Subuh-subuh sehabis sholat aku berjalan menggendong backpack menembus gerimis dan dinginnya udara pagi dari penginapan menuju Amsterdam Centraal Station, yang jaraknya sekitar satu dua kilometer. Ditengah jalan sering berpapasan dengan berbagai makluk yang baru pulang dari bar. Langsung aku kirim sebuah twit yang berpotensi keren "Berbarengan dengan orang-orang mabuk pulang dari klub malam, awak pergi meninggalkan amsterdam, kota tempat perayaan euforia hidup."
Tak berapa lama, akhirnya aku berada di salah satu kompartemen kereta, dalam gerbong yang terdiri dari beberapa ruang tertutup yang memuat enam seats saling berhadapan. Di depan seorang perempuan cantik berkulit gelap peranakan dari kedua orang tuanya sedang serius memperhatikan ponselnya. Aku lalu minta berfoto, bukan foto dengan dia tapi foto sendirian saja, tentunya dengan kaos berjudul “Amsterdam University” sebagai legitimasi bahwa telah mengunjungi Amsterdam.
Tiap mencapai satu dua stasiun, ada wajah-wajah yang sedang mencari tempat duduk, beberapa orang berkulit hitam yang baru masuk menciptakan suasana sedikit mencekam. Teringat film euro trip dimana seorang pria aneh duduk, dan menggrepe-grepe saat melewati lorong panjang nan gelap. Untunglah pada perjalanan kali ini tidak bertemu yang seperti itu. Kami hanya saling diam dan cuek sepanjang perjalanan hingga sampai di stasiun Bruxxelles Midi. Tidak bisa singgah untuk sekedar melihat-lihat suasana kota yang katanya penuh arsitektur modern karena kereta berikutnya hanya selang setengah jam. Sempat ada kekhawatiran kereta akan terlambat atau susah menemukan kereta berikutnya, tapi ternyata punctuality kereta ini cukup terjamin.
Huph, berjalan, berloncat dan berlari akhirnya aku berganti menunggangi kereta cepat TGV. Pertama kali memasuki kereta yang berkecepatan tinggi ini, muncul perasaan sumringah, biasanya cuma mendengar namanya. Entah kapan kereta berkecepatan tinggi bisa eksis di Indonesia, karena kecepatanya tinggi haga tiketnya juga menjadi tinggi. Kereta ini tempat duduknya normal menghadap ke depan. Kereta bergerak sangat laju, terlihat dari silih bergantinya lembaran-lembaran perbukitan hijau pemandangan di jendela. Akhirnya sampailah di stasiun paris Gare du Nord, harus berfoto dengan si high speed train, dengan menggunakan jaket himpunan, lambang supremasi HMS ITB di Paris.
Stasiun penuh dengan turis-turis, terutama turis-turis asal Eropa. Bagi pemegang tiket eurail/interail pass, harus mengantri untuk membeli tiket-tiket kereta sesuai itinerary mereka, termasuk aku yg mengantri untuk membeli tiket ke barcelona. Sejam lebih mengantri, antrian yg mengular ini mengganggu aktivitas liburan, beberapa orang sampai duduk di tiang dan ketiduran saking lamanya waktu pelayanan. Di tengah-tengah ada foto box misterius tempat biasanya Amelie menemukan foto-foto tergunting yang menjadi misteri besar di sepanjang filmnya. Besar kemungkinan wanita yang sedang duduk di photobox itu pasti adalah si Amelie sendiri.
Sekedar informasi selingan, buat traveler yang berencana jalan-jalan keliling Eropa biasanya direkomendasikan untuk membeli Interail Pass, adiknya Eurail Pass, yang harganya 249 euro buat 5 hari perjalanan dalam selang waktu 10 hari. Tetapi setibanya di Eropa harus membooking kereta dan membayar tambahan biaya perjalanan dengan kereta. Entahlah bagaimana nilai ekonomisnya, belum dihitung dengan detail. Tapi agen-agen bilang ini cara terbaik berkeliling eropa dibanding membeli masing-masing tiket untuk setiap perjalanan.
Selesai urusanku, akhirnya mendatangi lokasi tourist information untuk mendapatkan beberapa informasi penting. Pertama untuk meminta peta, kedua untuk menanyakan dimanakah posisi penginapanku di peta tersebut, ketiga untuk menanyakan bagaimanakah cara menuju ke penginapanku tersebut, terakhir untuk bertanya tempat-tempat wisata apa saja di paris ini yg layak dikunjungi selama 2 hari. Semua informasi itu sukses kudapatkan dari wanita cantik petugas informasi, ditambah lagi bahasa inggrisnya bagus dan senyumnya mempesona.
Buat ke penginapan harus naik Paris Metro Subway yang biasa ditandai dengan label m dalam kurung. Untuk perjalanan beberpa hari di paris direkomendasikan membeli 10 tiket, satu tiket harganya 1.7 Euro sedangkan 10 tiket harganya 13.3 euro, sehingga bisa hemat sekitar 20 persen. Satu tiket bisa dipakai untuk sekali perjalanan sampai keluar di stasiun tujuan. Untuk berpergian dengan jarak yang jauh dan berganti-ganti metro, system ini cukup recommended.
Paris Metro sangat efektif dalam menghubungkan berbagai lokasi di kota paris, jarak antar lokasi yang jauh jadi terasa dekat. Objek-objek wisata utama bisa dijangkau dengan berjalan kaki dari stasiun metro terdekat. Buat seorang turis awam dan sendirian sepertiku, sebuah peta stasiun metro bagaikan malaikat penunjuk jalan, yang menuntun ke jalan yang lurus.
Keluar di ujung stasiun, aku bertanya sana sini, beberapa kali bertanya tak mendapat jawaban karena sebagian besar yang kutanya tak bisa atau tak mau berbahasa inggris. Cukup untuk membenarkan stigma bahwa orang prancis memang anti berbahasa inggris. Akhirnya kutemukan juga paris hotel di pojokan jalan, pelayannya ramah, hotelnya lumayan bersih dengan kamar di sharing buat empat orang, tempat tidur bertingkat, kamar mandi di dalam dilengkapi bath up, lumayan.. Namun sayangnya tidak ada loker untuk menaruh tas, biasanya setiap hotel yang shared room menyediakan loker.
Sampai di kamar, setelah istirahat sebentar yang pertama kali akan kulakukan adalah sungkem ke makam Jim Morrison seperti yang pernah diceritakan ini.
Setelah itu, tiba waktu malam, seorang pelajar pria dan dua wanita asal amerika datang sebagai teman sekamar. Mereka mengajak ke bar cari minum, kutolak dengan alasan ingin cepat istirahat agar besok pagi bisa mendatangi meseum louvre sedari pagi. Sebenarnya seharusnya bisa juga ditolak dengan lugas mengatakan “harom itu brother, harom.”
Sekedar informasi selingan, buat traveler yang berencana jalan-jalan keliling Eropa biasanya direkomendasikan untuk membeli Interail Pass, adiknya Eurail Pass, yang harganya 249 euro buat 5 hari perjalanan dalam selang waktu 10 hari. Tetapi setibanya di Eropa harus membooking kereta dan membayar tambahan biaya perjalanan dengan kereta. Entahlah bagaimana nilai ekonomisnya, belum dihitung dengan detail. Tapi agen-agen bilang ini cara terbaik berkeliling eropa dibanding membeli masing-masing tiket untuk setiap perjalanan.
Selesai urusanku, akhirnya mendatangi lokasi tourist information untuk mendapatkan beberapa informasi penting. Pertama untuk meminta peta, kedua untuk menanyakan dimanakah posisi penginapanku di peta tersebut, ketiga untuk menanyakan bagaimanakah cara menuju ke penginapanku tersebut, terakhir untuk bertanya tempat-tempat wisata apa saja di paris ini yg layak dikunjungi selama 2 hari. Semua informasi itu sukses kudapatkan dari wanita cantik petugas informasi, ditambah lagi bahasa inggrisnya bagus dan senyumnya mempesona.
Buat ke penginapan harus naik Paris Metro Subway yang biasa ditandai dengan label m dalam kurung. Untuk perjalanan beberpa hari di paris direkomendasikan membeli 10 tiket, satu tiket harganya 1.7 Euro sedangkan 10 tiket harganya 13.3 euro, sehingga bisa hemat sekitar 20 persen. Satu tiket bisa dipakai untuk sekali perjalanan sampai keluar di stasiun tujuan. Untuk berpergian dengan jarak yang jauh dan berganti-ganti metro, system ini cukup recommended.
Paris Metro sangat efektif dalam menghubungkan berbagai lokasi di kota paris, jarak antar lokasi yang jauh jadi terasa dekat. Objek-objek wisata utama bisa dijangkau dengan berjalan kaki dari stasiun metro terdekat. Buat seorang turis awam dan sendirian sepertiku, sebuah peta stasiun metro bagaikan malaikat penunjuk jalan, yang menuntun ke jalan yang lurus.
Keluar di ujung stasiun, aku bertanya sana sini, beberapa kali bertanya tak mendapat jawaban karena sebagian besar yang kutanya tak bisa atau tak mau berbahasa inggris. Cukup untuk membenarkan stigma bahwa orang prancis memang anti berbahasa inggris. Akhirnya kutemukan juga paris hotel di pojokan jalan, pelayannya ramah, hotelnya lumayan bersih dengan kamar di sharing buat empat orang, tempat tidur bertingkat, kamar mandi di dalam dilengkapi bath up, lumayan.. Namun sayangnya tidak ada loker untuk menaruh tas, biasanya setiap hotel yang shared room menyediakan loker.
Sampai di kamar, setelah istirahat sebentar yang pertama kali akan kulakukan adalah sungkem ke makam Jim Morrison seperti yang pernah diceritakan ini.
Setelah itu, tiba waktu malam, seorang pelajar pria dan dua wanita asal amerika datang sebagai teman sekamar. Mereka mengajak ke bar cari minum, kutolak dengan alasan ingin cepat istirahat agar besok pagi bisa mendatangi meseum louvre sedari pagi. Sebenarnya seharusnya bisa juga ditolak dengan lugas mengatakan “harom itu brother, harom.”
Si cewek Amerika datang lagi setelah sesaat keluat kamar lalu bertanya “are you sure you don’t want to join us?” Aku mulai curiga bahwa mereka mengajakku serta karena khawatir terjadi apa-apa dengan barang-barang yangg mereka tinggalkan, karena di kamar ini tidak tersedia loker. Aku cuek saja, berkata "I can’t tonight, but it would be nice to join you tomorrow.” lalu tertidur, untungnya tidak bermimpi bertemu Jim Morrison.
No comments:
Post a Comment