Sunday, June 01, 2014

Eurotrip: Venice Kota yang Melankolis

Udara yang cukup panas menyambutku di luar Stasiun Kereta Venezia S Lucia. Di depan stasiun para pengikut Harre Kreshna sedang berparade dengan laterbalekang suara nyanyian dan musik yang bernuansa etnik. “Hare hare hare Kreshna..” Nanyi mereka yang dengan pakaian tradisional indianya berjalan perlahan sambil menari menyusuri tepi laut. Amazing, sambutan ini cukup untuk membuatku bengong, terpaku untuk beberapa saat.

Tak berapa lama, jiwaku kembali ke tubuhnya, kepada kewajiban untuk menjelajah kota Venice alias Venezia ini. Ada beberapa tempat wisata yang menurut petunjuk traveling perlu di kunjungi di kota ini, seperti lapangan San Marco, Basilika San Marco, Palazzo Rezzonico, Murano, dan Rialto Bridge. Tetapi kali ini aku tak ingin mengunjungi objek wisata mainstream tersebut, katedral tua yang jadi ikon kota sudah tak begitu menarik hati.


Maka kusesatkan saja diri ini dengan menjelajah menuju tempat-tempat di dekat stasiun, menuju Piazzale Roma, kemudian menempuh salah satu lorongnya entah menuju kemana. 

Akan mengherankan jika Venice tidak dijuluki kota Kanal, karena seakan-akan segenap kota terangkai dari jaringan kanal-kanal besar dan kecil yang bersilangan. Kanal tersebut berair tenang dengan warna kehijauan dengan berbagai perahu kecil, speedboat, dsb terparkir di pinggir-pinggirnya. Mungkin memiliki speedboat tertambat di halaman rumah merupakan salah satu simbol kemapanan di negeri kanal ini.

Kanal-kanal tersebut diseberangi oleh aneka jembatan yang tak terhitung jumlahnya di penjuru kota, dari bawah salah satu jembatan sesekali melintas perahu-perahu kecil dengan supir yang ganteng ala mafioso. Kulintasi jembatan itu, serta menjelajah jalanan dan lorong-lorong kecil di tepi kenal diantara gedung-gedung tua yang warnanya cenderung merah bata. 
Aku berbelok ke kanan, ke kiri, ke kanan, ke kiri, berbelok serong kanan, lurus dan tentu saja tak berapa lama sampailah aku di.. suatu tempat.. alias tersesat. Aku tak tau lagi ini dimana, tak tau jalan pulang karena belum punya peta dan tidak tau hendak kemana pula.


Apa boleh buat, sudah kepalang tanggung, kulanjutkan saja langkah menuju entah kemana itu. Untungnya tak berapa lama kemudian, sampai ke salah satu tujuan wisata: Museum Leonardo Da Vinci. Kenapa aku selalu bertemu sesuatu bertema Leonardo Da Vinci? Beruntung sekali bisa sampai ke museum ini dengan spontanitas murni. Museum berisi karya-karya kejeniusan Leonardo Da Vinci mulai dari lukisan-lukisan, penemuan-penemuan sayap buat terbang, tank, alat-alat menyelam, dsb. Begitu didekati, ternyata meseumnya sedang tutup, ternyata aku belum beruntung..


Kulanjutkan perjalanan mengikuti kemana kaki hendak melangkah, mengarah kemana bayangan hendak menjulur. Pernah kulihat foto beberapa teman yang sudah lebih dahulu berkunjung ke Venice, foto di sebuah jembatan bernama “jembatan jodoh” bersama pasangannya, dan kelak mereka semua itu menikah, sayang aku tak bisa menemukan dan tak ada pasangan untuk diajak berfoto di sana..


Tak terasa siang semakin menjelang sore, mungkin sudah waktunya mencari letak penginapan yang sudah jauh hari kupesan: Venezia Hostel. Setelah bertanya sana sini, ternyata hotel itu letaknya di La Giudecca, di sebuah pulau di selatan pulau utama, harus diakui bahwa keputusan untuk membooking hotel ini karena harganya yang lebih murah adalah sebuah keputusan yang keliru.


Penginapanku hanya dapat dicapai dengan setengah jam naik water bus (Vaporetto). Vaporetto adalah moda transportasi utama yang yang menghubungkan berbagai titik di seluruh penjuru pulau besar dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Harga tiketnya 7 Euro untuk sekali perjalanan. Tega kali, mahal tak terkira, masa iya naik perahu 20 menit seharga 100 ribu? Kulihat papan informasi sambil bersungut-sungut dalam hati. Tetapi ada juga harga tiket berjenjang yang tergantung jam-jam pemakaian, tiket yang bisa dipakai dalam 12 jam = 18 Euro, 24 jam = 20 Euro dsb.
 

Akhirnya penginapan itu kutemukan, letaknya persis di tepi laut, menghadap ke arah kota di seberang laut. Setelah menaruh barang, aku berjalan-jalan lagi keliling pulau kecil itu, yang dapat dikelilingi dengan satu dua jam berjalan kaki. 

Suasana sekeliling pulau begitu indah, begitu biru, udara sejuk mengalir dari laut yang damai, menelusur sela-sela bangunan yang membatasi kanal-kanal, akhirnya menerpa wajahku yang agak kelelahan. 

Sambil membuang penat, aku duduk seorang diri menatap air yang mengalir tenang, menatap kebiruan tanpa batas dan perahu-perahu yang bergerak meningkahi ombak-ombak kecil. 

Beberapa abad lalu Casanova, salah seorang tokoh yang terkemuka mendunia dan kisahnya identik dengan Venice, seorang pemikir, playboy yang flamboyan yang terkenal dengan memoar perjalanannya dalam sebuah buku yang sangat tebal, pernah menulis:

I enjoy the same peace, the same repose, when I am seated on the banks of a river, when I look upon the water so quiet, yet always moving, which flows constantly, yet never disappears from my sight, never loses any of its clearness in spite of its constant motion. It strikes me as the image of my own  existence, and of the calm which I require for my life in order to reach, like the water I am gazing upon, the goal which I do not see, and which can only be found at the other end of the journey.” (Casanova, 1725-1798)



Seperti itu pula perasaanku, menatap air yang mengalir itu, yang tak tau akan berakhir dimana. Perjalanan ini, seperti perjalanan air di kanal yang mengalir dengan tenang, perjalanan yang perlu dinikmati saja alurnya, tujuan dan hasil pencapaian hanya bisa diketahui pada akhir perjalanan.



Kemudian kuhampiri salah satu kursi dan duduk melamun sambil menyaksikan matahari yang meredup. Lampu-lampu  kota yang dibentuk dengan estetika mulai menyala, seiring itu juga pasangan-pasangan pada berdatangan dari hotel-hotel mereka menuju restoran tenda terbuka di tepi laut.


Tak berapa lama, datang menghampiri sepasang pria dan wanita muda berwajah ganteng dan cantik yang katanya dari Amerika, mereka meminta tolong difoto. Sepertinya tak cukup bahwa mereka sedang berbahagia berdua, masih harus menghampiri pria yang duduk sendiri ini, meminta diabadikan. Setelah kufoto, mereka berterimakasih, memuji hasil fotoku yang bagus dan berlalu pergi. 
Mereka terlihat berbahagia, mungkin sedang berbulan madu atau sekedar pacaran, mungkin akan menikmati makan malam di salah satu restoran romantis di sana sambil bercanda tawa, kemudian akan menikmati malam dalam tidur yang nyaman sambil berpeluk mencari kehangatan di dalam hotel, bersembunyi dari anak-anak badai berupa angin malam yang menguasai tepi laut.


Gambaran itu membuatku merasa sepi. Aku hanya duduk sendirian di salah satu kursi, menatap burai-burai sisa warna jingga di sela bebangunan di kejauhan, memandang balik perjalananku selama ini. 

Aku nekat juga, berperjalanan seorang diri tanpa itinerary yang jelas, tanpa tau akan bertemu atau tidak bertemu siapa sepanjang perjalanan. Jika sesuatu terjadi padaku, menghilang di salah satu titik di dunia antah barantah ini, di Amsterram, di Delft, di Pere Lachaise Paris, di Barcelona, di Roma, di Florence, di manapun itu, tentu tak ada keluarga yang mengetahui, tanpa alat komunikasi, aku bisa tiba-tiba menghilang dari alam semesta. Tetapi Alhamdulillah, perjalanan keliling Eropa ini berlangsung dengan lancar, besok aku sudah akan pulang.

Namun entah bagaimana, pada titik ini terasa sebuah kehampaan. Terkadang, setelah sejauh-jauh kaki menapak, sejauh-jauh perjalanan yang kita tempuh, selama-lama waktu yang kita habiskan untuk mengunjungi tempat-tempat indah, seenak-enak rasa masakan yang kita cicipi di tempat jauh, seberagam kepribadian orang-orang yang kita temui dari seluruh dunia, seberagam budaya yang kita kecapi, sebanyak apapun buku-buku yang kita baca dan bagaimanapun pengetahuan yang kita dapatkan. Ada perasaan kosong saat menyadari tak ada seseorang di sebelah kita untuk berbagi cerita, untuk berbagi tentang isi pikiran, pendengaran, penglihatan, perasaan, emosi? 

Tiadakah yang akan duduk manis menanti cerita kita dimulai, menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut kita, menanti satu dua kejutan pada akhir cerita kita? Saat berjalan pulang dan sadar bahwa tak ada sesiapa yang akan ada di rumah untuk menunggu kita dengan harapannya akan keselamatan kita, saat itulah datang sebuah pertanyaan, apalah artinya perjalanan ini?


Cukup sudah dengan melankoli. Ternyata kota dan suasana yang begitu romantis jika dikunjungi sendirian akan menerbitkan melankolis. Saat mentari sempurna menutup diri yang membuat hari yang terang menjadi gelap, aku pulang ke hotel.


Kamar hotel kali ini terdiri dari kasur tingkat yang berjumlah banyak, mungkin ada sepuluh lebih kasur dalam satu ruangan. Setelah sholat magrib di salah satu pojok, aku ke luar mencari makan malam, agak sulit di tempat yang jauh dari pusat kota ini untuk menemukan makanan yang berlabel halal.



Akhirnya kupesan saja sebuah pizza besar rasa ikan. Sambil duduk menunggu pesanan, kuperhatikan pelayan pizza wanita berambut kepirangan yang cukup cantik, yang dengan bersemangat dan riang menyiapkan berbagai masakan. Melihat orang yang menjiwai pekerjaannya dan terlihat bahagia saat bekerja bisa menularkan rasa bahagia itu.


Di halaman kafe, semakin malam semakin ramai orang duduk-duduk menghadap laut, berkumpul bercanda ria dengan temannya sambil menikmati beberapa potong pizza dan minuman yang menghangatkan.



Aku kembali ke kamar, mencari tempat yang agak sepi dari riuh pikuk penghuni kamar, kemudian melaksanakan sholat isya dan dilanjutkan dengan sholat tarawih karena besok adalah hari pertama puasa.  Setelah itu, aku duduk menjeplak di lantai, makan malam sekaligus makan sahur dengan pizza ala kadarnya. Beberapa penghuni kamar mengajak berkenalan, salah satunya seorang pria muda Amerika yang tampangnya mirip Ryan Gosling pemeran Noah di film Notebook. Si pria Amerika menyapa..

“I see you’re praying, are you a muslim?” tanyanya

“Yes, I’m a muslim.”

“Where do you come from?”

“I come from Indonesia.”

“I don’t know there is a muslim in Indonesia.”

“Well, actually, Indonesia is the most populous moslem country in the world.” Kataku

“Really? I dont know that..” katanya sambil terlihat mikir.


Lalu seraut wajah wanita cantik sipit seperti dari cina menyembul di balik pintu, dengan senyum merekah pada wajahnya mengajak si pria amerika untuk pergi. Dalam pendapatku mereka mungkin baru bertemu dan berkenalan di salah satu bar semalam dan akan melanjutkan kencan. Si pria berbasa-basi mengajakku,

“Let’s have a drink?” ajaknya sambil menunjukkan botol minuman beralkohol yang dibawanya.

“Mmm, no thanks, take your time..” kataku sambil melanjutkan makan pizza dan minum cola.



Di salah satu kasur ada seorang ibu yang sedang duduk santai, anaknya sedang tidur di kasur sebelah atas. Kutawari pizza, dia menolak dengan sopan. Lalu kami ngobrol-ngobrol sejenak, tentang dia dan suaminya dan anaknya. Panjang dan lebar kita saling bercerita mulai dari basa-basi sampai yang agak berat. Dia berasal dari Arizona, sedang tour Eropa berdua anaknya yang baru lulus SMP, suaminya berasal dari Afghanistan. Dia itu bekerja sebagai guru bahasa inggris di sebuah sekolah dasar untuk anak-anak muslim.

“Aku suka mengajar anak-anak muslim itu, mereka mengenakan hijab ke sekolah, aku juga mengenakan hijab seperti mereka ketika mengajar. Keluarga muslim di sana baik-baik, biasanya mereka mempunyai perkumpulan untuk belajar atau aktivitas sosial.” Katanya.

“Suamiku juga seorang muslim, dia rajin beribadah dan berpuasa di bulan ramadhan. Dia pernah mengajakku merayakan Eid di kampungnya, menyenangkan.” Lanjutnya.

“Suami mu tidak memintamu memeluk islam?” Tanyaku.

“Tidak, aku belum menemukan alasan untuk itu.. Dia sering memintaku masuk islam, tetapi aku belum mau.”

“Tidakkah, itu membuat suamimu sedih?” Tanyaku lagi.

“Ya, kadang-kadang dia terlihat sedih, dan dia terus memintaku untuk menjadi muslim. Kadang-kadang kita bertengkar soal itu..” Katanya.



Aku berpikir dalam hati, susah sekali jika mendapat istri yang keras kepala seperti ibu ini, yang memiliki ego tinggi, yang maunya berbuat bebas sekehendaknya sendiri tidak mendengar ajakan suaminya. Apalah lagi alasan yang dicariny? 

Setelah berpikir sejenak, kukatakan padanya.

“Dalam tradisi islam, jika kita meninggal nanti kita bisa ditempatkan di surga yang gambarannya begitu indah damai, di sana kita bisa berkumpul kembali dengan suami/istri, anak-anak, dan keluarga kita yang kita sayangi. Suami ibu mungkin begitu mencintaimu, ingin selalu bersamamu di dunia yang sementara ini dan di dunia yang abadi setelah dunia ini, dan sepertinya itu hanya dimungkinkan jika ibu menjadi seorang muslim. Mungkin itu alasannya sehingga suamimu terus-menerus mengajakmu masuk islam.”

“Ya, aku rasa itu ada benarnya..” Katanya..


Kita pun mengakhiri percakapan. Aku memilih tidur saja daripada berjalan-jalan menghabiskan malam. Besok perjalanan keliling Eropa akan ditutup dengan pesawat dari Venice Treviso Airport menuju Leeds Bradford Airport. Besok akan sudah harus kembali ke Inggris Raya. 

Pramoedya Ananta Toer dan Pernikahan

Dalam sebuah surat untuk membalas surat dari Titiek anaknya, Pramoedya Ananta Toer menceritakan perihal perkenalan dan pernikahan dia dengan isterinya.

"Waktu untuk pertama kali bertemu dengannya, aku berada dalam kesulitan sosial-ekonomi yang pelik, sudah sampai pada titik-tukik. Sejak umur belasan tahun aku punya gambaran tentang hari depan, bahwa umurku takkan mencapai lebih dari tiga puluh."

"Bahwa ada seseorang menerima aku dalam keadaan seperti itu bagiku merupakan keajaiban. Tapi ia justru menerima aku."

"Suatu kekuatan baru tumbuh dalam tubuhku. Aku tidak akan mati dalam tahun-tahun mendatang ini. Tidak akan mati! Aku akan hidup dan berbahagia. Dan aku tau ini bukan romantika seorang perjaka. Dunia mulai dapat kelihatan dengan aspek-aspeknya yang lain. Pesimisme menyingkir untuk kemenangan optimisme. Di antara kami berdua tak pernah disebut-sebut cinta seperti dalam film"

"Mendekati waktu perkawinan merupakan masa-masa tegang. Situasi kronis: tak ada uang."

"Dan pengantin lelaki itu tak punya barang sesen pun di dalam kantongnya."

"Sehabis ijab nikah, pejabat agama itu membuka tas kantornya, mengeluarkan buku Kebahagian Perkawinan karangan Nazarudin Latief. Aku kenal pengarang itu sebagai peramu kebahagiaan dalam banyak hal. Orangnya sendiri mungkin tidak pernah berbahagia, atau memang berlimpah kebahagiaannya. Pejabat itu memberikan sedikit kursus tentang kebahagiaan, kemudian menyebut harga buku itu untuk aku bayar. Tentu aku harus membayarnya. Sebagai gengsi di hadapan orang banyak dan di hadapan mertua, aku gagapi semua kantongku yang tak ada uangnya. Semua orang diam memperhatikan aku. Dan pada waktu genting itu, dalam mana gengsiku bisa runtuh, dan jadi ketawaan orang banyak, Ramadhan Kartahadimadja yang bijaksana itu dengan tenang mengeluarkan dompetnya sambil berkata: "Jatuh di rumah tadi" dan membayar harga buku itu."

"Dan dengan demikian kami memasuki awal babak baru dalam kehidupan."

(Dari kumpulan tulisan Pramoedya Ananta Toer semasa menjadi tahanan di Buru: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, 1978)