Friday, March 30, 2012

rating

Dua minggu lalu memposting cerpen berjudul kereta malam ke suatu forum di facebook, ternyata cukup banyak yang membaca dan memberi tanggapan positif. Walaupun kebanyakan yang me-like kemungkinan merupakan abege-abege begitu rupa, tapi ada perasaan bahagia ketika tulisan kita dibaca banyak orang dan diapresiasi, sehingga menambah motivasi untuk menulis lebih banyak lagi. 

Cerpen tersebut bisa dibaca di sini..


Friday, March 23, 2012

terminologi seni kuliner dalam perspektif mahasiswa rantau kontemporer

Migrasi dari kampung halaman nun jauh dimato menuju negeri seberang mengandung sekelumit konsekuensi logis dibalik seabrek manfaatnya, salah satu disbenefit itu adalah kesulitan melampiaskan pola konsumsi yang konservatif terhadap ketersediaan kuliner lokal.

Konsekuensi tersebut diperparah dengan kenyataan manis bahwa pengeluaran untuk makan di luar terlalu tinggi untuk diterapkan sebagai pola konsumsi harian. Sebagai contoh, sebuah menu nasi kari kambing ala Pakistani di kantin kampus harganya £4 yang setaraf dengan 56 ribu rupiah, nilai tersebut jika dilewatkan di warung nasi padang doa mande di depan kampus ITB, akan telah mencukupi untuk lima kali makan ditambah es jeruk panas.

Dengan latar belakang itu semua, maka hadirlah sintesis bahwa untuk bertahan hidup dan menyisihkan sedikit tabungan untuk jalan-jalan mutlak memerlukan suatu lompatan bersejarah, sebuah langkah besar, sebentuk revolusi budaya, yaitu: memasak.

Sebagai seorang pemula dan pemuda yang berbahagia dibawah asuhan orang tua memasak bukanlah bagian dari budaya. Sehingga perjuangan untuk menghasilkan masakan bermutu mengalami berbagai rintangan berarti. Akhirnya seorang adik di rumah, yang mana berjenis kelamin wanita, menjembatani itu semua, dengan mengirimkan berbagai resep ala ibu di rumah.

Dialog itu biasanya terangkum sebagai berikut:
Abang: “Dek, cara mbikin capcay ato sayur buncis itu cemmana?”
Setelah berhari-hari menahan lapar, biasanya akan mendapat jawaban dari si adek.
Adek: “Sorry baru bales my bro.. :p. Pertama, potong sayur tipis-tipis, iris bawang merah sama bawang putih dan cabe kalau mau agak pedas.. bla bla..”
Abang: “Persentase bawang merah terhadap bawang putih dan proporsi masing-masing bawang terhadap keseluruhan sayur seberapa? Teknik memotong apakah vertikal, horizontal, diagonal atau mungkin sinusoidal? tolong dibalas, asap.”
Adek: “bzzzzt..”
Karena terlalu lama menunggu, yang kemungkinan besar disebabkan si adek sedang sibuk menguji takaran tiap elemen pembentuk sayur tersebut, akhirnya setiap proses harus dilalui dengan belajar sambil mencoba, dengan bantuan om google tentunya.

Setelah sekian bulan penuh perjuangan untuk mewujudkan budaya memasak ini, singkat kata singkat cerita singkat pula perjumpaan kita, akhirnya penulis sampai pada beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Memasak dan seni kuliner secara langsung dan tidak langsung merupakan pengejawantahan cinta kasih dari Yang Maha Kuasa kepada umat manusia, karena kehadiran segala sesuatu yang tumbuh di atas muka bumi yang memiliki ragam citra rasa dan rupa yang bisa dibawa ke dapur dan dimanfaatkan oleh daya kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhannya serta memuaskan indra dan seleranya.


Memasak adalah perilaku yang mulia, yang bagi ibu/bapak rumah tangga menjelma jadi pengabdian dan ibadah untuk membahagiakan keluarganya, yang bagi mahasiswa (single) menjelma jadi penyelamat uang sakunya.  


Memasak merupakan perjuangan melatih kesabaran, karena berbagai cobaan bisa tiba-tiba datang, semisal ketika sedang menggoreng mendadak minyak panas itu memuncrat ke muka diantara belantara jerawat nakal sehingga menambah sangar raut wajah. 


Memasak merupakan refleksi peristiwa sehari-hari, ketika kehidupan di luar sana terasa terlalu pahit, maka kita tambahkan rasa manis dan asin diantara masakan, ketika kehidupan terasa kejam, maka kita tambahkan segepok cabe rawit dengan segenap emosi jiwa untuk membuat masakan tak kalah kejam, semakin kejam kehidupan semakin pedas masakan tersaji. Ketika kesedihan tak tertahankan, maka mata merah serta uraian airmata menemukan dalih yang sempurna jika diriring dengan mengiris bawang merah. Ditambah hipothesis sementara bahwa penulis cerita bawang merah dan bawang putih tentu memulai proses kreatifnya di dapur saat menyadari bahwa bawang merah itu jahat dan bawang putih itu baik.


Memasak merupakan sebuah proses iterasi dimana proporsi bumbu satu sama lain memiliki peran sedemikan rupa untuk mendapatkan integrasi citra rasa, semua proses seringkali membutuhkan waktu menahun, layaknya riset mahasiswa doktoral. 


Memasak merupakan proses pengembangan soft skill bagi mahasiswa rantau, sehingga ketika kembali pulang ke kampung halaman, memiliki bekal untuk membuka usaha warung pecel lele, nasi goreng, atau sedikitnya  usaha roti bakar.


Memasak adalah perwujudan dan puncak dari kebudayaan nasional, dimana para mahasiwa bisa membawa berbagai menu tradisional untuk dipersembahkan pada malam international. Setiap pelajar dari berbagai Negara pun mencicipi resep sambal bawang dari Indonesia dan membuat mereka sampai pada kesimpulan bahwa: masakan Indonesia adalah hal terakhir yang harus dicoba dari semua jenis kuliner mancanegara. 

ekspresi harap-harap cemas pelajar inggris saat mencoba sambal
Demikianlah sedikit cerita mengenai seni kuliner dalam perspektif mahasiswa rantau kontemporer, satu dan lain hal bisa diselesaikan dalam tempo sesingkatnya di meja makan. cheers..

Saturday, March 17, 2012

mesin waktu

Mantan pacar sudah menikah. Setelah menjalani empat tahun masa pacaran, dua tahun lebih pun berlalu sejak perpisahan yang menyakitkan itu. Dia menjalani hubungan dengan orang lain, hingga berakhir, lalu perasaan kita pernah dekat lagi setahun yang lalu, hingga berpisah lagi. Akhirnya baru-baru ini dia menikah, dengan laki-laki lain, bukan denganku. 

Dan, bagaimana rasanya ditinggal menikah oleh orang yang (masih) dicintai? Rasanya, seperti pasrah karena tak berdaya melawan takdir. Tangan takdir menggenggam kita begitu erat, menarik ke arah yang diinginkannya, tak peduli kita meronta atau menerima. Suatu malam itu, aku pernah bermimpi bahwa dia menikah, yang menjadi kenyataan beberapa minggu kemudian. Sehingga, telah kupersiapkan sebentuk perasaan ikhlas, agar tidak ada kekhawatiran lagi dari diriku untuk diri sendiri, atas perasaan ku kepada dirinya

Aku tau, tak seharusnya seseorang terlalu mengagungkan cinta kepada sesama manusia, cinta yang rampuh dan pamrih. Aku tau hampir semua teori, aku membaca buku psikologi manusia, psikologi cinta, buku the art of loving, aku membaca petunjuk praktis how to move on, aku mendengar berbagai pengalaman untuk menghadapi permasalahan serupa, aku mencoba mengalihkan perhatian pada sosok lain, hanya sampai pada kesimpulan bahwa cinta memang lebih mudah dirasakan daripada dipahami. Kadang kita menjelma jadi orang yang lemah, mengetahui betapa sering perasaan mengalahkan pikiran.

Sekali waktu masih teringat pada serangkai kata-kata cinta yang tak pernah diucap serta permintaan maaf yang tak pernah diungkap, karena tak berhasil menjadikan pengalaman bersamanya sebagai kisah yang sempurna untuk dikenang.

Tentu saja aku tak akan penah hadir lagi dalam kehidupannya dan dia suatu saat akan hilang dari pikiran maupun perasaanku, sebagaimana yang kita inginkan. Aku menginginkannya berbahagia, seperti diriku  sendiri ingin berbahagia, sebagaimana yang kita inginkan. Hanya waktu yang berjalan belum mengizinkanku untuk lupa, bahwa lupa seringkali menjadi sebuah kemewahan bagi seorang yang mengenal cinta. 

Memang ada sebagian orang yang menyimpan kenangan, sepertiku, ketika sebagian besar melupakan. Sadar atau tidak sadar aku masih menyimpan berangkai bayangan wajah dan ekspresinya di benakku, terkadang gambar itu mengabur, terkadang menguat lagi. Sebagian kenangan itu tersimpan juga dalam lagu-lagu. 

Sewaktu-waktu lagu itu menjadi sebuah mesin waktu, yang bisa membawa ke masa lalu, menerobos batas-batas ruang kekinian menuju suatu tempat dan masa dimana hal-hal indah terjadi. 

Ada kisah tak sempurna dari Samson, bukan tipikal musik yang ku sukai, meski lagunya kita dengarkan. Hadir kembali peristiwa dimana kita melalui pertengkaran-pertengkaran kecil, setiap beberapa hari setelah kita menutup kisah, mendengarkan lagu ini, selalu saja salah satu dari kita akan datang mencari kepingan-kepingan yang hilang, lalu kita akan saling melengkapi kembali. 

Lebih jauh lagi, ada sebenarnya cinta dari Letto, di waktu dia sangat suka mendengarkannya, pernah kubuatkan sebuah cerita tentang lagu itu yang berusaha menterjemahkan bagaimana cinta yang sebenarnya. Disaat kita bermanja-manja oleh rasa, pernah hadir kekhawatiran bahwa mungkin cinta yang kita rasakan bukan cinta yang sebenarnya. 

Lebih lama lagi, ada lagu gemintang dari andin, di sebuah ruang dimana cinta kita bersemi, ketika kita melepas perasaan rindu dalam nuansa, kita yang merasa cinta bisa abadi untuk menyatukan asa. Kita berada dalam dekap hangat perasaan yang menepikan resah. 

Lebih awal lagi, ada lagu pengiring film Gie dan puisinya, kembali ke masa ketika kita mula-mula bertatap muka, saling menemukan. Kita yang mencari jalan atas kegelisahan manusia, kita yang tak berhenti berjuang dengan idealisme untuk mencari jawaban atas permasalahan negeri. Kita yang begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta. 

Terhempas oleh beban rasa yang membuncah, akan kuarahkan mesin waktuku ke masa yang lebih lalu, ketika kita tak saling mengenal. Atau lebih jauh lagi ke masa-masa ketika masih menjadi anak kecil yang memandang dunia dengan warna ceria, yang berlari-lari menyambut istirahat siang, berlari menyambut hujan, dan tidur lelap di awal malam demi mengharapkan esok cepat datang, karena teman-teman akan telah menunggu di halaman sekolahan. 

Masa kini yang tak sesuai harapan, masa depan yang penuh ketidakpastian, terkadang membuat kita menjelejahi waktu, pergi ke masa lalu, yang tersaji dalam keping-keping memori yang semakin kusam tertutupi debu usia dan pengalaman. Betapapun kusamnya bagian itu, bagian-bagian yang indah tetap akan indah hingga akhir zaman.

*you have my apologize to read such a gloomy story i rarely write these days..

Monday, March 12, 2012

makna mahasiswa


Embun memberai diri
mantari mengejar-ngejarnya
terasa
tak mungkin pasti
dalam tidur ini

waktu menjalar
merambati ruang menembus jendela
angin diselimuti hangat menyemangat
terasa
tak bisa pasti
masih tertidur disini

sulur-sulur waktu mulai berbunga
harum baunya meliputi menara
kokoh berpijak diatas darah leluhur
angin dikendarai rohnya
menyambangi sekali-kali

Bunga-bunga lalu melayu
Burung pemangsa mengusir angin
Menggerogoti menara
Sungguhpun roboh dibuatnya
Hanya  sayup-sayup ditelinga
mimpi terasa lebih nyata

Diujung sana ada pintu
Persepsi namanya
tak pernah terbuka nyata
Sang pemangsa tak ada daya
kitapun tak berusaha

Sementara kelopak waktu lelah memberi tanda
Jatuh tersungkur di halaman
mentari selesai mencerna senja
kita terjaga
mendapati kerjap bintang
bangkit tapi apalah gunanya
tak sempat memberi arti
mengisi kosong diri

@HMS ITB 2005 

Friday, March 02, 2012

euforia nonton bola di Old Trafford


Bagi para penggemar bola di seluruh dunia yang terbiasa menonton pertandingan-pertandingan Liga Inggris di televisi, maka menonton tim favorit berlaga di stadion secara langsung adalah mimpi-mimpi yang seperti terlalu mewah untuk terwujud.

Seperti sedang bermimpi di siang bolong, akhirnya kita melangkahkan kaki menuju Stadion Old Trafford, di kota Manchester, Britania Raya. Namun demikian, bukan demi Man United aku melangkahkan kaki ke sana, tetapi demi Chelsea, dalam rangka menghentikan dominasi Man United dari gelar juara. 

Tiket untuk pertandingan tim favorit yang disinyalir akan penuh drama antara Man United dan Chelsea sangat sulit didapat, seseorang harus mendaftar menjadi member dengan biaya sekitar 30 pounds, dan mengumpulkan sejumlah point untuk bisa membeli tiket. Sebelum tiket dijual kepada publik, biasanya sudah habis dipesan oleh member. 

Adalah sebuah keberuntungan, ketika dua hari sebelum pertandingan aku mendapatkan tiket itu di loket penjualan tiket Stamford Bridge, Chelsea. Dan adalah suatu keajaiban bisa mendapat satu tiket lagi dari seorang wanita penggemar Chelsea yang berhalangan hadir, dan sedang bersusah hati karena tiket yang sudah dibeli tidak bisa dire-fund. Para akhirnya, kepentingan kami bertemu dalam sebuah transaksi yang ideal.
  
Berbekal dua tiket itu, dengan penuh percaya diri kita berangkat menuju Manchester. Dari stasiun kereta api, Old Trafford bisa ditempuh dengan menggunakan Tram, tiket Tram sekitar 3 pounds bolak-balik. Setelah turun di stasiun Exchange Quay, perlu lima belas menit jalan kaki untuk menuju ke stadion. 

Sebuah jembatan merah bernama Trafford Road Bridge menjadi landmark bahwa lokasi stadion kian dekat. Di pinggir jalan menelusuri tepi sungai, banyak orang berjualan berbagai aksesoris MU seperti kaos, syal, bendera, kupluk dan berbagai pernak-pernik lainnya. Semakin mendekati stadion, semakin banyak pedagang-pedagang aksesoris beserta penjual makanan dan minuman fast food kaki lima, seperti di indonesia. 

Akhirnya dari kejauhan terlihat stadion yang berdiri kokoh dengan kemegahannya. Orang-orang mulai berduyun-duyun berdatangan memadati sekeliling stadion. Rata-rata berseragam merah-merah untuk mendukung tim kesayangan mereka bermain di kandang. 

Seperti juga di Indonesia, terdapat beberapa calo yang menjual tiket di pertadingan, namun harganya empat kali harga normal. Jika kami mendapat tiket dengan harga 42 pounds atau sekitar 600 ribu rupiah, maka tiket dari calo berharga sekitar 2.5 juta rupiah. 

Di deretan depan stadion terdapat bagian gedung yang menjual merchandise official MU sedang dipadati pembeli potensial menjelang pertandingan, tempat yang pas untuk mencari oleh-oleh bagi penggemar MU di Indonesia, meskipun ternyata sebagian besar produk adalah made in Indonesia. 

Ketika menunggu dipersilahkan masuk, seorang Bapak yang datang dengan dua anaknya, yang semuanya memakai kaos MU, melihat atribut kita yang bertuliskan Chelsea. Bapak itu seketika mencibir, menatap dengan sinis, menunjuk-nunjuk sambil berbisik kepada anak-anaknya, yang boleh jika diasumsikan berbunyi: “Nak, kalau besar nanti, jangan jadi pendukung Chelsea seperti dia. Mau ditaruh dimana muka Bapakmu ini nantinya..” 

Akhirnya dua jam sebelum pertandingan kita sudah boleh memasuki stadion. Tempat masuk antara orang berkaos biru-biru dipisah dengan tempat masuk orang berkaos merah-merah yang lebih dominan untuk mencegah pertikaian yang berpotensi terjadi. Kapasitas yang diperuntukkan kepada supporter tim tamu hanya 3000 kursi, dibandingkan dengan total keseluruhan yang mencapai 75 ribu kursi. 

Keadaan di dalam stadion cukup menerbitkan rasa takjub. Ketika kosong, seluruh stadion didominasi oleh warna merah. Yang ditengahnya terdapat tulisan besar berwarna putih: MANCHESTER UNITED. Di salah satu bagian lain terdapat spanduk panjang bertuliskan MANCHESTER IS MY HEAVEN dan MU FC FOR EVERY MANC A RELIGION. Di salah satu tribun terdapat julukannya yang terkenal sebagai THE THEATRE OF DREAMS. Melihat tulisan itu, aku hanya bisa berkata dalam hati: “Bersiaplah, pertandingan ini akan menjadi mimpi buruk bagi kalian..” sambil terkekeh-kekeh. 

Para supporter mulai memenuhi stadium. Para pemain mulai bermunculan di lapangan dan melakukan pemanasan. Timbul perasaan sumringah bahwa detik ini, aku hadir dan melihat mereka secara langsung, di tempat yang sangat jauh dari rumah. 

Akhirnya peluit tanda mulai pertandingan disemprit oleh wasit. Menyaksikan pertandingan secara langsung di stadion, setelah biasanya hanya menonton dari televisi, terasa seperti menambah efek 3D, membebaskan sudut pandang dari yang sekedar gambar yang ditangkap kameramen, menambah surround sound sampai pada level maksimal, kengurangi suara komentator, serta sayangnya meniadakan siaran ulang untuk kejadian-kejadian penting. Secara umum, jalannya pertandingan ini dari sudut pandang yang sangat subyekti adalah: Chelsea mendominasi pertandingan dan menyia-nyiakan begitu banyak kesempatan-kesempatan emas. 

Adalah sebuah hal luar biasa, akhirnya bisa membaur bersama keriuhan para supporter Chelsea yang bernyanyi-nyanyi demi mendukung satu-persatu pemain agar lebih bersamangat, supporter yang bersorak-sorai untuk mendukung Torres agar (setidaknya) mencetak gol (setelah sekian lama), yang lalu meneriakkan yel yel yang mengejek satu persatu pemain lawan, serta menyanyikan berbagai lagu kebangsaan. 

Adalah sebuah hal luar biasa, menyaksikan dari dekat para supporter yang mengekspresikan kesedihan saat Chelsea kebobolan satu gol oleh sundulan Smalling. Mereka yang mengekspresikan kesedihan yang lebih mendalam saat Chelsea kebobolan satu gol lagi oleh tendangan jarak jauh Nani. Mereka yang serentah berteriak setengah putus asa saat Rooney mencetak gol ketiga. Serta menyaksikan momen penuh harapan akan kebangkitan saat tiba-tiba Torres mencetak gol yang sangat indah ciamiks dan brilliant. 

Adalah sebuah hal luar biasa, bisa ikut serta mencemooh Ronney yang terjatuh saat mengeksekusi penalty. Bisa ikut serta merasakan perasaan campur aduk antara marah, menyesal, dan takjub saat menyaksikan Torres yang berhasil dengan teknik cemerlang mengecoh kipper De Gea, berhadapan degnan gawang yang kosong, dan gagal mencetak gol. Kejadian yang belakangan dijuluki sebagai “One of the most extraordinary misses in the history of Barclays Premier League”.

Semua pengalaman dan perasaan itu terangkum menjadi sebuah euforia, perasaan senang dan marah, pengalaman akan militansi, perasaan mencintai dengan sepenuh hati, perasaan menyatu dalam kebersamaan. Sebuah kesempatan langka yang ketika mendekat, tak boleh disia-siakan. Theatre of Dream, adalah benar panggung pertunjukkan tempat terwujudnya mimpi-mimpi, meskipun kali ini resmi menjadi salah satu pertunjukan mimpi buruk bagi kita penggemar Chelsea.