Migrasi dari kampung halaman nun jauh dimato menuju negeri seberang mengandung
sekelumit konsekuensi logis dibalik seabrek manfaatnya, salah satu disbenefit itu adalah kesulitan melampiaskan pola konsumsi yang konservatif terhadap ketersediaan
kuliner lokal.
Konsekuensi tersebut diperparah dengan kenyataan manis bahwa pengeluaran
untuk makan di luar terlalu tinggi untuk diterapkan sebagai pola konsumsi
harian. Sebagai contoh, sebuah menu nasi kari kambing ala Pakistani di kantin
kampus harganya £4 yang
setaraf dengan 56 ribu rupiah, nilai tersebut jika dilewatkan di warung nasi
padang doa mande di depan kampus ITB, akan telah mencukupi untuk lima kali
makan ditambah es jeruk panas.
Dengan latar belakang itu semua, maka hadirlah sintesis bahwa untuk
bertahan hidup dan menyisihkan sedikit tabungan untuk jalan-jalan mutlak memerlukan
suatu lompatan bersejarah, sebuah langkah besar, sebentuk revolusi budaya,
yaitu: memasak.
Sebagai seorang pemula dan pemuda yang berbahagia dibawah asuhan orang
tua memasak bukanlah bagian dari budaya. Sehingga perjuangan untuk menghasilkan
masakan bermutu mengalami berbagai rintangan berarti. Akhirnya seorang adik di
rumah, yang mana berjenis kelamin wanita, menjembatani itu semua, dengan mengirimkan berbagai resep ala ibu di
rumah.
Dialog itu biasanya terangkum sebagai berikut:
Abang: “Dek, cara mbikin capcay ato sayur buncis itu cemmana?”
Setelah berhari-hari menahan lapar, biasanya akan mendapat jawaban
dari si adek.
Adek: “Sorry baru bales my bro.. :p. Pertama, potong sayur tipis-tipis,
iris bawang merah sama bawang putih dan cabe kalau mau agak pedas.. bla bla..”
Abang: “Persentase bawang merah terhadap bawang putih dan proporsi
masing-masing bawang terhadap keseluruhan sayur seberapa? Teknik memotong
apakah vertikal, horizontal, diagonal atau mungkin sinusoidal? tolong dibalas,
asap.”
Adek: “bzzzzt..”
Karena terlalu lama menunggu, yang kemungkinan besar disebabkan si
adek sedang sibuk menguji takaran tiap elemen pembentuk sayur tersebut, akhirnya
setiap proses harus dilalui dengan belajar sambil mencoba, dengan bantuan om
google tentunya.
Setelah sekian bulan penuh perjuangan untuk mewujudkan budaya memasak
ini, singkat kata singkat cerita singkat pula perjumpaan kita, akhirnya penulis
sampai pada beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Memasak dan seni kuliner secara langsung dan tidak langsung merupakan pengejawantahan
cinta kasih dari Yang Maha Kuasa kepada umat manusia, karena kehadiran segala
sesuatu yang tumbuh di atas muka bumi yang memiliki ragam citra rasa dan rupa yang
bisa dibawa ke dapur dan dimanfaatkan oleh daya kreasi manusia untuk memenuhi
kebutuhannya serta memuaskan indra dan seleranya.
Memasak adalah perilaku yang mulia, yang bagi ibu/bapak rumah tangga menjelma
jadi pengabdian dan ibadah untuk membahagiakan keluarganya, yang bagi mahasiswa
(single) menjelma jadi penyelamat uang sakunya.
Memasak merupakan perjuangan melatih kesabaran, karena berbagai cobaan
bisa tiba-tiba datang, semisal ketika sedang menggoreng mendadak minyak panas itu
memuncrat ke muka diantara belantara jerawat nakal sehingga menambah sangar raut wajah.
Memasak merupakan refleksi peristiwa sehari-hari, ketika kehidupan di
luar sana terasa terlalu pahit, maka kita tambahkan rasa manis dan asin
diantara masakan, ketika kehidupan terasa kejam, maka kita tambahkan segepok cabe
rawit dengan segenap emosi jiwa untuk membuat masakan tak kalah kejam, semakin
kejam kehidupan semakin pedas masakan tersaji. Ketika kesedihan tak
tertahankan, maka mata merah serta uraian airmata menemukan dalih yang sempurna
jika diriring dengan mengiris bawang merah. Ditambah hipothesis sementara bahwa penulis cerita bawang merah dan bawang putih tentu memulai proses kreatifnya di dapur saat menyadari bahwa bawang merah itu jahat dan bawang putih itu baik.
Memasak merupakan sebuah proses iterasi dimana proporsi bumbu satu
sama lain memiliki peran sedemikan rupa untuk mendapatkan integrasi citra rasa,
semua proses seringkali membutuhkan waktu menahun, layaknya riset mahasiswa doktoral.
Memasak merupakan proses pengembangan soft skill bagi mahasiswa
rantau, sehingga ketika kembali pulang ke kampung halaman, memiliki bekal untuk
membuka usaha warung pecel lele, nasi goreng, atau sedikitnya usaha roti bakar.
Memasak adalah perwujudan dan puncak dari kebudayaan nasional, dimana para mahasiwa bisa membawa berbagai menu tradisional untuk dipersembahkan pada malam international. Setiap pelajar dari berbagai Negara pun mencicipi resep sambal bawang dari Indonesia dan membuat mereka sampai pada kesimpulan bahwa: masakan Indonesia adalah hal terakhir yang harus dicoba dari semua jenis kuliner mancanegara.
ekspresi harap-harap cemas pelajar inggris saat mencoba sambal |
Demikianlah sedikit cerita mengenai seni kuliner dalam perspektif mahasiswa rantau kontemporer, satu dan lain hal bisa diselesaikan dalam tempo sesingkatnya di meja makan. cheers..
Posting popular rasa ilmiah. Bagus :)
ReplyDeletekomentar ilmiah rasa popular, boleh juga.. :D
ReplyDeletedan aku baru sadar, itu blog yang di manage tinggal atu. Blog yang atu lagi ditaruh kemana? :P
ReplyDeleteyang satu lagi masih ada, tapi ga di publish, terlalu suram.. :p
ReplyDelete