Friday, January 28, 2011

unexpected

Bila semut-semut mendatangi kamarku, aku menyapunya keluar, ke tempat yang lebih aman tanpa bermaksud menyakitinya. Kehidupan seekor semut adalah kehidupan yang patut dihargai. Jika membunuh seekor semut pun aku tak mau, apalagi membunuh seorang manusia. Itulah pengalaman berupa musibah besar dalam hidupku yang akan kuceritakan berikut ini. 
Dalam mengendarai motor aku tak pernah terlalu kencang, terutama jika melalui rute yang belum terlalu familiar. Kutelusuri jalan dari rumah bude ke rumah pamanku itu, yang sekitar satu jam perjalanan, dengan kecepatan motor yang aman. Mas To saudaraku dari ayah dan isterinya teman seperjalananku yang baru saja kuhadiri pernikahannya mendahului sebagai penunjuk jalan.  
Hingga suatu saat, saat pandanganku ke depan seperti biasa, tiga orang anak seusia 12 tahunan tiba di tepi jalan, mendadak muncul dari dalam lorong sebelah kiri. Mereka bercanda satu sama lain, aku tak terlalu memperhatikan, hingga salah satu anak itu berlari ke tengah jalan, hendak menyeberang sedang yang lain menyusul di belakangnya. Aku sangat terkejut dengan gerakan yang tiba-tiba itu. 
Saat itu, jika aku mendadak membanting arah, atau mengerem, atau panic entah apa yang terjadi. Jadi aku menghindar ke kanan sebisa mungkin menghindari datangnya anak itu, lalu terasa bahwa tubuh anak itu mengenai badanku sebelah kiri, anak itu terpental. Aku kehilangan keseimbangan sebentar hingga akhirnya mengerem, tanpa terjatuh dari motor. Di depan kulihat motor Mas To menjauh, dan sialnya aku belum mencatat nomer teleponnya. Aku menoleh ke belakang, dan anak itu terbaring dengan badan kejang-kejang. Muncul dilemma singkat dalam benakku, apa yang harus kulakukan? Aku bisa saja segera memacu motor untuk kabur, tetapi hati menahanku, bahwa aku harus bertanggung jawab. Pada titik ini aku cukup bangga dengan apa yang kulakukan, karena itu menghindarkanku dari rasa bersalah seumur hidup.  
Sehingga kupinggirkan motorku, dan berlari ke arah anak itu. Menyambut resiko bahwa melihat kondisi anak itu yang kelihatan seperti sedang kritis, mungkin saja kerumunan masa yang datang akan memukuliku sampai mati. Aku pasrahkan diriku. Kurangkul anak itu, sambil beristigfar, sambil kubisikkan sahadat, sambil kukatakan.  
“Leh sadar leh.”
Tetapi dia tak sadarkan diri. Matanya terkatup, memperlihatkan warna putih, dengan badan terkulai sambil merintih ringan. Dua anak yang lain hanya kebingungan.
Beberapa orang berdatangan, seseorang menanyai,
“Siapa ini yang menabrak?” sementara aku diam saja.
Salah seorang melihatku, sambil menuding.
“Mas ya yang menabrak?”
“Iya.” Jawabku singkat, pasrah.   
Salah seorang meminta identitasku, dan yang lain membawa anak itu pergi ke puskesmas terdekat. Anak itu termuntah saat sedang digendong. Melihat gejala itu, beberapa orang mengatakan kemungkinan bahwa terjadi geger otak. Sementara, aku diarahkan untuk melapor ke polsek terdekat, untuk menghindari hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Aku mengikuti, dan menunggu di pos polisi sambil menelpon Paman agar datang. Sungguh tak tau apalagi yang harus dilakukan. 
Selang beberapa saat, datang seorang mengendarai motor, melaporkan bahwa puskesmas tidak bisa menangani dan anak itu dirujuk ke Rumah Sakit kabupaten. Selang beberapa saat lagi, kembali dikabarkan bahwa RS Kabupaten tidak bisa menanggulangi, dan anak itu harus dibawa ke RS Solo yang jaraknya sejam perjalanan. Aku semakin pucat terduduk di kantor polisi. Tak berapa lama, Paman datang. Setelah olah TKP bersama seorang anggota polsek, aku dipersilahkan pulang dengan motor yang  disita dan dianjurkan untuk melihat korban keesokan harinya. 
Sampai di rumah, segera aku sholat magrib, membaca Yasin dan Tahlil dan memohon agar anak itu segera sadar, dan disembuhkan. Badanku lemas, memikirkan kenyataan bahwa aku menjadi seorang pembunuh, perutku mual, bulu kudukku merinding. Aku meminta selimut. Tubuhku menggigil, bahkan selimut tak bisa menghangatkan Pikiranku menerawang ke hal-hal buruk yang akan terjadi. 
Bagaimana jika anak itu terlambat mendapat pertolongan dan meninggal dunia, aku yang harus betanggung jawab. Bagaimana jika orang tuanya kalap, atau tidak bisa menerima dan menuntut qisas. Terbayang juga seorang Bapak bernama Indra yang beberapa waktu lalu berjalan kaki dari malang ke Jakarta demi menuntut keadilan bagi anaknya yang ditabrak seoran polisi. Bagaimana jika kasus ini diperpanjang dan aku harus berhadapan dengan pengadilan. Apa yang akan kukatakan kepada pengadilan? Belum pernah aku merasakan ketakutan seperti yang kurasakan ini. 
Mungkin aku akan mengatakan bahwa aku memahami bagaimana beratnya perasaan kehilangan itu, aku sudah kehilangan Ayah. Aku mungkin mengatakan bahwa aku siap menjalani hukuman yang setimpal dengan perbuatanku. Lalu bagaimana dengan kuliahku, beasiswaku yang harus diganti dua kali lipat karena tidak bisa diselesaikan. Tapi tentu aku tidak bersalah, karena anak itu yang mendadak berlari ke tengah jalan. Tapi bagaimana jika hakim disuap oleh keluarga korban, atau perlukah aku juga membayar untuk mengamankan posisi. Semua pikiran dan kemungkinan itu berseliweran menambah kekhawatiranku sehingga aku menjadi semakin kalut. Kupanjatkan doa, istighfar dan tahlil sampai aku tertidur.   
Tidur tak bisa nyenyak, seolah ada bayangan yang menghantuiku. Terbangun di tengah malam, akhirnya aku sholat Tahajud, kembali memohon kesembuhan anak itu, dan menazarkan untuk berpuasa tiga hari jika doaku dikabulkan. Hingga pagi hari setelah subuh, baru rasa badanku sedikit lebih tenang dan sedikit lebih jernih. Siang hari, kami putuskan untuk menjenguk anak itu, yang kuketahui bernama Tedi. Ada perasaan takut menemui keluarganya, bagaimana bertanggung jawab terhadap keluarganya. Apa jadinya jika keluarganya kalap, dsb. 
Namun ternyata Ayah anak itu termasuk salah seorang penyabar yang pernah kutemui. Saat kusalami dan meminta maaf sambil mencium tangannya, dia justru meminta maaf bahwa anaknya telah khilaf. Anaknya yang saat itu terbaring dengan beberapa selang infus di ICU. Bahkan saat kuberikan uang untuk mengganti biaya ambulans, rumah sakit, kerugian moril, kerugian karena tak bisa bekerja, dan untuk makan kepada Bapak yang tergolong kurang mampu ini, beliau menolaknya, baru menerima setelah kupaksa. Terharu juga melihat ada orang seperti ini. Perasaanku mulai lega, karena si Tedi sudah siuman, pemeriksaan awal tidak ada geger otak, dan saat kuajak berbicara dia bisa menangkap dengan baik.
“Cepat sembuh ya dek, biar jadi anak yang berguna bagi keluargamu.” Kataku
“Iya.” Katanya 
Sungguh, dua hari yang aneh. Aku bertanya-tanya, hal salah apa yang kulakukan sehingga harus diuji dengan musibah ini. Baru dua hari sebelumnya aku mempelajari teori traffic accident, beserta data statisticnya untuk jalan di pedesaan. Ternyata setelah itu harus mempraktekkannya sendiri. 
Aku mereview ulang, bagian mana dari perjalananku di hari itu yang salah. Aku dari rumah Bude, menghadiri pernihakan saudara, tidak ada yang istimewa. Aku ziarah ke makam Alm. Ayah, membaca surat, tahlil, dan doa, kupikir itu biasa. Aku sudah rindu kepadanya, dan berkunjung ke makamnya mungkin membuatnya senang. Ke bagian sebelumnya, aku ke pasar membeli kembang, karena kembang menggantikan fungsi kurma untuk berzikir hingga layu, seperti pelepah kurma yang ditancapkan Nabi SAW saat melewati sebuah pemakaman. Aku teringat ketika keluar dari pasar mengambil motor yang diparkir, seorang tukang parkir membuatku merasa sedikit jijik. Kulitnya dipenuhi semacam bintik2 putih seperti berpenyakit, sehingga aku membayar dengan sedikit enggan. Namun aku lantas beristighfar dalam hati. Setiap melihat sesuatu yang membuatku marah, menerbitkan kesombongan, atau yang membuatku memandang rendah ciptaan Tuhan aku selalu beristighfar untuk menjaga pikiran dari hal-hal buruk. Terbesit juga apakah mungkin Bapak itu, merasakan tatapan jijikku dan mendoakan kesialan bagiku. Ah, itu tidak mungkin. 
Mungkin memang tidak ada kebenaran pada pernyataan bahwa takdir merupakan hubungan sebab akibat, seperti yang dikatakan beberapa tokoh pemikir islam itu. Mungkin takdir adalah takdir itu sendiri, yang tak perlu proses, yang ketika Sang Maha Kuasa berkata “Jadilah” maka Jadilah, hingga hanya kepadanyalah aku bisa memohon petunjuk dan ampunan. Kepadanya memohon diringankan beban, dan dilepaskan dari masalah, karena Dia yang menguasai kalimat “Jadilah” maka jadilah. Makhluknya hanya bisa menerima apapun peran yang sedang dipilihkan untuk dijalani, dengan pertolongan sabar.