Tuesday, March 19, 2013

Euro Trip, Paris: Kota para artis 2



Hari yang baru di Paris. Sehabis sholat subuh, kudapati tiga orang bule amerika ini masih pada ngorok. Sehingga mau tak mau jeritan kasur pun memanggilku lagi. Pada saat bangun kedua kalinya, saat matahari mulai tinggi, si bule-bule masih pada ngorok. Hingga ku selesaikan mandi, si bule2 masih pada ngorok. Selesai ku bereskan barang-barang bersiap jalan-jalan, aku guncangkan salah seorang dari mereka tapi tetap saja masih ngorok. Sungguh masa depan suram, baru semalam mereka mengajak jalan-jalan ternyata pagi ini kerjanya Cuma molor ga karuan, tidak prospek buat diajak jalan. Muncul di benakku bayangan mereka bertiga mabok di salah satu bar di kota ini dini hari tadi. Maka, sudah saja aku pergi berjalan-jalan lagi sendirian.
Pagi menjelang siang, pelataran museum louvre sudah mulai dipadati pengunjung. Langit sedang terang. Turis-turis dengan noraknya berfoto-foto di sekitar piramida kaca, aku menahan keinginan untuk berfoto, bukan karena aku tidak norak, melainkan karena isi museum ini jauh lebih prestisius untuk diulik. Jadi kegiatan foto ditunda untuk nanti sehabis melihat daleman museum, setelah menelusuri garis garis mawar yang akan menuntun kepada misteri terbesar novel the Davinci Code.
Haruskah membebek di depan pintu piramida kaca itu, diantara panjang antrian yang keterlaluan, untuk masuk ke museum? Tentu tidak. Dua orang turis dari Karibia yg tampangnya seperti mantan bajak laut muda pada suatu makan malam di Amsterdam telah memberiku petunjuk menuju sebuah rahasia besar, misteri pintu tersembunyi untuk memasuki museum. 

Dimanakah jalan itu? Sederhana saja, berjalan menelusuri celah yang menembus gedung, lalu belok ke kanan, menemukan petunjuk pintu masuk dari samping lalu dengan cueknya masuk, itu dia kata rahasianya “pintu samping”. Tak ada antrian yang membebek, tak ada antrian sama sekali malah dan kudapati bahwa hari ini tiket masuk ditiadakan, alias gratis, padahal biasanya seharga 12 euro. Kutepis rasa sedih karena tidak bisa membayar tiket masuk itu. Biarlah uang 12 Euro itu menjadi derma bagi perutku yang membutuhkan makanan ini. 
 
Maka berjalanlah aku berkeliling museum, merasa sok asik sendiri mengamati satu persatu lukisan yang dipajang, sampai akhirnya diriku.. tersesat. Sungguh museum ini sangat besar, luas, megah, berliku dan sangat pandai menyesatkan. Ada bermacam ruang yang bertingkat-tingkat, pintu dibalik pintu dibalik pintu berkelok-kelok memenuhi gedung dengan koleksi mulai dari peninggalan prasejarah, sejarah peradaban mesir, peradaban islam, peninggalan napoleon, sampai lukisan yang dikelompokkan berdasarkan asalnya atau tahun pembuatannya.
Beberapa koleksi yang sangat terkenal antara lain lukisan Lisa Gheradini alias Monalisa, the wedding feast at Cana, juga patung seperti The Winged Victory of Samothrace, Aprodhite (Vennus de Milo) serta ada juga koleksi dari berbagai peradaban dunia dan tak ketinggalan dari Perancis sendiri, seperti apartemen Napoleon III.
Targetku yang utama tentu saja menemukan Monalisa agar bisa tersenyum bersamanya. Setelah berputar-putar kesana kemari tanya sana-sini, sampai juga ke karya paling terkenal sedunia ini, begitu agung, sungguh luar biasa, sangat spektakuler bahwa karya besar ini.. Ternyata ukurannya sangat kecil, hanya sebesar 77 cm x 53 cm di dalam kaca anti peluru dan dipagari tali pengaman untuk memberi jarak 3 meteran dari para pengunjung. Mungkin pengamanan ini disebabkan trauma karena lukisan ini pernah dicuri dan bertahun-tahun hilang dari peredaran sebelum akhirnya ditemukan kembali di kota asalanya Florence. Apapun itu alasannya, ekspektasi untuk menikmati lukisan ini dari dekat telah ternodai..
Beredar banyak spekulasi kenapa senyum Monalisa begitu aneh, bagian sebelah kanan wajahnya tersenyum sedangkan sebelah kirinya tidak, bahwa saat dilukis itu dia sedang mengandung, atau mungkin sedang sakit gigi, ada juga yang mengatakan bahwa senyum itu mengandung makna bahwa dia menimpan rahasia yang tak diketahui orang lain, atau bahwa senyumnya itu mengungkapkan rahasia yang disimpan oleh Leonardo Da Vinsci sendiri, namun bagiku senyum itu lebih mengungkapkan kekesalan Lisa karena dia digambar di kanvas kayu yang begitu kecil yang diluar ekspektasinya, sehingga dia tidak rela menyunggingkan senyum yang lebar. Itulah sebabnya badannya tidak mengarah ke depan, karena sedang marah.Sementara background di belakangnya yang berbeda antara kiri dan kanan, tentu tetap menjadi misteri dari seniman besar ini.
Entah apapun asumsi orang tentang senyum Monalisa dan interpretasi atas lukisannya ini, kiranya senyumku aneh hanya karena kecewa bahwa monalisa hanya bisa dilihat dari jauh dan ukurannya juga sebegitu kecil.. :p
Selain Monalisa, karya yg terkenal adalah the last supper ini, yang dinamakan wedding feast at Cana, yang ukurannya lebih gede dari lapangan bola pingpong. Tentu tak ketinggalan aku berfoto bersamanya, bertemu sekeluarga yang sama-sama orang indonesia, berbasa-basi sejenak lalu melanjutkan perjalanan.
Sampai setengah hari berkeliling dari satu koleksi ke koleksi lain, akhirnya kakiku pegal-pegal sendiri. Legenda lama mengatakan bahwa untuk mengelilingi museum yang total koleksinya melebihi 35 ribu karya ini dan membaca satu persatu informasi dari benda yang dipajang selama 30 detik, maka paling tidak dibutuhkan waktu sampai dengan 100 hari untuk menyelesaikannya. Akhirnya aku menyerah, tak mampu melanjutkan dengan alasan kaki yang keburu gempor.
Maka aku keluar museum, melanjutkan agenda yang tertunda untuk berfoto-foto di sekitar piramid kaca sebagai legitimasi pernah menjejakkan jaki di louvre.
Meninggalkan pemandangan sepasang kekasih yang sedang berciuman di pinggir air mancur Louvre ini, aku bergegas menuju underground untuk menunaikan kewajiban berikutnya, yaitu menjejakkan kaki di menara Eiffel. Eiffel I’m comiiiing..
Eiffel bisa dicapai dengan menggunakan Metro sampai stasiun Bir-Hakeim. Naik ke atas, lalu belok kanan berjalan mengikuti kerumunan turis. Di pinggir-pinggir jalan sudah ramai orang berjualan berbagai aksesoris miniatur menara Eiffel, kubeli gantungan kunci seharga 1 Euro untuk 3 gantungan kunci. Kemudian aku jadi menyesal karena di emperan NotreDamme dengan 2 Euro bisa mendapat 10 gantungan kunci. Kuanggap ini suatu penipuan besar.
Eiffel adalah menara luar biasa tinggi karya besar Gustave Eiffel, tingginya 324 meter perpaduan seni arsitektur dan engineering berupa untaian rangka-rangka baja yang dibangun sebelum tahun 1889. Sekitar 50 tahun dari adegan Javert nyemplung ke sungai dari film Les Miserables.

Salah satu yang sukses memprofokasiku untuk ke Eifel adalah foto salah seorang teman yg datang bersama istrinya, yang sedang duduk santai di sebuah kursi taman dengan latar belakang menara eifel. Aku terprofokasi untuk berpose di tempat yang luar biasa romantis itu, namun tentu saja ada kenyataan pahit bahwa aku berperjalanan sendirian, tanpa pacar, tanpa teman, tanpa handai taulan sanak saudara. Jadi jikapun aku menemukan spot emas tersebut, untuk berpose di kursi dengan latar belajang Eifel tersebut, tentu saja aku berfoto sendirian, dan foto si pasangan wanita akan ditambahkan kemudian, jika ditemukan. Apa daya, tangan tak sampai, setelah berkeliling eifel dari sudut ke sudut, lokasi itu tak ditemukan, gagal lah niat burukku itu..
Menara Eifel adalah tujuan utama wisatawan local dan mancanegara di kota Paris. Terlihat dari berbondongnya orang yang berjalan menuju ke sana, serta berbondongnya antrian tiket untuk naik ke atas menara sampai level teratas yang harganya 14 Euro dengan menggunakan lift serta 8.5 Euro apabila naik sampai pertengahan menara level 1 dan 2 dengan 374 sampai 674 anak tangga besi. Tentunya tangga itu cukup menantang bagi orang-orang yang sedang dalam program pengurusan badan. Melihat kenyataan untuk mendapatkan tiket paling tidak membutuhkan waktu satu sampai dua jam, surut lah niatku untuk melihat kota Paris dari atas menara Eifel. Disimpan buat lain kali, jika berbulan madu ke sini.
Maka aku hanya berjalan melewati bagian bawah menara Eiffel tempat orang-orang berkerumun. Kebetulan sedang ada parade manusia pohon (Ent) seperti yang ada di Lord of the Ring.
Di seberang menara Eifel terdapat taman yang dipenuhi orang-orang yang sedang sunbathing tanning atau apapun namanya itu dengan berbagai macam gaya. Musim panas dan cuaca yang hangat mendukung kegiatan ini. Juga mendukung acara cuci mataku melihat gadis-gadis bule berpakaian minim yang bergeletakan. Menghabiskan waktu bersama teman-teman, atau berpacaran, atau membaca buku sendirian ditaman ini sambil berjemur sepertinya menyenangkan, terutama bagi yang berkulit putih, karena pemilik kulit coklat sepertiku akan segera menjadi berkulit hitam jika lama-lama terpapar sinar matahari.

Akhirnya hanya bisa berpose dengan gaya cewek trendi sehabis belanja belanji di Rue de Rivoli paris.
Mungkin bisa ditemukan adegan melamar wanita di pelataran menara Eiffel atau diatas kafe di menara tersebut dari beberapa film romantis, namun tentunya kubuat catatan dalam hati untuk tidak melakukan itu mengingat betapa besar biaya yang harus dikeluarkan. Serta fakta tragis bahwa aku tak punya pacar, selain fakta lebih tragis bahwa yang dulu pacarku sudah menikah dengan yang barusan pacarnya.

Sekedar curcol, sebenarnya bayanganku dulu adalah jika ke Paris tentu itu dalam rangka bulan madu bersama mantan pacar yang sudah dijadikan istri. Mengingat legenda kota paris sebagai kota tujuan wisata, kota cinta, kota cahaya, kota para seniman. Banyak seniman yang memilih menghabiskan waktu untuk tinggal di Paris dan menghasilkan karya-karya bermutu.

Salah satu seni kontemporer yang melekat dengan Paris tentu saja film favorit yang membekas kuat di ingatan seperti film Before Sunset. Adegan romantis perjalanan Jesse dan Celine dalam Nostalgia pertemuan mereka dulu di Before Sunrise mulai dari took buku shakespeares and company saat promosi buku karangan Jesse, yang lalu berjalan-jalan berkeliling kota, mampir ke kafe, melewati lorong-lorong dan tepi sungai Seine, yang tak jauh dari menara ini. Sayang sekali, saat ini aku berperjalanan sendirian, jika tidak tentu acara perjalanan ini akan menjadi perjalanan bulan madu penggemar Before Sunset, napak tilas perjalanan Julie dan Jesse berkeliling kota Paris.
Demikian lamunku sambil duduk di sebuah shelter di bawah menara Eiffel, berteduh dari hujan yang mendadak turun. Bersebelahan dengan ibu-ibu tua yang tak bisa berbahasa Inggris sambil mendengarkan sekelompok pengamen yang cerita memetik gitar dan bernyanyi lagu-lagu populer.

Menjelang sore, tujuan berikutnya adalah Arc De Triomphe, semacam monumen nasionalnya paris.
Pada saat aku ke sana pada tanggal 14 July, ternyata sedang ada perayaan Bastile Day, yang biasanya menyelenggarakan pawai militer dari Arc De Triomphe ke Place de La Concorde yang biasanya dihadiri presiden. Sayang sekali karena kurangnya info, sehingga aku ketinggalan acara yang dilaksanakan pada pagi hari ini. Namun sedang ada semacam penutupan marching tentara yang bisa ditonton. Untuk masuk Arc De Triomphe tiketnya seharga 9.5 Euro sehingga dengan senang hati ku skip, sisakan untuk lain kali jika sudah menjadi peneliti sejarah Paris.
Berhubung hari mentari mulai tenggelam, gelap sudah datang saat jam tangan menunjukkan pukul 9pm, akhirnya kuakhiri petualangan sehari di Paris ini untuk segera kembali ke hostel.
Kereta underground cukup penuh seperti biasa, saat berjalan disela-sela penumpang untuk mendapat tempat bersandar tak sengaja aku menyenggol seorang pria berkulit agak gelap dengan jaket hitam dengan kupluk. Lalu dia mulai menatapku dengan tatapan yang kuanggap aneh, seperti meneliti pergerakanku. Namun bagiku, dialah yang aneh.

Beberapa saat kemudian, dia berdiri seperti akan keluar dari kereta. Ketika kereta berhenti dia membuat gerakan seperti akan terjatuh, namun dengan cepat tangannya merogoh kantung seorang anak lelaki yang sedang berdiri bersama kedua orangtuanya. Tak berapa lama dia kembali ke tempat duduknya dan langsung seolah berbincang dengan rekan di sebelahnya. Pada tangannya yang dimasukkan ke dalam kantong jaket kuamati terdapat sebuah handphone, aku agak ragu apakah itu miliknya sendiri, atau milik anak itu yang telah dia ambil. Berdetak jantungku, apakah akan melaporkannya kepada orangtua si anak dan petugas di metro, atau membiarkannya saja.. 

besambung

Wednesday, March 06, 2013

Euro Trip, Paris: Kota para artis I

Subuh-subuh sehabis sholat aku berjalan menggendong backpack menembus gerimis dan dinginnya udara pagi dari penginapan menuju Amsterdam Centraal Station, yang jaraknya sekitar satu dua kilometer. Ditengah jalan sering berpapasan dengan berbagai makluk yang baru pulang dari bar. Langsung aku kirim sebuah twit yang berpotensi keren "Berbarengan dengan orang-orang mabuk pulang dari klub malam, awak pergi meninggalkan amsterdam, kota tempat perayaan euforia hidup."

Karena tiket kereta yang langsung menuju Paris sudah habis, berdasarkan informasi yang diberikan oleh ibu-ibu gendut berkacamata jelek berwajak jutek di Amsterdam centraal station (nada tulisan penuh sentimen), maka perjalanan ke paris kutempuh dengan transit di Brussel, Belgia. Dari Amsterdam ke Bruxxelles (demikian nama yang tertera di tiket) sekitar tiga jam perjalanan dengan kereta agak cepat. Sedangkan perjalanan dari Bruxxelles ke Paris cuma 1.5 jam dengan high speed train.
Tak berapa lama, akhirnya aku berada di salah satu kompartemen kereta, dalam gerbong yang terdiri dari beberapa ruang tertutup yang memuat enam seats saling berhadapan. Di depan seorang perempuan cantik berkulit gelap peranakan dari kedua orang tuanya sedang serius memperhatikan ponselnya. Aku lalu minta berfoto, bukan foto dengan dia tapi foto sendirian saja, tentunya dengan kaos berjudul “Amsterdam University” sebagai legitimasi bahwa telah mengunjungi Amsterdam.




Tiap mencapai satu dua stasiun, ada wajah-wajah yang sedang mencari tempat duduk, beberapa orang berkulit hitam yang baru masuk menciptakan suasana sedikit mencekam. Teringat film euro trip dimana seorang pria aneh duduk, dan menggrepe-grepe saat melewati lorong panjang nan gelap. Untunglah pada perjalanan kali ini tidak bertemu yang seperti itu. Kami hanya saling diam dan cuek sepanjang perjalanan hingga sampai di stasiun Bruxxelles Midi. Tidak bisa singgah untuk sekedar melihat-lihat suasana kota yang katanya penuh arsitektur modern karena kereta berikutnya hanya selang setengah jam. Sempat ada kekhawatiran kereta akan terlambat atau susah menemukan kereta berikutnya, tapi ternyata punctuality kereta ini cukup terjamin. Huph, berjalan, berloncat dan berlari akhirnya aku berganti menunggangi kereta cepat TGV. Pertama kali memasuki kereta yang berkecepatan tinggi ini, muncul perasaan sumringah, biasanya cuma mendengar namanya. Entah kapan kereta berkecepatan tinggi bisa eksis di Indonesia, karena kecepatanya tinggi haga tiketnya juga menjadi tinggi. Kereta ini tempat duduknya normal menghadap ke depan. Kereta bergerak sangat laju, terlihat dari silih bergantinya lembaran-lembaran perbukitan hijau pemandangan di jendela. Akhirnya sampailah di stasiun paris Gare du Nord, harus berfoto dengan si high speed train, dengan menggunakan jaket himpunan, lambang supremasi HMS ITB di Paris.



Stasiun penuh dengan turis-turis, terutama turis-turis asal Eropa. Bagi pemegang tiket eurail/interail pass, harus mengantri untuk membeli tiket-tiket kereta sesuai itinerary mereka, termasuk aku yg mengantri untuk membeli tiket ke barcelona. Sejam lebih mengantri, antrian yg mengular ini mengganggu aktivitas liburan, beberapa orang sampai duduk di tiang dan ketiduran saking lamanya waktu pelayanan. Di tengah-tengah ada foto box misterius tempat biasanya Amelie menemukan foto-foto tergunting yang menjadi misteri besar di sepanjang filmnya. Besar kemungkinan wanita yang sedang duduk di photobox itu pasti adalah si Amelie sendiri.

Sekedar informasi selingan, buat traveler yang berencana jalan-jalan keliling Eropa biasanya direkomendasikan untuk membeli Interail Pass, adiknya Eurail Pass, yang harganya 249 euro buat 5 hari perjalanan dalam selang waktu 10 hari. Tetapi setibanya di Eropa harus membooking kereta dan membayar tambahan biaya perjalanan dengan kereta. Entahlah bagaimana nilai ekonomisnya, belum dihitung dengan detail. Tapi agen-agen bilang ini cara terbaik berkeliling eropa dibanding membeli masing-masing tiket untuk setiap perjalanan.

Selesai urusanku, akhirnya mendatangi lokasi tourist information untuk mendapatkan beberapa informasi penting. Pertama untuk meminta peta, kedua untuk menanyakan dimanakah posisi penginapanku di peta tersebut, ketiga untuk menanyakan bagaimanakah cara menuju ke penginapanku tersebut, terakhir untuk bertanya tempat-tempat wisata apa saja di paris ini yg layak dikunjungi selama 2 hari. Semua informasi itu sukses kudapatkan dari wanita cantik petugas informasi, ditambah lagi bahasa inggrisnya bagus dan senyumnya mempesona.

Buat ke penginapan harus naik Paris Metro Subway yang biasa ditandai dengan label m dalam kurung. Untuk perjalanan beberpa hari di paris direkomendasikan membeli 10 tiket, satu tiket harganya 1.7 Euro sedangkan 10 tiket harganya 13.3 euro, sehingga bisa hemat sekitar 20 persen. Satu tiket bisa dipakai untuk sekali perjalanan sampai keluar di stasiun tujuan. Untuk berpergian dengan jarak yang jauh dan berganti-ganti metro, system ini cukup recommended.

Paris Metro sangat efektif dalam menghubungkan berbagai lokasi di kota paris, jarak antar lokasi yang jauh jadi terasa dekat. Objek-objek wisata utama bisa dijangkau dengan berjalan kaki dari stasiun metro terdekat. Buat seorang turis awam dan sendirian sepertiku, sebuah peta stasiun metro bagaikan malaikat penunjuk jalan, yang menuntun ke jalan yang lurus.

Keluar di ujung stasiun, aku bertanya sana sini, beberapa kali bertanya tak mendapat jawaban karena sebagian besar yang kutanya tak bisa atau tak mau berbahasa inggris. Cukup untuk membenarkan stigma bahwa orang prancis memang anti berbahasa inggris. Akhirnya kutemukan juga paris hotel di pojokan jalan, pelayannya ramah, hotelnya lumayan bersih dengan kamar di sharing buat empat orang, tempat tidur bertingkat, kamar mandi di dalam dilengkapi bath up, lumayan.. Namun sayangnya tidak ada loker untuk menaruh tas, biasanya setiap hotel yang shared room menyediakan loker.

Sampai di kamar, setelah istirahat sebentar yang pertama kali akan kulakukan adalah sungkem ke makam Jim Morrison seperti yang pernah diceritakan ini.

Setelah itu, tiba waktu malam, seorang pelajar pria dan dua wanita asal amerika datang sebagai teman sekamar. Mereka mengajak ke bar cari minum, kutolak dengan alasan ingin cepat istirahat agar besok pagi bisa mendatangi meseum louvre sedari pagi. Sebenarnya seharusnya bisa juga ditolak dengan lugas mengatakan “harom itu brother, harom.”



Si cewek Amerika datang lagi setelah sesaat keluat kamar lalu bertanya “are you sure you don’t want to join us?” Aku mulai curiga bahwa mereka mengajakku serta karena khawatir terjadi apa-apa dengan barang-barang yangg mereka tinggalkan, karena di kamar ini tidak tersedia loker. Aku cuek saja, berkata "I can’t tonight, but it would be nice to join you tomorrow.” lalu tertidur, untungnya tidak bermimpi bertemu Jim Morrison.