Monday, December 31, 2012

refleksi setahun ini dan resolusi setahun mendatang

Kehidupan setahun ini bisa digambarkan sebagai menyenangkan. Mendadak memiliki kesempatan kuliah di University of Leeds, United Kingdom, dan bisa menyelesaikannya dengan baik hingga mendapat gelar master of science and engineering MSc (Eng). Lalu di penghujung tahun bisa menyelesaikan kuliah di UGM dan mendapat gelar Master of Science (MSc). Dua gelar master dalam setahun, just too good to be true.

Selain keberhasilan secara akademis itu, ada juga kegagalan di tahun ini, yaitu kegagalan mendapatkan pasangan.. hahaha agak tragis memang, masa sepanjang tahun berlalu tanpa punya kekasih. Tapi tanpa berputus asa, tetap ada secercah cahaya harapan untuk tahun depan, bulan cinta kan bersinar lagi. 

Resolusi setahun mendatang, terkait gelar master transport setahun ini, tentu berharap setidaknya memiliki pekerjaan yang sesuai dengan bidang transportasi, berharap sebuah pekerjaan yang mapan dan stabil yang setidaknya bisa membawa manfaat buat orang banyak. Selain itu, resolusi tahun mendatang tak lepas dari harapan untuk bisa menikah, entahlah dengan siapa. Yang jelas, sudah terlalu banyak bagian dari umur yang dihabiskan sendirian. 

Mari menutup tahun lalu yang indah dan menjelang tahun depan yang cerah.. Selamat tahun baru Masehi.

Sunday, December 02, 2012

Euro Trip: Amsterdam, Kota Perayaan Euforia Hidup Part III


Amsterdam adalah kota kanal, tata kota terdiri dari separuh lingkaran yang dipecah-pecah oleh kanal-kanal kecil maupun besar. Konon kanal yang total panjangnya lebih dari 100 km ini dibuat abad ke-17 untuk memanajemen air dan sebagai banteng pertahanan alami, canggih juga mereka sudah mengatur air di zaman Indonesia masih baru akan dijajah. Keberadaan kanal ini tentu menyebabkan harus ada jembatan-jembatan yang kabarnya juga sampai seratusan jumlahnya. Entahlah, siapa yang pernah menghitung jembatan itu. Belum ditambah jumlah sepeda yang biasanya terparkir dalam keadaan digembok di sepanjang pinggiran jembatan. Keberadaan gembok-gembok itu mengandung indikasi sebuah usaha untuk mencegah berputar baliknya keadaan dari kondisi sepeda tak bertuan menjadi tuan tak bersepada.

Dengan kemiripan antara satu tempat dengan tempat lain dan keberadaan kanal-kanal ini dijamin orang-orang baru akan lebih mudah kesasar. Disitulah ponsel canggih dengan aplikasi google maps atau peta konvensional menjadi kebutuhan pokok untuk mengira-ngira sedang ada di kanal bagian mana, situ jugalah aku mengerti kenapa Dora selalu mencari peta.  


Kanal-kanal besar di kota bisa ditelusuri dengan kapal. Biasa disebut paket wisata Canal Tour. Harganya sekitar 12 Euro untuk satu dua jam perjalanan berkeliling, ada beberapa operator yang bisa ditemui di berbagai lokasi kota. Tiket bisa juga dibeli ditempat atau di lokasi-lokasi travel agen setempat. 


Berpikir bahwa perjalanan ke kota ini tak akan kulakukan sekali setaun, maka kuputuskan mengikuti tour. Teman seperjalan di kanal tour ini adalah dua wanita cantik asal Taiwan yang kuliah di Brazil dan sedang liburan keliling eropa. Saat kutanya apa mereka mengatahui Indonesia dan Bali mereka bilang tau, dan ingin liburan ke bali suatu saat nanti. Berbeda dengan wanita Taiwan teman kuliahku si Sandra yang bilang pernah ke pulau Bali sewaktu kecil tapi mengaku tidak pernah ke Indonesia. 

Tour kanal adalah menelusuri (tentunya) kanal dengan sebuah (katakanlah) perahu yang cukup nyaman. Rasakan hembusan angin segar dari jendelanya sambil menikmati pemandangan berbagai aktivitas di sepanjang kanal dan berbagai bangunan disekelilingnya. Tentunya tak ada pemandangan sampah bertebaran, atau bidadari sedang mandi di pinggir kali seperti biasanya sungai-sungai Indonesia. Seorang petugas mendeskripsikan berbagai bangunan bersejarah berikut cerita-cerita seputarnya selama kurang lebih satu jam.

Selesai keliling kanal, perjalanan kulanjutkan dengan berfoto bersama tokoh-tokoh terkenal di madame Tussaud. Musium seperti ini juga terdapat di London, Berlin, Hongkong, Bangkok, dsb. Di Amsterdam tiket masuknya 21 euro bisa didapat di travel agent terdekat untuk menghindari antrian di museum. 


Harga tiket ini cukup mahal sebenarnya, namun tak apalah demi melakukan berbagai kegiatan yang ingin dilakukan bersama tokoh pujaan. Maka aku masuk dan melakukan apa itu yang ingin dilakukan seperti meggelitiki Musolini, menghibur Anne Frank, mengangkat rok Moulin Moonroe, merenungkan teori relativitas bersama Einstein, Menari bersama Jacko, membantu Gandhi menyebrang jalan, Menabuh gendang bersama Bob Marley sambil curhat dengan lagu kesayangan “no woman no cry...” dsb. 


Ketika sore hari berjalan menuju museum Anne Frank aku berpapasan dengan dua orang wanita yang sepertinya baru pulang dari belanja-belanji. Dan inilah tipikal wanita yang bisa bikin bangkrut para lelaki, diliat dari kantung belanjaannya yang memenuhi tangan itu, dilihat dari tas yang dipegangnya yang bermerk Hermes itu.

Kami saling melihat, lalu senyum-senyuman, salah seorang dari mereka menyapa dan minta difoto. Ya sudah aku foto mereka, mulai dari pose standard, lalu salah satu mengecup sebelahnya, lalu mereka berciuman, lalu mereka semakin liar. Hmm, ternyata adegan terakhir hanya terjadi dalam bayanganku. Si rambut pirang mengatakan bahwa temannya adalah artis, sehingga fotonya tak bisa sembarangan beredar. Baiklah, hanya akan ku upload di blog.

Antrean untuk masuk museum Anne Frank rasanya terlalu berlebihan untuk seroang anak perempuan malang berumur 15 Tahun itu, sehingga urunglah niat untuk masuk ke sana. Di dekatnya terdapat sebuah monumen aneh yang disebut homo monumen, padahal setelah dicari-cari ternyata tak ada monumen, cuma sebuah lantai berbentuk segitiga. Tak perlu dipertanyakan apa maksud monumen ini, karena aku pun tak begitu paham. Bahkan anak kecil setempat yang kutanyakan perihal ini pun tak paham. Akhirnya kulanjutkan jalan-jalan ke berbagai tempat lain, seperti Bijbel Museum (Museum Injil), American book corner, dan restoran take away Indonesia, Kanjtil. Restoran yang terakhir ini, sangat recommended, yang termurah sebangsanya.

Kesan bahwa Amsterdam adalah kota penyiksaan kudapat saat berjalan-jalan dan melihat di pinggir jalan terdapat berbagai museum penyiksaan, mulai dari Torture museum, Medieval torture museum, hingga pertunjukan seram Amsterdam Dungeon, sungguh sesuatu yang terasa aneh bahwa siksa-menyiksa bisa dijadikan museum. Mereka ingin mengenang berbagai penyiksaan yang pernah dilakukan pada masa lampau. Penampakan museum ini dari luar saja sangat menyeramkan, ada berbagai alat penyiksaan seperti kursi listrik, dsb. Membayangkan bahwa dulu banyak yang disiksa dengan alat-alat itu membuatku bergidik dan segera melanjutkan perjalanan, tak akan mampir. Namun penampakan seorang wanita bertampang seram dengan busana unik jaman pertengahan sebagai penjaga dan tokoh utama salah satu pertunjukan membuatku tertarik untuk mengabadikan.
Lalu ku ajak dia berfoto bersama. Dia dengan tegas menolak.
“I can’t smile.” Katanya.
“It’s oke, you don’t have to smile.” Ucapku, tak putus asa. Akhirnya dia menyetujui, saat kami sedang difoto, dia sempat mengucapkan kutukan.
“I wish you a bad day!” Ucapnya lagi, entah benar-benar mengutuk atau hanya menyesuaikan dengan perannya sebagai wanita jahat penggerutu.
“I wish you a good day.” Ucapku, berusaha menabahkan hati.
Ketika melihat hasil foto wajahnya yang begitu cemberut, dan wajahku yang begitu sulit untuk cemberut, maka kukatakan.
“Please smile at least once, you’ll look beautiful.” Bujukku.
“No, i can’t smile.” Ya sudahlah, sepertinya harus aku yang menyesuaikan memasang tampang cemberut. Kupikir entah wanita ini aslinya adalah seorang yang benar-benar penyedih, penggerutu, dengan kelainan jiwa dan tak bisa tersenyum atau dianya yang terlalu menjiwai peran yang diberikan.
Akhirnya sudah saja kuucapkan terima kasih.
“Thank you, nice to meet you.”
“You’re welcome, have a nice day.” katanya, seraya kulihat sedikit senyum tergurat di ujung bibirnya, sekilas saja, sedikit sekali. Aku balas dengan senyum lebar-lebar. 


Amsterdam adalah kota yang melegalkan ganja, itu sudah pernah kudengar sebelumnya. Selain ada ganja museum gallery, banyak terdapat kafe-kafe tidak biasa yang menyediakan rokok ganja, kue ganja, atau apapun itu yang berhubungan dengan ganja salah satu yang paling terkenal adalah Buldog. Penasaran akan seperti apa tempat ini, maka kumasuki salah satunya yang kebetulan memiliki akses internet (merangkap warnet).

Di dalamnya terdapat meja kursi layaknya cafe dimana orang biasa makan kue atau minum kopi. Yang membedakan adalah asap yang mengepul memenuhi ruangan dan bau menyengat yang merebak. Orang-orang yang kebanyakan adalah anak-anak muda pria wanita terlihat sedang merokok, sambil berbicara riuh dan tertawa-tawa. Aku melihatnya sambil membuka internet mengecek kuesioner untuk penelitian. Terpikir juga untuk mencoba setidaknya sebatang rokok, namun melihat harga yang paling tidak 5 euro membuatku mundur teratur tak berdaya. Seperti coba-coba yang tak akan bermanfaat, sebatang rokok ganja beberapa menit untuk uang yang bisa dilarikan ke perut itu. Akhirnya setelah membayar biaya warnet kepada seorang yang dari penampilannya seperti dari Jamaika itu, kutinggalkan saja si warung ganja dan orang-orang yang bersukaria di dalamnya.

Bahwa Amsterdam adalah kota buku murah, itu baru ku ketahui saat memasuki salah satu toko buku. Banyak buku tebal tentang seni di sana, bayangkan sebuah buku tebal berisi karya lengkap Leonardo Da Vinci, Rembrandt atau VanGogh seharga 10-20 Euro? Jika tidak sedang jalan-jalan yang dibatasi oleh berat bagasi, tentu kebeli beberapa buku ini untuk koleksi. Selain buku-buku seni lukis itu terdapat juga aneka ragam seni lainnya, yaitu seni seksual. Kuhabiskan beberapa detik menatapi buku besar dengan berbagai pose wanita, ada buku yang khusus mengulas dan mengupas alat produksi wanita. Tentu sudah kutilik juga isi buku ini dengan hati-hati..

Salah satu yang paling kusuka dari kota ini adalah salah satu jalan dimana studio-studio seni bertebaran. Dari jendela kelihatan berbagai karya lukisan baik yang masih baru atau yang sudah lama. Terkadang seniman atau pelukisnya masih terlihat dari balik kaca, dengan pakaian belepotan cat minyak karena sedang menyelesaikan lukisan. Terpikir bahwa aku pernah ingin menjadi pelukis, melihat pemandangan ini menyenangkan. 

Amsterdam adalah kota perayaan euforia hidup. Itulah yang bisa kusimpulkan selintas lalu dari kota ini. Betapa orang-orang di kota ini sedang menikmati segalanya. Orang-orang diserahkan untuk berbuat sebebasnya sebagai sebuah perayaan atas kehidupan mereka. Mereka menulis, mereka melukis, mereka membangun peradaban dengan ilmu pengetahuan dan seni. Mereka mabuk, mereka menikmati minuman keras, mereka menikmati ganja, mereka menikmati sex bebas, mereka menikmati apa saja. Mereka mengaktualkan diri sesuai apa saja yang mereka mau. Mereka merayakan euphoria atas kehidupan, yang menurut anggapannya hanya sekali ini.

Entahlah, apa mungkin perayaan akan hidup itu adalah sebuah tahap dimana orang-orang tak lagi memikirkan makna. Setelah menikmati segala sesuatu, setelah puas merayakan mungkin sebagian akan merasakan kekosongan, mungkin sebagian akan mulai memikirkan akan kemana hidup ini setelah dirayakan begitu rupa.