat tertera tulisan dan logo Oxford University Press. Disitulah pertama kali aku mengetahui perihal Universitas Oxford. Di salah satu bagian awal listening section, ada percakapan antara turis dan guide yang menceritakan tentang London, Westminter Abbey dan Big Ben, disitulah aku menjadi semakin tertarik dan termotivasi untuk ke Inggris.  

Karena Oxford adalah satu-satunya universitas yang kuketahui, akhirnya di buku cerita yang aku dan teman-teman tulis dan edarkan untuk jadi hiburan di kelas saat kelas dua SMP, aku menulis biodata sebagai berikut:
Penulis: Wahyu
Ciri: gagah, caem, mirip ngandi low dan ngaron kwok, agak sedikit pendek dibanding teman-temannya.
Profesi: Ilmuan terkenal dari SD 150, kemudian masuk SMP 16, kemudian ke Titian Teras (TT) dan akhirnya lulus dengan nilai terbaik di Oxford University. Saat ini menjadi guru besar perguruan kungfu.
Buku karya anak SMP 16
Tentulah tulisan itu hanya berupa sebuah komedi seorang anak SMP yang tak tau apa-apa, yang sedang keranjingan film kungfu cina, namun ternyata dua tahun kemudian aku diterima melanjutkan sekolah di SMA Titian Teras, SMU terbaik se provinsi jambi yang hanya menerima 60 orang dari sekitar seribu limaratus orang peminat dari seluruh Provinsi. Saat itu, biaya pendidikan sepenuhnya gratis, karena ditanggung oleh Yayasan Pendidikan Jambi. Orangtua merasa senang karena beban pendidikan untuk empat orang anak bisa berkurang, aku pun merasa gembira dan penuh kebanggaan.

Namun, jika pada mulanya aku percaya akan kemampuan dan kecerdasan karena sering mendapat juara umum selama di SMP, maka di SMA itulah kepercayaan diriku luntur, karena berbenturan dengan kenyataan bahwa aku tak sepintar teman-teman. Ada orang yang keliatannya tak pernah belajar, namun langganan peringkat sepuluh besar. Ada orang yang kemampuan menghapalnya setingkat tape recorder, sekali saja membaca, maka sampai ujian tak akan lupa, sangat jauh dibanding kemampuan menghapalku yang setingkat amuba. Jangankan menghapal, membaca saja aku suliit, seringnya setiap membaca buku pelajaran IPS akan jatuh ketiduran.

Angkatan 5 SMU Titian Teras
Saat itulah, seiring berjalannya waktu, aku tau bahwa kuliah di Oxford University merupakan sebuah kemustahilan. Saat itu di SMA, yang menjadi trend dan puncak pencapaian prestasi adalah apabila diterima di ITB atau sekolah kedinasan seperti Akabri, Akpol, STPDN dan STAN. Akhirnya pada tahun ketiga di SMA, kutetapkan target untuk melanjutkan kuliah di ITB, meskipun sebenarnya orang tua belum tentu sanggup membiayai.

bersambung..

Saturday, April 14, 2012

pernikahan beda agama


Banyak macam persoalan terkait dengan menjalin hubungan, memilih pasangan hidup, menikah dan membangun keluarga. Berbagai macam tuntunan, standar, norma dan etika terkadang tak lagi dijadikan acuan, karena hal yang satu ini sangat terkait dengan perasaan. 

Dewasa ini, makin banyak saya temui dalam lingkup hidup saya orang-orang yang menjalin hubungan yang menjurus ke pernikahan dengan perbedaan agama. Makin pluralnya masyarakat Indonesia, makin bebasnya pola hidup masyarat modern, makin tingginya mobilitas manusia dan interaksi antar budaya, semua mengarah ke peningkatan probabilitas pernikahan beda agama.  

Berikut ini saya akan mencoba menyajikan pandangan dari berbagai sisi mengenai hal ini.

Peraturan Negara

Secara administrasi ada kesulitan untuk melangsungkan pernikahan beda agama di Indonesia, karena urusan pernikahan diakomodir oleh kantor urusan agama, sehingga KUA untuk orang beragama islam tidak mau menikahkan orang yang berbeda agama dengan islam, demikian pula kantor urusan agama lain, sehingga salah satu harus beralih ke agama pasangan. Atau harus melangsungkan pernikahan di luar negeri untuk kemudian mencatatkannya ke kantor catatan sipil.

Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini bisa dilihat pada referensi berikut ini

Psikologi

Perbedaan agama, dari sisi psikologi dinyatakan sebagai sesuatu yang rawan konflik. Banyak pelaku pernikahan beda agama yang datang ke psikolog untuk mendiskuskan mengenai pernikahannya yang sedang bergejolak karena berbagai permasalahan. 

Pernikahan adalah penggabungan dua keluarga, bukan sekedar dua orang. Jika pernikahan antara dua orang dengan akar budaya yang berbeda sering mengalami friksi, apalagi dengan nilai agama yang berbeda. Ada kecendrungan bahwa pihak keluarga tidak merestui pernikahan itu, konflik ini biasanya terus berlanjut. 

Menikah adalah penggabungan pola hidup dan kebiasaan-kebiasaan, dari sendiri-sendiri menjadi bersama-sama, sehingga apabila agama berbeda, maka pola kebiasaan ibadah akan menjadi sendiri-sendiri, jika muslim akan sholat, puasa dan berlebaran sendiri, jika Kristen akan ke gereja dan merayakan natal sendiiri. Hal ini disinyalir mengurangi kebahagiaan dan rasa kebersamaan. 

Setelah memiliki anak, akan terjadi konflik antara orang yang berbeda agama, ayah ingin anak itu mengikuti agamanya, ibu ingin anak itu mengikuti agamanya, sehingga jika suatu saat anak memilih salah satunya, salah seorang pasangan akan merasa kecewa. 

Konflik-konflik itu cenderung perlahan-lahan mereduksi perasaan cinta, sehingga pada akhirnya menyebabkan mati rasa dan berujung pada perceraian. Penjelasan lebih lanjut mengenai masalah ini bisa dilihat di referensi berikut ini.  

Islam

Bagaimana pandangan islam untuk pernikahan beda agama? MUI sudah memfatwa haram pernikahan beda agama, dengan keputusan MUI Nomor:  4/MUNAS VII/MUI/8/2005. Seperti dalam link berikut ini

Sumber hukum untuk fatwa haram tersebut diungkapkan dengan jelas di dalam Al Quran surat Al Baqarah: 221, Al Maidah: 5 dan Al-Mumtahanan: 10. 

Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan prempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran. (QS Al Baqarah: 221) 

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu, dan makanmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan si akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. (QS Al Maidah: 5) 

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Mumtahanah: 10)

Pernikahan beda agama untuk wanita muslim dengan lelaki non muslim adalah HARAM, sedangkan pernikahan lelaki muslim dengan wanita ahli kitab masih menjadi perdebatan. Salah satu yang mendebat adalah kelompok Jemaah Islam Liberal (JIL) dengan beberapa argumen yang tidak jelas. Yang biasanya menjadi perdebatan adalah pendefinisian kafir, musyrik dan ahli kitab. Berikut ini salah satu link nya. Yang jika diteliti, membenarkan ketakutan umat muslim di Indonesia bahwa JIL adalah sekelompok orang yang berbahaya bagi kehidupan beragama umat islam.  

Konsep pernikahan beda agama dalam islam ada di link berikut ini dan ini.

Pribadi

Dan.. bagaimana dengan pendapat saya pribadi? Kali ini, saya hanya akan menguraikan pendapat pribadi berdasarkan pemahaman dan pengetahuan saya selama ini. 

Perasaan manusia adalah sesuatu yang rapuh, manusia bisa merasa suka pada sesuatu saat ini dan beberapa waktu kemudian membencinya, manusia sering memandang baik apa yang buruk baginya, dan memandang buruk apa yang sebenarnya baik baginya, sehingga menurut hemat saya, perasaan dan pikiran manusia tidak bisa dijadikan pegangan yang kuat untuk selamat. Sehingga hanya agama yang bisa dipercaya, untuk dijadikan pegangan. 

Untuk mahasiswa Indonesia yang tinggal di luar negeri yang banyak berinteraksi dengan orang barat kasus-kasus ini semakin sering terjadi. Orang Indonesia kebanyakan adalah islam, orang barat kebanyakan adalah Kristen dan sebagian lain adalah atheis. Sehingga setiap kali melihat ada orang Indonesia yang sedang menjalin hubungan dengan bule saya selalu menaruh curgia menanyakan, apa agamanya? 

Setiap kali mendengar ada orang berpacaran beda agama, hati saya menjadi sedih. Terlebih lagi ketika mendengar seorang wanita muslim yang menikah dengan seorang non muslim, hati saya jadi bertanya-tanya apakah wanita ini masih dengan akidahnya. Beberapa waktu kemudian, wanita yang dulu saya kenal mengenakan jilbab dengan sopan ini lantas tidak lagi mengenakan jilbab, sehingga semakin perih lagi hati ini. 

Menurut saya, ada beberapa faktor kenapa pernikahan beda agama ini harus dihindari, yaitu faktor perasaan cinta yang tidak bisa diandalkan, faktor pengabdian terhadap orang tua, dan faktor pernikahan sebagai ibadah. 

Setiap melihat pasangan beda agama dalam hati saya sering timbul pertanyaan, apakah tak bisa lagi kita mencari pasangan yang seagama? Katakanlah itu kualitas fisik, kualitas kekayaan, kualitas kebaikan hati, kualitas perasaan, apakah tak ada lagi sesama muslim yang bisa memenuhinya? Apakah alasannya itu perasaan cinta, yang katanya tak bisa dicegah bisa datang dari dan kepada siapa saja. Alasan yang menurut saya sangat naïf, karena perasaan cinta adalah sesuatu yang rapuh yang sama sekali tak bisa dijadikan acuan atau standard. Berapa kali seorang manusia mengalami perasaan jatuh cinta dalam hidupnya? bukankah rata-rata lebih dari sekali. Menurut saya, perasaan cinta bisa dibangun melalui proses, yang bisa hilang melalui proses lainnya. 

Yang kedua adalah faktor orang tua, menurut saya seorang anak harus berterimakasih atas karunia dilahirkan dan dibesarkan oleh orangtuanya, ucapan terimakasih itu berupa bakti untuk membahagiakan mereka, menuruti sejauh apa keinginan mereka selama tidak bertentangan dengan tuntunan agama. Yang saya pahami, salah satu yang diajarkan agama islam adalah bahwa anak menjadi penerus amal orangtuanya, dalam bentuk doa dari anak yang sholeh. Sehingga tentu saja orang tua (yang menjadikan agama sebagai pegangan) tidak akan merestui anaknya menikah dengan beda agama, apalagi jika sampai anaknya pindah agama, karena itu akan berarti sama saja orang tua tersebut tidak memiliki anak yang biasanya menjadi tumpuan harapan untuk menjadi penerus amal kebaikannya kelak jika dia telah tiada. 

Yang ketiga adalah konsep pernikahan sebagai ibadah, apabila telah dinyatakan haram, maka pernikahan yang bagi umat muslim bisa menjadi sarananya untuk beribadah tentu akan kehilangan esensinya. Katakanlah jika berhubungan badan, karena tidak sah secara agama maka yang seharusnya berupa ibadah menjadi haram atau dosa untuk selamanya. Bagi orang yang percaya kehidupan akhirat, sungguh mengerikan hal ini, semoga kita semua selalu dijauhkan darinya. 


Saya sadar bahwa saya bukanlah orang yang sudah menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama dengan sebaik-baiknya. Namun, menurut saya, yang konservatif namun agak moderat ini, tak apa jika seseorang berbuat salah, sesekali berbuat dosa, sesekali melanggar aturan, karena bagaimanapun itu manusiawi, asal jangan melanggar akidah, atau mendekati melanggar akidah.

Dalam kehidupan dunia yang fana ini, dimana terdapat simpang siur aturan, norma, argumen, pengetahuan dsb hanya satu yang bisa dijadikan pegangan, yaitu nilai agama.  Dalam kehidupan yang fana ini, salah satu yang harus dijaga adalah agar senantiasa dalam keadaan beragama islam hingga akhir hayat.  


Referensi gambar:
http://www.wartakota.co.id/read/news/56907